Disclaimer: I own nothing. I don't own Inuyasha nor The Walking Dead. I will make no money from this fic, I write for my own enjoyment and the enjoyment of my readers.

Series: IYxWalking Dead.

TnM's notes: Chapter ini bisa dibilang masih nyambung dengan chapter pertama (sedikit kilas balik ke masa lalu, awal Kagome berada di Georgia). So, enjoy it.


Then ...

Kagome yang masih merasakan sakit kepala dan badan remuk karena jet lag, tertegun sejenak di depan meja prasmanan restoran, ia memandangi keranjang rotan besar yang penuh beragam buah dengan pandangan kosong. Pada akhirnya, ia mencomot satu apel merah.

"Pagi!" Sapa seorang pria yang tiba-tiba muncul di sampingnya. "Tidur nyenyak semalam?"

Kagome menjawab sapaan itu seraya menoleh, dan menatap professor muda berotak encer asal Korea Selatan yang berusaha mendekatinya sejak awal pertemuan. "Lumayan," jawabnya ragu sebelum ia balik bertanya, "Bagaimana denganmu?"

Keduanya jalan bersandingan menuju meja panjang, tempat peneliti-peneliti lainnya berkumpul untuk sarapan.

"Tidak terlalu. Ranjang hotel ini terlalu besar untuk ditiduri seorang diri." Tak pelak, kalimatnya membuat Kagome mengangkat kedua alis.

Pria bernama Baek Seung Hi itu melemparkan sebuah senyum ramah nan memikat, kemudian ia berkata lagi dengan bahasa Jepang yang fasih, "walau aku juga yakin akan terjaga sepanjang malam bila berbagi ranjang dengan seorang wanita cantik sepertimu."

Langkahnya terhenti, begitupun Seung Hi. Kagome sedikit memutar tubuh untuk menghadap pria itu. Tanpa merasa tersinggung, namun dengan nada tak percaya yang terkesan jenaka, ia bertanya, "Koreksi aku bila aku salah, apakah ... kau sedang merayuku?"

"Apa candaanku terdengar seperti rayuan bagimu?" Raut bingung dibuat-buatnya hanya bertahan sesaat sebelum kembali ke ekspresi normal. Wajah Seung Hi retak dengan senyum penuh percaya diri. Senyum yang mengatakan; 'aku muda, tampan, mapan, pintar bergaul, memiliki otak cemerlang, dan jalan karier gemilang yang terbuka lebar, kau pasti akan takluk padaku.'

"Aku serius dengan perkataanku." Dengan jari, ia menyisir poninya ke belakang. "Kagome, kau adalah wanita cantik yang sangat patut untuk dirayu," sambung pria berumur dua puluh tujuh tahun itu dengan nada yang menggoda.

Disaat yang sama, berbagai pikiran tentang masa lalu melintas di kepala Kagome. Kini, ia adalah wanita dewasa yang pernah menjalin beberapa hubungan di luar dari setengah siluman yang ada di era feodal, ia bebas menerima atau mencintai siapapun. Akan tetapi, menjalin hubungan jarak jauh atau hubungan yang hanya semalam dengan rekan kerja, sama sekali tidak ada dalam rencananya.

"Bila kau serius," ulang Kagome. Setelah jeda dua detik, ia tersenyum manis. "Akan kupikirkan kembali tawaranmu," jawabnya yang tak mau menolak mentah-mentah demi alasan kesopanan.

"Mereka akan menjemput kita satu jam lagi."

"Lalu?"

"Apakah kau keberatan bila aku duduk bersamamu selama perjalanan menuju CDC?"

Setelah berpikir sejenak, ia menyahut, "kurasa Igasaki-sensei tidak akan merasa keberatan."

"Apa itu, 'iya'?"

Sebagai tanggapan, Kagome tersenyum simpul.

"Bagus."

"Sampai nanti, Profesor Baek."

"Kumohon, panggil saja aku Seung Hi."

Senyum sang miko melebar, "Baiklah kalau begitu, sampai nanti, Seung Hi."

Dengan itu, keduanya kembali berjalan dan bergabung dengan kawan seprofesi mereka.

Setelah Kagome duduk di bangkunya, Professor Igasaki menunjuk ke arah Baek Seung Hi sekilas dengan gerakan kepala. "Sepertinya ada perbincangan yang cukup serius di sana."

"Tidak ada yang terlepas dari pengamatanmu, ya kan?" Nada Kagome bercanda.

"Hanya karena pengamatan yang seperti itulah aku berada di sini sekarang," intonasinya ringan. Meski pernah menyelamatkan ratusan ribu jiwa dari wabah, pria renta berotak brilian itu selalu merendah, itulah salah satu hal yang membuat Kagome kagum darinya.

Si sulung Higurashi tersenyum saat bertatap mata dengan Professor yang telah dikenalnya sejak delapan tahun yang lalu. Betapa banyak alasan lain yang membuat Kagome merasa nyaman untuk bekerja bersama dan berbagi sedikit hal tentang dirinya. "Apa tawaran tidur dapat dikatakan sebagai hal yang serius, Sensei?" tuturnya santai.

"Jadi, apa jawabanmu?" Tanya Igasaki lagi.

Sambil memotong bacon yang ada di piringnya, tanpa merasa diinterogasi sama sekali, Kagome menjawab ringan, "aku bilang bahwa aku akan memikirkan lagi tawarannya."

Pria yang usianya sudah berkepala enam itu mengangguk kecil beberapa kali. "Aku terlalu tua untuk tidak mengerti bahwa kau menolaknya secara halus."

Miko itu tertawa kecil.

Lewat sudut mata, sang Profesor memperhatikan sosok yang tengah mereka bicarakan untuk beberapa detik, lalu memandang asistennya, keriput-keriput di dahinya kian dalam kala bertutur, "Dari tampak luar, dia adalah pria idaman semua wanita."

Si sulung Higurashi tak menyangkal, "sepertinya begitu."

Pria tua itu kembali menyibukkan diri dengan sajian yang ada di piringnya. "Aku tidak mengerti." Seakan berbicara kepada diri sendiri, ia bergumam, "Kau masih penuh kejutan meski aku sudah mengenalmu selama bertahun-tahun, Kagome."

Gadis yang memilih untuk menenggelamkan diri dalam sains setelah kepulangannya dari perjalanan menerobos waktu ke masa lalu itu hanya mengangguk sambil terus mengunyah sarapannya. Kagome menyahut riang, "aku harap aku masih dapat mengejutkanmu beberapa tahun ke depan."

"Terkadang, mengerti jalan pikiran wanita itu terasa lebih sukar bila dibandingkan dengan menemukan sebuah anti-virus." Igasaki menarik napas sebelum melanjutkan, "hingga detik ini, aku masih belum mengerti mengapa kau membawa benda itu."

"Kau tertarik untuk melihat bagaimana aku menggunakannya?"

"Sebenarnya, aku lebih tertarik pada alasan 'mengapa' kau membawanya."

Mengingat busur berwarna merah yang berasal dari Gunung Azusa, sudut-sudut bibir Kagome tertarik ke atas. "Anggap saja itu jimat yang kudapatkan ketika aku berumur lima belas tahun."

"Apa tidak ada jimat yang lebih kecil? Yang lebih praktis untuk dibawa berpergian?" Intonasi pria itu penuh dengan rasa penasaran.

"Sejujurnya, aku tidak pernah berpikir menjadikan benda sebesar itu sebagai jimat. Namun, seorang teman menyuruhku membawa busur itu selagi menghadapi ujian masuk Sekolah Menengah. Itu untuk kebaikanku, katanya." Senyum sendu terpatri di wajah manis sang shikon miko. "Karena sekarang aku sudah tak dapat menemuinya lagi aku, aku ... " rangkaian kata penutup kalimat bagai tercekat di tenggorokannya

"Aku mengerti." Potong Igasaki cepat-cepat demi membebaskan asistennya itu dari kemurungan. Layaknya afeksi seorang ayah terhadap anaknya, ia mengusap lembut punggung Kagome sejenak.

Kagome mengerjap beberapa kali, mengusir kubangan cairan di safir biru kelabunya. Seraya memandang pria bijak yang kini masuk ke dalam daftar orang-orang yang ia kasihi, gadis itu mencoba untuk tersenyum walau bongkahan-bongkahan batu besar lama kembali berjejalan di dalam dada. Dengan sepenuh hati, ia mengutarakan rasa syukurnya, "Terima kasih, Igasaki-sensei."

Ribuan hari memang telah terlewati tapi, tetap saja, hatinya masih terbenam air mata hanya dengan mengenang mereka yang tertinggal di masa silam. Tapi sekarang berbeda, itu yang Kagome yakini. Dunia yang ia tinggali tak lagi dipenuhi oleh monster pemakan manusia, atau makhluk yang haus akan kekuatan dan kekuasaan yang rela menjadikan ribuan manusia sebagai tumbal. Takkan ada lagi perpisahan mengenaskan, tak ada takdir yang tragis, semua akan baik-baik saja.

Namun, lagi-lagi ia salah. Para Kami memiliki rencana tersendiri untuknya.

"Ngomong-ngomong, Tuan Sempurna ingin duduk denganku nanti, apa kau tidak-" kalimat Kagome terpotong oleh pekik seorang pelayan.

Disusul meja dan kursi yang berjatuhan, secara otomatis, semua kepala di ruang makan itu menoleh ke asal suara. Hampir seluruh yang hadir dengan sigap berdiri dan mendekat untuk melihat apa yang terjadi: Seorang koki tergeletak di lantai berkarpet merah, pria tambun itu menggeliat sambil terus memegangi lehernya yang terus mengalirkan darah segar.

Mimpi paling kelam itu pun menghampiri Kagome.

Keadaan berbalik lebih cepat dari pergantian siang ke malam. Beberapa pelayan berwajah pucat dengan baju yang ternoda darah mulai menyerang semua yang bernyawa dengan membabi-buta. Layaknya sambaran kilat, teror hadir dalam sekejap mata. Semua berlangsung singkat, dalam satu tarikan napas, belasan jiwa terhempas dari raganya.

Apa yang terjadi jauh, teramat, sangat, jauh lebih buruk dari apa yang dikatakan Pemerintah kepada mereka. Tak sampai sehari sejak kedatangan ia dan yang lainnya, keadaan yang kacau-balau menjadi kian parah. Hanya ada kerusuhan juga kepanikan tak bertepi kala mereka yang mati bangkit kembali dan menjadi predator mematikan yang mulai menguasai bumi.

Kata tunggal yang dapat menjelaskan dengan adil apa yang terjadi di Atlanta dan mungkin di seluruh dunia adalah: Neraka.

Beruntungnya, penjemput tiba lebih awal. Satu pasukan tentara hadir di tengah-tengah keributan, memberi waktu untuk mengambil barang-barang pribadi paling penting sebelum mengungsikan para peneliti ke sebuah bus, dan warga sipil ke bus yang lainnya. Perjalanan menuju gedung CDC hanya diisi oleh keheningan yang mencekam. Semua kepala tertunduk, mulut-mulut terkunci, karena hampir di sepanjang jalan jeritan menggema dari berbagai penjuru. Cairan merah kehidupan yang berharga telah tumpah-ruah di mana-mana. Erangan dan desisan animalistic seakan terdengar di semua tempat, tak ada sudut yang aman di kota, jalan, maupun ruang. Suasana penuh tawa beberapa puluh menit lalu lantas terlupakan. Pilu merasuk ke benak mereka yang masih berjiwa, sebab, sejauh mata memandang, hanya kengerianlah yang terhampar.

Tidak ada pilihan selain pergi saat itu juga demi menghindari keramaian mayat pemangsa. Celakanya, kesialan tak henti merundung mereka. Karena terlalu banyak menabrak mayat hidup, mesin bus mereka tersumbat gumpalan-gumpalan daging. Kendaraan itu terhenti di sebuah jalan panjang yang diapit dua hutan.

Musibah pun berlanjut. Gerombolan makhluk bengis itu berdatangan dari balik pepohonan, para tentara yang melawan segenap jiwa pun gugur saat sambaran peluru mereka hanya melumpuhkan sebagian. Geraman yang membuat bulu kuduk berdiri itu hanya reda sesaat. Dengan biadab, para makhluk itu mengunyah dengan lahap daging mereka yang tumbang hidup-hidup.

Pasukan pelindung telah tercecer, dan kini, gerombolan makhluk penggigit itu mengincar mereka yang tersisa. Puluhan pasang mata tanpa jiwa itu mendelik ke arah puluhan peneliti yang syok. Dengan jalan yang tertatih-tatih, para mayat kian mendekat. Tangan-tangan kelabu itu berusaha menggapai jendela di satu sisi bus yang mereka tumpangi. Secara refleks, para penumpang bergerak mundur.

Sialnya, tak ada dari kedua puluh jiwa itu yang menyadari bahwa satu mahluk berusaha memasuki salah satu jendela yang terbuka di sisi bus yang lainnya, kedua tangan dan kepalanya sudah melewati celah kecil itu, rahangnya membuka dan menutup dengan kencang beberapa kali, tak sabar untuk mencicipi hidangan yang terjebak dalam rangka besi. Ketika para peneliti itu bergerak mundur, salah satu Profesor berhasil ditangkap oleh mayat hidup. Dan di saat itulah, setelah sekian lamanya, Kagome merasa kengerian dan ketakutan yang sangat hebat menyelimuti setiap sel-sel di dirinya.

Peneliti malang yang pertama kali menjadi korban adalah Baek Seung Hi. Delapan orang berusaha menarik kedua lengan pria bersurai cokelat itu, tapi makhluk terkutuk itu mencengkram leher korbannya kuat-kuat dan mulai menggigit. Percikan darah dari nadi yang terputus menyembur deras. Dengan bau darah yang kian menyeruak, tindak-tanduk para makhluk itu semakin menjadi-jadi. Kaca lain di sekitar peneliti Korea itu pecah. Tak lama, tangan-tangan kumal lain ikut menjamah tubuh sang Profesor. Para manusia yang berusaha menolong pun semakin mengerahkan tenaga. Kepala dan bagian atas badan Seung Hi semakin tertarik ke belakang, dan kedua lengannya terus ditarik ke dalam bus.

Malang tak dapat ditolak, di antara dua upaya yang berlawanan, kedua lengan peneliti muda itu putus.

Kagome menyaksikan adegan horor itu di baris terdepan; Satu tangan jatuh di dekat kakinya. Kala ia mengangkat kepala, yang ia lihat adalah warna merah yang merembes dengan cepat di lengan jas putih Seung Hi. Leher pria supel itu terkoyak. Ia melihat setiap detik kala kedua mata yang terbelalak milik pria itu dicongkel oleh tangan berwarna abu-abu. Jari-jari kelabu lain menelusup ke rongga merah yang kini kosong, jemari itu menusuk, tenggelam, dalam, dan kian dalam. Kemudian, bunyi keretak paling mengerikan yang ada di hidupnya terdengar saat tengkorak kepala pria yang pernah merayunya itu terbuka, dan isi kepala lunak berwarna merah muda milik pria jenius itu pun terpampang. Tak sampai sedetik, otak itu sudah berpindah dari tempatnya dan masuk ke dalam mulut salah satu makhluk rakus itu.

Di antara teriakan panik yang bersahut-sahutan, erangan mengerikan yang ada kian berlipat ganda. Kagome berdiri, masih mematung di tempat, semua yang ada di sekelilingnya bagai terjadi dalam gerakan lambat; Salah satu peneliti menembakkan pistol secara acak ke arah mayat hidup yang sibuk melahap Seung Hi. Sedangkan, yang lain berusaha menghentikannya karena menganggap itu percuma. Sialnya, tembakan itu malah menghancurkan kaca pintu masuk bus dan melukai salah satu peneliti.

Dengan wajah mengernyit menahan sakit, Profesor Igasaki memegang perut bagian kirinya. Sontak, Kagome kembali terhempas dari kebekuannya.

Disaat yang sama, para mayat hidup menyerbu masuk dari pintu bus yang kacanya hancur. Tanpa ragu, Kagome mendekati seniornya yang tak sadarkan diri. Miko itu lantas menyalurkan reiki-nya, membentuk kubah tak kasat mata yang menyelimuti tubuhnya selagi menyeret sang Profesor ke salah satu bangku penumpang di tengah-tengah bus. Sekuat hati berulang kali ia berdoa pada semua Kami di Takamagahara agar ide yang tiba-tiba tercetus itu bisa berhasil, agar para mayat hidup tak menyadari keberadaannya, agar mereka bisa selamat, agar ia bisa keluar dari mimpi buruk itu.

Dan, rencananya berhasil. Makhluk mengerikan itu tak dapat melihat dan mengendus keberadaannya. Mereka melewatinya begitu saja. Akan tetapi, dia belum bisa bernapas lega. Sekelompok peneliti yang tersudut, bergerak mundur ke arah belakang bus, menjauh dari Igasaki dan dirinya. Mereka masih berada dalam bahaya!

Sambil terus menekan luka agar pria malang itu tidak meninggal karena kehabisan darah, Kagome berteriak lantang, "Jangan ada yang lari! Tetaplah bersamaku! Kalian aman bila berada didekatku!"

Acuhan itu tak lantas di hiraukan. Beberapa hanya melemparkan tatapan tak percaya, dan beberapa lainnya tak dapat mengalihkan pandangan dari para mayat hidup yang mendekat. Di antara kengerian, terkadang akal menjadi tumpul, bahkan untuk mereka yang bergelar 'MD'.

Para mayat pemangsa telah sampai ke bagian belakang bus. Satu jeritan melengking memenuhi indra pendengaran. Meski ingin, ia tak dapat melepaskan tekanan di perut Igasaki begitu saja. Dilema mendera Kagome, ia harus memilih, menyelamatkan sang sensei yang sudah ia anggap ayah sendiri atau belasan jiwa lainnya.

Tak ingin memilih, dengan suara yang parau oleh adrenalin, Kagome memerintah dengan lantang, "Mereka tak dapat melihat kalian bila berada di dekatku! Kumohon!"

Teriakan menyayat hati menyusul. Setelah sebagian besar sudah menjadi korban, barulah beberapa menyadari bahwa imbauan Kagome benar adanya.

Namun, sayangnya, kesadaran itu sudah sangat terlambat. Mereka yang tak lagi dapat berkutik tentu saja segera menjadi bagian dari jamuan besar.

Ia memejamkan mata, tapi tak dapat mengusir kekejaman yang terbayang di imajinasinya. Ia tak mampu menghalau suara-suara keji yang mengalun; bunyi daging terkoyak, suara darah yang memancar, tulang berkeretak, isi perut berhamburan, dan mulut yang sibuk melahap. Semua itu berlangsung bukan dalam hitungan detik maupun menit, tapi dalam hitungan jam.

Satu-persatu, teman seperjalanannya menemui ajal.

Pada akhirnya, tak satupun kolega yang berhasil ia selamatkan. Tak ada lagi kembang-kempis tipis di dada sang Profesor, tidak ada denyut lemah di urat nadi. Dengan perlahan, Kagome mengangkat kedua tangannya di atas segumpal usus yang menyembul dari luka tembak di perut pria itu. Untuk sejenak, ia bersandar di samping jasad pembimbingnya. Tinggalah ia sendiri.

Untuk yang kedua kali, itu terjadi. Persis seperti yang berlaku di era feodal, monster merajalela, pembunuhan massal membuahkan kematian yang sia-sia. Dan lagi-lagi, tinggalah ia sendiri. Meski luput dari maut dan berhasil mengalahkan sang musuh sejati, tak ada yang dapat ia rayakan. Menjadi korban hidup yang harus merana sampai penghujung usia, menahan beban mental tak terkira, dan terbelenggu oleh duka karena kehilangan sahabat, keluarga, serta kekasih yang ia cinta hanyalah bentuk lain siksaan.

Samar-samar, dari bagian belakang kendaraan, geraman halus terdengar, dan Kagome bergeming dalam lara.

Harapan miliknya sejak yang dicinta di masa lampau tak lagi terjamah bukanlah bahagia selamanya, melainkan, hanya sebuah kenormalan, tidak lebih. Tapi kini, mimpi-mimpinya itu telah mati. Asa terbesarnya telah musnah oleh lelucon menyimpang mereka yang dipanggil Kami-sama.

Betapa melelahkan. Penat baginya untuk terus berjuang. Ingin rasanya ia pasrah dan bergabung dengan mereka yang menemui sang Dewa Kematian.

Bertentangan dengan apa yang tengah ia pikirkan, naluri paling dasar untuk terus bertahan hidup tak membiarkannya menyerah begitu saja. Sekonyong-konyong, Kagome bangkit kala ia mendengar erangan persis di sisinya. Pria yang mati-matian ia lindungi kini telah menjadi salah satu dari makhluk terkutuk itu. Tanpa dibayangi oleh satu iota keraguan pun, ia bergerak cepat ke tempat barang-barangnya tergeletak. Ketika mayat Igasaki kembali berdiri di atas dua kaki, ia telah siap melesatkan senjata_yang selama ini hanya menjadi jimatnya_tepat ke kepala sang sensei.

Tidak dalam jangka waktu yang lama, anak panah lain sudah terpasang di busurnya yang terentang, siap menghujam para kolega yang telah bangkit dari kematian.

.

Garis nasib memang sebuah misteri, itulah yang ia pahami sejak remaja. Walaupun begitu, satu hal yang ia ketahui, ia mengerti benar bahwa ia tidak memiliki opsi selain terus menyeret kaki mengikuti detik waktu yang belum berhenti.

Tidak peduli peradaban manusia yang mengalami keruntuhan.

Tak hirau akan dunia yang berada di ambang kiamat.

Tanpa bertanya mengapa, ia 'kan terus melangkah menjalani kehidupan.

~KHxDD~


End notes: For all reader, terlebih untuk yang nyempetin sedikit waktu untuk ninggalin review, minna saiko arigatou.