Suara bising membuat Eren tersentak dan berlari ke dapur. Itu pasti Levi, dan firasatnya benar, Eren mendapati bau telur nyaris gosong menyeruak, peluit cerek berdenging, gelembung-gelembung panas air menguap menggerutu, gelas porselein Levi telah berakhir hancur di lantai. Eren mendesah lemah, melihat Levi sedang mencoba menyediakan sarapan berakhir gagal membuatnya ngilu.

"Oh, Levi... Kenapa kau tak memanggilku... Aku bisa memasak untukmu." Eren menyapa pelan, lalu memutar tombol kompor. Api padam.

"Ah, Eren, kupikir aku akan membuat sarapan, tapi aku malah membuat gelas jadi pecah, hahaha..." tawa yang keluar dari mulut Levi sekilas terdengar terpaksa, walau sebenarnya Levi memang ingin tertawa lepas. Namun, Eren tahu bahwa Levi sulit melakukan hal itu, setiap otot di wajahnya akan tidak selemas dulu, kadang terasa gatal dan tampak memerah seperti daging mentah, kulitnya seakan-akan meleleh, dia tak punya alis lagi, kelopak mata semakin sipit, Eren tak bisa menemukan belahan poni berkilau Levi lagi, kulit kepalanya tak mampu menumbuhkan rambut hitamnya. Kebakaran 10 tahun lalu merampas sebagian kemampuannya; Levi sang 'fireman'. Tangan kirinya hancur dan terpaksa diamputasi, namun tangan kanannya masih bisa diselamatkan, api menjilat 40 dari persen tubuhnya. Dan bagian terburuknya adalah Levi kehilangan penglihatannya.

"Jangan bergerak, aku akan mengutip pecahan proseleinnya dulu," ucap Eren sembari membungkuk di sekitar kaki Levi, pria buruk rupa itu merasakan senggolan-senggolan dari tangan Eren pada sekitar kakinya, juga tetesan hangat yang ia pikir jatuh dari mata Eren. Levi membayangkan dirinya membentuk senyum tipis dari wajahnya tampannya dulu. Anak ini sedang menyembunyikan tangisannya dan dia tidak berhasil tapi tidak apa-apa, Levi tidak akan menyinggung hal ini. Selesai mengutip pecahan kaca, Levi merasakan tubuhnya dituntun oleh Levi kembali ke kursi.

"Oya, apa yang kita punya hari ini."

Eren terdengar seperti telah membelakangi meja kerja dapur, suara kulit telur menghantam bibir mangkuk.

Aroma bacon panggang menyapa hidungnya juga hangat dan gurihnya roti yang berada di pemanggangan. Jeda menunggu sarapan pun ditampung nyanyian Eren yang merdu. Ya, sekarang Eren sudah mau bernyanyi, dia belajar untuk membuang rasa bencinya pada musik sejak dia menunggu Levi di rumah sakit, awalnya terdengar kaku, Eren geli mendengar suaranya sendiri. Tapi lama-kelamaan dia mulai terbiasa sampai suatu hari dia menemukan bahwa dia menyukai hobi barunya itu.

Sarapan sudah matang dan kini terhidang di meja beralas kain katun bermotif kotak-kotak. Eren membantu menyuapi Levi dengan tulus. Aktivitasnya diselingi dengan percakapan mereka tentang rencana menikah Eren dengan gadis pilihannya dan projek seninya yang masih setengah jadi. Tapi Levi mendapat keyakinan bahwa Eren tak terlalu antusias saat dia menyinggung kata pernikahan.

Mendadak, potongan ingatan beberapa hari lalu kembali berseliweran, saat itu tanpa sengaja, dia mendengar pertengkaran Eren dengan Sasha. Gadis itu punya gagasan untuk mengajak kepada Eren memulai hidup di Amerika. Katanya, peluang untuk sukses dan terkenal lebih besar di sana. Namun Eren menolak mentah-mentah. Tanpa alasan apa pun. Shasha yang kesal beranjak pergi.

Jauh sebelum Eren mencetuskan alasan yang sesungguhnya, Levi tahu apa yang menyebabkan pemuda campuran turki itu termangu. Levi membayangkan perasaan serba salah yang menaungi Eren tatkala hendak menikah nanti. Tak selamanya Eren bisa menjaganya, suatu saat, rumah ini akan benar-benar tinggal seorang penghuni; dirinya, Levi Ackerman yang melankonis. Tak ada lagi nyanyian Eren dan petikan gitarnya, tak ada lagi sesi tanya jawab tentang menu sarapan pagi-dan juga malam. Tak ada suara goresan-goresan di atas kertas yang berbau baru. Tak ada aroma cat air-atau cat minyak yang menusuk deria pengendusannya. Kekehan Eren perlahan tenggelam pum begitu dengan bibilannya yang memaksa Levi untuk keluar merasakan dunia lagi. Makanya pagi ini Levi belajar untuk memasak sendiri; hanya sebatas upaya untuk menarik diri dari kenyamanan di bawah naungan Eren.

Selesai sarapan. Levi mendengar dentingan piring dan gelas yang beradu, kucuran air keran yang kencang dan suara lembut Eren yang bersenandung bercampur-aduk. Sejenak kemudian pemuda bermata emerald itu mendatanginya. Tangan cacat Levi kini berada dalam genggaman pemuda itu, dingin dan berbau sabun lemon. Eren pamit pergi untuk ketemu seseorang dan mewanti-wanti Levi untuk segera menghubunginya jika butuh sesuatu. "Hanya sebentar," katanya.

Tapi Levi sungguh merasa keberatan, makanya jemari Levi-yang kulitnya menyatu satu sama lain- kini enggan melepaskan tangan Eren, rasa-rasanya ini akan jadi kebersamaan terakhir mereka.

"Ada apa? Levi?"

Diam yang menghipnotis Levi membuat pemuda itu kembali bertanya.

"Ada sesuatu yang aneh?"

"Oh..." Levi tersadar dari lamunannya.

"Bisakah kau membelikanku buku braile yang baru, aku sudah selesai membaca buku yang kemarin."

"Buku braile? Baiklah, tapi itu ada di pusat kota dan aku akan pulang sedikit terlambat, apa kau tidak apa-apa?"

"Tak masalah, aku sudah bosan membaca buku yang sama setiap hari."

"Kalau begitu aku pergi sekarang, jika sewaktu-waktu kau lapar semua makanan ada di meja, kau tinggal menelan mereka sekaligus."

"Aku bukan hewan buas."

"Hahaha... Easy, old man," Eren terbahak sejenak. Rasanya kurang lengkap jika sehari tidak mengusili Levi.

"Aku pergi dulu," kata Eren menepuk bahu Levi. Pelan. Sebentar. Menyisakan nyeri. Lalu Levi mendengar suara pintu merapat, bau rambut tengik Eren ikut menguap. Levi bertahan di kursi untuk beberapa lama, terlibat dalam sebuah pemikiran panjang tentang masa depan Eren dan ide sekilasnya untuk pindah ke rumah peninggalan orang tua angkatnya di Baden-wutterberg. Detik itu juga, Levi menarik sebuah buku kecil dari saku jaketnya. Dia merobek sehelai kertas, lalu menuliskan sesuatu di atasnya dengan susah payah, mengikut insting, hasil tulisannya mirip dengan tulisan Eren tatkala pertama kali belajar menulis, setiap hurufnya jauh dari kesan teratur, tanpa garis tegak yang tegas. Garis miringnya terlihat meragukan, begitu pula dengan huruf-huruf a, e, o, u dan teman-temannya yang berbentuk di luar ekspektasinya. Kertas putih itu bertransformasi, menyerap isi hatinya. Levi meraba-raba sekitar; meja, kursi, dinding hingga dia menemukan tongkat penemannya. Levi pun bangkit, pelan-pelan menuju meja kayu di samping pintu, sekali lagi meraba-raba meja yang berdebu itu, di sana ada sebuah bunga mawar di atas pot kecil yang tak pernah jadi perhatian Eren, di sanalah dia menyandarkan kertas tersebut.

Lalu dia menelepon seseorang.

.

.

.

Chevrolet tua Eren memelan di parkiran sebuah kafe. Dari jauh dia bisa melihat Sasha menjulurkan leher, tangan wanita itu melambai, sebentuk senyuman girang terukir di wajah. Eren mendekat setelah memarkir mobil.

"Babe, sudah lama?" kata Eren setelah memberi kecupan singkat pada kekasihnya.

"Lumayan lama, aku seharusnya marah padamu karena kau membuatku menunggu, tapi aku heran kenapa saat melihat wajah polosmu itu... Ah, aku benci untuk megakui bahwa aku lupa untuk marah, kau ini berbakat sekali merusak mood orang, Eren."

"Well, tak ada yang bisa kulakukan untuk hal itu," Eren menjungkitkan bahu bangga, membuat Sasha makin cemberut namun Eren berhasil mencairkan suasana dengan gurauan bodohnya. Sejenak kemudian sunyi menginvasi. Sasha merenung sesaat sebelum menyodorkan sebuah amplop, tentunya dia mendapatkan reaksi bingung dari Eren.

"Bacalah," pintanya teragak-agak. Eren yang sedang tak ada mood untuk main-main segera membuka lipatan amplop. Di detik berikutnya keningnya mengerut. Dua lembar tiket pesawat dengan tujuan U.S.A dan sebuah kunci apartemen tak mampu menjawab pertanyaannya. Penjelasan pun mengalir sampai ke akar-akarnya, tentang impian-impiannya dan Eren, tiket keberuntungan, apartemen hadiah dari Papanya, menikah, punya anak, dan Eren termangu, tercengang membayangkan semua yang akan dia jalani. Tak ada Levi, pria tua hodoh itu sama sekali tak termasuk hitungan. Eren mencelos. Dia tak mungkin meninggalkan Levi, tidak, walaupun dia sudah menikah, Levi membutuhkannya, siapa yang akan membersihkan rumah jika dia pergi? Siapa yang akan memasak? Siapa yang akan menemani pria cerewet itu mendengar dan seperti yang ia duga, Sasha membalas dengan sirat kekecewaan yang amat sangat.

"Come on honey, bukankah ini suatu hal yang normal? wajar bukan jika seorang anak yang sudah dewasa, pergi meninggalkan rumah, mandiri, menemukan cita-citanya, cintanya, tidak ada orang tua yang akan menahan sang anak di bawah ketiaknya selamanya. kau pasti mengerti, kan?" pintanya dengan nada berharap.

Diam membatu, iris emerald Eren bergerak-gerak. Berlayar dalam dilema.

"Hhmm... Aku mengerti kekhawatiranmu, tapi di saat yang sama aku percaya Paman Levi juga menginginkan hal ini, baiklah. Begini saja. Aku punya beberapa kenalan di yayasan Hark-"

"Tidak! Levi tak akan ke mana-mana. Tidak akan," Eren tiba-tiba memotong dengan emosi, untuk saat ini yang ada di pikiran Eren adalah, jika Sasha benar-benar ingin menggapai impiannya dia tidak keberatan. Eren tak punya hak memaksa Sasha mengikut jalan pikirannya. Usul untuk membawa Levi ke yayasan telah menguak kembali perasaan bersalah yang bertahun-tahun menggerogotinya.

"Apa kau tahu kenapa Levi bisa berakhir seperti itu?"

Tatapan Eren seakan hendak mengeksekusi. Kali ini Sasha yang diam.

"Harusnya aku jadi bocah yang keras kepala siang itu, harusnya aku tidak mengikuti intruksinya, aku ini tinggi, kuat, bisa saja lebih kuat dari Levi, tapi kenapa aku tidak berbalik ke pintu itu, menarik kerahnya atau apa pun yang bisa kucekal untuk membawanya keluar dari neraka mini itu?"

"Maaf... Maaf jika ini kedengarannya egois Sasha. Tapi kurasa ini terlalu... Hah! Levi hanya satu-satu keluargaku. Aku harap kau paham."

Eren merasa percakapannya harus berakhir hari ini, menyodorkan kembali amplop kecoklatan tersebut dan beredar sebelum Sasha sempat berkata apa-apa. Dia tahu dia telah berlaku kejam terhadap wanita itu, tadi dia sempat melihat mata berkaca-kaca Sasha. Tapi Eren siap dengan dampak terburuknya.

.

.

.

Perasaan mengganjal membuat Eren menyetir pulang, dia bahkan lupa untuk mampir ke toko buku dulu. Ketika dia benar-benar tiba di rumah-di kawasan subrbun. perasaan itu semakin bergetar.

"Levi!"

Hanya suara kenderaan lalu lalang yang menjawab. Entah kenapa hari ini Eren melihat rumah ini seolah-olah tak bernyawa.

"Levi, aku pulang," laung Eren, melewati garis pintu. Suara 'ngik' mengiringi gerak daun pintu. Kemudian sepi. Eren menyusuri area ruang tamu dengan dengan semakin bergejolak-dia melakukan hal yang sama terhadap kamar mandi dan dapur. Meja makan penuh. Makanan masih utuh. Eren berniat mengecek lantai atas namun atensinya terhenti, setelah tanpa sengaja melihat selembar kertas di samping pot bunga. Dia ingat bahwa dia tak pernah menyimpan kertas di sana.

Eren menelan saliva. Pelan-pelan, mendekat ke meja dengan perasaan lebih dari sekadar bertanya-tanya. Segala macam hal buruk menumpuk dalam otaknya. Nota itu telah pun berada di tangannya, dia mendengar deru napasnya yang tertahan dan dibacanya tulisan berantakan itu dengan teliti.

"Teruntuk Eren,

Maaf jika aku harus mengatakan ini lewat surat kecil ini, aku ragu apakah tulisanku masih bisa dibaca atau tidak, kuharap masih bisa dibaca.

Eren, ketika aku mengenalmu di ambulan tua itu, aku tahu aku telah menemukan berlian dari sekian banyak permata. Bersamamu aku mendapatkan banyak arti kehidupan. Arti Tanggungjawab. Percaya. Empati. Cinta sejati. Aku belajar bagaimana menjadi seorang ayah yang baik, manusia yang baik-baik. Walau aku masih jauh dari istilah itu.

Eren masih ingatkah kau,

Bahwa di suatu pagi, kita pernah bertengkar, aku yang terlalu hygenis tak berhenti mengomelimu untuk bersih-bersih. Sementara kau sering mengomeliku untuk mencari pacar.

Aku tertawa saat mengingatnya. Kadang aku juga menangis saat mengingatnya.

Eren, bocah kecilku, ketahuilah. Saat api itu memusnahkan diriku, aku tidak bertanya kenapa. Aku tidak menyesali kondisiku karena sejak awal aku tahu bahwa lambat laun aku pasti akan mati. Tapi ajaibnya, aku tidak mati, tapi hidup sebagai bebanmu selama bertahun-tahun bahkan sampai sekarang. Pernah, suatu malam aku hendak mengakhiri hidupku, menegak racun tapi membayangkan dirimu di samping ranjangku, duduk, tertidur berbantal lengan. Membayangkanmu menyuapiku, menyeka busukku, membuatku menangis untuk pertama kalinya. Pada malam itu aku bertekad untuk sembuh.

Eren, yang ingin kukatakan padamu adalah, terima kasih telah membuat kisah yang indah dalam kehidupan pria malang ini. Jika kau tiba di Amerika nanti, berusaha keraslah, jadilah pria bertanggungjawab dan setia. Jangan sia-siakan pasanganmu.

Seseorang yang berangan menjadi ayahmu,

Levi ackerman.

Kertas itu remuk dalam genggamannya. Tungkainya melemas. Dia terduduk seketika.

"Kenapa! Kenapa kau selalu mengambil keputusan sepihak? Kau tak berhak menentukan yang terbaik untukku, kau tak tahu apa yang baik dan buruk untukku! Ayah sialan!"

Teriakan levi menghambur, pipinya basah. Tapi hanya sejenak, karena tiba-tiba kelopaknya dibuat melebar luas. Dia masih tersengguk-sengguk seperti anak kecil saat mendengar suara ketukan demi ketukan yang familiar-ketukan tongkat putih Levi pada lantai. Seketika Eren bangkit melongok pada pada area tangga.

"Eren? Eren, kau kah itu?"

Itu suara Levi.

"Iya... Ini aku," kata Eren setelah berdehem, menormalkan nadanya agar tak terkesan cengeng.

"Oh, Eren, kelihatannya, kau sudah pulang," ujar Levi. Eren melihat Levi melangkah pelan. Menghitung setiap anak tangga. Eren merapatinya, menuntun pria tua hodoh itu sampai ke sofa. Eren juga melabuhkan pantat ke sofa. Seandainya Levi bisa melihat wajah ua sekarang niscaya, dia akan mendapatkan tatapan penuh kemarahan. Sebuah tas sederhana besar tersampir rapi pada lengan kiri Levi. Eren menebak tas itu berisi pakaian Levi.

"Kau tidak jadi ke populer bookstore? Bukankah seharus kau masih berada di sana?" kata Levi sembari membenarkan posisi tali tas sederhana besar yang tersampir pada lengan kirinya. Gerak-geriknya tampak kegugupan. Eren menebak tas itu berisi pakaian Levi.

"Kau mau ke mana, Levi?" bukan menjawab, Eren malah balik bertanya, setengah hatinya masih jengkel.

"Apa maksudmu,dengan surat itu? Kau sengaja melakukan ini supaya aku tidak cepat pulang, supaya kau bisa mengemasi barang-barangmu. Demi Tuhan Ay- Levi, aku... Aku tak akan memaafkan dirimu jika kau melakukan hal itu," Emosinya tersekat-sekat. Hampir saja dia memanggil Ayah-walaupun, sebenarnya dia sangat ingin memanggil ayah.

"Sepertinya aku terlalu cepat meletakkannya di sana. Ah, harusnya kutinggalkan sesaat sebelum aku berangkat... Hahahah.. aku sudah tua. Orang tua akan sembrono sekali," Levi terkekeh, mengetuk-ngetuk lantai dengan tongkatnya.

"Kau belum menjawab pertanyaanku."

"Eren, aku akan pindah ke panti."

"Atas alasan apa? Ini rumahmu, rumah kita, kalau aku berbuat salah muntahkan saja semuanya supaya aku mengerti dan memperbaikinya, Lagipula, kalau kau sudah tidak sayang pada bocah sialan sepertiku seharusnya aku yang pergi bukan kau!"

Memicing, denyut jantung Eren memompa kekesalan. Tapi pria botak di depannya ini tetap tenang.

"Sebentar lagi mereka akan datang menjemputku, keputusanku sudah bulat. Eren dengarlah nak, kau sudah dewasa, aku tak mungkin menjadi orang egois yang mencuri sebagian waktumu demi mengurusiku. Aku bisa mandiri sendiri, kau akan menikah, jika perlu kuingatkan," tutur Levi tapi seratus persen tidak membuat Eren yakin, kejadian memasak sarapan pagi ini salah satu dari sekian fakta yang mendukung keraguan Eren.

"Aku... Aku..." bahu Eren melemas, turun dari sofa, melutut di depan Levi, sayang sekali Levi tak melihat mata memohon Eren. Kedua tangannya kini menumpang pada dengkul Levi. Eren mengutuk diri karena sehari ini, sudah dua kali dia cengeng. Dan ini akan jadi yang ketiga.

"Tidak akan ada pernikahan kalau begitu, Ayah..."

"Apa kau bilang?"

"Ayah, kubilang Ayah," intonasi Eren terdengar tegas. Wajah hodoh di depan Eren terpana. Satu kata yang telah lama didamba Levi, sejak bocah itu masuk dalam kehidupannya. Dan Levi ingin mendengarnya lagi dan lagi, sebelum akhirnya dia mengisi sore dengan omelannya terkait sikap Eren yang tega mematahkan hati seorang wanita. Mereka pun berdebat sampai penat, tapi berakhir seri, Eren berjanji akan meminta maaf pada Sasha dan Levi berjanji tak akan pergi. Sore pun mendekap hangat bersama satu hal yang berhasil mematahkan keresahan mereka.

"Ayah."

Satu panggilan sederhana.