Bersin berkali-kali yang melanda Levi pada minggu pagi, telah mengantarkan Eren pada kamarnya yang berantakan. Levi yang super pembersih jadi makin alergi untuk 10 tahun terakhir ini. Biasanya Eren tak akan membiarkan kamarnya kotor-sama halnya dengan ruangan lain di rumah, dia harus menciptakan lingkungan yang steril untuk Levi. Bisa atau tidak dia akan menyempatkan waktu untuk bersih-bersih dan dia melakukannya dengan ikhlas. Tapi pekerjaanya yang menumpuk menghalang niatnya. Eren menghela napas melihat kamarnya yang berantakan, mau tak mau, Eren memulai aktivitas dengan menumpuk semua buku, lalu menyimpannya di perpustakaan mini di pojokan kamar. Di sana dia menemukan buku diary lamanya. Diary pemberian Levi yang telah lama dia lupakan. Entah kenapa buku itu seakan memohon simpatinya disentuh.

Buku ini usianya 10 tahun- atau bahkan lebih. Jemarinya bergerak, mengusap kulit buku yang berdebu, halamannya menguning, sebagian dimakan rayap. Buku ini bertransformasi dari buku anyar menjadi sebuah buku usang dan jelek. Seperti buku ini, Eren juga mengalami masa-masa transformasi, Sekarang dia adalah pemuda berusia 25 tahun, sebentar dia akan menikah. Tapi saat ini, Eren tak ingin membiarkan pemikirannya mengingat kata 'pernikahan'. Karena ada seseorang yang juga harus menjadi bagian penting dari pernikahan ini.

Levi Ackerman.

Pria itu pendek dan tampak lemah, namun di mata Eren, Levi adalah orang paling perkasa yang pernah dia temui. Orang bilang, Levi berusia 35 tahun saat Eren pertama kali bertemu dengannya, sementara Eren sendiri masih seorang bocah ingusan yang suram. Dan pertemuan mereka terjadi pada sebuah sore kelam, di Söllingen, kota kecil yang berbatasan langsung dengan Karlsruhe. Eren sedang menggambar di ruang tamu. Sampai tiba-tiba sebuah ledakan terjadi, kekagetan merasuknya. Lolongan yang mengerikan membuat sendi-sendinya tak mampu bergerak. Dia melihat dua manusia berselimut api, Ayah dan Ibu. Api merambat dari dapur, Eren masih mengingat suara desisannya, umpama monster yang hendak menerkam. Yang mampu dia lakukan hanya mengumamkan nama Ayah dan Ibu berulang-ulang.

Dia melihat mereka berdua menggelepar penuh kesakitan. Eren berteriak dalam isakan putus asa, dia tak berani mendekat karena suhu berubah panas, asap membuatnya dadanya sesak. Matanya perih. Lalu dia mendengar suara pecahan kaca sangat keras. Seseorang telah menerobos masuk. Lalu, yang Eren rasakan adalah tubuhnya terangkat, berguncang dalam gendongan seseorang, Eren bisa melihat tangannya yang masih menggenggam crayon. Buku gambarnya terjatuh di sana dan terbakar.

Tahu-tahu saja, Eren sudah berada dalam perut ambulan. Siren polisi memekakkan telinga. Petugas damkar bahu-membahu meredakan api. Semua orang bersorak, memuji aksi heroik pria itu yang telah menyelamatkannya itu.

Pria itu masih di sampingnya.

Eren mengingat setiap helaan napas yang berembus dari mulut pria itu. Dia sedang menyandarkan punggung di dinding ambulan, wajahnya basah oleh keringat dan darah, sesekali dia mengaduh saat lengannya tersenggol. Rupanya, dia mendapat luka di sana.

"Anak yang kuat. Siapa namamu?" ucapnya.

Eren tak mampu menjawab lalu menangis keras.

"Ibu... Ayah... Aku mau Ibu dan Ayah..." Meski masih bocah, Eren sudah cukup pintar untuk memahami logika bahwa api yang melahap tubuh orang tuanya telah membuat mereka terluka-atau bahkan mati.

Pria itu bangkit, lalu menjongkok di hadapannya, upaya untuk membuat mata mereka sejajar telah berhasil. Eren bisa melihat mata cekung pria itu, bola mata sekelam malam. Poni belah tengah yang berantakan tapi berkilauan. Kehadirannya adalah sebuah ketenangan.

"Kau suka menggambar?" tanyanya saat melihat crayon dalam genggaman Eren, sang bocah mengangguk, pria itu mengusap wajah Eren, lalu menyampirkan kedua tangan pada pundaknya.

"I-iya... Aku sedang menggambar pohon... Tapi tiba-tiba ayah dan ibu..." Eren tersengguk-sengguk. Tak mampu menyelesaikan kalimat.

Pria itu tertunduk lemah. Ekspresinya seolah-olah mengiyakan fakta menyakitkan itu. Tapi isakan bocah kecil di depannya ini telah mampu menyentuh titik hatinya yang terdalam. Eren mengingatkannya pada dirinya dulu; Levi kecil yang tak punya orang tua dan sendirian. Levi berjuang hidup dalam kejamnya kota. tuanya ditembak mati oleh sekelompok geng mafia, di depan matanya sendiri. Levi menggelandang dan mengemis sampai beberapa orang dari yayasan mengantarkannya kepada sepasang suami istri untuk diadopsi dan menjadi Levi yang sekarang. Levi sang 'fireman' yang bernyali besar.

"Aku tahu... Ini adalah situasi yang sulit. Aku pernah mengalaminya, aku ikut bersedih, boleh aku memelukmu?" jemarinya kini menghapus air mata Eren. Tanpa berkata lagi, Levi membawa bocah itu dalam sebuah pelukan. Dia menangis sendu. Levi menenangkannya. Levi menunjuk ke arah sebuah padang ilalang yang sangat jauh di kaki gunung, yang masih bisa dijangkau mata. Levi menceritakan bahwa di sana ada beruang dan burung-burung liar, Eren mulai bertanya tentang beruang dan berlanjut dengan pertanyaan lain. Lambat-laun isakan Eren teralihkan oleh ceritanya. Dengan terkejut, Levi merasa sebagian kehampaannya tergelontor oleh cahaya kepolosan sang bocah.

"Kalau kau merasa sedih, aku ada di sini untuk menemanimu. Aku akan selalu ada," kata Levi.

Tiba-tiba Levi menepuk jidat. Dia melupakan sesuatu. Dia belum memperkenalkan dirinya.

"Aku Levi, dan apa kau mau berteman denganku?"

"Namaku Eren, Eren Jaeger." Eren mengangguk dan mengulur tangan. Mereka berjabat tangan sebentar. Rasanya hangat.

Sebuah ikatan telah terjalin. Lalu terputus oleh tindakan seseorang yang membujuk Eren untuk ikut bersama mereka. Lagi-lagi bocah bermata emerald itu digendong seorang petugas pemerintah. Eren memandang Levi yang masih tinggal di tempat, yang turut memberikan tatapan berharap padannya.

Pertemuan mereka yang kedua terjadi dua tahun setelahnya. Bocah itu sedang duduk sendirian di ruang kantor yayasan. Levi bisa melihatnya dari sini, alih-alih hendak menyapa, Levi malah terpatung di ambang pintu. Levi terkejut melihat perubahan bocah tampan itu, pipinya yang gembil kini menyusut, matanya sarat akan akan kemarahan. Levi menimbang-nimbang mungkin bocah itu sudah setinggi pinggangnya. Eren sudah menjalani hal ini selama dua tahun; berpindah-pindah kota, gonta ganti orang tua angkat, mereka bilang sikap tempramen Eren telah membuat mereka putus asa dalam mengasuhnya. Eren sering berbuat onar, berkelahi dengan teman-teman sekolahnya, merusak bahan berharga keluarga angkatnya. Mengamuk dan bisa ditebak, setiap bulan dia akan berakhir di sini. Menunggu orang tua angkat baru. Yayasan nyaris putus asa dan berencana memasukkan Eren ke panti asuhan sehinggalah kedatangan Levi pagi ini.

"Levi?"

Levi menemukan dirinya terkejut bahwa anak itu masih mengenalinya. Sirat berbinar pada wajah Eren menuntunnya untuk melangkah melewati garis pintu. Levi tahu bahwa dia melangkah pada fase baru di kehidupannya.

"Apa kau mengenalku?"

"Tentu saja! kau adalah pahlawanku. Aku tak akan melupakanmu. Levi." bocah itu telah bangkit dari kursi dengan bungah. Eren melihat setiap langkah Levi yang datang dengan perkasa. Lalu dia mendapatkannya lagi; sebuah selukan sekilas sebelum mereka duduk berhadapan, dengan meja yang menjadi pemisah mereka. Percakapan dimulai dari hal-hal yang ringan, berlanjut ke cerita tentang kekesalan Eren terhadap anak-anak yang ingin mencelakainya. Tak perlu menunggu waktu lama untuk Eren menyemburkan isi hatinya.

"Aku tidak mau! Aku benci mereka di mana pun aku berada aku akan kesunyian. Mereka menuntutku untuk menjadi ini dan itu. Aku tidak suka saat mereka memaksaku untuk les musik, mereka bahkan menyuruhku tidur awal. Mereka tidak memandangku seperti Ayah dan Ibu memandangku, aku tahu mereka semua tidak ikhlas menerimaku. Jika bukan ayah angkat, ibu angkatku. Walaupun mereka menyembunyikannya, tapi akutahu."

"Kau merindukan mereka?" ucap Levi tiba-tiba. Levi menduga, bahwa perilaku tempramen Eren itu tak lain karena rasa rindu yang tertahankan dalam hati Eren.

"Siapa?"

"Ibu dan ayahmu. Kau hanya merindukan mereka, Eren," kata Levi lembut.

"Tapi mereka sudah meninggal. Aku tahu orang yang sudah meninggal tak akan hidup kembali," balas Eren cuek.

"Hei, Eren kau tahu, ada satu cara untukmu menyampaikan rasa rindu itu."

"Benarkah?"

Eren melihat Levi mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya. Sebuah buku kecil. Dengan kulit buku warna warna coklat. Levi mengulurkan padanya.

"Buku?" sekali lagi Levi membuatnya bingung.

"Di sini, kau bisa menjadi siapa saja. Kau bisa mempertemukan dirimu dengan siapa pun yang kau mau."

"Benarkah? Bagaimana caranya?"

"Menulislah. Dengan begitu kau bisa mengatakan isi hatimu, kemarahanmu, kebencianmu, lalu kau tutup kembali bukunya, biarkan ia terpendam di setiap lembarnya. Termasuk rasa rindumu."

"Apa ini akan berhasil?"

"Ya... Kupikir ini berhasil pada diriku," penjelasannya membuat emerald itu terpana.

"Apa Ayah dan Ibumu juga sudah meninggal?" gumamnya dengan nada sedih.

"Ya... Mereka meninggal."

Menyadari bahwa pria di depannya ini punya nasib yang sama membuat Eren terhinotis untuk melakukan hal yang sama. Dia tidak berpikir untuk mencurigai Levi.

"Aku akan mencobanya," putusnya saat itu juga. Buku kecil itu telah berada di tangannya, jemarinya menyilak halaman demi halaman kosong. Sementara itu ruangan ini diam dalam kegugupan Levi yang sedang mengumpulkan keberanian untuk menyampaikan niatnya.

"Eren, boleh aku bertanya sesuatu padamu?," akhirnya Levi bersuara.

"Ok, kau boleh bertanya." Kata Eren tanpa memandang Levi karena sibuk menuliskan sesuatu pada halaman pertama. Dia menuliskan namanya sendiri.

"Apa kau mau ikut denganku? Tinggal bersamaku?"

Tulisannya terhenti, Eren mengangkat wajah. Menatap Levi dengan pandangan aneh.

"Jadi kau ke sini untuk menjadi orang tua angkatku yang selanjutnya?" tebaknya.

"Kurasa aku tidak pantas, tidak ada yang bisa menggantikan posisi Ayah dan Ibumu. Tapi aku akan berusaha membuatmu senang."

"Dan kau tak perlu memaksa dirimu untuk memanggilku Ayah."

Tali kepercayaan telah terulur. Eren berpikir untuk menerimanya, lagipula Levi adalah pahlawannya.

"Bagaimana? Kau mau?" tanya Levi sembari memiringkan kepala. Eren melihat jemari Levi yang gemetaran, dia menyamarkannya dengan mengetuk-ngetukkan jemari di meja. Walaupun Eren bingung akan perlakuan aneh itu, tapi dia segera beranjak dari kursi dan mendekati pria itu.

"Apa kau berjanji akan membawaku ke gunung?"

Pria itu membalas dengan tertawaan kecil tapi dia berjanji untuk membawanya. Rasanya Eren tak punya alasan untuk menolak Levi.