.

.

A VKook Fanfiction

Disclaimer: I own nothing except the story line

Genre: Supernatural, Romance

Rated: M for the theme

Boy x boy, typo, ambigu, banyak istilah asing, swearing, harsh words, umpatan kasar

Werewolf!AU

.

.

"the Omega's Howl"

the Omega

Aku menundukkan kepalaku, duduk di samping seorang wanita yang diam-diam meremat tangan kananku lembut. Tanpa melihatnya pun aku tahu, ia tengah tersenyum.

Ibuku tengah tersenyum kepadaku. Ia mencoba membuatku merasa lebih tenang karena bagaimanapun, ini terasa begitu tidak nyaman.

Kami duduk di ruang keluarga dengan sofa yang berjajar membentuk letter U. dan aku tepat berada di tengah. Di sebelah kiriku, kakakku Yoongi terdengar beberapa kali menghela nafasnya berat. Aku tidak tahu mengapa, tapi berada di samping Yoongi hyung selalu berhasil membuatku merasa nyaman, sekaligus resah pada saat yang bersamaan.

Alpha duduk di sofa yang berada di sebelah kiri. Wolf-nya terdengar marah, dan itu sukses membuat wolf-ku semakin ciut. Namun dengan segenggam keberanian yang kupungut dari serpihan harga diriku, diam-diam aku memberanikan diri untuk melirik Namjoon hyung. Ia menggertakkan giginya, sepasang matanya berkilat saat menatap tajam pria yang duduk berseberangan dengannya.

Victory, begitu katanya tadi.

Aku tidak tahu kenapa, tetapi aku tidak percaya itu benar-benar namanya.

Entahlah, aku merasa bisa menebak bahwa ia tengah membual ketika mengucapkan kata victory sebagai namanya.

Aku kembali menunduk, menatap tangan kananku yang bertautan dengan tangan kiri ibu. Tangan ibu selalu terasa hangat dan menenangkan. Aku menyukainya.

Kelak, saat aku diperbolehkan untuk jatuh cinta, aku ingin pasanganku selalu menggenggam tanganku erat dan membuatku merasa nyaman, seperti yang biasa ibu lakukan kepadaku.

Kelak… saat aku diperbolehkan jatuh cinta.

Aku terkekeh lirih saat mengingat sesuatu, bahwa jatuh cinta bukanlah hal yang ditakdirkan untukku.

"Ada apa, hm?"

Suara itu begitu lembut berbisik di telingaku, diikuti usapan halus di punggung tangan yang tengah digenggamnya.

Aku menggeleng ringan, sedikit mendongak untuk memberikan seulas senyum kepada ibuku. Setelahnya, aku lagi-lagi menundukkan kepala.

"Aku suka melihat wajahmu, kenapa kau tidak menatapku seperti tadi?"

Suara bernada rendah itu begitu tenang mengalun di telingaku, seakan tengah melantunkan lagu yang sarat akan perasaan rindu.

Jantungku berdebar tak karuhan, membuatku mengeratkan genggaman tanganku pada jemari ibu, berharap agar diriku sendiri merasa lebih tenang.

Kalau boleh jujur, wolf-ku saat ini tengah meronta, menginginkan supaya aku mendongakkan kepala, lalu menatap mata tajamnya yang berwarna abu-abu gelap, menenggelamkan diriku di dalamnya, dan menghilang. Sungguh, wolf-ku seakan terhipnotis olehnya.

Tidak. Aku tidak boleh melakukannya.

Alpha-ku adalah Namjoon hyung, bukan pria asing bernama Victory yang tiba-tiba datang dan berkelahi dengan Hoseok hyung.

"Jaga ucapanmu." kali ini Namjoon hyung yang bicara. Nada suaranya terdengar datar, tapi aku bisa merasakan amarah di dalamnya. "Kau tidak diharapkan di sini, kembalilah ke asalmu."

Dan tawa itu terdengar hambar.

Pria yang mengaku bernama Victory sedikit menggelengkan kepalanya kala tawanya yang menggelegar mulai mereda. Ia beberapa kali berdecak, lalu menatap Namjoon hyung dengan wajah bengis yang seakan mendeklarasikan tantangan.

Dasar cari mati.

Seharusnya, aku merasa terhina karena alpha kelompokku mendapat perlakuan seperti itu, bukannya malah menahan senyum yang disebabkan oleh tingkah Victory, si pemuda yang cari mati.

"Ini, rumahku, Joon." gumam Victory dengan nada meremehkan.

Aku menoleh sekilas ke arah ibuku yang menggertakkan giginya sebelum melirik pria bersurai abu-abu yang kini menatap lekat alpha. Sudut bibir sebelah kirinya terangkat naik, menunjukkan taringnya yang terlihat tajam.

"Aku yang seharusnya kalian panggil alpha, bukan dirimu."

"Jaga mulutmu, keparat! Bahkan kau bukan bagian dari kami!" Yoongi hyung, yang sedari tadi diam, kini ikut angkat bicara. Ia beranjak dari kursinya, lalu dengan segera melompat ke hadapan Victory.

"Hyung!"

Aku menutup mulutku rapat-rapat, bahkan menumpuknya dengan kedua tanganku, seakan berusaha untuk membungkamnya supaya tak lagi dapat mengeluarkan suara.

Mataku bergetar, seluruh tubuhku serasa lemas.

Aku, seorang omega, baru saja meneriaki sang beta dengan suara lantang.

Aku tidak bermaksud kurang ajar, sungguh.

Hanya saja, aku refleks berteriak ketika melihat kepalan tangan kanan kakakku menghantam rahang kiri pria bersurai abu-abu.

Aku hanya tidak ingin Victory terluka karena…

Karena…

Kenapa aku tidak ingin Victory terluka?

Ia adalah orang asing yang tiba-tiba datang dan bersikap kurang ajar kepada pemimpin kelompokku, wajar jika beta merasa marah dan memberikan pukulan sebagai peringatan.

Kenapa aku lebih mengkhawatirkannya ketimbang harga diri kelompokku yang baru saja diinjak-injak olehnya?

"Jungkook-ah…" ibuku bergumam lirih. Ia tersenyum saat aku menoleh ke arahnya, dan aku lebih dari sadar jika senyuman yang diberikannya untukku merupakan senyum miris yang langsung menggores hatiku.

Kepalaku menggeleng perlahan.

Aku hanya ingin meminta maaf kepada ibuku karena lagi-lagi aku membuatnya kecewa, dan yang kudapatkan hanyalah sebuah usapan di kepala.

Lagi-lagi aku membuat ibu terluka.

"Bibi, bawa Jungkook masuk ke kamarnya. Pastikan ia tidak keluar dari sana sampai aku sendiri yang menyuruhnya."

Dingin…

Suara alpha begitu dingin saat berbicara kepada ibuku, dan itu sungguh membuatku merasakan sesak di dada.

Ibuku mengangguk patuh, masih dengan senyum di bibirnya, namun aku tahu, hatinya tengah menangis pilu. Bagaimanapun, Namjoon hyung tidak pernah berbicara dengan nada seperti itu kepada ibuku, juga beberapa anggota kelompok yang memiliki usia lebih tua darinya. Meski dirinya berstatus alpha, seorang Namjoon selalu menghormati yang lebih tua. Baru kali ini ia bersikap tidak sopan kepada ibuku yang notabene lebih tua darinya, dan semua itu karena ulahku.

"Maafkan aku, ibu." bisikku saat wanita yang begitu kusayangi menggiringku untuk menaiki tangga. Kamarku ada di lantai dua, dan selama perjalanan menuju kamar yang terasa sangat lama, ibu hanya diam sambil menggenggam tanganku erat tanpa berniat menanggapi permintaan maafku.

Aku tahu, ia kembali merasa kecewa.

Ibuku tidak hanya mengantarku ke kamar. Ia ikut masuk ke dalam. Jemarinya yang tadi menggenggamku kini terlepas, lalu memutar kunci pintu berbandul dream catcher berukuran kecil, membuatnya terkunci dari dalam.

"Ibu ingin bicara denganmu." ucapnya kembali menggandengku. Ia mendudukkanku di tepi tempat tidurku sebelum akhirnya duduk di sebelahku. "Jungkook-ah?"

Ia memanggilku, seolah memastikan apakah aku ingin mendengarkan atau tidak.

Ini yang kusukai dari ibu; meski aku si payah omega, ia akan selalu menanyaiku sebelum melakukan sesuatu ataupun menyuruhku. Dan di saat-saat seperti itulah aku merasa sisi manusiaku dihargai sepenuhnya.

Aku mengangguk patuh, membuat ibu tersenyum tulus meski masih tersirat sedikit kekecewaan di sorot matanya. Sepasang telapak tangannya lembut membingkai wajahku sebelum ia kembali bicara.

"Ibu mohon, jangan melawan kakakmu, apalagi alpha, ya?"

Dadaku rasanya sesak sekali. Sorot mata ibu meredup ketika memohon padaku, dan aku tidak bisa melakukan apapun selain menundukkan kepala.

"Pria itu sangat berbahaya, tetaplah berada di belakang Yoongi atau Namjoon. Jika kau tidak merasa nyaman dengan mereka, kau bisa berlindung di belakangku. Meski sudah tua, aku ini ibumu. Aku akan selalu melindungimu."

Kekehan ibu terdengar hambar, dan masih hambar ketika aku menggelengkan kepala, pertanda bahwa aku tidak setuju dengan apa yang dikatakan ibu.

"Hoseok hyung terluka, kau juga bisa terluka…" aku menggantung kalimatku sendiri kala bibirku menyuarakan apa yang sebenarnya telah kusadari sejak awal.

Ya, pria bersurai abu-abu itu sangat berbahaya.

Seingatku, Hoseok hyung adalah mid-ranking wolf tercepat di dalam keluargaku. Ia bahkan beberapa kali mengalahkan kakakku, Yoongi saat adu kecepatan sebagai latihan fisik. Gerak refleks yang dimilikinya juga sangat bagus.

Di atas itu semua, Victory masih bisa menghindari serangan Hoseok dan membalasnya dengan sangat mudah.

"Maaf."

Aku bergumam, kembali mengutarakan maaf sekaligus mengisyaratkan bahwa diriku akan berhati-hati dengan pria bernama Victory.

Baru saja ingin kembali berbicara, aku terlonjak kaget. Ibu yang masih memegang pipiku tak kalah terkejut. Sesuatu di dalam dadaku seakan diremat, dan suara ribut mendadak memenuhi gendang telingaku.

"Diam. Tetap berada di sini bersamaku." ucap wanita yang masih setia membingkai wajahku dengan kedua tangannya. Ia memaksa, menatap lekat sepasang netraku dengan sorot yang sulit kujelaskan.

Ada kekhawatiran terselip di sana, juga rasa takut dan sepercik kemarahan yang tak mampu ditutupinya.

Kupejamkan mata saat mendengar geraman keras yang berasal dari lantai bawah. Aku mengetahuinya, itu suara Namjoon hyung, lebih tepatnya, suara wolf Namjoon. Aku juga bisa merasakannya, bahwa Yoongi juga telah berubah menjadi sosok serigalanya.

Dan ada satu lagi… aku merasakan keberadaan seekor lainnya yang begitu asing.

"Tetap bersamaku di sini, dan kau akan baik-baik saja."

Aku kembali mengangguk, menumpuk tangan ibuku yang kini menutup kedua telingaku. Mungkin, agar aku tidak mendengar suara benda-benda yang pecah atau terbanting, juga gertakan mengintimidasi yang disebabkan makhluk-makhluk berkaki empat di lantai bawah.

Kami terdiam selama kurang lebih dua puluh menit dengan jantungku yang berdetak menggila. Mungkin, ibuku juga mengalami hal yang sama.

Kami hampir menghela nafas lega kala semua keributan mulai mereda, namun teriakan yang menggema hingga ke kamarku membuat ibu refleks memelukku erat.

"Bajingan! Dimana kau sembunyikan milikku?"

Bukan, suara berat itu bukan milik alpha, bukan pula berasal dari beta, melainkan Victory yang terdengar murka.

Beberapa detik setelahnya, pintu kamarku ditendang hingga rusak, lalu sosok bersurai abu-abu itu berjalan masuk dengan raut wajah yang mengerikan. Bukan hanya ekspresinya saja yang menakutkan, telinga kirinya yang terkena cakaran hingga tulang selangka, lengan kanannya yang mengeluarkan banyak darah, juga kaki kirinya yang pincang menjadi penanda bahwa ia mendapat banyak serangan dari kedua pejantan terbaik di keluargaku.

Tapi fakta bahwa dirinya berada di kamarku saat ini adalah bukti bahwa alpha dan beta gagal menumbangkannya.

"Kau, ikut aku." gumamnya dengan nada rendah.

Ia yang entah sejak kapan tiba di hadapanku langsung menunjuk wajahku dengan jari telunjuk. Kukunya masih panjang, sepasang irisnya masih berwarna keemasan, pertanda bahwa dirinya belum berwujud manusia seutuhnya.

Ibuku bergerak cepat. Ia menarikku, lalu berdiri di depanku seolah menantang Victory dan melindungiku dari jangkauannya. "Kau harus membunuhku jika ingin membawanya."

Pria itu mendengus, ia meludah ke samping kiri, membuang darah bercampur saliva dari dalam mulutnya.

"Irene, aku tidak ada urusan denganmu. Minggir atau aku akan mematahkan lehermu."

Irene…

Tidak banyak yang mengetahui nama alias yang dimiliki ibu, tapi pria asing ini begitu fasih melafalkannya.

Kalau diingat-ingat, ia juga memanggil sang alpha dengan begitu kasual, bahkan sebelum ada perkenalan di antara mereka.

"Sebenarnya, siapa kau?"

Aku hanya ingin bertanya, sungguh. Karena sepertinya, hanya aku yang tidak mengenal pria yang kini menyeringai ke arahku.

Bibirnya menyeringai, sebelah tangannya bergerak cepat menghantam ibuku, membuat tubuh yang sering memelukku itu terlempar hingga menabrak almari.

Seharusnya, aku berteriak, atau segera berlari untuk menolong ibuku yang kini berusaha bangun dengan tubuh yang terluka, namun yang dilakukan tubuhku hanyalah diam mematung, terhipnotis oleh kilatan keemasan dari mata Victory.

"Jika kau ikut denganku, kau tidak akan tertindas lagi."

Seluruh sendi di tubuhku seakan melemas saat tangannya yang berdarah menyentuh pipi kananku, mengusapnya kelewat lembut. Seulas senyum tipis terlukis apik di bibirnya yang juga berdarah.

"Kau tidak harus menurut seperti pecundang, kau boleh protes jika tidak menyukai sesuatu, kau juga boleh memukulku jika aku memang pantas mendapatkannya. Tidak ada alpha, tidak ada beta, apalagi omega. Kau hanya perlu ikut denganku, dan hidupmu akan sempurna."

Sudah kubilang tatapan matanya sungguh berbahaya, ditambah tawaran yang ia berikan terdengar benar-benar menggiurkan…

Aku tidak pernah mengatakannya, tapi menjadi seorang pejantan omega adalah hal yang sedikit memalukan. Menurut, menurut, dan selalu menurut seolah aku tak memiliki keinginan sama sekali. Bahkan harga diri sebagai seorang pria saja, sepertinya aku tak punya.

Jadi… terlepas dari status omega sepertinya terdengar menggiurkan.

"Jungkook-ah…"

Aku menolehkan kepala ke arah ibu yang barusan memanggilku lemah. Ia berdiri dengan kursi belajarku sebagai tumpuannya. Sebelah tangannya memegangi perutnya yang sepertinya memar.

Aku tahu, ibu tidak ingin aku pergi.

Tapi apakah itu berarti bahwa ibu ingin aku menempati posisi omega hingga aku mati?

Bagaimanapun juga, ada sisi manusia di dalam diriku yang menginginkan sebuah kebebasan, tapi di keluarga ini, mengutarakan pendapat saja aku tidak bisa.

"Jungkook."

Dan hatiku bergetar kala mendengar namaku disebut oleh Victory.

Rasanya begitu menyenangkan dan… terasa bebas.

Ada kebebasan yang ia tawarkan untukku, dan di setiap hembus nafasnya, kebebasan itu turut bersamanya.

"Jeon Jungkook, mundur!"

Aku melangkahkan kakiku ke belakang sebelum jatuh terduduk di lantai. Seluuh tubuhku gemetar saat merasakan kemarahan alpha yang tertuju padaku.

Ahh… aku melupakannya.

Tubuhku masih berada di bawah kendali sang alpha. Apapun yang diucapkannya adalah mutlak bagiku.

Aku memiliki begitu banyak keinginan, namun yang bisa kulakukan hanyalah menundukkan kepala dan menurut dengan apa yang dikatakan sang alpha.

Ya… aku.

Si pecundang omega yang bahkan tak mampu menyuarakan apa yang kuinginkan.

Dan aku hanya bisa menatap Victory dengan mata bergetar kala Namjoon hyung yang baru saja masuk ke kamarku kembali ke wujud wolf-nya sebelum menerkam dan mendorong tubuh pria bersurai abu-abu itu hingga keduanya terlempar keluar dari jendela kamarku yang terlindung kaca.