04.

.

.

.

Polesan make up sempurna yang baru saja dikerjakan salah satu sahabatnya, sang make up artist terkenal bernama Kim Heechul, masih juga tak mampu menutupi ekspresi getir di wajahnya. Taeyong menghela nafas lelah, mamandangi bayangan dirinya melalui cermin berukuran setengah ukuran tubuhnya. Tema photoshoot di salah satu majalah fashion internasional kali ini betul-betul membuatnya merasa terbeban secara mental –membuatnya berniat untuk menolak projek kerjasama ini jika bukan karena permohonan dari sang manager, Kim Minseok.

"Astaga, Tae! Kau terlihat begitu mempesona… Aku sampai sempat tidak mengenalimu." Suara familiar milik managernya tedengar menginvasi ruangan rias yang sejak tadi hening tanpa suara.

Taeyong tersenyum simpul. Meskipun suasana hatinya sedang tidak begitu baik, bukan berarti ia bisa bersikap seenaknya pada Minseok –orang yang selama ini begitu berjasa pada perjalanan kariernya. Keduanya bertemu pada musim panas 10 tahun yang lalu, saat Taeyong baru saja kehilangan kontraknya disalah satu agensi model terkemuka di Seoul.

"Kau beruntung aku menyayangimu seperti saudara kandungku sendiri, kalau tidak, aku tidak akan mau repot-repot melakukan project ini." Jawab Taeyong merespon ucapan dari pemuda berwajah menggemaskan dengan ciri khas pipinya yang penuh.

Minseok menaikkan kedua ujung bibirnya, mengamati sosok cantik yang kini terlihat glamour dengan pakaian designer bertema haute couture wedding. Wajah Taeyong yang sejatinya telah tercipta sempurna, semakin nampak menakjubkan dengan hiasan make-up minimalis yang mampu menonjolkan semua kelebihan fitur wajahnya. Ia nampak seperti karakter dalam negeri dongeng, yang mampu membuat siapapun berdecak kagum. Tak terkecuali dirinya yang meski telah puluhan bahkan ratusan kali menyaksikan transformasi pemuda cantik itu, tetap saja merasa takjub.

"Sudahlah, kau lupakan dulu sejenak soal kekasihmu itu. Jika memang dia yang terbaik, dia pasti akan kembali kalau tidak kau bisa lupakan dia dan mulai mencari orang lain yang setidaknya lebih baik darinya." Minseok mulai berjalan mendekati sosok Taeyong, memasuki frame yang sama pada pantulan cermin. Ia menepuk pelan bahu Taeyong, berusaha menunjukkan simpatinya pada pemuda berparas elok yang kini terlihat memaksakan senyumnya.

"Jika kau mau, aku bisa menghubungi kekasihku, Jongdae dan memintanya mengenalkan beberapa rekan sesama dokter, yang mungkin saja bisa membuatmu tertarik."

Taeyong menggeleng lemah. Dirinya tahu apa yang ia inginkan, sosok yang selama ini telah bersama dengannya menjalin hubungan asmara –laki-laki berwajah tampan yang hangat namun penuh dengan misteri, Jung Jaehyun.

"Tidak, aku rasa aku tidak akan bisa, jika tidak bersama Jaehyun. Dia bisa saja bersikap sebagaimana yang ia lakukan padaku selama ini, dan pada akhirnya aku akan tetap mencintainya tanpa kurang sedikitpun. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika aku benar-benar harus berpisah dengannya. Selama beberapa hari ini aku bahkan berpikir untuk menghubunginya kembali, meskipun terpaksa aku gagalkan, karena aku ingin melihat usaha yang dia lakukan untukku, untuk hubungan kami…" Lirih Taeyong sendu. Terlihat jelas bagaimana ia berusaha menahan airmata yang mendesak untuk segera jatuh.

"Kau akan baik-baik saja. Aku yakin Jaehyun juga mencintaimu, dia hanya perlu waktu untuk menentukan sikap…" Ujar Minseok menghibur. Ia menggenggam kedua tangan Taeyong erat, memberinya kekuatan melalui gesture tubuh, sampai ia melihat perubahan di ekspresi wajah pemuda yang usianya lebih muda itu. Senyuman kecil yang terkesan sederhana namun ia yakini memiliki arti luar biasa bagi seorang Taeyong kali ini.

"Excuse me! Aku membutuhkan sang model untuk bersiap segera. Taeyong?"

Taeyong membenahi penampilannya untuk terakhir kali sebelum melambaikan tangan meninggalkan Minseok yang memilih untuk tinggal di dalam ruangan. Ia menarik nafas panjang, dan mulai menampilkan sisi professional dirinya, berjalan dengan anggun menuju spot dimana ia akan menjalani sesi photoshoot selama beberapa jam kedepan. Belasan staff terlihat memenuhi area studio yang telah dihiasi oleh pernak-pernik khas pernikahan modern. Dengan penuh percaya diri Taeyong mulai melakukan tugasnya sebagai seorang commercial model papan atas.

Tak jauh dari tempatnya melakukan sesi pemotretan, sepasang mata milik pria yang menjadi alasan dibalik kegundahan hatinya, terlihat mengamati dari balik tirai dengan perasaan bangga. Ya, Jung Jaehyun, pria tampan itu saat ini berada diruangan yang sama dengan sang kekasih yang sayangnya belum sempat menyadari kehadirannya. Pemuda cantik itu masih nampak fokus beraksi menampilkan beragam pose, bersama dengan seorang model lainnya.

Usaha sembunyi-sembunyi Jaehyun sayangnya harus diketahui oleh seseorang yang sudah tak asing lagi. Minseok sedikit terkejut menatap pria yang menjadi pokok pembicaraan antara dirinya dan Taeyong beberapa saat lalu, tengah berdiri nyata dihadapannya.

"Jaehyun?"

"Ssttt…" Buru-buru Jaehyun menarik lengan Minseok menjauhi studio tempat dimana Taeyong melakukan sesi foto. Minseok mengaitkan kedua alisnya bingung, sementara pria tampan yang membawanya ke koridor hanya tersenyum, menampilkan dimple yang menjadi daya tarik khasnya.

"Aku ingin memberikan surprise untuk Taeyong." Ujarnya sejurus kemudian, membuat Minseok betul-betul menatapnya terkejut, sebelum akhirnya ia terdengar mengeluarkan suara tawa kecil –begitu menyadari betapa lucunya adegan yang sedang saat ini tengah berlangsung.

"Kalian betul-betul tidak bisa terpisahkan ya?"

Pria bernama Jaehyun itu hanya menaikkan bahunya. Minseok kembali mengamati sosok Jaehyun dan mendapati sebuah buket mawar putih ditangan kiri laki-laki berwajah rupawan itu.

"Kau tahu, dia tidak membutuhkan buket mawar, yang dia butuhkan adalah kesediaanmu untuk menikahinya. Jika kau hanya berusaha mem-postpone keinginannya, percayalah, kau akan berakhir dengan membeli satu perkebunan mawar." Komentar Minseok.

Jaehyun hanya mampu termenung, diam-diam menyetujui perkataan yang disampaikan oleh pemuda imut bertubuh petite dihadapannya. Malam itu, Jaehyun betul-betul berpikir keras menentukan pilihan di antara saran yang diberikan kedua sahabatnya, Johnny dan Yuta. Sejujurnya ia begitu tergoda untuk mengikuti ide yang disampaikan oleh Yuta, namun ia sadar bahwa keinginannya untuk hidup bersama dengan Taeyong lebih besar dari rasa takutnya akan komitmen pernikahan –dan disinilah ia akhirnya memutuskan untuk mengakhiri semua kerisauan yang selama ini menjadi parasit dalam hidupnya.

"Aku akan berganti kostum sebentar, oh, ngomong-ngomong dimana Minseok hyung?" Suara samar milik Taeyong menyadarkan keduanya yang mulai bergerak panik. Oke bagaimana rencananya? Apakah Jaehyun memiliki rencana? Ayolah, berpikir!

Belum sempat keduanya memikirkan ide tentang bagaimana memberikan kejutan pada pemuda cantik itu, sosok Taeyong tiba-tiba saja muncul dari balik pintu ruang studio. Mata indahnya membulat sempurna menyaksikan laki-laki maskulin yang kini bergerak ke arahnya dengan sebuah buket mawar putih. Ekspresinya benar-benar terkejut –selama ini tak pernah sekalipun Jaehyun menemani dirinya menjalani pekerjaannya sebagai seorang model. Pria tampan itu selalu memiliki alasan untuk tak bersamanya kala ia meminta dukungan kekasihnya itu di beberapa kesempatan.

"I miss you…" Ucapnya sebelum keduanya menyatu dalam sebuah pelukan hangat. Taeyong betul-betul memeluk erat kekasih yang selama beberapa hari begitu ia rindukan kehadirannya. Matanya menatap lekat Jaehyun seolah-olah takut jika sosok yang ada padanya saat ini hanyalah produk dari imaginasinya semata.

"Apa yang kau lakukan disini?" Tanya Taeyong masih tak percaya.

"Baby, let's get married!"

Ucapan terakhir Jaehyun membuat Taeyong tersentak kaget, sebelum Jaehyun mengakhirinya dengan sebuah ciuman romantis penuh emosional.

.

.

.

Johnny memutuskan untuk menghentikan sejenak usaha yang sejak tadi dilakukan. Dirinya menarik sebanyak-banyaknya oksigen ke dalam sistem pernafasan, berusaha menstabilkan gerak jantungnya yang mulai tak terkendali. Peluh terlihat membasahi tubuhnya yang lelah, setelah 30 menit berlari tak tentu arah berupaya menemukan sosok pemuda yang menjadi alasan dirinya berada di pinggir Sungai Han tengah malam ini.

Berkali-kali ia mencoba menghubungi laki-laki manis itu namun sayang usahanya nampak sia-sia setelah dirinya justru mendengar suara template operator telepon. Dimana dia? Sudah kukatakan supaya jangan pergi sebelum aku datang? Ah!

Johnny mengacak rambutnya kesal. Ia betul-betul khawatir pada sosok bernama Ten yang sampai sekarang tak juga ia temui batang hidungnya. Dirinya bahkan sudah mengitari jalanan yang sama sebanyak dua kali namun tak juga ia menjumpai pemuda cantik itu. Jam di tangan bahkan sudah menunjukkan pukul 12.13 malam –suasana disekitar Sungai Han juga nampak sepi, hanya tersisa dirinya seorang dan beberapa pejalan kaki yang kebetulan melintas.

"Johnny?"

Mendengar suara lembut itu Johnny buru-buru menolehkan tubuhnya, berharap ia tidak sedang berhalusinasi atau apapun yang hanya akan membuat hatinya mencelos kecewa.

"Ten?" Sempat tak mempercayai penglihatannya, Johnny terlihat enggan bergerak dan memilih untuk terdiam sejenak, mencoba meyakinkan dirinya bahwa saat ini yang ia lihat adalah betul Ten. Ten yang membuatnya berlarian ditengah udara sejuk musim semi hanya untuk bertemu dengannya.

"Aku mencarimu kemana-mana. Kenapa kau tidak- God! Aku betul-betul mengkhawatirkanmu…" Setelah dirinya betul-betul merasa yakin, pria tampan bertubuh tinggi itu segera menghampiri sosok mungil yang menggigil dibawah sentuhannya.

"Maafkan aku, ponselku lowbat, aku tidak bisa memberitahumu kalau aku berniat untuk membatalkan pertemuan kita malam ini…" Aku Ten, sedikit merasa tidak enak, telah membuat sang direktur bersusah payah meninggalkan kediamannya yang nyaman hanya untuk menemui dirinya yang bukan siapa-siapa itu.

"Aku sudah katakan kalau aku akan menemuimu. Mengapa kau masih meragukanku?" Johnny sedikit kehilangan kendali atas emosinya yang nyaris tak terbendung. Ayolah, dirinya bahkan lebih memilih bertemu dengannya ketimbang berada di kondominium dan menginterogasi sang keponakan yang akhir-akhir ini begitu sulit diatur!

"A-aku… M-Maafkan aku…"

Pria tampan bernama Johnny itu segera meraih tubuh lawan bicaranya dalam sebuah pelukan –membuat Ten membelalakan matanya tak percaya. Ada apa ini? Mengapa aku merasakan perasaan aneh? Apa yang sudah ia lakukan?

"Tolong jangan kau lakukan hal seperti ini lagi –membuatku khawatir…" Bisik Johnny tepat di telinganya. Ten hanya mampu mematung. Ia teringat akan perkatan Yukhei padanya beberapa hari lalu, tentang bagaimana perasaan laki-laki tampan yang kini merengkuhnya dalam sebuah pelukan hangat, kesempatan-kesempatan yang hanya bisa ia dapatkan jika saja ia dapat membuat Johnny Seo menyukainya. Ya, Ten ingat semuanya itu dan rasanya betul-betul menyiksa. Ia tahu dirinya akan menyesali keputusannya suatu saat nanti, namun keinginannya yang besar untuk meraih mimpinya, membuatnya betul-betul mempertimbangkan untuk mengikuti skenario yang telah ia buat.

"M-maafkan aku, aku tidak seharusnya menyuruhmu kemari…" Tutur Ten, ia mendorong tubuh atletis Johnny, membuat pria itu mau tak mau melepaskan pelukannya pada pemuda cantik yang kini menatapnya penuh tanya.

Pria bernama Johnny itu kemudian memejamkan matanya, berusaha mengendalikan laju perasaannya –sebelum sedetik kemudian ia memilih untuk melakukan hal yang sejak tadi mengganggu pikirannya. Dengan penuh keberanian Johnny mencondongkan kepalanya sebelum menarik tengkuk milik Ten, meraih bibir merah itu dalam ciuman yang dalam. Ten yang sempat merasa terkejut, terlihat sedikit meronta berusaha melepaskan diri dari adegan panas yang dilakoni oleh dirinya dan pria tampan itu –meskipun tak lama ia kemudian menikmati peraduan yang membuat hatinya mencelos pedih.

.

.

.

"Bagaimana penampilanku? Aku terlihat aneh tidak?" Tanya Sicheng pada sosok pemuda bernama Seokmin, sambil memperagakan tubuhnya bak model kamera. Tubuhnya yang ramping terlihat menawan dengan kemeja motif garis yang agaknya sedikit kebesaran, membuat pundaknya yang halus beberapa kali harus terekspose. Seokmin atau DK hanya mampu menatap bayangan wajah cantik itu dengan sedikit takjub –Sicheng memang cantik, tak perlu diragukan lagi.

"Hm, yaa, kau terlihat oke… Maksudku, tidak berbeda jauh dengan penampilanmu sehari-hari…" Pemuda bermata sipit itu berusaha menyembunyikan perasaan gugupnya, menghindari kontak mata dengan Sicheng yang menggerutu, tak puas dengan respon yang baru saja ia terima dari rekannya.

"Kalau begitu tidak oke namanya, aku ingin terlihat luar biasa kali ini…" Gumam Sicheng. Ia nampak membubuhkan sedikit lipgloss di bibirnya yang kemerahan, sebelum tersenyum dan mulai menunjukkan ekspresi wajah yang sejak tadi dinantikan oleh sang lawan bicara.

Seokmin tak mampu menahan tawa melihat bagaimana pemuda cantik itu berceloteh dengan beberapa gesture tambahan yang membuatnya semakin terlihat menggemaskan. Sorot matanya kemudian bergerak perlahan mengitari ruangan pribadi milik Sicheng dimana mereka tengah berada saat ini. Sebuah poster boyband terkenal nampak menghiasi salah satu bagian di dinding kamar dengan wallpaper berwarna lavender.

"Ayolah kita hanya akan ke club, kau tak perlu terlihat berlebihan…" Ucapannya kali ini berhasil menarik atensi Sicheng, yang kini menoleh kearahnya, dengan kedua alis saling bertaut.

"Kau fikir kalau kita hanya akan ke club aku mau bersusah-susah untuk terlihat menarik?" Sanggah pemuda asal China itu sebelum kembali memandangi pantulan dirinya untuk terakhir kali sebelum meraih dompet dan ponselnya dari atas meja nakas. Seokmin segera bangkit dari tempat tidur yang sejak tadi menjadi tumpuannya selama menanti sang putri selesai dengan urusannya.

"Lalu?"

Sicheng menatapnya lekat membuatnya sempat kehilangan arah untuk beberapa saat.

"Yuta-ge ada disana malam ini, dia mengatakan padaku siang tadi via Line…" Jelas Sicheng dengan wajah yang nampak berseri kegirangan. Tak menyadari perubahan raut wajah sang sahabat yang kini hanya terdiam tak mampu merangkai kata. Jelas saja, mana mungkin seorang Sicheng mau bersusah payah terlihat cantik untuknya?

"Maksudmu, om-om yang kau temui di club bulan lalu?" Tanya Seokmin sedikit keki. Rasanya ia ingin membatalkan saja acara hari ini daripada ia harus menyaksikan pemuda yang ia sukai bermesraan dengan orang lain tepat didepannya.

Terlihat bagaimana Sicheng merengut tak setuju.

"Dia itu bukan om-om. Lagipula dia sahabat pamanku…" Jelas Sicheng berapi-api, berupaya melindungi pria yang ia kagumi dari segala macam image negatif.

Seokmin mendengus tak terkesan.

"See? Dia bahkan seumur pamanmu! Aku heran mengapa kau bisa begitu terobsesi dengannya, dia terlihat seperti pria brengsek yang dapat dengan mudah kau jumpai di tiap club di Gangnam…"

Sicheng menganga mendengar penuturan Seokmin yang menurutnya sedikit kelewatan. Ayolah, dia bahkan belum mengenal sosok Yuta seperti apa, dan berani menghakimi sikapnya –yang benar saja!

"Kalau kau bersikap seperti ini terus lebih baik aku pergi sendiri saja…" Ujar Sicheng kesal, ia berjalan cepat menuju pintu keluar, meninggalkan Seokmin yang terlihat berlari menyusulnya. Pemuda bermarga Lee itu menarik tangan Sicheng, berharap laki-laki cantik itu tak betul-betul meradang atas ulahnya barusan.

Seokmin kemudian dapat menarik nafas lega ketika melihat senyum di bibir Sicheng.

"Hehe, sudah ku duga kau akan menyusulku… Kau memang tidak pernah mengecewakanku."

Entahlah, tapi yang jelas Seokmin merasa tak berdaya ketika Sicheng kembali memberinya harapan semu.

.

.

.

Cahaya lampu sorot warna warni serta hentakan musik EDM yang menggema, kali ini tak mampu membangkitkan minat Yuta untuk bergabung bersama ratusan orang lain di lantai dansa. Pria tampan itu justru lebih memilih mengasingkan diri disebuah sofa yang ia sewa, ditemani beberapa gelas vodka, sementara otot matanya sejak tadi bergerak, berusaha mencari sosok familiar diantara lautan manusia yang ada.

Sejak percakapannya yang terakhir dengan sang sahabat, Johnny, dirinya mulai mengalami pergolakan batin yang luar biasa. Tiap kali ia membayangkan wajah jelita milik Sicheng, ucapan Johnny kala itu kembali terngiang ditelingnya –membuat dirinya betul-betul dihantui oleh perasan bersalah. Ya, tidak dapat ia pungkiri, dirinya memang memiliki ketertarikan pada sosok bernama Sicheng yang sepertinya juga memiliki perasaan yang sama dengannya.

"Hey, babe, why the long face? Kau terlihat murung. Mind to tell me?" Suara feminine milik seorang perempuan menyadarkan Yuta dari lamunannya. Ia memandang sosok asing itu sebelum tak lama senyumnya terkembang kala mengetahui siapa wanita dengan parfum floral itu.

"Momo? Wow! Sudah lama rasanya aku tidak melihatmu. Ku fikir kau sudah kembali stay di Jepang?"

Perempuan bernama Momo itu tertawa kecil, sebelum memutuskan untuk duduk dan menemani pria tampan yang auranya kali ini sedikit berbeda. Entahlah, Yuta yang ia kenal nampak lebih bersemangat, menyenangkan –dan bukan seperti yang terlihat saat ini.

"Sudah kukatakan, aku tidak akan kembali ke Jepang sampai aku betul-betul berhasil menikah dengan anak pemilik stasiun tv itu." Jelas Momo, sedikit menaikkan ujung bibirnya penuh arogansi.

"Persistent. I like it."

Wanita itu tertawa memberikan respon atas ucapan yang dilontarkan teman lamanya, Yuta. "Enough about me. Bagaimana denganmu? Ku fikir aku sudah tidak akan menemui lagi ditempat ini, ternyata kau masih saja. Ngomong-ngomong temanmu yang tampan itu tidak ikut? Jaehyun?"

Yuta menggeleng, kedua sahabatnya itu memang sudah memutuskan berhenti mengunjungi club malam sejak beberapa tahun terakhir –Jaehyun semenjak berkencan dengan Taeyong sementara Johnny lebih memilih menghabiskan malamnya dengan membaca buku atau sekedar bermain billiard.

"Sayang sekali…"

Baru saja Yuta berniat untuk memberikan komentar pada gadis itu, ketika ekor matanya secara tak sengaja, menangkap sosok yang sejak tadi ia nantikan kehadirannya. Yuta dapat merasakan nafasnya terhenti tatkala ia melihat dengan jelas wajah penuh pesona milik Sicheng yang terlihat memasuki area dance floor.

Sebetulnya Yuta sengaja menyuruh pemuda cantik itu datang malam ini untuk menyudahi semua kegilaan yang terjadi beberapa waktu belakangan. Dirinya ingin menjelaskan pada Sicheng bahwa ia ingin menghentikan aksi tak pantas yang telah dilakukannya pada keponakan sahabatnya itu dan memutuskan untuk memulai semuanya lagi dari awal –menjadi paman yang supportive, seperti harapan Johnny padanya. Yuta tidak ingin kehilangan sahabat yang begitu ia kasihi hanya untuk perasaan cinta sesaat yang ia rasa masih bisa ia dapatkan pada sosok lain.

"Momo, aku butuh bantuanmu!" Yuta tiba-tiba bersuara, sedikit mengagetkan perempuan yang kini menatapnya bingung. Mendadak dirinya mendapat sebuah ide brilliant yang kali ini pasti berhasil membuat Sicheng betul-betul menyerah pada perasaannya.

"Bantuan apa?"

Dan tepat saat sepasang mata milik Sicheng bertabrakan dengannya, Yuta dengan segera menarik tubuh Momo dan mulai melakukan ciuman agresif pada sang gadis. Pria tampan itu dapat melihat sekilas bagaimana ekspresi wajah Sicheng yang seketika membeku, wajahnya pucat, dengan pandangan kosong –masih tertuju pada adegan yang saat ini ia lakukan bersama temannya itu. Ya, benar, seharusnya memang seperti ini, Sicheng akan berhenti menyukainya dan dirinya akan leluasa menata perasaannya kembali!

"Winwin! Tunggu!"

Sicheng terus saja melangkahkan kakinya tak peduli teriakan Seokmin yang terus berupaya menghentikan aksinya. Hatinya sakit sekali, perasaannya hancur berkeping-keping menyaksikan adegan ciuman Yuta dan seorang perempuan cantik yang nampak ideal bersanding dengannya. Airmata terus saja mengalir, menghiasi wajahnya yang nampak kacau. Isak tangis terdengar mengiringi langkahnya yang terasa begitu berat.

Yuta melepaskan tautan pada bibir perempuan itu ketika ia melihat tubuh Sicheng yang perlahan menjauh. Tidak, tidak, tidak! Kau sudah melakukan hal yang tepat Yuta!

"Apa-apaan bodoh? Kenapa kau menciumku?" Ujar Momo sedikit kesal. Perempuan itu lantas membenahi tubuhnya dan segera bangkit meninggalkan Yuta yang kini diam tak bergeming. Dadanya terasa amat sesak menyaksikan raut wajah Sicheng yang dipenuhi kekecewaan, kesedihan, serta air mata penghianatan. Pria Jepang itu betul-betul menahan diri agar tak langsung mengejar pemuda cantik yang kini tengah menangis karena ulahnya. Kau bisa melakukannya, Yuta, kau sudah melakukannya sejauh ini. Kau pasti bisa!

"Fuck!" Yuta merutuki dirinya kesal.

Tak lama raganya mulai bergerak, menghianati setiap usaha yang sejak tadi ia lakukan. Yuta berlari, tak peduli berapa kali ia harus menabrak tubuh manusia yang mencoba menghalangi langkahnya. Pria itu terus berlari melewati pintu keluar dan mulai mengedarkan pandangannya, sampai ia menemukan sosok yang ia cari berjalan dengan tubuh yang bergetar hebat –belum terlalu jauh dari tempatnya berpijak saat ini.

"Winwin!"

"Sudah ku katakan, aku ingin sendiri-"

Mata bulat kecoklatan yang kini terlihat basah menjadi pemandangan yang membuat hati Yuta tercekat. Terlihat bibir ranum Sicheng yang bergetar menahan isakannya, sementara airmata terus membanjiri wajahnya yang nampak begitu memilukan. Ya Tuhan apa yang sudah aku lakukan?

Belum sempat Yuta bereaksi apapun, ketika ia merasakan sebuah ciuman menuntut yang ia terima masih dari objek yang sama –Sicheng.

.

.

.

.

.

.

.

GENGSSSSS KAPAL KITA BERLAYAR SEMALEM, IYAK SEMALEM DI ENANA & FANMEET BANGKOK, JAEYONG, JOHNTEN, DAN YUWIN ULALALAA~ so happy I could cry! :") NYAHAHAHA Seperti yang gue bilang sebelumnya, yang karam tidak selamanya karam, dan yang berlayar tidak selamanya berlayar eh tetep berlayar deng cuman yaa kena badai dulu HUEHEHEHE akankah kapal Jaeyong tetap aman sampe chapter depan? Apakah rencana Ten buat menggaet Johnny berjalan lancar? Apakah usaha Yuta si bucin gamon itu berhasil setelah dapet kisseu? Yak, semoga kalian terhibur dan thank you buat yang udah baca dan dukung ff ini ^^