Lee Family (Chapter 3)

by vkookiss

ft. NCT Mark, NCT Jeno, & NCT Jisung

.

.

.

Mark Lee itu tipikal suami yang sangat posesif terhadap istrinya.

Ia tak suka bila hal miliknya di pegang orang lain.

Sungguh, Mark benci ketika seseorang mendekati istrinya apalagi memberanikan diri menyentuh istrinya di depan matanya sendiri. Ada hasrat terpendam ingin menghajar orang tersebut—meskipun jika orang tersebut wanita, Mark tetap saja ingin menghajarnya sampai ia puas.

Meskipun jujur Mark sendiri suka sekali hal-hal yang seksi, apabila di suguhkan dengan sesuatu yang tampak menggiurkan di matanya Mark tak akan bisa mengalihkan pandangannya barang sejenak. Matanya sendiri kadang suka jelalatan melihat dada besar atau bokong montok yang mengundang untuk di remas.

Tapi tetap saja, yang paling menggiurkan bagi Mark adalah tubuh istrinya sendiri. Jika dibandingkan dengan yang lain, yang paling ampuh membangunkan adik kecil di selangkangan Mark adalah istrinya.

Mark memang kotor sekali.

Lebih kotor dari debu yang menempel di suatu benda yang sudah lama tak di bersihkan.

Tapi dirinya dan Jeno sudah resmi bukan? Hal-hal demikian tak akan di larang, kecuali jika Mark selingkuh dari Jeno. Itu baru hal yang sangat terlarang.

Namun tenang saja. Mark sama sekali tak punya niatan ingin bermain api di belakang Jeno. Ayolah, istri yang ia punya sekarang sangatlah sempurna. Apakah Mark bisa berpaling darinya? Lee Jeno saja sudah cukup membuat Mark Lee mabuk kepayang. Bagi Mark Lee, Lee Jeno adalah definisi dari keindahan. Bidadari saja malu bila disandingkan dengan Lee Jeno yang sempurna.

Benar 'kan?

Mark Lee memang sudah gila. Apalagi bila disangkut-pautkan dengan istrinya, maka kegilaannya itu akan bertambah berkali-kali lipat.

Mark Lee sangat beruntung dimiliki oleh seorang Lee Jeno. Ia begitu bangga bisa menjadi pendamping hidup lelaki manis itu. Begitu bangga bisa meluluh-lantakan hati dia. Begitu bangga bisa menjadi orang terpercaya dia.

Terkadang dengan anak laki-lakinya sendiripun ia masih merasa iri. Merasa kasih sayang Jeno hanya dicurahkan pada anaknya saja, merasa dirinya terlupakan. Padahal Jeno membagi rata rasa sayangnya pada anak maupun suaminya, semuanya seimbang, tak ada yang ia tambah.

Camkan itu, dengan anaknya sendiri.

Dari hasil benihnya sendiri ia masih bisa merasa iri. Pemikiran Mark Lee terkadang kekanakan sekali, sampai Jeno bertanya-tanya sebenarnya siapakah yang lebih tua diantara keduanya.

Apalagi jika Jisung sedang sakit, dia pasti akan bermanja-manja pada Jeno dan meminta si mama agar menemaninya tidur. Meninggalkan Mark yang hany tidur sendiri tanpa adanya Jeno di pelukannya. Sebenarnya Mark ingin sekali menahan Jeno agar tetap bersamanya, namun ia tak bisa. Perhatian Jeno hanya terpusat pada Jisung yang kondisi tubuhnya sedang tidak fit.

Ia berbaring kemudian mengumpat sambil memandang langit-langit dengan raut wajah melas. Isinya umpatan-umpatan yang ditujukan pada anaknya. Kadang Mark sendiri suka tak menganggap Jisung sebagai anak. Lagian anaknya selalu membuat kepalanya pusing.

Terbesit keinginan untuk mencoret nama Jisung dari KK, jika hal itu sampai terjadi yang ada dia yang kena bogem penuh cinta dari Jeno. Mark meringis membayangkannya, ia menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Membayangkannya saja sudah ngilu, apalagi jika hal tersebut kejadian sampai dunia nyata? Mark ragu jika ia masih bisa bernapas.

Selain punya sifat posesif, Mark Lee juga mudah sekali terbakar api cemburu. Terkadang ia memendam perasaan itu, namun terkadang ia suka menyembulkannya ke permukaan. Pokoknya, Mark Lee benci pada semua orang yang punya hubungan dekat dengan istrinya.

Ingin sekali ia menunjukan pada seluruh dunia dan isinya bahwa Lee Jeno hanyalah miliknya. Tak ada seorangpun yang dapat merebut Lee Jeno dari sisi Mark Lee. Sesekali Mark mencoba untuk bersikap romantis di khalayak, namun di tolak secara halus oleh Jeno.

Bukan,

Lee Jeno hanya merasa risih bila seluruh pasang mata memandang kearahnya. Ia tak suka itu. Ia masih punya urat malu, beda lagi dengan suaminya yang urat malunya sendiri sudah putus. Lee Jeno sedikit tak suka menjadi pusat perhatian.

Seusai terciduk berbuat hal yang tidak-tidak oleh anaknya sendiri, mereka sekeluarga memutuskan untuk mencicip makan di luar. Waktu istirahat yang diberikan cukup lama, meskipun Mark Lee adalah petinggi di sana ia selalu berusaha untuk tetap disiplin dan tak seenaknya.

Sebagai pemimpin yang baik bukankah harus memberi contoh demikian?

Atmosfer diantara mereka awalnya begitu dingin dan terkesan kaku. Pipi Jeno juga masih memerah. Ayolah meskipun hal itu wajar untuk pasangan suami-istri, akan tetap memalukan bila anak mereka memergokinya.

Namun tak berselang lama, setelah makanan dating Jisung langsung mencairkan suasana diantara mereka dengan melontarkan beberapa jokes receh yang ia ketahui. Fyi, sebenarnya itu hasil copy-an dari OA di Line.

Dan itu receh banget, sayangnya emang papa-nya itu receh. Jadinya doi langsung tertawa terbahak-bahak, kalo si mama cuma ketawa kecil dengan mulutnya yang ditutupin pake tangan. Duh, si nyonya anggun sekali.

Sejak itupun mereka bisa berbicara kembali seperti biasa, seolah tak ada apa-apa. Mama yang kembali menanyakan kabar keseharian Jisung di sekolah begitupula papa. Kemudian papa yang kembali melontarkan gombalan basi pada mama, membuat Jisung terkikik geli. Lalu mama menanggapi dengan memukul lengan papa keras.

Wajah mama pun memerah karena malu, masalahnya di depannya itu ada anaknya sendiri. Tapi papa tampak santai, tidak seperti mama. Mungkin mama takut kalau sudah besar Jisung akan seperti papanya yang suka merayu itu.

Kala muda, Mark Lee itu brengsek.

Tapi brengseknya masih dalam batas wajar kok, doi hanya sekedar PHP-in orang-orang doang. Ga sampe hamilin anak orang.

Mark Lee itu bandel, tapi masih dalam batas wajar.

Berselang waktu satu jam setelah itu, mereka kedatangan orang asing. Seorang pria berwajah tampan dengan bahu lebar, dia menghampiri tempat mereka kemudian menyapa Jeno terlebih dahulu. Tak lupa dengan senyuman ramah yang semakin menambah kadar ketampanannya. Wajah Jeno memerah sejenak —biar bagaimanapun di depannya itu ada pria berwajah menarik, Jeno sendiri tak bisa menahannya.

"Lee Jeno?" Dia menyapa dengan suara beratnya.

Suara masuk ke dalam telinga, kemudian mengirimkan getaran listrik yang membuat tubuhnya sedikit bergetar. Mungkin ini reaksi yang sedikit berlebihan, tapi percayalah hal itu terjadi pada Jeno. "Y-ya?"

Lalu ia terdiam sejenak, mengamati wajah pria tersebut lamat-lamat, berusaha mengorek ingatannya. Dahinya mengerut. Apakah ia pernah menemui pria itu sebelumnya?

Dia terkekeh melihat raut wajah Jeno, yang masih berusaha memperoleh ingatannya. "Kamu masih belum ingat siapa aku?"

Jeno menggeleng polos. "Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?"

Dia tersenyum maklum, lalu mendudukan diri di tempat yang kosong dan mencondongkan sedikit tubuhnya ke depan. "Tentu saja pernah. Tapi sayangnya kamu lupa denganku."

"O-oh maaf, tapi sungguh aku benar-benar tak bisa mengingatnya." Jeno sedikit tak enak hati. "Bisa kamu membantuku untuk mengingat siapa dirimu?"

Senyumannya berubah menjadi senyuman cerah. "Dengan senang hati," katanya riang. "Aku seseorang yang dulu pernah hadir di hidupmu, di masa-masa sekolah menengah. Tapi setelah lulus aku melanjutkan studi luar—"

"—Dan aku pernah menjadi seseorang yang spesial di hidupmu."

Awalnya Jeno hanya menyimak sembari mengorek kembali ingatannya tapi lama-kelamaan raut wajahnya berubah drastis seiring ucapan orang tersebut terdengar tajam di telinganya. Matanya melebar, mulutnya menganga sedikit. "K-kau—" Jeno bahkan nyaris tak bisa mengeluarkan suaranya.

"—Kang Daniel hyung?"

Senyuman dan wajah pria itu cerah sekali. Senyumannya bertambah lebar. "Tepat Jeno, aku Kang Daniel. Apa kabar?"

"A-astaga Daniel hyung—b-bagaimana bisa?" Jeno kesusahan dalam mengeluarkan suara. Ia benar-benar tak menyangka sama sekali, ia tak pernah berekspektasi bisa bertemu kembali dengan pria itu. Dahulu Jeno merasa mustahil.

Secara refleks, Daniel memeluk Jeno erat. Awalnya Jeno merasa terkejut akibat perlakuan Daniel yang mendadak begitu, dan tanpa sadar doi membalas pelukan Daniel tak kalah eratnya. Meresapi aroma parfum yang menguar di tubuh mantan-nya itu.

Jujur, tubuh Daniel masih terasa hangat. Seperti dulu.

Hatinya terselip rasa rindu. Bagaimanapun mereka dulu pernah saling melengkapi satu sama lain, sebelum akhirnya memilih berpisah.

"Apa kabar?" Daniel berbisik, mengutarakan pertanyaan yang sama.

"Aku baik hyung," jawab Jeno lirih. Tubuhnya masih terasa lemas. "Hyung sendiri apa kabar?"

"Baik sekali, apalagi setelah bertemu lagi denganmu."

Jeno tersenyum di balik bahu Daniel. Tangannya mengusap punggung lebar lelaki itu. Kala pelukan terakhir mereka, ia rasa punggung Daniel tak selebar ini. Ia menebak, Daniel rajin sekali ke gym untuk membentuk tubuhnya.

Padahal tubuhnya sudah bagus.

Semua adegan itu dilihat oleh empat pasang mata, yang masih terdiam, menyimak adegan demi adegan tak terduga yang mungkin sebentar lagi akan muncul. Mark Lee mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh, wajahnya memerah menahan amarah—yang sebentar lagi mungkin akan meledak. Mungkin enak sekali jika kedua kepalan tangan itu mengenai pipi pria tersebut―yang tengah memeluk istrinya.

Jisung sendiri cepat tanggap dengan situasi ini. Apalagi aura si papa tambah suram. Ia merinding karenanya, Jisung menelan ludahnya dengan susah payah kemudian mengelus bahu papa. Bermaksud menenangkan, repot jika papanya meledak di tempat umum seperti ini. Mereka bisa menjadi pusat perhatian.

"Calm down pa," bisik Jisung. "Tenangkan dirimu, please?" Kali ini Jisung sedikit memohon.

Papanya menoleh kearahnya, dengan gerakan patah-patah yang dramatis. Raut wajahnya dingin sekali, barangkali kalah dingin dari es di kutub utara sana. Matanya menatap Jisung tajam, nyali laki-laki remaja itupun menciut. Mau tak mau menjauhkan lengannya dari bahu sang papa. "B-baik pa, tapi tenang oke?"

Desisan keluar dari belah bibir papanya, pria itu menarik napas dalam-dalam. Ia harus menerima usulan Jisung kali ini, ia harus tenang. Tak boleh gegabah dan asal ambil tindakan, risikonya mungkin bisa berat jika ia bertindak sesuka hati, mengikuti emosinya.

Tapi tetap saja, tubuhnya terbakar oleh api cemburu.

Siapapun orang yang melewati meja mereka. Mungkin dia pasti sudah merinding dengan aura gelap yang terpancar di sana.

Jujur, Jisung sendiri juga tak suka melihat kedekatan mama-nya dengan om itu. Yang boleh mendekati dan menyentuh mamanya seperti itu cuma dirinya dan papanya saja, sedangkan yang lain tidak boleh. Namun Jisung lebih pintar menyembunyikan emosinya di banding sang papa.

"Ekhem," Mark berdehem keras. Fungsinya untuk menyadarkan kedua orang yang masih melepas rindu itu. Matanya mendadak perih lama-lama.

Dua detik setelahnya kedua orang itu seketika langsung melepas pelukan masing-masing, menggaruk tengkuk belakang dengan canggung. Apalagi Jeno, si lelaki manis menundukan kepalanya sambil meremat ujung baju yang ia kenakan. Dalam hati mengutuk kecerobohan yang ia lakukan tadi.

"Sudah selesai berpelukannya?" Tanya Mark santai, namun bagi Jeno itu terdengar tajam sekali. Matanya bergulir, memandang Jeno dan Daniel satu persatu.

Jeno menghela nafas, kemudian mendongakan kepalanya. "Daniel hyung, kenalkan ini suami dan anakku."

Wajah Daniel tampak terkejut, tapi ia buru-buru mengubah raut wajahnya menjadi lebih santai. "Kang Daniel, teman Jeno semasa sekolah menengah." Ia mengulurkan tangan sembari menyungging senyuman ramah.

Di mata Mark itu bukan senyuman ramah, melainkan seringaian yang penuh arti. Mark menjabat tangan itu―aslinya ia tak mau, tak sudi berjabat tangan dengan orang yang suka menyentuh istrinya sesuka hati. "Mark Lee, suami dari Lee Jeno. Salam kenal, Mr. Kang."

"Salam kenal juga Mr. Lee."

Daniel pun beralih pada anak laki-laki remaja yang memandang kearahnya dengan sedikit sinis. Tapi ia memutuskan untuk mengabaikan itu, kemudian mengulurkan tangannya kembali. "Kang Daniel, salam kenal."

Jisung menatap tangan yang diulurkan kepadanya sejenak, masih bimbang apakah harus menjabat tangan om tersebut atau tidak. Maunya sih tidak, tapi―

"Lee Jisung, beri salam." Si mama sudah keburu menegur.

Mau tak mau Jisung membalasnya. "Lee Jisung, salam kenal juga om."

"Maaf atas kelakuan anakku, dia memang seperti itu…" Jeno menggaruk tengkuk belakangnya, merasa tak enak pada Daniel.

"Tak apa. Aku maklum kok." Daniel menyungging senyum maklum. "Anak-anak memang kebanyakan begitu."

Jisung diam-diam menggeram, dia tak suka ada orang yang mengatainya anak kecil. Padahal dia jelas-jelas sudah menjadi anak remaja. Jisung membuang wajahnya kearah lain.

"Aku ingin berbincang sebentar denganmu, bolehkah?"

Jeno mengedipkan matanya beberapa kali, kemudian ia menengok kearah suaminya. Matanya seolah berkata bahwa ia sedang meminta persetujuan dari suaminya. Terselip di hatinya ingin sekali berbicara dengan Daniel setelah sekian lama. Tapi―tanpa sadar Jeno menghela nafas berat―persetujuan suaminya sekarang lebih penting.

Dan—

Tanpa disangka Mark Lee mengangguk.

Dan wajah Jeno berubah menjadi cerah dalam sekejap, ia segera menarik lengan Daniel dan menuntunnya menuju meja yang kosong.

Mau tak mau raut wajah Daniel juga ikut cerah, ia menatap tangan Jeno yang sekarang tengah memegang lengannya. Sentuhannya masih terasa sama, hangat dan menenangkan.

Aura disekeliling Mark Lee pun ikut menggelap. Matanya mengikuti setiap pergerakan Daniel dan istrinya, terlebih punggung lebar lelaki yang sekarang tengah berbicara dengan Jeno. Bisa jadi, punggung Daniel mendadak bolong karena ditatap dengan sedemikian tajamnya.

"Papa!"

Suara pekikan anaknya membuatnya segera menoleh, ia mengangkat satu alisnya. "Kenapa?"

"Pa-papa serius ngijinan mama ngomong sama om Daniel?!"

"Biarpun papa larang pasti mama mu punya cara ampuh buat bisa ngebujuk papa Sung, percuma aja." Ia menyesap minumannya lagi.

"Dih, aku kira papa bakal larang mama buat ngomong sama om Daniel."

"Sayangnya tidak Jisung-ie."

"Papa ga asik!"

Jisung mengerucutkan bibirnya—tanda sok imut, padahal jatohnya amit-amit. Akhirnya ia menopang dagu dan memantau dari jauh aktivitas yang dilakukan mama dengan om Daniel.

Meskipun Mark Lee tampak cuek, namun sebenarnya ia juga masih tak rela membiarkan istrinya berbicara dengan Daniel itu. Matanya terus melihat kearah tempat mereka berdua, dan berusaha keras mempertajam pendengarannya.

Mark sangat yakin,

Dahulu pasti ada sesuatu diantara mereka.

Tapi benarkah?

Sejenak ia merasa ragu akan pendapatnya.

"Yah, mari kita lihat." Ia bergumam.

continue

a/n: Hay! Aku balik lagi ngebawa ff ini, adakah yang masih inget? Gila udah berapa lama aku ga update huhu, ngerasa bersalah:") tapi apa daya, aku juga sibuk sama sekolah:") oiya jumat aku ambil raport, doain ya moga nilainya bagus:") dugeun-dugeun nih euy, lebih dugeun-degeun daripada ngeliat senyum gantengnya Mark Lee:") banyak bacot ya?yaudah bodoamat, silahkan kacaukan kolom review kawan-kawan. Aku menunggu bacotan kalian ehe xD, laff yaa… mYANE kalo chapter ini gajelas:")