Hanya padamu hatiku berlabuh. Hanya padamu cintaku bersemayam. Hanya padamu, kasih. Dan mencintaimu tak memiliki alasan, tak ada alasan yang dapat ku jelaskan. Tak ada, semuanya murni dari dalam jiwaku.

Walau kita berada di tempat yang berbeda. Aku di Kutub Utara, dan kau di Kutub Selatan. Namun hatiku tetap untukmu. Walaupun harus tersakiti, Aku rela asal selalu bersamamu. Aku rela.

Kau, bagaikan melodi dalam simfoni.

.

.

.

.

melodías en la sinfonía

chapter 1: solo te quiero a ti

[Aku hanya ingin kamu.]

Main pair:

Lai Guanlin, Yoo Seonho, and other.

Disclaimer:

Sequel of The Bodyguard from Cina

WARN! YAOI, OOC, TYPO, War!AU.

I hope you enjoy this story~

.

.

.

.

Yoo Seonho, pemuda berusia 33 tahun masih mengiringi musik klasik. Mengalunkan irama-irama dengan tenang di ruang musik. Para murid mengikuti alunan nada, melenggok ke kanan dan kiri. Menikmati permainan piano sang guru.

Bibirnya sedikit terbuka, berusaha mengikuti irama yang ia dengar. Memainkan piano adalah kesukaannya. Apalagi jika di temani sang suami.

Alunan melodi yang terdengar membuatnya terlarut. Terbuai akan indahnya irama. Ah, Seonho sangat menyukai hal ini.

Bel berdering. Membuat permainan piano nya harus berhenti sejenak. Ia tersenyum sangat manis pada anak-anak lugu. "Nah, sekarang kembali ke kelas. Lalu bereskan barang-barang kalian."

Anak-anak berwajah manis nan polos mengangguk, lalu berhamburan keluar kelas. Seonho hanya tersenyum, ia suka sekali anak-anak. Jemarinya kembali menyentuh tuts piano.

Ia suka musik. Musik adalah nama tengahnya. Kadangkala dulu Seonho sering mengikuti acara orkestra di berbagai tempat. Kecintaannya terhadap musik membuatnya ingin menjadi guru musik juga.

Melodi kembali menggema di ruang musik. Penuh kelembutan dan irama yang pas, membuat siapapun yang mendengarnya akan terbuai. Tapi Seonho sudah terbuai terlebih dahulu.

Hidupnya bagaikan melodi dalam simfoni. Penuh kebahagiaan dan keceriaan. Setelah menikah dengan tentara asal Cina, ia merasa menjadi lelaki paling bahagia di muka bumi. Tak ada lagi pembunuhan, tak ada lagi penyiksaan, tak ada lagi namanya balas dendam.

Melodi dalam simfoni, mengajarkan ketenangan dan kenyamanan. Dan Seonho belajar akan hal itu. Ia tetap memainkan melodi dalam piano. Tetap, ia tetap memainkannya.

Ya, melodi dalam simfoni adalah hidupnya.

.

.

.

.

"Kau akan balik ke Cina kapan, Guanlin?"

Seonho tengah membereskan meja makan. Menaruh beberapa lauk pauk yang siap untuk di hidangkan dalam keadaan hangat. Manik matanya menatap sang suami yang masih berkelut dengan dasi hitam. Seonho terkikik sejenak.

Ia berjalan, mendekat pada sang suami. Menggapai dasi hitam yang sedaritadi mengganggu konsentrasi Guanlin. Ia membantu melepaskannya, "Jangan dipaksa. Nanti rusak."

Jemari lentiknya bergelung manja di daerah leher kokoh sang suami. Guanlin hanya menatap pergerakan tangan Seonho, menatap bagaimana tangan itu dengan telaten melepaskan dasi yang sedaritadi membuatnya kewalahan. Bibir tebal itu tersenyum tipis, "Terima kasih."

Seonho hanya membalas dengan senyuman. Lalu menenteng jas yang di kenakanan Guanlin di tangan kanannya. Menyediakan kursi untuk sang suami duduk, Seonho berjalan menuju meja makan.

"Aku akan kembali ke Cina minggu depan."

Nasi hangat tersaji di depan mata. Guanlin mengambil sumpit yang sudah tersedia. Mengambil beberapa lauk untuk di santap. Seonho hanya menatap wajah sang suami. Menatap raut wajah itu ketika serius, ketika makan, ketika melakukan sesuatu. Dan ya, lelaki manis itu menikmatinya. Ia sudah kenyang.

"Jaga dirimu baik-baik disana, Guanlin." pesan Seonho.

Guanlin mengangguk layaknya anak kecil. Seperti menuruti perintah dari sang ibunda, ia menggoyangkan kepalanya lucu. "Ya,"

Dua insan berstatus pasusu; pasangan suami-suami itu terlarut dalam candaan dan ocehan ringan. Kadangkala Seonho dengan jahilnya mencubit manja lengan kekar sang suami. Membuat sang empunya tangan merasa gemas.

Suara tawa dan kebahagiaan sangat terdengar didalam rumah besar mereka. Bagaikan melodi dalam simfoni disebuah pertunjukan orkestra. Mengalun indah dan penuh ritme. Bak sebuah lagu klasik yang menentramkan jiwa. Dan Seonho sangat menikmati hari-harinya bersama sang suami.

Mereka mencuci piring bersama; lebih tepatnya Guanlin yang mencuci—karena Seonho sibuk menggoreskan busa sabun pada wajah tampan sang suami. Tapi mereka menikmatinya, menikmati quality time bersama.

Mengingat awal perjumpaan mereka tak seindah dalam drama telenovela maupun drama Korea, namun kini kehidupan mereka sudah lebih cukup baik dari sebelumnya.

"Ano—Guanlin, bolehkah Aku bertanya sesuatu?"

Seonho menatap wajah Guanlin. Dalam, menatap manik mata kehitaman serta tajam bak mata elang. "Ya?"

Kedua tangan bertaut mesra. Seonho harap-harap cemas. Wajahnya ditundukkan sedikit, "Kau tahu kan kalau Aku ini.. laki-laki?"

Guanlin menaruh piring dalam rak lemari. Ia membalikkan badan, menatap suaminya yang manis. "Ya."

"Kau tahu, jika Aku tak bisa memberikan keturunan untukmu? Maksudku—karena Aku seorang laki-laki, mustahil Aku mela—"

"Aku tak peduli."

Manik mata hitam beradu tatap. Suara aliran air masih terngiang di gendang telinga. Seonho menatap lekat mata sang suami, sangat menenangkan. "Tapi, kata orang lain—"

"Tidak usah dengarkan mereka. Aku tetap memilihmu jika itu berarti Aku takkan memiliki keturunan."

Yoo Seonho—ah, atau mungkin sudah berganti menjadi Lai Seonho menahan tangis. Wajahnya memerah seperti kepiting rebus, dadanya sesak dan senang secara bersamaan. Mengingat dirinya adalah laki-laki tulen yang sangat mustahil untuk mengandung sosok bayi didalam perutnya. Ia senang Guanlin menerima dirinya apa adanya. Namun disisi lain, ia tahu sebenarnya sosok lelaki Cina itu menginginkan sosok keturunan yang akan mengisi keramaian rumah besar ini kelak.

Ia tahu, sangat tahu. Hatinya bergetar, bagaikan petikan melodi dari gitar. Mengalun secara perlahan, bergesekan antara senar dengan tangan. Tubuh itu bergetar. "Guanlin."

Kaki panjangnya melangkah, berjalan menuju sang suami berada. Memeluk punggung lebar nan kokoh milik Guanlin adalah kebiasaannya. Namun kali ini berbeda, ia menyembunyikan wajah tak karuan di belakang tulang besar. Air mata merembes membasahi kemeja putih sang suami. Ia menangis.

Guanlin hanya bisa diam. Membiarkan punggungnya basah akibat kristal bening sang suami. Keduanya terdiam di ruang tengah. Ya, tangisan Seonho membuatnya terdiam.

.

.

.

.

"Guanlin, Aku akan pergi ke mall bersama Hyungseob." ucap Seonho sembari merapikan dasi sang suami.

Lelaki berwajah manis itu meliukkan tangannya di leher kokoh Guanlin. Merapikan untaian dasi berwarna hitam senada dengan telaten. "Baiklah, hati-hati."

CUP

Seonho mengecup pipi sang suami singkat. Wajahnya memerah, ia langsung berlarian keluar kamar. Sedangkan sang suami hanya diam ditempat. Otaknya sedang memproses perbuatan Seonho beberapa detik yang lalu. Bibirnya terangkat sejenak, "Kau mulai berani. Seonho."

Dan ya, tentara asal Cina itu berjalan keluar kamar. Menyusul sang suami yang wajahnya sudah semerah tomat.

.

.

.

.

Mengitari jalanan kota Seoul adalah kegiatan yang menyenangkan untuk Seonho. Melihat gedung-gedung tingkat serta pejalan kaki lainnya membuat pemuda manis itu semangat. Udara dingin yang menyelimuti tubuhnya tak membuat niatnya sulut. Ia tetap bersemangat berjalan kaki di trotoar. Menatap beberapa polisi yang sedang berpatroli—ah, Seonho melihat Haknyeon disana.

Pemuda manis itu menarik tangan Hyungseob cepat. Membuat yang punya tangan merasa kewalahan. "Haknyeon!"

Mantan bodyguard Seonho itu melongok, lalu tersenyum melihat keberadaan Seonho dan Hyungseob. "Ah, tuan!"

"Jangan panggil Aku tuan, panggil saja Seonho." pemuda manis itu menghampiri sang polisi Joo.

Haknyeon hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Ah—maaf, Aku sudah terbiasa memanggilmu tuan. Bagaimana kabar Guanlin?"

"Baik, dia bahkan sedang di Korea sekarang." ucap Seonho senang.

Polisi Joo melebarkan mata hitamnya, "Ah benarkah? Baiklah, mungkin nanti Aku dan Ung akan mampir kerumah."

Senyuman semakin melebar tatkala mantan bodyguardnya selalu membuat lelucon. Hyungseob hanya bisa tertawa mendengar beberapa lelucon yang di lontarkan Haknyeon.

"Ah ya, ngomong-ngomong dimana Baejin? Aku berani taruh dia sudah besar sekarang." ucap Haknyeon.

"Ya, bahkan anak itu sudah pintar menggombali Jihoon." sahut Hyungseob.

Haknyeon tertawa terbahak-bahak, mengingat dulu Jihoon-lah yang selalu merayu Baejin kecil. "Ah, kalian mau pergi kemana?"

"Ke mall."

"Ah, kalau begitu Aku harus pergi. Mungkin nanti malam kita bisa berbincang lagi." ucap Haknyeon lalu masuk kedalam mobil patroli. Melambaikan tangan pada Seonho dan Hyungseob yang masih setia berdiri.

.

.

.

.

Mall termegah di Korea Selatan adalah milik Kim Jaehwan; mantan kekasih Seonho dan sampai sekarang pria itu masih menyandang status single. Pemuda Yoo sempat merasa tak enak hati pada presdir Kim, namun Jaehwan berkata ia hanya ingin sendiri untuk saat ini.

Dan sekarang Seonho menapakkan kedua kaki diatas lantai mall. Menatap beberapa orang yang tengah berbelanja. Dua pemuda manis itu mulai berkelana didalam mall. Melihat beberapa toko pakaian serta restoran. Mencoba beberapa aksesoris yang membuat dua pemuda itu semakin cantik bak seorang Ratu—dan tentunya membuat beberapa wanita yang melihatnya merasa kalah cantik.

Menginjak mall ini, membuat Seonho flashback ketika awal mula ia menyukai Guanlin. Melihat betapa tegasnya pemuda asal Cina itu melindunginya sebagai bodyguard—dan bodohnya dulu ia sangat dan sangat membenci suaminya.

Menatap langit mall dengan berbagai balon warna warni membuat Seonho tersenyum sendiri. Ia kembali mengingat ketika Guanlin menembakkan pistol pada gagang besi yang menahan segerombolan balon untuk menyelamatinya. Ah, Seonho rindu masa-masa itu.

Dua pemuda itu menaiki eskalator. Menatap beberapa orang yang berlalu lalang. Benar-benar membuat jantung Seonho berdegup keras. Kalau saja dulu Guanlin tak menyelamatkannya, mungkin hari ini Seonho tak akan bisa menghirup aroma bau mall.

Ya, ia mengingat semuanya. Mengingat dengan jelas ketika banyak peluru bertebaran disana dan disini. Memori otaknya masih menyimpan kenangan pahit. Dan, ia masih ingat pada salah satu pemuda yang hampir membunuhnya disini.

Dan sekarang ia kembali berhadapan dengan sang penembak jitu. Ia tersenyum menyeringai ketika Seonho dan Hyungseob sudah menapakkan kaki dilantai dua mall.

"Halo, Yoo Seonho. Lama tak jumpa."

.

.

.

.

Lai Guanlin tengah berjalan di kantor kemiliteran Korea Selatan. Matanya yang selalu tajam serta bibir yang menekuk kebawah tak pernah lepas dari wajah tampannya. Membungkukkan badan beberapa kali ketika berpapasan dengan anggota militer yang lain.

Kaki panjang itu terus melangkah menuju ruang kantor. Badannya yang tinggi tegap selalu ditunjukkan. Dada selalu dibusungkan membuat siapapun yang melihat akan menjerit dalam hati. Pesonanya tak akan pernah luntur walau umur sudah kepala tiga.

"Guanlin!"

Suara memekikkan mulai mendengung di telinga tentara Cina. Ia membalikkan badan, menatap Haknyeon yang tersenyum padanya. "Kenapa kau tak memberitahuki jika sedang di Seoul?"

"Kau bukan suamiku, jadi untuk apa Aku memberitahumu."

Oke, ucapan pemuda asal Cina ini benar-benar menusuk ulu hati. Dan tentunya pria bernama lengkap Joo Haknyeon hanya tertawa mendengar penuturan suami sah dari Seonho. "Aku tadi bertemu dengan Seonho dan Hyungseob. Mereka akan pergi ke mall."

"Ya, Seonho sudah mengatakannya padaku tadi pagi." jawab Guanlin. Masih memasang wajah datar bak pantat teflon.

Dua pemuda itu masih berlanjut berbincang. Bahkan sang tentara Cina sampai lupa tujuan utamanya mendatangi kantor pusat. Ah, Haknyeon memang benar-benar tukang gosip.

Beberapa militer mulai berlari. Mengalihkan pandangan Guanlin dan Haknyeon untuk menatap gerak-gerik. "Kenapa semuanya berlari?" tanya Haknyeon.

Guanlin menyusul beberapa militer yang berlari. "Tunggu, kenapa semuanya berlari?"

"Ah Korporal Lai Guanlin. Ada yang menyerang kota Seoul. Dia mem-bom sebuah mall dan menyekap seluruh pengunjung."

Mata tajam Guanlin melebar. "Apa?! Mall yang mana?!"

"Seoul City Mall. Milik tuan Kim Jaehwan!"

Pemuda asal Cina itu terdiam. Otaknya beku, tubuhnya menegang. Beberapa militer sudah bersiap dengan senjata mereka. Haknyeon bahkan sudah kalang kabut.

Ia ingat, sang suami sedang berada didalam mall tersebut.

.

.

.

.

Alarm berbunyi keras di penghujung mall. Semua berlarian, ketakutan melanda semua yang berada didalam mall. Tatkala ada yang meraung ketika pintu berlapis kaca bening ditutup rapat. Terkunci, semua mesin berhenti. Eskalator dan lift berhenti. Tak ada yang menyala.

Beberapa ada yang panik didalam lift. Semua berteriak. Mall mendadak suram. Dan Seonho masih menatap wanita dengan wajah cantik didepannya. Ia memyeringai, masih mengenakan kacamata hitam yang bertengger pada hidung mancungnya.

"Mau apa kau?"

Wanita itu terkekeh, masih dengan smirk andalannya. Hyungseob menatap tajam, "Siapa kau?"

Tangan lentik itu beralih pada kacamata hitam. Ia membuka perlahan, memperlihatkan wajah cantiknya yang menyilaukan. Masih tersenyum sinis. "Kau tak ingat Aku? Sayang sekali, Seonho."

"KATAKAN SIAPA DIRIMU?! KENAPA KAU MEMBUAT KACAU MALL INI?!"

Wanita itu tertawa. Membuat Seonho dan Hyungseob geram akan tingkahnya. "Aku, Aku adalah Hwang Miyoung. Kau kenal?"

Seonho melebarkan matanya. Ia masih sangat familiar dengan marga itu. Marga seseorang yang membuatnya ketakutan beberapa tahun yang lalu.

"Ah, itu nama Korea-ku. Nama asliku adalah Tiffany Hwang. Aku adalah kakak kandung Hwang Minhyun."

Hyungseob mengepalkan tangannya keras, "Untuk apa kau menemui kami, hah?!"

Mata sipit milik Tiffany memicing tajam, kakinya melangkah maju pada Hyungseob. "Hei, Aku tak punya urusan denganmu. Jalang."

"TAPI AKU PUNYA! ADIKMU TELAH MEMBUNUH PARK WOOJIN!" teriak Hyungseob tak mau kalah.

"Haruskah Aku membunuhmu juga agar mulutmu bisa diam?!"

PLAK

Semua diam. Yang terdengar hanyalah teriakan dari pengunjung lain. Hyungseob terperangah, Seonho menampar telak pipi Tiffany. Wanita itu melebarkan mata, tak percaya dengan yang dilakukan Seonho.

"Jangan pernah berkata seperti itu pada temanku. Bajingan."

Tiffany mengusap pipinya yang mengeluarkan darah. Ia tertawa bak orang kesetanan. Mengeluarkan pistol dari saku celana jeans nya. Lalu menodongkannya tepat di wajah Seonho. "Matilah kalian."

DOR

"SEONHO!"

.

.

.

.

TBC

A/n:

Pertama-tama, saya ucapkan terima kasih pada EllegisntYaoi and Yuri LoversErumin SmithKise NanaseGuesschuskarayumsererigadobyankaisoonyounghearteukkamo TaeTae-TrackTriass99Re-Panda68Cheshire OhkfcfmdJeojungjeojangRina Putry299laxyovrdsdaebaektaeluvocto93Wonhee parkshoashm2vivisu2721kim naya dan juga silent readers yang telah membaca chapter terakhir The Bodyguard from Cina.

Tadinya ini ingin saya buat oneshot. Tapi, nanti jadinya akan terlalu panjang juga. Dan, akhirnya saya memutuskan untuk membuat sekiranya two-shot, atau three-shot.

[melodías en la sinfonía] dalam bahasa Spanyol, yang berarti melodi dalam simfoni. Saya hanya ingin menyalurkan suka duka Guanlin-Seonho menjalani kehidupan bersama.

Dan, maaf juga saya publishnya terlalu lama. Karena akhir-akhir ini tugas semakin banyak jadi lagi gak ada waktu buat lanjut fanfiksi.

Ah ya, kalau boleh jujur niatnya saya ingin mempublish sequel ini akhir tahun—mengingat akhir-akhir ini tugas sekolah tak bisa diajak kompromi. Tapi, kebetulan juga waktu hari sabtu kemarin saya bermain ToD dengan ererigado, dia memberikan saya tantangan untuk mempublish sequel ini pada saat malam minggu.

Ya, walaupun telat pake banget saya publishnya /sungkem ke ererigado. Finally, saya publish juga xD

Terima kasih juga buat Erumin Smith yang sudah membantu saya membuat cover buat sequel ini—karena pada sejatinya saya nggak jago ngedit foto, hahaha.

And, happy birthday to our maknae Wanna One. Lai Guanlin! Ya, walaupun telat ngucapin, semoga semakin berjaya dan makin lengket sama Seonho ya xD

Terima kasih yang sudah membaca sequel ini. :)

-levieren225