Ocean

Chapter 1

.

.

Produce 101/Wanna One Fanfiction

Romance, Humor, Yaoi

Byeongari Couple/GuanHo

Lai Guanlin x Yoo Seonho

Rating: M

.

.

.

Happy Reading! -Buttermints-

.

.

.

South Korea, September 3rd, 2017

Seorang lelaki bersurai cokelat terlihat berdiri di balkon terbuka sebuah villa. Manik hitamnya tak lepas memandang hamparan biru dan putih yang membentang luas tepat di hadapannya. Ia tampak tak terganggu dengan semilir angin yang menerpa wajah manisya, helai cokelatnya tampak sedikit berantakan akibat tiupan angin. Bibir penuh itu tampak menyunggingkan senyum, menyiratkan sebuah kepuasan dan perasaan senang dalam hatinya.

Seonho sangat menyukai laut.

Baginya, laut merupakan sumber kebahagiaan kedua setelah keluarganya. Pernyataan itu bukanlah tanpa alasan. Saat kecil ia sempat tinggal di daerah yang dekat dengan pantai. Orangtuanya sering mengajak Seonho ke pantai di sela-sela waktu luang, sekedar untuk bermain-main dan menghabiskan waktu di sana. Sejak saat itulah ia jadi suka pergi ke pantai untuk melihat hamparan laut yang entah kenapa selalu berhasil membuat hatinya tenang.

Kesenangannya pada laut semakin bertambah ketika ia tak sengaja menemukan sosok tampan dengan kamera menggantung di lehernya tiga tahun lalu. Sosok itu tampak begitu menawan dengan kulit seputih susu, kaki jenjang, juga senyuman lebar yang memperlihatkan deretan giginya. Seonho merasakan love at first sight tepat ketika sosok itu menatap langsung matanya untuk pertama kali. Tatapan tajam yang mampu menawan hatinya.

Tatapan penuh cinta yang sangat ia rindukan.

Tatapan milik kekasihnya yang menghilang entah kemana selama hampir dua tahun lamanya.

"Kau pasti sedang memikirkannya lagi."

Seonho segera tersadar dari lamunannya, ia sedikit menundukkan kepala seraya menghela napasnya pelan. "Sekeras apapun aku mencoba melupakannya, aku tetap tidak bisa, hyung."

"Aku tahu apa sebenarnya tujuanmu mengajakku dan yang lain kemari." Kakinya melangkah mendekati Seonho, kemudian menyandarkan punggungnya di balkon. "Kau berharap bisa bertemu dengannya disini, tepat pada anniversarymu yang kedua besok."

Lelaki bersurai cokelat itu seketika bungkam. Jari-jarinya tampak menggenggam erat pagar bercat abu-abu yang mengelilingi balkon. Ia tidak sedang marah, hanya berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya.

"Seonho, lupakan dia."

"Hyung, tolong jangan berkata seperti itu."

"Dia sudah terlalu lama meninggalkanmu. Aku hanya tidak mau melihatmu terus-terusan bersedih dan mengharapkan sesuatu yang tidak pasti." Tangannya terulur mengusap helai kecoklatan milik Seonho. "Aku sama sekali tidak menentang hubungan kalian, hanya saja aku tidak tega melihatmu seperti ini. Berjuang sendirian, sementara kau tidak tahu kondisi pasti dari orang yang kau perjuangkan."

"Aku tidak masalah dengan itu, Donghyun-hyung." Donghyun seketika membalikkan tubuhnya hingga mereka saling berhadapan. Pria berpipi tembam itu masih tetap menundukkan kepalanya, berusaha menyembunyikan raut wajah sedih yang kini tengah menghinggapi wajahnya.

"Look at me." Perlahan wajah manis itu terangkat, menampilkan sepasang mata dengan genangan air mata yang siap meluncur kapan saja. "Kau masalah dengan itu semua, oke? Jadi berhenti membohongi perasaanmu sendiri dan ambillah sebuah keputusan yang baik untukmu"

"Hyung kau tahu aku tidak–"

"Kau bisa melakukannya." Donghyun menangkup pipi tembam adik tirinya. "Aku dan teman-temanmu ada disini untuk membantumu."

Seonho menghela napasnya pelan, ia akui jika semua perkataan kakaknya itu benar. Dibalik wajah tegar yang selalu ia tampilkan di depan semua orang, ia menyimpan rasa lelah yang sangat luar biasa jauh di dalam lubuk hatinya. Lelah menunggu kepastian yang tak kunjung datang.

Tak sadar setetes air mata meluncur turun dari matanya, disusul dengan tetesan-tetesan berikutnya yang membuat pipi tembamnya basah. Jemari Donghyun mengusap pelan lelehan air mata itu, ia sungguh tak tega melihat Seonho menangis seperti ini.

"Sudah, jangan menangis." Pria manis di depannya tampak menggigit bibir, berusaha menahan air matanya agar berhenti menetes. "Sepertinya hanya makanan yang dapat menenangkanmu. Bagaimana jika sekarang kita turun untuk makan siang?" Anggukan pelan Seonho membuatnya tersenyum, adiknya satu ini memang lemah dengan yang namanya makanan. Ia selalu makan disetiap kesempatan, terutama saat moodnya sedang jelek, ia akan makan dua kali lebih banyak dari biasanya.

Donghyun kemudian merangkul Seonho, menuntunnya beranjak dari balkon dan keluar dari dalam kamar untuk makan siang. Ia sengaja melontarkan beberapa candaan pada Seonho, mencoba mengembalikan senyuman manis di wajah manisnya.

.

.

.

~Buttermints~

.

.

.

Taipei, September 3rd, 2017

"Ini pesananmu, tiket penerbangan ke Seoul hari ini jam tiga sore." Pemuda berwajah oriental langsung menyambar lembaran kertas itu dengan wajah sumringah. "Semua keperluanmu disana sudah diurus oleh paman Kim, sesuai dengan permintaanmu."

"Finally... Thankyou brother." Ditepuk-tepuknya lengan kekar pria yang lebih tua, senyuman puas terpatri di wajah tampannya.

"No problem." Pria itu mengulas senyum di wajah manlynya. "Tapi aku akan ikut denganmu ke Korea, kebetulan destinasi bisnisku sama dengan tujuanmu. Kuharap kau tidak keberatan."

"Aish, tentu saja tidak hyung. Aku malah senang karena ada teman saat perjalanan."

"Syukurlah jika kau tidak keberatan." Senyuman di wajahnya terlihat semakin mengembang. "Ah iya, pesananmu yang satu lagi akan diantar paling lambat jam 11 siang. Kau tidak keberatan dengan itu?"

"Tak apa, kita masih punya banyak waktu."

"Oke, kalau begitu aku akan memeriksa beberapa dokumen dulu lalu siap-siap. Kau juga segeralah memeriksa barang bawaanmu, pastikan tak ada yang tertinggal."

"Oh ayolah hyung, kau bicara padaku seakan aku masih berumur 10 tahun." Gerutuan itu hanya dibalas oleh kekehan oleh pria yang lebih tua.

"Aku pergi dulu." Ia menepuk pelan kepala adiknya kemudian beranjak keluar dari kamar bernuansa putih itu.

"Ah, Dongho-hyung!" Pria itu menghentikan langkahnya kemudian sedikit membalikkan tubuhnya, menghadap orang yang baru saja memanggilnya. "Terimakasih."

Dongho tersenyum kecil. "Sama-sama Guanlin-ah. Aku pergi." Ia membalikkan tubuhnya dan kembali melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu.

Selepas kepergian sang kakak dari kamarnya, pemuda berdarah China itu beranjak menuju sebuah pintu yang menyambungkan kamarnya dengan ruang kerja. Senyuman di wajahnya tampak semakin merekah ketika pintu itu terbuka, menampakkan deretan kamera dengan berbagai merek dan jenis yang tersimpan rapi di sebuah rak kaca. Ya, ruangan yang disebutnya sebagai 'ruang kerja' itu merupakan ruangan tempatnya menyimpan alat-alat serta hasil dari hobinya di bidang fotografi.

Sejak kecil ia memang senang mengabadikan setiap objek yang dilihatnya dengan kamera. Kamera pertama yang dimilikinya adalah sebuah kamera polaroid mini yang diberikan oleh ayahnya saat ulang tahun. Kala itu Guanlin kecil selalu membawa kamera itu kemanapun ia pergi, memotret apapun yang dia lihat kemudian menunjukkan hasilnya pada ayah dan ibunya.

Ketika ia sudah menyelesaikan pendidikannya di sekolah menengah atas, ia menyatakan keinginannya untuk menjadi seorang fotografer profesional kepada sang ayah, namun keinginannya itu tidak disetujui oleh ayahnya karena suatu saat nanti Guanlin akan menjadi penerus perusahaan kedua setelah kakaknya. Oleh sebab itu ayahnya meminta Guanlin untuk mengambil jurusan ekonomi bisnis di universitas. Ia sempat sedih karena orangtuanya tidak mendukung cita-citanya, tapi setelah ayahnya berkata bahwa ia tetap boleh menjalani hobinya sebagai fotografer, rasa sedihnya lenyap seketika. Pada akhirnya ia setuju untuk menempuh studinya di Los Angeles selama 4 tahun sesuai dengan permintaan ayahnya.

Guanlin menatap foto graduationnya yang terpasang rapi di dinding. Ya, studinya sudah selesai tiga bulan lalu, tepatnya pada bulan Juni. Sebenarnya ia ingin segera kembali ke Korea setelah acara kelulusannya, namun niatannya itu terpaksa dibatalkan karena sang ibu menyuruhnya untuk kembali ke kediamannya di Taipei selama beberapa bulan. Tak ingin jadi anak durhaka, ia pun menuruti keinginan ibunya dan berangkat ke Taipei setelah menyelesaikan beberapa urusan di Los Angeles.

Pemuda China itu menghela napasnya pelan, kaki jenjangnya melangkah menuju sisi dinding yang berjendela. Netra gelapnya memandang lembaran-lembaran foto yang sengaja ia jepit menggunakan clip kayu pada seutas tali panjang yang terpasang di dinding. Diraihnya salah satu foto yang menampilkan sosok manis berpipi tembam. Sosok itu tengah tersenyum lebar ke arah kamera dengan hamparan laut sebagai backgroundnya.

Guanlin tersenyum, matanya menatap lekat pada lembaran foto yang dipegangnya, mengamati potret kekasihnya yang sudah lama tidak ia jumpai. Sekelebat ingatan tentang pertemuan pertama mereka berputar di kepalanya.

"Um, maaf apa bola itu mengenaimu?"

"A– Ah tidak, hanya menggelinding di sekitar kakiku tadi. Bola ini milikmu?"

Lelaki itu menganggukkan kepalanya. "Maaf sudah mengganggu kegiatanmu um–"

"Guanlin, namaku Lai Guanlin." Jawabnya cepat.

"Ah ye, sekali lagi maaf Guanlin-ssi. Aku permisi."

Guanlin buru-buru menangkap pergelangan tangan lelaki itu, menahannya agar tidak pergi.

"Kau– siapa namamu?"

Lelaki itu tampak gugup, ia lalu menjawab pertanyaannya dengan patah-patah.

"N– Namaku Y– Yoo Seonho."

Bayangan tentang pertemuannya dengan Seonho membuatnya terkekeh pelan. Ia benar-benar tak menyangka sebuah bola nyasar bisa mempertemukannya dengan seseorang yang mungkin akan menjadi 'jodohnya'.

"Aku akan segera menemuimu sayang, maaf membuatmu menunggu terlalu lama."

.

.

.

~Buttermints~

.

.

.

"Tidak tambah?"

"Um..." Seonho menggeleng dengan mulut yang sibuk mengunyah. Youngmin tertawa gemas melihat tingkah lucu Seonho, ia meletakkan piring berisi udang bakar di atas meja.

"Tumben sekali."

"Mungkin dia sedang diet untuk meniruskan pipi gendutnya hyung." Timpal Daehwi yang langsung dihadiahi pelototan oleh Seonho. Pria berpipi tembam itu segera menyelesaikan acara mengunyahnya untuk membalas ucapan menyebalkan Daehwi.

"Kau itu yang harusnya diet, lemak di pinggangmu bergelantung bebas seperti tarzan."

Seluruh penghuni meja makan seketika tertawa saat mendengar ucapan Seonho. Daehwi hanya bisa memandang Seonho dengan mulut menganga, seakan tak percaya jika teman baiknya itu baru saja melontarkan kata-kata yang cukup menohok baginya. 'Lemak' merupakan salah satu topik pembicaraan sensisitif baginya yang takut gemuk.

"Samuel, segera amankan kekasihmu, jangan sampai terjadi perang piring di meja ini." Saran Woojin langsung ditanggapi dengan anggukan oleh Samuel, sebab ia sangat-sangat paham bagaimana tingkah kekasihnya saat marah, benar-benar membahayakan nyawa manusia.

"Hahaha... Ya tuhan mereka lucu sekali." Hyungseob merangkul pundak pria bersurai caramel di sebelahnya yang sedang sibuk memainkan ponsel. "Woa woa... lihat ini, Jihoon sepertinya sedang sibuk chatting dengan seseorang." Jihoon buru-buru memasukkan ponselnya ke dalam kantong.

"Wahh dengan siapa? Bae Jinyoung anak kelas sebelah?"

"Aish, berhenti menggosipkan aku dengannya Woojin-ah."

Woojin menaik turunkan alisnya. "Akui saja... semua orang juga tahu bahwa kau sedang dekat dengannya."

"Ya tuhan... aku tidak dekat dengannya."

"Sayang sekali aku tidak percaya dengan pernyataanmu."

Jihoon menggeram pelan. "Orang yang kusukai bukan berasal dari sini, mengerti?"

"Lalu darimana? Kutub utara?"

"Dari Chi–" Ia buru-buru membungkam mulutnya dengan sebelah tangan.

"Chi? China maksudmu?" Seongwoo yang awalnya sibuk dengan Daniel akhirnya membuka suara. "Wah, ternyata di sini banyak sekali yang menyukai pria China."

"Memangnya siapa saja hyung?" Ujar Daehwi penasaran.

"Kekasih Seonho bukannya dari China juga?"

"Aaa... benar. Guanlin-hyung juga berasal dari China." Pria bersurai dark brown itu menolehkan kepalanya pada Jihoon. "Lalu, siapa namanya hyung? Dan darimana kau mengenalnya?"

Semua pasang mata tampak tertuju pada lelaki berwajah cantik yang tengah menggigiti bibirnya, berusaha menekan rasa gugup yang menderanya sejak tadi. Kepalanya terlihat menunduk, tak berani membalas tatapan–ayo jelaskan semuanya–yang dilemparkan oleh teman-temannya.

"Jangan menatapnya seperti itu, Jihoon-hyung merasa tidak nyaman." Suara Seonho akhirnya memecah keheningan yang mendadak menyelimuti mereka. "Mungkin hyung belum siap untuk menceritakannya pada kita semua. Tunggu saja ajakan makan malam gratis darinya."

"Dasar tukang makan."

Komentar yang dilontarkan Daehwi kembali memicu perdebatan di meja makan. Lawannya masih tetap sama, yaitu Seonho, pria manis berpipi tembam yang akhirnya bisa membuat perhatian orang-orang disekitarnya beralih dari Jihoon. Seonho sempat melirik kearah Jihoon disela-sela perdebatannya, Jihoon sontak mengalihkan pandangannya ketika tatapan mereka bertemu. Lelaki bersurai cokelat itu mengernyitkan dahinya ketika melihat Jihoon pergi meninggalkan meja. Apa dia baru saja melakukan kesalahan?

.

.

.

~Buttermints~

.

.

.

Jihoon semakin mempercepat langkah kakinya menuju halaman belakang villa. Jemarinya tampak menggenggam erat benda persegi panjang berwarna hitam yang bergetar sejak tadi. Ia segera mendudukkan dirinya di sebuah bangku panjang yang terhalangi oleh pohon ketika sampai di halaman belakang. Sesekali ia menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, memastikan jika tak ada orang yang mengikutinya.

Lelaki bersurai caramel itu menghela napasnya pelan, mencoba menormalkan detak jantungnya yang mendadak naik.

"Hampir saja... setelah ini aku akan lebih berhati-hati agar tidak mudah terpancing dengan pertanyaan mereka."

Matanya melirik pada layar ponsel, sebuah nama yang tertera pada layarnya mau tidak mau membuatnya tersenyum. Jarinya bergerak-gerak di atas layar, kemudian menempelkan benda persegi panjang itu ke telinganya.

"Halo, Jihoon-ah?"

"Ya ini aku, maaf tadi aku tidak mengangkat teleponmu."

"Tak apa, ah apa aku mengganggumu?"

"Tidak tidak hehe. Tadi hanya ada sedikit urusan."

"Syukurlah. Ada sesuatu yang ingin kusampaikan padamu."

Jihoon seketika menegakkan duduknya, mendadak rasa gugup kembali menyelimutinya. "A– Ada apa? Sepertinya penting sekali."

"Jadi begini, dalam waktu dekat aku akan kembali ke Korea." Ujar orang di seberang dengan nada senang.

Netra gelap Jihoon sontak membola, apa katanya tadi? Kembali ke korea?

"Halo, Jihoon? Kau masih disana?"

"A– Ah ne, aku masih disini dan u– um kau akan kembali ke Korea? Kau tidak sedang bercanda kan?"

Terdengar suara kekehan dari seberang sana. "Tentu saja tidak. Aku bahkan sudah membeli tiketnya dan siap berangkat." Ia menjeda sejenak kalimatnya. "Tolong beritahu dia untuk menungguku di lokasi yang sudah kutentukan. Nanti akan kukirim lokasinya padamu."

"B– Begitu... baiklah, nanti akan kusampaikan padanya."

"Syukurlah... maaf selama ini aku sudah banyak merepotkanmu Jihoon-ah, tapi hanya kau orang yang bisa kupercaya untuk membantuku."

"Haha... santai saja, kau kan sudah berteman lama denganku." Jihoon tertawa hambar.

"Ah aku jadi tidak sabar untuk bertemu dengan kalian semua."

"Aku juga, um... aku merindukanmu."

"Aku juga merindukan kalian semua." Lelaki di seberang tertawa pelan. "Kalau begitu kututup dulu, aku harus membereskan beberapa barang. Sampai bertemu di Korea Jihoon-ah.

"Um, sampai bertemu juga."

Kemudian sambungan telepon itu terputus, menyisakan Jihoon yang terduduk diam di kursinya. Matanya tampak menerawang ke hamparan laut di depannya, seperti sedang memikirkan sesuatu. Beberapa meter dari sana, seorang pemuda bersurai gelap tampak menatap ke arah Jihoon dengan segelas lemon tea di tangannya. Dahinya tampak mengernyit, mencoba mencerna beberapa percakapan yang berhasil di dengarnya.

"Kembali ke Korea? Siapa yang akan kembali ke Korea?" Gumamnya pelan.

.

.

TBC

.

.

I'm back! Ada yang kangen? Pasti nggak XD
Aku bawain Guanho lagi, kuharap readernim sekalian nggak bosen baca ffku yang kebanyakan charanya Guanho hehe. FF ini kemungkinan hanya 2-3 chapter, aku sengaja nggak bikin banyak-banyak karena takut bakalan nambah hutang hehe.

Pertama, aku minta maaf karena dengan santainya bikin ff baru sedangkan masih ada dua ff lagi yang masih belum selesai, maafkan aku readernimm. Aku janji setelah ini bakal ngelunasin hutang-hutang aku itu T-T.
Kedua, aku minta maaf juga atas keterlambatan update yang sangat lama. Seperti yang udah aku bilang sebelumnya, tugas-tugas itu seakan memelukku setiap saat. Tapi aku akan berusaha untuk tetap update meskipun lama, mohon kesabarannya yaa.
Ketiga, ada beberapa project yang tersimpan di folder aku dan belum aku post karena masih belum selesai. Project ini sengaja aku buat sebagai selingan sekaligus penanda bahwa aku masih hidup #apa.

Okay! Terimakasih bagi yang udah sempetin baca ff ini, jangan lupa klik favorite dan follow yaa. Satu lagi, aku tunggu review dari readernimm sekalian, karena komentar dan saran kalian semakin bikin aku semangat buat nulis hehe~
Kutunggu reviewnyaa~~

Next chapter bakal ada beberapa flashback tentang mereka/?.
See you in the next chapter!

Love

~Buttermints~