Prince of Tennis disclaimer by Konomi Takeshi-sensei
Love So Sweet by Rin Shouta
Rate : T
Genre : Romance, Friendship, Drama, Angst

Pair : Perfect Pair (Tezuka Kunimitsu x Fem!Fuji Syusuke aka Fuji Syuko)

Warning : Gender bender. AU (Little Canon), OOC, typos, etc. Niatnya ingin buat yang manis-manis saja, tapi who know? :) Don't like, don't read. I've warned you, 'kay?


#1 First Year JHS; First Encounter (Part 1)


Di dalam sebuah rumah bergaya Eropa, tiga bersaudara dengan hanya satu anak perempuan, sisanya laki-laki, sedang bercengkerama di ruang makan. Wanita berumur kepala empat tampak sibuk menyiapkan kotak bekal anak-anaknya sambil beberapa kali menyumbang suara. Walau suaranya lebih banyak bernada peringatan karena anak bungsunya dijahili oleh yang lebih tua. Namun hal itu yang membuat rumah jadi lebih hidup dan hangat, pikir wanita tersebut.

"Kaasan, Tousan kapan kembali ke Jepang?" tanya anak kedua yang berjenis kelamin perempuan.

"Hmm, kalau tak ada kendala, lusa depan Tousan kalian sudah pulang."

"Uwah, sepertinya aku harus membatalkan janji kencanku." Kali ini anak sulung yang berbicara seraya mengambil ponsel dari kantung kemeja motif garis putih dengan dasar warna biru muda.

"Aniki, bukannya kau janji akan menemaniku beli raket baru?" tanya si bungsu dengan nada kesal.

"Eh? Iya, kah? Wah, tak ada di jadwal~"

"Aniki!"

"Hush, Yuuta. Nanti aku yang akan menemanimu, sekalian beli sepatu baru. Oke?"

"Oke. Aneki memang lebih bisa diandalkan, hmph."

"Tapi kau harus pakai jaket yang kubelikan kemarin."

"...kutarik kata-kataku barusan."

Sang ibu tertawa pelan melihat interaksi ketiga anaknya. "Seorang laki-laki tidak boleh menarik ucapannya. Itu tidak manly. Nee, Syuko?"

Pihak yang ditanya mengangguk dan menyeringai, sementara anak bungsu bernama Yuuta memanyunkan bibirnya tidak suka.

"Saa, ayo kita mulai sarapannya. Yusuke, pimpin doa."

"Hai!"

Keempat anggota keluarga Fuji pun memulai kegiatan sarapan. Sesekali Fuji dan Yusuke menggoda Yuuta yang selalu sukses dibuat marah atau merona malu. Yoshiko hanya tertawa karena dengan melihat anak-anaknya rukun sudah membuat rasa rindunya terhadap sang kepala keluarga, Fuji Shinosuke, terobati meski tidak seutuhnya.


Love So Sweet


Mobil sport merah cerah berhenti di dekat pagar sekolah menengah pertama, Seishun Gakuen. Sang pengendara mobil menengok ke sisi kanan. Seorang gadis cantik terlihat sibuk menatap gedung sekolahnya yang baru. "Syuko, selesai sekolah langsung pulang. Okaasan cemas kalau kau pulang sampai malam," ujar Yusuke menasihati. Ia tersenyum lalu mengelus rambut cokelat adik perempuannya setelah Fuji mengangguk paham.

"Ne, ne, Niisan pernah sekolah di Seishun juga, kan?"

"Iya. Hanya setahun sih saat kelas satu, sebelum kita pindah ke Chiba."

"Apa gedungnya masih sama dengan yang dulu?"

"Hmm, mungkin di dalam ada perubahan di sana-sini."

"Sepertinya aku akan suka."

"Pasti. Kujamin itu."

Fuji Syuko keluar dari mobil setelah memberikan ciuman di pipi Yusuke. Ia merapikan sedikit rambutnya di depan kaca spion lalu menyeberang jalan yang masih cukup lengang. Sudah banyak murid yang berdatangan. Entah murid tingkat satu atau murid baru seperti dirinya, maupun tingkat atas yang sudah sibuk membagikan brosur tentang klub yang mereka ikuti.

Sebagai murid tingkat satu yang baik, Fuji menerima brosur sambil tersenyum. Ia terus melangkah menuju gedung gymnasium. Mata yang biasa tertutup kini dibiarkan terbuka dan memperlihatkan bola mata biru seindah air laut ketika brosur klub fotografi menarik perhatiannya.

"Hmm, mungkin aku harus ikut pootobu (baca: pooto kuraabu)."

"Hoi hoi, awaaaaas!"

"—eh?"

Bruk!

Fuji meringis karena rasa sakit di daerah pantat dan menjalar ke pinggang. Tak jauh dari tempat ia jatuh terduduk, ada si pelaku tabrakan yang juga sedang mengeluh kesakitan. Sadar dirinya dalam posisi berbahaya, Fuji langsung menarik ujung rok biru tuanya hingga menutupi lutut.

"Aa! Gomen gomen! Aku tak bisa menghentikan laju tubuhku, nyaa! Daijoubu?"

Fuji diam melihat betapa cepatnya murid laki-laki berambut merah dalam merubah posisi sehingga ia sudah berdiri sambil mengulurkan tangan kanannya pada Fuji. Menerima uluran tangan tersebut, Fuji berdiri dan menjawab, "Tidak apa-apa. Jujur saja, aku kaget tiba-tiba ditabrak."

"G-gomen, nyaa! Lain kali aku akan berhati-hati!"

"Ya. Sudah, tidak perlu diperbesarkan." Fuji tersenyum seperti biasanya.

"Oh iya, namaku Kikumaru Eiji! Murid baru!"

Mata Fuji masih terlihat menyipit sehingga bola mata birunya tak terlihat jelas. Ia memperhatikan tangan kanannya yang masih dipegang Kikumaru kemudian mempererat genggaman tangan.

"Fuji Syuko. Murid baru juga. Salam kenal, Kikumaru-kun."

"Sepertinya kau orang yang ramah, Fujiko-chan. Panggil aku Eiji saja, nyaa!"

Menarik, pikir Fuji karena baru kali ini bertemu orang yang memanggil dirinya dengan nama lain selain Fuji.

Genggaman tangan itu terlepas lalu Fuji mengangguk setuju. "Oke, Eiji-kun."

Semua murid baru langsung diberi arahan untuk segera menuju gedung gymnasium yang ada di arah tenggara. Selama itu pula Fuji ditemani oleh Kikumaru yang entah kenapa tak bisa diam. Fuji menyahut seadanya hingga pemuda dengan sebuah plester di hidung itu cerita tentang keinginannya untuk jadi anggota klub tenis Seigaku. Akhirnya mereka sepakat akan melakukan pertandingan jika keduanya resmi menjadi anggota reguler. Tentu saja Fuji yang mengusulkan kesepakatan tersebut, meski Kikumaru tidak yakin karena perbedaan stamina.

"Seperti tahun-tahun sebelumnya, kami menunjuk salah satu murid baru dengan nilai tertinggi seangkatan untuk berpidato. Siswa bernama Tezuka Kunimitsu bisa berdiri dan maju ke atas podium."

"Wah, nerdy?"

"Tapi wajahnya tampan"

"Eh? Bukannya dia imut jika dilihat dari samping?"

"Calon murid populer, ya?"

"Iya, iya!"

Kikumaru menatap dua gadis yang duduk di sebelah kiri Fuji sebelum arah pandangnya tertuju pada sosok yang sudah menaiki anak tangga podium. "Uwah, pakai kacamata," bisiknya.

Fuji pun ikut menatap murid bernama Tezuka Kunimitsu. Ia tersenyum tanpa alasan yang jelas. Ketika matanya tanpa sengaja bertemu dengan sepasang bola mata berwarna hazel, senyumnya makin lebar. Tak ada rasa takut bagi Fuji karena ditatap balik dengan tatapan dingin. Justru rasa kagum terpercik di hatinya begitu melihat aura biru gelap menguar dari tubuh Tezuka.

"Dia cocok jadi seorang pemimpin."


TezuFem!Fuji


Tak terasa waktu berlalu. Sudah dua minggu berlalu sejak upacara penerimaan murid baru dan Fuji masih tidak tahu harus masuk ke klub apa. Ia masih ragu dengan keputusannya menjadi anggota klub fotografi. Di kelasnya, 1-5, ada lima murid yang masuk klub tenis. Tiga tenis putra dan dua tenis putri. Salah satu yang menarik perhatian Fuji adalah Oishi Shuichiro.

Dari luar memang Oishi terlihat biasa saja. Tapi terkadang Fuji melihat aura emas di sekitar tubuhnya. Saat aura itu keluar, entah kenapa ia malah teringat sosok Kikumaru yang auranya merah keemasan.

"Fuji-chan memperhatikan Oishi-kun lagi?" Gadis yang duduk di depan Fuji tersenyum jahil. Namanya Itou Akari.

Fuji hanya geleng-geleng kepala sambil menaruh kotak bekal ke atas meja. "Aku merasa auranya familiar, Itou-chan. Bukan berarti aku menyukainya."

Itou (seperti biasa) menyusun mejanya sendiri hingga ia bisa duduk berhadapan dengan Fuji. Sejujurnya, Fuji sedikit heran. Dari semua teman sekelas, hanya gadis ceria dan berpenampilan tomboi ini yang mau dekat-dekat dengannya. Sekitar tiga hari yang lalu Fuji baru tahu kalau teman sekelasnya kurang nyaman dengan ekspresinya yang suka tersenyum sampai kedua matanya hanya membentuk garis melengkung ke atas.

Yaaaaa... mau bagaimana lagi? Ini kebiasaanku, pikir Fuji sambil mencuci tangan di wastafel.

"Jangan terlalu diambil pusing. Mereka hanya iri padamu, kok."

"...begitukah?"

"Ya! Mereka iri karena kau cantik, Fuji-chan!"

"...um, arigatou?"

"Hehehe~"

Jika ingat kejadian yang cukup awkward di kamar mandi itu, Fuji masih tak habis pikir dengan sikap Itou yang terlalu jujur dan blak-blakan. Masalahnya, jarang sekali (malah baru pertama kali) Fuji dipuji 'cantik' secara langsung oleh sesama jenis. Tapi ia tahu, Itou tidak ingin membuatnya sedih, walau itu salah besar.

Aku bersekolah di sini bukan untuk mencari popularitas atau teman yang hanya datang saat ada maunya, tapi aku...

"Jangan melamun. Dimakan dong, bekalnya~"

Fuji mengangguk pelan. "Itadakimasu."

"Jadi, kau sudah memutuskan masuk klub fotografi?" tanya Itou.

"Entahlah. Aku masih belum yakin. Bagaimana denganmu?"

"Hmm, aku sudah mengajukan formulir ke klub basket putri. Hari ini aku mulai latihan."

Tawa pelan terdengar dari arah Fuji. "Cocok, kok. Kau jago main basket waktu PE kemarin."

"Ehehe, sou?" Itou menggigit nasi kepal keduanya lalu menyuap telur gulung. Bola mata hitamnya bergerak ke lapangan terbuka. Kelas 2-3 dan 1-2 baru saja selesai PE. "Ne, Fuji-chan. Bagaimana pendapatmu tentang Tezuka Kunimitsu?" tanyanya tiba-tiba.

Arah pandang Fuji mengikuti pandangan Itou. Sosok Tezuka menjadi pusat perhatian beberapa orang di lapangan, termasuk dari kelasnya dan Fuji sendiri. Dari luar, Fuji akui tak ada yang spesial dari Tezuka. Ia melanjutkan kegiatan makan siangnya sebelum mengeluarkan pendapat. "Biasa saja. Tapi aku berpikir, Tezuka-kun cocok jadi pemimpin."

"Nah, aku setuju dengan itu." Itou mengangguk mantap.

Alis sebelah kanan Fuji terangkat.

"Aku sekelas dengannya selama dua tahun di Seiharudai Daiichi."

"Hmmm... sou ka."

Senyum jahil kembali terlihat di wajah Itou. "Kau tidak ingin mengenal lebih jauh tentang Tezuka, Fuji-chan? Instingku mengatakan, kau juga tertarik dengannya, fufufu."

Fuji tertawa mendengarnya. "Kalaupun iya, aku bisa mencari tahu sendiri, kok."

"Oke deh~ Tapi jangan sungkan untuk minta bantuanku, ya." Kali ini Itou menyeringai.

"Ya. Terima kasih, Itou-chan."

"Fufufu, sama-sama."


Perfect Pair


Fuji menghela napas pelan seraya menyerahkan kertas formulir yang sudah diisi. Pada akhirnya ia juga memutuskan untuk masuk klub tenis putri karena dua senior aka Ketua dan Wakil Ketua klub sendiri yang meminta. Mereka sempat melihat Fuji ikut pertandingan tenis putri tunggal dan menjadi juara satu di turnamen Kantou. Sementara Fuji sendiri tidak yakin, apakah ia bisa menjadi anggota tim dengan serius sebagai anggota Seigaku.

"Sip. Besok kau boleh ikut latihan, Fuji-chan!" ucap Ketua klub, Tamura Eiko.

"Hai. Yoroshiku onegaishimasu, Tamura-buchou." Fuji menunduk sebentar lalu tersenyum.

Ia berbalik dan berjalan menuju gedung utama. Hari ini ia ada jadwal pertemuan di klub fotografi. Fuji juga akan meminta izin pada Ketua klub fotografi bahwa ia tidak bisa datang tiap hari. Jika tidak diizinkan, Fuji berniat untuk keluar dari klub tersebut.

Langit sudah mulai menggelap ketika kegiatan klub fotografi selesai. Semua anggota bersiap pulang. Fuji pun bergegas menghampiri sang ketua.

Dari gerak-geriknya Fuji tahu, Kanagawa Sasaki menyadari tentang Fuji yang masuk klub tenis. Pemuda yang tahun ini sudah masuk tingkat 3 itu masih duduk di kursinya sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada. Bola mata cokelatnya bertemu dengan bola mata biru Fuji. Setelah semua peralatan, termasuk compact camera merek Fujifilm X100T miliknya, sudah masuk ke dalam tas, Fuji berjalan mendekati Kanagawa.

"Kanagawa-buchou, ada yang ingin kubicarakan denganmu," ucap Fuji.

Senyum tipis terlihat di wajah sang ketua. "Pasti soal kau masuk klub tenis."

Fuji mengangguk pelan. "Aku tidak bisa datang tiap hari, mungkin. Jika kedatanganku membuat Buchou dan anggota yang lain risih, aku akan mengajukan formulir resign."

"...kenapa mesti resign?"

"Karena aku tidak serius jadi anggota klub fotografi."

Mendadak Kanagawa tertawa hingga dua anggota terakhir yang lain sudah berada di ambang pintu menengok ke arah mereka. Kanagawa melambaikan tangan kanan, memberi gestur 'tidak apa-apa' pada dua anggota tersebut yang dibalas dengan anggukan kepala sebelum mereka benar-benar keluar dari ruang klub.

"Aku sudah tahu, dari awal kau memang tidak serius, Fuji-chan! Jadi, tidak masalah, kok. Kuharap kau masih mau menjadi anggota klub fotografi karena kau punya potensi untuk jadi fotografer profesional. Meski sekarang belum terlihat dengan jelas," ucap Kanagawa.

"Begitu, ya? Kalau begitu, terima kasih, Buchou." Fuji tersenyum lega.

"Pada dasarnya kegiatan klub hanya ada untuk mengembangkan kreativitas murid. Sah-sah saja kalau satu murid mengambil dua atau tiga kegiatan klub untuk menemukan passion-nya sendiri. Benar, kan?"

Fuji mengangguk. Setuju dengan pendapat ketuanya ini. Ternyata di balik wajah kekanak-kanakannya, Kanagawa punya pemikiran yang cukup dewasa.

Saat Fuji ingin undur diri, tiba-tiba atmosfer berubah. Kanagawa masih memperhatikan Fuji sambil menyangga dagu. Seorang Fuji Syuko tidak akan lari dari apapun itu, termasuk jika Kanagawa meminta Fuji untuk melakukan sesuatu supaya Fuji diizinkan jadi anggota klub bayangan di klub fotografi.

"Tapi tak ada yang gratis di dunia ini, Fuji-chan," ucap Buchou pada akhirnya.

"Aku tahu," jawab Fuji santai seraya menarik kursi di dekat Kanagawa lalu duduk di atasnya.

"Kau pasti kenal Tezuka Kunimitsu, kan?"

Perasaanku tidak enak, pikir Fuji. Gadis itu berdeham. "Hanya tahu nama dan orangnya."

Ekspresi Kanagawa berubah serius. "Sejak awal kulihat semua foto-foto yang kau potret selalu landscape, alam, dan hewan. Aku berpikir, apa itu karena kau buruk jika memotret manusia?"

Fuji tidak mengangguk atau menggeleng. Ia hanya tersenyum seolah mengatakan, 'ketahuan, ya?'.

Kanagawa menyeringai. Kepalanya mengangguk singkat, menyetujui ide yang terbersit di benaknya. "Selama satu minggu, kau jadikan Tezuka-kun sebagai objek fotomu. Perlihatkan padaku foto yang menurutmu paling bagus hari Senin minggu depan. Lebih baik kalau kau perlihatkan lebih dari satu foto."

Helaan napas terdengar kemudian. "Satu minggu?"

Kanagawa mengangguk lagi. "Aku tidak terima foto selfie. Harus foto candid."

Kepala Fuji menengok ke kiri, tidak ingin memperlihatkan ekspresi tidak suka pada sang ketua. Dengan cepat Fuji kembali menengok ke arah Kanagawa. "Tapi itu berarti tidak apa 'kan kalau aku memotretnya tanpa izin? Barusan kau minta foto candid, loh."

"Hmmm, benar juga."

Fuji tersenyum. Dalam hati berharap permintaannya diganti dengan yang lain.

"Tetap potret Tezuka-kun, tapi sebelum kau berikan fotonya padaku, kau harus minta izin."

"E-eeeeeh..."

Kali ini Kanagawa yang tersenyum. "Meminta izin pada manusia yang kita potret itu adalah salah satu peraturan dasar yang harus dilakukan seorang fotografer, Fuji-chan."

"Baiklah. Apapun cara yang kugunakan, asalkan aku bisa memperlihatkan hasil fotonya padamu, tidak apa-apa, kan?" tanya Fuji memastikan.

Kanagawa mengangguk seraya mengulurkan tangan kanan. Fuji menerima uluran tersebut.

"Deal."

To Be Continued

Hello! Nama saya Oto Ichiiyan! Panggil Ichi saja. ^^ Sejujurnya saya baru-baru ini suka Prince of Tennis dan sedang OTW nonton semua tenimyu. :') Sejak awal nonton PoT, saya suka Perfect Pair. So here I go. Made one of TezuFuji pair, even though this is a gender bender and straight. Saya sudah banyak baca fanfic dalam bahasa Inggris. Saya memang gak fasih bahasa Inggris, tapi saya ingin menyumbang fanfic yang baru-baru ini draft-nya saya buat. Kelak saya akan buat TezuFuji versi canon dan berbahasa Indonesia. :')

Judul fanfic ini gak ada sangkut pautnya dengan lagu Arashi. Cuma akhir-akhir ini aja saya suka dengerin versi coveran utaite. Di situ ada lirik yang terjemahannya cukup buat saya tertarik untuk dijadikan judul fanfic.

Memory, I've been chasing this dream all this time, even if we go far away
No matter how tough the night, even if you're about to give up on your promise
Smile more, my final lady, this love is sure to softly reach you
There's no night that won't give way to the dawn, love so sweet

Sekian dari saya, Ichi desu~ Yoroshiku onegaishimasu! #bow :3 BANZAI, PERFECT PAIR!