Aku merindukan saat-saat itu

Saat di mana seuntai kurva masihlah acap merekah di bibirnya

Saat di mana ia masih semangat dan giat berlatih, seolah bola basket separuh nyawa, separuh dari kehidupan seorang Aomine Daiki.

Aku kembali mengambil napas. Menghirup oksigen guna meringankan dadaku yang sesak terus memikirkan ini.

Berubahnya sikap, pun sifat Dai-chan, ialah ketika tim kami menang melawan Seirin di final Winter Cup lalu.

Rekor urung pernah sekalipun kalah mematahkan gairah serta menghentikan semua yang ia bangun selama ini. Kemenangannya melawan Tetsu-kun tidak membuat Dai-chan jadi lebih baik, melainkan lebih buruk.

Akhirnya tiba juga aku di pintu atap sekolah. Aku melangkah cepat, karena kuyakin Dai-chan sedang bermalas-malasan di sana sekarang.

Merebahkan punggung, menggunakan dua lengannya sebagai bantalan, memejam mata, membiarkan terik membakarnya, dan tidur sampai bel pulang berbunyi.

Cleck

Tapi hari ini ... aku melihat Dai-chan berbincang dengan seseorang di sana.

Warna rambut, serta wajah itu rasanya tidak asing.

Apalagi Dai-chan seperti mengenalnya.

Tapi anak laki-laki itu, aku baru melihat ia hari ini di sekolah.

Anak baru kah?

.

.

What do the boys think?

Story (Kimono'z n Baka DimDim)

Naruto (Masashi Kishimoto)

Kuroko no Basket (Fujimaki Tadatoshi)

Penulis tidak meraup keuntungan apapun dari fanfiksi ini. Isi cerita berdasar imajinasi penulis. Kevalidan informasi yang disajikan bukan 100%. Fanfiksi ini sebatas hiburan. Kesalahan kepenulisan berupa TYPO(S) dan EBI yang belum benar bukan sengaja.

Selamat membaca

.

.

Hoaamm ...

Daiki menguap lebar. Menggaruk rambutnya yang sama sekali tak gatal--berjalan menuju tempat favoritnya selepas denting bel istirahat berbunyi.

Masih dengan raut malas Daiki menghempaskan punggung, tidur beralas ubin kotor yang baginya ialah kasur terbaik. Daiki bukan orang yang begitu peduli ini bersih atau tidak, empuk atau tidak, nyaman atau tidak, asal bisa memejamkan mata saja, artinya tempat itu cocok untuknya.

Namun hari ini Matanya tak bisa langsung memejam. Langit ribuan kaki di hadapan wajahnya tampak begitu cerah. Musim panas, angin menggiring awan yang menutupi langit biru guna menjauh.

Sudah enam bulan semenjak hari itu. Musim dingin yang membekukan, musim dingin yang tak terlupakan.

"Howaaah ..."

"Indahnya pemandangan dari atap sini."

Daiki menoleh mendengar suara tersebut tak jauh darinya.

Hal yang sama pun di lakukan pemuda itu.

Sepasang netra biru gelap bertemu pandang dengan safir cantik sebening angkasa di atas sana. Rambut pirangnya bergoyang kala ditiup oleh angin berembus sepoi.

"Daiki?" Ujarnya melihat Daiki dengan ekspresi kurang percaya.

"Naruto?"

Ternyata Daiki pula mengenalnya.

"Kenapa kau ada di sini?"

.

Sebagai seorang manajer tim basket di sekolahnya, suah menjadi kegiatan rutin bagi Satsuki membawa banyak barang kala menuju gimnasium sekolah.

Handuk yang baru ia ambil dari atap usai setengah hari dijemur, ditambah sejumlah botol air minum. Satsuki begitu kerepotan membawanya apalagi ketika menuruni tangga. Pandangan ke depan bahkan tertutup oleh handuk, sampai-sampai ia tak tahu di hadapannnya adalah seseorang dan Satsuki menabraknya.

Buuuggg

Semua barang bawaan Satsuki jatuh, termasuk dua belas botol air mineral yang menggelinding menuruni tangga.

'Aghrrrr ...' Dalam hati Satsuki mengerang, 'yang benar saja?'

Satsuki segera mengumpulkan botol-botol itu kembali. Belum sempat ia meminta maaf, lelaki yang ia tubruk dengan baik hati menolongnya. Membantu Satsuki mengumpulkan botol-botol minuman tersebut ke dalam keranjang, lantas menumpuk handuk di atasnya.

"Terimakasih," Satsuki membungkuk.

Sang pria menggeleng pelan dan tersenyum.

"Maaf tadi menabrakmu ..."

Satsuki baru sadar, pemuda di hadapannya ini adalah orang yang sama dengan sosok laki-laki yang beberapa hari lalu duduk di atap bersama Daiki.

Semakin dilihat dari dekat, semakin tak terasa asing saja. Wajah yang manis dan terkesan hangat. Tapi siapa?

"Kalau boleh biar kubantu," ujar Naruto.

"A-ah, tapi ini akan sedikit merepotkan?"

"Tidak masalah. Bukankah sebuah beban akan menjadi ringan bila dikerjakan bersama?"

"A ... baiklah, terimakasih bantuannya."

"Sama-sama,"

Di sepanjang jalan menuju gimnasium, mereka saling diam. Dalam hati Satsuki terus mengingat-ingat siapa pemuda di sampingnya, pun yang dirasakan oleh pemilik tanda lahir berupa tiga garis tipis di masing-masing pipi itu.

Naruto menggali ingatannya lebih dalam, dalam, agar ia tahu siapa gadis di sisinya. Sepasang iris magenta yang cantik, juga helaian merah muda yang terurai panjang sepinggang. Cantik sekali. Tetapi siapa?

"Konnichiwa Minna ..." Sapa Satsuki pada semua orang setiba di gimnasium.

"Akhirnya kau datang juga. Aku sudah menunggumu dari tadi tahu!" Wakamatsu segera mengambil air dari keranjang yang dibawa Satsuki.

"Hehehe ... maaf-maaf,"

"Terimakasih Momoi," sambung sang kapten, Imayoshi Shoichi melakukan hal yang sama.

Bum ... bum ... bum ...

Terdengar pantulan bola teratur digiring mendekati ring. Aomine Daiki, pemuda berkulit tan itu mendribble bolanya. Dengan satu lompatan--bertumpu di kaki kanan, bola tersebut berhasil masuk ke dalam keranjang.

Napas Daiki terdengar memburu. Ia tampak mengusap keringat di wajahnya menggunakan kaus hitam yang ia pakai.

"Dai-chan, minum ..." Satsuki menghampiri Daiki, memberinya sebotol air mineral.

Satsuki sangat senang karena akhir-akhir ini Daiki mau kembali berlatih. Sudah dua harian ia tak bolos latihan. Entahlah, apa yang terjadi padanya sebelumnya. Setidaknya, Daiki yang dulu, Daiki yang sangat mencintai basket, sedikit demi sedikit, walau perlahan, Satsuki lihat mulai kembali.

"Usap wajahmu dengan handuk Dai-chan, keringat di bajumu mengandung bakteri yang dapat menimbulkan masalah jerawat bila kau mengusap wajahmu seperti itu,"

Siapa peduli? Toh selama ini Daiki melakukannya dan baik-baik saja. Seperti seorang anak kecil yang sedang dimanja ibunya. Satsuki dengan pelan dan telaten, mengusap pelipis Daiki menggunakan handuk.

Kadang hal inilah yang memicu kecemburuan anggota lain. Siapa tidak mau diperlakukan demikian oleh seorang wanita cantik?

"Kau sudah dewasa, Dai-chan. Belajarlah sedikit ..."

Naruto masih berdiri di ambang pintu. Sedari kepindahannya ke sekolah ini, ini baru kali pertama baginya mengunjungi gimnasium sekolah.

Rupanya, tempat ini begitu luas dan lumayan bersih. Atensi netranya pun turut menangkap sosok yang berdiri di depan gadis yang datang bersamanya.

Naruto tersenyum melihat pemuda itu pula berbalik menatapnya sekarang.

"Naruto?" Ucap Daiki seakan kurang percaya.

Naruto sekadar melambaikan tangan seraya mengembangkan senyum lebar.

"Kau mengenalnya, Dai-chan--?"

Belum sempat pertanyaan Satsuki dijawab, Daiki sudah berlari mendekati lelaki itu.

"Naruto? Kau datang ke sini?"

Naruto mengangguk, "Aku tadi membantu manajermu membawa barang bawaan. Kasian dia, seharusnya tim basket ini memiliki satu staf lagi yang membantunya."

Daiki menoleh ke belakang, menatap Satsuki.

"...?" Satsuki tentu merasa aneh dipandang seperti itu. 'Ada apa?' batinnya.

"Maksudmu Satsuki?" Tunjuk Daiki pada Satsuki.

"Iya, gadis itu."

Agaknya Daiki terheran. Bagaimana pun kerut penuh tanya di dahinya tak dapat disembunyikan.

"Kau tak mengenalnya?"

Naruto sudah berusaha mengingat-ingat, tapi tetap ia lupa gadis itu siapa. Mungkin hanya memiliki kemiripan dengan seseorang yang pernah ia jumpai di masa lalu.

"Jadi kau benar-benar lupa? Dia Momoi Satsuki. Gadis kecil cengeng yang suka mengikutiku kemanapun,"

"Dai-chan!" Protes Satsuki dari belakang.

Naruto kembali terdiam menggali informasi dalam otaknya ketika mendengar nama itu.

Momoi Satsuki ...

Momoi ...

Satsuki ...

"Ah--" ia ingat sekarang.

Pantas seperti pernah melihat. Gadis itu adalah gadis kecil berkuncir dua yang selalu menemani Daiki kemana-mana.

Tatapan Naruto kembali terarah pada Satsuki.

'Dia tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik.'

"Naruto?"

"Oi, Naruto!"

"Iya?"

"Kebetulan kita mau main. Bukankah sudah lama sejak saat itu?" Daiki mengarahkan tinjuannya ke wajah Naruto, akan tetapi tidak sampai memukulnya. Sebatas berhenti di depan wajah. "Bagaimana kalau kita bertanding?"

Pandangan Naruto kembali mengedar ke sekeliling. Ia menatap anggota tim lainnya. Seorang pemuda berkaca mata, si pirang yang tadi sempat membentak Satsuki, pemuda berambut cokelat dan memiliki wajah seperti perempuan, lalu lelaki yang memakai jersey nomor punggung tujuh, serta beberapa pemain lain.

"Bagaimana?" Tanya Daiki sekali lagi memastikan.

"Mainlah,"

Raut Daiki mulai senang mendengar jawaban Naruto.

"Tapi aku tak bisa menemanimu. Maaf, aku sudah lama berhenti bermain basket."

"Basket, bukan sesuatu yang menarik lagi bagiku."

"A-apa? Bukankah dulu kau sangat menyukainya?"

"Tapi hari ini bukan dulu, Daiki. Kau tak bisa memprediksi masa depan hanya dengan memandang hari ini, atau yang terjadi di masa lalu. Aku sudah lama meninggalkan itu jauh sebelum kepindahan ku ke sini. Aku bahkan tak ingat bagaimana cara mendribble bola la--"

Bouggg

Kali ini pukulan Daiki benar-benar mengenai pipi kiri Naruto. Daiki tidak lagi bercanda. Jawaban Naruto cukup ampuh memprovokasi emosinya.

"Yang benar saja!" Daiki menarik kerah seragam Naruto.

"Dai-chan!"

Satsuki sepontan berlari mendekati dua orang yang sekarang terlihat bersitegang itu.

"Lepaskan tanganmu, Dai-chan!" Pinta Satsuki berusaha melepaskan cengkraman Daiki dari leher seragam Naruto, namun sia-sia saja. Tenaganya tak lebih besar dari lelaki itu. "Dai-chan, lepaskan!"

"Kau tak bisa berhenti semudah itu, Sialan! Bukankah dulu kau pernah bilang setelah kembali kita akan bermain lagi? Membuktikan siapa yang lebih hebat! Tapi kenapa kau malah begini?!"

Sudut bibir Naruto tampak sobek akibat pukulan Daiki. Naruto sepertinya tidak berniat meladeni lebih lanjut teman masa kecilnya itu.

Di sampingnya, Satsuki terus memaksa Daiki untuk melepas cengkramannya, akan tetapi Daiki tetap tak mau mendengarkan.

"Jangan bercanda, Berengsek!"

Salah satu alasan Daiki kembali berlatih ialah kepulangan pemuda itu. Dulu, di masa kecil, mereka acap bermain di taman tak jauh dari rumah mereka.

Naruto selalu menjadi lawan imbangnya, bahkan tak jarang ia kalah dari bocah penggila ramen tersebut.

Di lapangan basket dalam area taman itu, mereka sering memainkan basket jalanan dengan orang-orang yang lebih tua; anak SMP, SMA, tak jarang mahasiswa. Dan keduanya selalu menjadi tim kuat yang dikagumi lawan-lawannya.

Daiki merasa Naruto adalah setitik pendar selepas hari-hari gelap ia lalui. Orang yang kemungkinan dapat mengalahkannya, dan membuatnya mengerti apa itu kekalahan. Rasa sesak yang tumbuh ketika melihat papan skor di mana tim lawan memiliki poin lebih unggul, atau tatkala orang-orang memandangnya sebagai pecundang. Hasrat yang aneh, memang. Tapi Daiki sungguh-sungguh menginginkannya.

"Tak menimbulkan masalah apapun bagimu sekalipun aku tidak bermain lagi. Aku tidak mau melakukannya dan kau tak bisa memaksaku." Naruto mendorong tubuh Daiki, kemudian ... ia memilih pergi.

Meninggalkan Daiki yang masih shock.

Padahal, Daiki tlah berharap begitu banyak Naruto dapat menggapai tangannya dan mengeluarkan ia dari kegelapan.

Kenapa?

Kenapa?

Kenapa?!

"Kau berlebihan Dai-chan!" Terlihat kekecewaan di wajah Satsuki.

"Tak seharusnya kau bersikap seperti itu kepada temanmu!"

Satsuki pun meninggalkannya untuk mengejar Naruto. Sebelumnya, gadis itu telah memberinya tatapan ketus.

"Aggrrrr ... Sial!" Daiki mengumpat.

.

"Naruto-kun, Naruto-kun tunggu ..."

Naruto sejumlah jengkal jauh di hadapannya. Walau sudah berusaha mengejar, langkah Naruto terlalu cepat bagi kakinya.

Naruto rasanya tak mendengar teriakannya.

Satsuki sesaat bernapas lega, lantaran melihat pemuda berbelok ke taman sekolah. Dari kejahuan, Satsuki lihat Naruto duduk di sebuah bangku taman.

"Naruto-kun," akhirnya Satsuki dapat menyusul Naruto.

Saat ia kembali melangkah mendekati Naruto, tanpa sengaja kakinya tersandung dan jatuh. Untung ada Naruto di sana. Lagi-lagi ia berbuat ceroboh, dan lagi-lagi Naruto yang menolongnya.

"Kau tidak apa-apa?"

Pelan Satsuki mengangguk. Pipinya merona sebab malu, sekaligus gugup karena jarak wajah mereka yang begitu dekat. Naruto dengan sigap menahan tubuhnya ketika hendak jatuh ke tanah.

Keduanya pun kini duduk bersebelahan. Duduk pada kursi panjang di bawah pohon sakura. Tidak ada bunga senada warna rambutnya yang mekar sekarang. Yang ada, cahaya menelusup di balik celah-celah dedaunan, serta gemirisik daun tertiup sepoi angin.

"Jadi kau adalah Naruto-kun yang dulu ya? Pantas, wajahmu rasanya familier."

"Hehehe ... aku juga merasakan hal yang sama saat bertemu denganmu tadi," ujar Naruto menggaruk pipinya.

"Kau sudah lama kembali dari Amerika?" Tanya Satsuki lagi.

"Tidak kok. Baru bulan kemarin. Aku juga tidak tahu bila kalian bersekolah di sini,"

"Ahaha ... kebetulan sekali ya?" Satsuki terdengar menjeda. Ia terlihat mengambil napas, lalu mengembusnya perlahan. "Tadi itu ... maaf. Dai-chan akhir-akhir ini memang sering emosi."

"Ta-tapi aku yakin kok, dia sebenarnya tidak bermaksud seperti itu. Dai-chan masihlah lelaki kecil yang kita kenal dulu. Anak nakal yang sangat peduli pada teman-temannya."

"Hm ... aku tak mempersalahkannya kok. Lagipula bukankah dari dulu aku dan Daiki memang sering bertengkar?" Ucap Naruto tersenyum.

Dari wajah, ia tahu Satsuki merasa bersalah dan sangat sedih.

"Dai-chan ingin sekali kau menjadi lawannya dan merasakan kekalahan. Aku yakin, alasan itu pula yang membuat dia begitu marah padamu."

"... maksudmu?"

"Dai-chan, sebenarnya tak sesemangat dulu, Naruto-kun."

"Di SMP, Dai-chan menjadi seorang ace sama seperti sekarang. Perekrutan anggota tim begitu ketat di sekolah kami. Tapi Dai-chan mampu melewatinya dengan cukup mudah. Dai-chan selalu berlatih, berlatih, dan berlatih. Tim kami dikenal sangat hebat, bahkan mendapat julukan Generasi Keajaiban dari tim sekolah-sekolah lain. Mereka tak pernah terkalahkan."

"Dari situ aku mulai sadar jika perlahan Dai-chan merasa bosan. Tapi ia tak pernah bolos latihan. Tim kami yang awalnya mengandalkan kerjasama tim, akhirnya menjadi individualis dan bertaruh siapa yang dapat mengumpulkan poin paling banyak, artinya dia pemenangnya. Mereka merasa tak ada satu tim pun di SMP yang dapat mengalahkan mereka, atau menyingkirkan eksistensi Teiko dari kejuaraan basket nasional. Hal itu berlangsung hingga kami lulus sekolah."

Sampai di sini, Naruto jadi makin tertarik mendengar cerita Satsuki lebih lanjut.

"... lalu?" Ucapnya agar Satsuki segera melanjutkan ceritanya.

"Di hari kelulusan, mereka--Generasi Keajaiban--sependirian untuk tidak satu sekolah, dan bersepakat saling menjadi lawan guna membuktikan siapa yang terhebat. Namun Akashi-kun, kapten tim kami, ayahnya mengirimnya ke London untuk belajar di sana. Jadi yang tersisa tinggal empat orang, dan satu bayangan."

"Bayangan?"

"Um." Satsuki mengangguk. "Kesuksesan tim kami tak lepas dari keberadaan Tetsu-kun. Dia adalah partner hebat Dai-chan. Dai-chan cahaya, dan Tetsu-kun adalah bayangan. Hawa keberadaan Tetsu-kun sangat tipis sehingga banyak pemain lawan tak menyadarinya. Karena itulah, Tetsu-kun disebut bayangan."

"Lalu apa yang terjadi setelahnya? Mereka saling bertanding kan?"

"Tentu saja. Sebab Dai-chan dan aku memilih Too Gakuen. Tetsu-kun ke Seirin, Ki-chan ke Kaijo, Midorin melanjutkan sekolah ke Shutoku, lalu center kami, Mu-kun, di Yosen. Kami bertemu di Winter Cup, dan mereka semua kalah oleh kekuatan Dai-chan."

"Dari situ Dai-chan tak lagi semangat berlatih. Berlatih hanya akan membuatnya menjadi monster yang tak terkejar. Berlatih hanya akan menambah poin saja untuk timnya di papan skor. Dai-chan menginginkan kekalahan, Naruto-kun. Terdengar aneh. Tapi ini nyata."

"Hari itu ... aku melihat Dai-chan bersamamu di atap sekolah. Semenjak itu juga Dai-chan mulai kembali berlatih."

"Dai-chan pasti berharap kau dapat mengalahkannya, Naruto-kun. Maafkan sikap berlebihan Dai-chan tadi ya? Dai-chan sedang banyak pikiran."

Di sini yang Naruto tangkap, adalah perhatian berlebih Satsuki pada Daiki. Ia tidak mempermasalahkan soal tadi, sebenarnya. Tapi ia pula tak mau memberi Satsuki harapan lebih. Ia sudah memutuskan untuk berhenti bermain basket, pun tidak lagi terlibat dalam permainan itu. Ia tidak akan memegang si kulit bundar itu lagi. Ia tak mau memainkannya, apapun alasannya.

"Aku memang tidak berniat bermain basket lagi, Satsuki."

Satsuki pelan mengangguk, "iya, tidak apa-apa. Aku mengerti, Naruto-kun."

.

.

.

Surya tlah lama membenamkan diri di kaki langit. Membiarkan rembulan mengambil alih eksistensinya sejenak, mempersilahkan temaram dari sejuta asterik berpedar menjadi pelita di kubah gelita.

Di rumah itu, dari kamar yang dari luar tampak sorot cahaya lampu, dua orang saling duduk berhadapan. Ia melipat kedua tangannya di depan dada. Dengan bibir cemberut, memandang kesal pemuda berkulit tan yang seperti tak peduli dengan ekspresi marahnya. Pemuda itu lebih berkonsentrasi pada mulutnya yang sedang menikmati keripik kentang.

"Dai-chan, kau harus memperbaiki sikapmu atau kau takkan memiliki teman."

Tak acuh. Daiki membuka bungkus kripik kentangnya yang ketiga. Kali ini rasa barbeque.

"Aku tak peduli."

"Dai-chan! Tapi kau sudah keterlaluan pada Naruto-kun."

"Bukankah dari dulu kau yang menginginkan dia kembali? Tapi saat dia datang, kenapa kau justru seperti Ini, Dai-chan? Untung Naruto-kun tak marah padamu."

"Kau mengejarnya?"

"Aku hanya melakukan hal yang semestinya kau lakukan."

"Kau tak perlu ikut campur, Satsuki. Aku melakukan hal yang benar."

"Benar? Kau memukul wajah Naruto-kun, kau seolah menantangnya dengan menarik bajunya. Dai-chan, aku benar-benar tak habis pikir dengan jalan pikiranmu ini."

"Kau menjadi orang yang mudah marah dan sangat tempramental. Besok kau harus minta maaf padanya!" Satsuki merebut keripik kentang Daiki.

"Oi kembalikan, Satsuki."

"Tidak. Aku akan mengembalikannya setelah kau meminta maaf pada Naruto-kun."

"Sudah ku katakan kan kau tak perlu ikut campur, Satsuki! Untuk apa aku meminta maaf pada orang yang dengan sengaja membuang bakatnya?"

"Sebelum tinggi seperti sekarang, Naruto dulu sempat mendapatkan penghargaan sebagai point guard terbaik. Lalu sekarang dia seenaknya bilang tak bermain lagi? Aku takkan minta maaf. Pulang sana. Ini sudah malam!" Bentak Daiki.

"Rumahku hanya selangkah di samping rumahmu, Dai-chan. Jendela kamarku saja kelihatan," lirik Satsuki menatap jendela kamarnya di seberang jendela kamar Daiki. "Kau tak perlu khawatir aku pulang malam atau pagi sekali pun."

Tch

Daiki pun menguap--walau sesungguhnya ini hanya pura-pura--Daiki menghempaskan punggungnya ke kasur. Membekap wajahnya menggunakan bantal. Sejujurnya ia bosan mendengar kecerewetan gadis itu.

"Atau kau mau tidur di sini bersamaku?"

"Berbaringlah, Satsuki. Kita bisa tidur seranjang seperti masa kecil dulu." Ucap Daiki tanpa menunjukkan wajahnya, yang seketika membuat rona di wajah Satsuki merah padam.

"Hentaiiiii!"

Bouggg

Satsuki meninju perut Daiki

"Satsukiiiiii!"

.

"Point guard terbaik Jepang ..."

Satsuki menulisnya dalam kolom pencarian.

Setelah pulang dari rumah Daiki, ia segera membuka laptop untuk memastikan kebenaran perkataan teman sedari kecilnya itu.

Ada banyak nama disebutkan; Inuzuka Kiba dari Nagoya, Hyuuga Neji dari Hokkaido, Otsutsuki Toneri, Rock Lee ... Satsuki terus membacanya sampai bawah.

"Tahun 2011, Uzumaki Naruto ..."

Ah, pertandingan resmi pertama yang Daiki ikuti bersama Naruto semasa sekolah dasar, sebelum kepindahan Naruto ke negeri Paman Sam.

"Dai-chan tidak berbohong ..."

Rasa penasaran membuat Satsuki menulis nama Naruto dalam kolom pencarian.

Yang ia temukan setelahnya, membuat sepasang kelereng fuchsia miliknya membelalak.

Satsuki menemukan fakta akan kehebatan Naruto di bidang basket lebih jauh dari yang ia bayangkan.

Uzumaki Naruto, leads nominations for 2014 Kid's best Point Guard Award at California Interscholastic Federation.

.

.

Bersambung

.

Holla ... Fanfiksi ini hasil kolab kami (BakaKi) untuk ultah karakter favorit saya/kukukuku/Aomine Daiki/selamat ulang tahun sayang/oke, Delushit:"

Selamat ulang tahun Dai-chan*

Fanfiksi ini akan update setiap hari/yeeeeeeiiiiii/

Selamat membaca:)))

Selamat Hari Raya Idul Adha

Mohon maaf lahir dan batin:)