SOTUS The Series – GMM TV Ltd / BitterSweet

BTS – Big Hit Entertainment

Seventeen - Pledis Entertainment

Penulis tidak mengklaim apapun selain penulisan kalimat dalam bahasa Indonesia dan perubahan seperlunya

.


.

.

Aula tempat pengambilan nomor pelatihan mahasiswa baru tidak seasing yang dibayangkan Namjoon. Mungkin karena dua kali mengalami hal serupa dan suasananya tak jauh berbeda. Kemeja panjang, celana hitam, dasi bersemat logo universitas, lengkap beralas sepatu mengkilap. Drum, gitar, terompet, flute, hingga ukulele berbunyi bersamaan di tangan sejumlah mahasiswa yang mengisi sesi kosong menunggu antrian rekan-rekannya yang bergantian menuliskan nama di buku peserta. Derik ayunan marakas menggelitik di dekat telinga dan Namjoon menoleh sekilas, seorang pemuda berkulit pucat tengah menggoyang benda tersebut sambil menatapnya tak bertenaga.

"Kau bisa membuat anak kecil menangis dengan wajah seperti itu."

"Aku bosan," Yoongi mengapit marakasnya di ketiak dan berjalan mendahului. Namjoon turut mengekor, sibuk mengurai tali tanda pengenal yang terbelit. 0082. Bukan tanggal lahir maupun angka yang unik. Langkah lebar Namjoon menjajari Yoongi dalam sepuluh ketukan. Teman lama. Tiga bulan lebih tua darinya, dan tak bertambah tinggi sejak sekolah menengah. Pemalas nyentrik, ujar Namjoon, melihat bagaimana Yoongi memutuskan untuk tak bergerak lagi setelah bersandar nyaman di dinding aula. Acuh pada lingkaran-lingkaran riuh berisi sekitar lima hingga enam mahasiswa yang menyanyi bersahutan, saling memainkan alat musik, sesekali bergoyang tanpa komando dan mendorong rekan lainnya mengikuti gerakan mereka.

"Senang?" gumam Yoongi, masih terpejam, lengan terlipat di dada, "Kau tak berhenti tertawa sejak di luar tadi."

"Lumayan," Namjoon bertepuk tangan menyemangati seorang gadis yang menirukan gerakan grup idola di salah satu lingkaran, "Terlalu banyak warna yang harus dilihat di luar negeri, jadi kurasa dikelilingi hitam dan putih selama seminggu bukan hal yang buruk."

"Kupikir kau akan berkomentar soal absennya gadis-gadis yang datang ke kampus memakai bra."

"Kau terlalu banyak menonton televisi, hyung."

Yoongi melengos dan Namjoon tergelak renyah ketika seorang panitia menunjuk pemuda itu agar berdiri dan ikut menari. Sepasang rekan di kedua sisi antusias menyuruh Yoongi bangkit dengan saling memegang bahu, namun yang bersangkutan kokoh bergeming bagai batu di tempatnya duduk.

"Namjoon."

"Bukan aku yang ditunjuk."

"Gantikan aku."

Namjoon tertawa sambil berusaha menolak tarikan rekannya yang ingin ditemani unjuk gigi. Seorang pemuda berkacamata tebal bersorak mendukung, dua jarinya diacungkan penuh semangat. Dua pemuda lain, salah satunya berkulit gelap dengan kaki jenjang yang lebih menjulang dari tungkai Namjoon sigap menggerakkan lengan ke kiri dan kanan. Sementara seorang lagi, bertubuh lebih kecil dengan rambut terpangkas sebatas tengkuk, sudah sibuk berjongkok menunggu aba-aba.

"Ayolah, Namjoon."

"Hyung, aku..."

Kalimatnya terputus oleh bunyi menggelegar dari seberang. Pintu aula terbuka kasar dari dua arah. Dalam sekejap mata, seluruh mahasiswa berhenti bergerak serta bergegas meletakkan apapun yang mereka pegang. Ratusan kepala kembali pada posisi sesuai pengayaan dan bersila membentuk sejumlah barisan, tak terkecuali Namjoon. Beberapa diantaranya menengadah sambil saling berbisik. Derap kaki bersepatu tebal menjejak lantai menuju panggung lantai dua. Bendera-bendera beragam simbol menancap mengelilingi dinding tempat kelompok pendatang tersebut berdiri. Sembilan, batin Namjoon. Ah, tidak. Sepuluh orang. Mengenakan kaus hitam di balik jas biru gelap berhias lambang fakultas di dada kanan. Lima orang mengambil tempat di bagian depan, lima lainnya berjaga di setiap pilar. Mahasiswa tingkat atas. Aura mereka tak bisa berbohong.

"SELAMAT DATANG, ANAK TAHUN PERTAMA!" seru sosok berambut warna tembaga dari tengah jajaran. Poni tersisir ke samping, mata berpendar mengamati ruangan, "Namaku Seokjin. Kim Seokjin. Tahun ketiga di jurusan teknik. Bersama senior-senior yang telah ditunjuk, kami bertugas memantau kalian selama setahun ke depan, memberi pengarahan, serta menjamin bahwa kalian berlaku disiplin dan mematuhi semua aturan. Kuharap kalian sanggup bekerjasama dengan baik dan tidak bertindak konyol selama pelatihan."

"Kuucapkan selamat karena kalian berhasil lolos ujian masuk," pemuda berdagu lancip, satu-satunya yang berwajah lunak meski tetap mengintimidasi, kini menimpali, "Tapi jangan besar kepala sebab kami belum sepenuhnya menerima kalian sebagai junior. Setidaknya sampai kalian mendapat pengakuan, bukti otentik yang diwariskan dari tiap angkatan."

Seokjin menyambut kalimat rekannya dengan mengeluarkan seutas tali biru tua dari saku jas. Tersimpul pada dua bagian, berbandul sebuah gerigi keemasan, "Benda di ujung tali ini terbentuk dari gigi-gigi yang bekerja secara sistematis dan memegang peranan penting dalam susunan mekanisme. Jika ada satu gigi yang hilang, maka sistemnya tak akan berfungsi dengan sempurna. Karena filosofi tersebut, roda gigi menjadi pedoman jurusan kita. Lambang kehormatan, rasa bangga, harga diri, dan gengsi yang tinggi. Tidak merujuk pada satu orang, tapi sebuah kesatuan," jelasnya, menekan nada bicara di ujung kalimat, "Sebelum kalian bisa memegang benda ini, kalian harus benar-benar paham tentang arti dari SOTUS."

"Tidak hanya itu!" seru senior berambut coklat buram di sebelah kanan. Rahangnya terpahat simetris, mata kehijauan penuh dominasi, "Semua harus hadir di tiap pertemuan yang tercatat dalam buku panduan. Tak ada kata terlambat. Tak ada alasan bodoh. Tak perlu berlagak. Dan yang paling penting, hormati senior kalian!"

"Terakhir," rangkum Seokjin, "Anak tahun pertama wajib menaati perintah dan melakukan apa yang kukatakan. Seluruhnya."

Barisan kepala di lantai bawah mengangguk bersamaan.

"Sekarang, apa kalian ingin tahu siapa saja—kami, yang sedang bertugas mengawasi?"

Mereka kembali mengangguk.

"KUULANGI! APA KALIAN INGIN TAHU SIAPA SAJA YANG SEDANG BERDIRI DI DEPAN SAAT INI?! JAWAB YANG BENAR!"

Kali ini mereka berdengung bersamaan. Lebih keras.

"Kalau begitu, perkenalkan diri kalian lebih dulu pada para senior dan mintalah tanda tangan mereka!" Seokjin berteriak tanpa ekspresi, "SERIBU BUAH! Tidak kurang! Tidak lebih! Kuberi waktu satu minggu mulai dari sekarang!"

Raut-raut terperanjat bermunculan diiringi desis tak setuju yang langsung menjalar ke penjuru ruangan. Ada yang menganga, terlonjak, hingga yang sigap mengerang tak sanggup. Masing-masing saling berpandangan diiringi bisik keberatan bercampur raut putus asa. Lelucon yang sungguh tidak lucu. Jadwal kegiatan mereka tak terbatas berpencar menemui senior, ada kelas yang perlu dihadiri di sela-sela pelatihan dan menggenapi jumlah sebanyak itu jelas bukan perkara mudah. Berpasang-pasang mata melempar pandang ketus pada Seokjin, sukses memaksa yang bersangkutan melotot tak kalah seram.

"ADA MASALAH?" bentaknya kali ini. Dahi terlipat menunggu reaksi, "Biar kuberitahu aturan yang sopan untuk menyela. Berdiri tegak, sebutkan nama beserta nomor induk sebelum mulai bicara. Lakukan berurutan. Jangan seenaknya memotong kalimat tanpa ijin."

Tidak bagi Namjoon.

Pantatnya bergeser tak sabar, lengan kanannya terentang vertikal dan bergegas bangkit dari lantai. Tubuhnya yang menjulang sangat mencolok di tengah kerumunan mahasiswa yang bersila di sekitar, termasuk Yoongi yang menopang pelipis sembari mendesah maklum. Rupanya sang teman lama masih punya hobi berontak seperti biasa.

"Kim Namjoon. 0082. Mohon diijinkan bertanya."

Alih-alih menanggapi, senior berjarak satu lantai darinya tersebut tampak tersinggung. Bahu lebarnya berkedut dengan mata berputar gusar.

"Satu minggu tak akan cukup untuk seribu tanda tangan. Bahkan mustahil untuk dikerjakan."

"Oh ya? Tidak cukup katamu? Apa sudah ada yang mencoba?" seloroh Seokjin, mengamati sekeliling, "Kalau menerima tugas kecil saja tak sanggup, bagaimana kalian bisa menghadapi jadwal kuliah yang lebih gila dari ini?"

"Apa senior bisa memberi kami sedikit kelonggaran? Setidaknya satu bulan."

"SATU BULAN?" ulang Seokjin melengking, "Kau bercanda, ya? TIDAK! Tak ada tambahan!"

"Jika senior ada di posisi kami, apa senior mampu mengumpulkan ribuan tanda tangan dalam waktu singkat?"

Yoongi mendesah makin keras, kekehnya mulai terbit seiring bunyi siulan dan komentar lirih dari berbagai sudut. Pemuda di samping kiri Seokjin sampai harus berpaling akibat kalimat Namjoon. Sekilas memergoki rekannya menggerakkan leher dengan tak nyaman, sinyal kesal yang terlalu jelas.

"Kau tak punya hak membalikkan pertanyaan padaku," sergahnya masam, "Tugas dari senior tak bisa diganggu gugat dan kalian harus menyelesaikannya tepat waktu. Paham?"

Namjoon bergeming. Seokjin meledak.

"AKU BERTANYA! APA KALIAN PAHAM?!"

Sisa mahasiswa mengangguk serentak. Namun Namjoon berkeras tutup mulut dan menolak merendahkan pandangan meski Yoongi menarik-narik celananya agar rekan keras kepala itu kembali duduk. Bahkan ketika para pengawas tahun ketiga berurutan meninggalkan panggung dan keluar dari aula, Namjoon tetap berdiri di tempatnya.

"Ayolah, jangan terlalu tegang. Kalian boleh selonjor jika ingin," panitia pelaksana yang sejak setengah jam tadi berada di bagian ujung buru-buru mendekati barisan dan sibuk mengatur keriuhan. Salah satunya memegang pengeras suara seraya mengibaskan tangan ramah, "Namjoon, duduklah. Tenangkan dirimu."

Meniup poninya pasrah, Namjoon melipat kaki di dekat Yoongi yang segera menepuk-nepuk bahunya sambil menyodorkan gelas air mineral yang masih bersegel, sementara panitia membagikan buku seukuran kartu pos bersampul biru muda yang nantinya akan digunakan sebagai tempat senior membubuhkan tanda tangan.

"Ambil satu tumpukan lalu bagikan ke belakang. Jangan lupa tulis nama beserta nomor induk di kolom sampul. Disarankan memakai huruf besar dan goresan yang tebal," peringatan terlontar dari pengeras suara, "Bagi yang belum memiliki tanda pengenal, silakan meminta pada panitia."

"Hei," pemuda berkacamata tebal menyenggol siku Namjoon, kulitnya begitu terang meski tak sepucat Yoongi, "Tadi kau terlihat keren sekali. Ngomong-ngomong namaku Wonwoo. Apa aku boleh memanggilmu Joon?" cengirnya menyembul ceria ketika Namjoon mengiyakan, "Kau punya rencana malam ini? Dan kau, eeee."

"Yoongi, Min Yoongi," tukas Yoongi kalem, menguap selebarnya, "Aku tak punya acara, tapi jika ingin mengajak main game atau sejenisnya, maaf, ajak Namjoon saja."

Wonwoo menganga, "Woah, cenayang."

"Ada yang mau bermain? Apa boleh bergabung?" pemuda keling di belakang Wonwoo turut menimpali, "Aku tahu tempat bagus dengan koneksi internet paling cepat di kampus. Mau mencoba?"

Dengkur Yoongi mulai menyapa telinganya dan Namjoon hanya tertawa menjawab tawaran-tawaran tersebut, "Tentu, akan kuseret makhluk ini nanti."

"Namaku Mingyu. Kim Mingyu. Kita berkumpul jam delapan."

"Sampai bertemu di depan asrama," tutup Wonwoo bersemangat. Namjoon membalas jabat tangan mereka lalu beralih mengisi kolom nama sambil menggaruk kening. Tujuh hari dan sepertinya tak akan berjalan mulus. Sungguh senior yang sulit.

.


.

.