Izuku duduk di kursinya, tremor tangan tak bisa ditahan meski ia kekap di dalam pelukan.

Laki-laki itu menyundut sebatang rokok, lalu menghela asapnya cukup kencang hingga wajahnya samar tertutup kabut putih.

"Bicaralah." Katanya.

Suaranya dalam, berat dan terkesan gelap. Seakan suara itu menggema dari dalam dadanya. Lantunan ucapannya selalu sukses mengetuk batin Izuku dengan perasaan yang bertumpang tindih—takut, senang, panik.

Laki-laki itu bernama Todoroki Shoto.

Laki-laki yang dinikahinya 10 hari yang lalu.


Fajrikyoya, proudly present:

.

.

REKONSILIASI

.

.

Pair: multiple, but mainly in Todo x DekuFem!

Rate: M for futher adultery and disturbing content(s).

Disclaimer: My Hero Academia© Kohei Horikoshi. This fanfiction is purely mine.

Warning: AU. Absolutely OOC. Typo(s). Abal. Alay. Gajelas. Tidak memenuhi Kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Mengandung banyak istilah yang bisa jadi disalah-artikan oleh author. Cerita yang bakal twisting upside down. Dapat menyebabkan mual, muntah, bete, kesal, giting berkepanjangan dan ketagihan berlanjut. Membaca lebih lanjut diluar tanggung jawab author. Tidak suka? Silakan klik back.


Izuku hanya bisa tertunduk. Shoto tidak tampak ingin membuka pembicaraan. Ia lebih memilih hening memisahkan keduanya, dan kepulan asap tipis semakin merentangi hubungan keduanya. Izuku sendiri hanya gadis penakut yang tampak masih canggung dengannya. Tidak ada yang bisa disalahkan dari semua kekakuan yang memuakkan ini. Sejak awal, mereka memang tidak saling kenal sama sekali. Shoto bahkan baru melihat wajahnya satu hari sebelum keduanya dipaksa untuk bersumpah untuk menjadi suami-istri di depan pegawai pencatatan sipil.

'Onegai, Shoto. Ini semua demi ibu...'

Demi ibu apanya? Bahkan ibu yang dijanjikan tua bangka bajingan itu tidak datang pun tidak memberi kabar—seakan-akan kata 'ibu' adalah sandi rahasia yang membuat Shoto harus tunduk pada segala rencana tengik ayahnya.

Keparat.

"Ano..." Izuku bergumam. "Ibuku bilang, kalau awal-awal pasti canggung. Tapi, setelah itu...harusnya semua berjalan lancar. Dan..dan..dan kalau Shoto minta, aku nggak boleh nolak. Jadi...ya?"

Wajah Izuku merah padam ketika mengucapkannya. Shoto terhenyak, lalu terkekeh parau.

"Kau meminta kita melakukan seks?" Shoto membenamkan puntung rokoknya ke asbak.

Izuku mengangguk pelan sekali. Wajahnya semakin tertunduk.

"Begini, ya..." Shoto menghela nafas. "Aku tidak keberatan. Tapi, seks itu berpengaruh besar pada psikis wanita, tahu."

Izuku membuang muka. Rambut panjangnya yang bergelombang bergoyang-goyang.

"Ya sudah." Shoto berdiri. "Kita coba saja, ya."

Ia sendiri sebenarnya merasa canggung dan tolol. Tentu saja, Todoroki Shoto dari dulu dikenal sebagai laki-laki yang paling enggan membina rumah tangga. Banyak konflik yang terlalu takut ia hindari. Peduli setan mau apa kata ayahnya soal banyak anak banyak rezeki atau kata ibu mertua—ibunya Izuku tentang hidup bahagia hingga tua. Pada kenyataannya, orangtuanya sendiri tidak sukses membina rumah tangga bahagia, sementara kedua mertuanya hidup terpisahkan jarak karena ayah Izuku bekerja di luar negeri.

"Ayo..."

Izuku ragu-ragu meraih tangan Shoto, dan menurutinya berjalan menuju kamar. Shoto jarang bicara, sehingga Izuku jarang pula mengajaknya mengobrol. Pribadinya dingin dan acuh. Pemilihan kata dan topiknya jadi sangat terbatas, sehingga sembilan hari sebelumnya mereka hanya duduk berhadapan atau bersebelahan, makan bersama dalam diam, nonton televisi, Izuku menemani Shoto merokok, lalu mereka hanya tidur bersebelahan.

Tidak lebih.

Hening masih menjadi jurang yang tak terjangkau satu sama lain.

"Ngg..." Izuku duduk dengan kikuk di atas futon. Ia terkesiap ketika Shoto mulai menanggalkan kemejanya. "...ja...jadi kita mulai?"

"Kan kau yang mengajakku, Izuku." Shoto mendecih. "Ini bukan balap marathon yang harus pakai aba-aba."

"I..iya, benar..."

Sadar bahwa sang istri terlihat gemetar saat membuka pakaiannya, Shoto mendekatinya perlahan hingga jarak diantara keduanya hanya sebatas tarikan nafas. Ia mendorong pundak Izuku cukup keras sehingga ia terhempas ke futon. Shoto menarik lepas atasan Izuku, menampilkan payudara montok yang begitu mulus. Izuku memejamkan matanya, pipinya merona dan kedua tangannya tersilang di depan dada.

"Kau takut?" tanyanya.

Izuku mengangguk. "Entahlah. Sedikit."

Shoto mengarahkan satu tangan Izuku ke wajahnya. Tangan Izuku kecil sekali, dan terasa hangat dan lembut. Kontras dengan kulit suaminya yang berkulit pucat, sedikit kasar dan begitu dingin. Dingin sekali hingga Izuku terkesiap.

"Sh..Shoto...apa kau selalu sedingin ini?!"

Shoto mengangguk. "Sejak kecil."

"Bu..bukankah itu berbahaya? Maksudku, kalau keringat dingin kan biasanya ada sakit di organ dalam atau sedang kena infeksi. Bahkan ada yang bilang itu tanda-tanda sakit jantung atau gejala kanker atau—ubh!"

Tangan dingin Shoto membekap mulut Izuku. "Tenanglah. Badanku dingin karena tekanan darahku rendah."

Izuku mengangguk-angguk. "Jangan sering minum es. Minuman dingin menurunkan tekanan darah, kan?"

Shoto tersenyum kecil. "Tahu dari mana?"

"Internet."

Alis lelaki itu bertaut. Izuku bisa sebegitu percaya berita simpang siur yang tersebar di Internet? Shoto akan mengecam dirinya baik-baik bahwa kalau sampai Izuku mengalami over reacting karena suatu hal yang sepele, ia harus memprosesnya dengan kepala dingin dan kemudian memutus layanan internet kabel di rumah itu agar istrinya tidak menyerap berita dari sumber yang tidak jelas.

"Shoto..."

"Hnn?"

Izuku menempelkan tangannya di ekor mata Shoto. "Ada bulu mata jatuh."

Tangan mungil itu kemudian memercik-mercik di antara helai-helai rambut merah-putih tersebut.

"Kata ibuku dulu, kalau ada bulu mata yang jatuh di kiri, tandanya ada yang kangen."

"Hmm?" Shoto menggumam, menelusupkan wajahnya di ceruk bahu Izuku. "Kalau di kanan?"

"Shoto sedang kangen...dengan seseorang."

Perkataan itu benar-benar terasa menyakitkan. Sadar dengan perubahan air muka suaminya, Izuku langsung menelengkan kepalanya dengan panik.

"Ma...ma...ma...maksudku...itu kan cuma takhayul. Aku nggak maksud..."

Hening kembali menyelimuti.

"...maaf..."gumam Izuku. "Aku bikin mood-mu rusak, ya?"

Shoto menghempaskan tubuhnya di samping Izuku. Filamen-filamen memori mendadak tumpah, membuat segala kelumit yang mengeruhkan pikiran. Tidak, semua ini bukan salah Izuku. Tidak ada yang salah dengan takhayul dan semacamnya. Bukan karena ajakan bercintanya juga.

Entahlah.

Shoto merasa dirinya begitu bingung.

"Shoto..."

Izuku menatapnya dengan pandangan khawatir. Meski sulit, Shoto berusaha menarik seulas senyum kecil.

"Jangan pasang wajah begitu." Shoto meraih helai bergelombang hijau tua itu dan memilin-milinnya. Rambut Izuku lucu, gelombangnya akan memantul kecil dipelintir dengan jari-jari tangan. "Aku tidak apa-apa."

Izuku beringsut, menyelinap masuk ke dalam selimut dan membawa dirinya ke samping sang suami. Shoto memutar tubuhnya, dan kini mereka berhadapan.

"Aku...besok mau ke kantor." Gumam Izuku. "Sudah mulai editing dan revisi."

"Hmm." Shoto memejamkan matanya.

"Dan juga mau belanja. Bahan makanan sudah banyak yang kosong. Shoto punya kesukaan khusus atau harus makan merk tertentu, nggak?"

"Hnn." Shoto menggeleng pelan.

Izuku terdiam. Cukup lama sampai Shoto mengira istrinya sudah tertidur.

"Maaf..." katanya lagi. "Aku cerewet, ya?"

Todoroki Shoto beringsut, membuat dirinya lebih terbenam ke dalam selimut mereka yang tebal dan hangat.

"Izuku yang cerewet lebih baik..."


"Haaah?! Ganti naskah?!"

"Iya. Ini permintaan kepala editor. Storyline dan isinya dinilai tidak relevan."

"Enak saja. Kupikir akan dibedah perbab, lalu mulai dirombak perlahan-lahan."

"Maafkan aku, Izuku-chan. Editor yang baru benar-benar sulit dibujuk. Tapi dia tidak menolak naskahmu. Jadi, kurasa semuanya akan berjalan lancar kalau kau mau bekerja sama sedikit."

"Dipikir gampang apa ganti naskah?! Dasar kurang ajar."

"Maa...maa...tenanglah, Izuku-chan."

Izuku membalik panekuk yang ia buat, lalu menaruhnya di piring porselen. Ia kemudian menuang kembali adonan ke atas panci anti lengket hingga enam lembar panekuk selesai dibuat. Wajan itu di lap dengan tisu, kemudian kembali dipanaskan. Lalu ia mengeluarkan bacon dari kulkas dan menggulungnya dengan daun bawang, lalu memanggangnya di wajan yang tadi.

"Izuku-chan? Izuku-chan?"

"Iya, aku sedang masak sarapan." Ucap Izuku agak geram. "Aku malas membahasnya di telepon. Bisa kita bicarakan di kantor nanti?"

"Aku sudah membuat janji dengan editor kepala jam 1 siang. Jadi santai saja, oke?"

"Uhm."

PIP.

Izuku memutus telepon dan membiarkan ponselnya tergeletak di meja makan. Sejak dulu jika sedang berada di rumah, Izuku akan menerima telepon menggunakan fitur loudspeak sehingga ia bisa mengerjakan pekerjaan yang lain tanpa harus terfokus pada telepon.

Selesai mengepak bekal untuk Shoto, Izuku menghidangkan sarapan dan membereskan dapurnya. Shoto baru keluar dari kamar setelah selesai merapikan penampilannya. Rambut nyentriknya di sisir rapi, ditarik ke belakang namun sisi kirinya jatuh di dahinya begitu saja. Rambut Shoto sangat lurus, bandel dan lemas, sehingga tetap akan terkulai berantakan serapi apapun tatanannya—kecuali menggunakan hairdo stylish seperti waktu acara pernikahan mereka.

"Shoto, rambutmu—"

"Diam. Biarkan saja." Shoto memotong ucapan Izuku. Ia menyelipkan sebatang rokok di bibirnya dan mulai memantik api.

"Hai." Izuku mengangguk segan. "Teh, kopi?"

"Masih ada cocoa?"

"Ah, ada."

Kemarin, Izuku membuat coklat panas tanpa gula dan Shoto mencicipinya seteguk. Rasanya yang kental, pekat dan pahit mungkin agak asing di lidah semua orang, namun nampaknya mereka berdua memiliki kecocokan dalam hal ini. Izuku membuat dua gelas hot cocoa tanpa gula, dengan taburan kayu manis untuknya dan sedikit bubuhan bubuk pala untuk Shoto, lalu mereka berdua menikmati sarapan berupa panekuk hangat dengan mentega dan madu.

"Shoto?"

"Hmm?"

"Enak, nggak?"

Shoto tidak menjawab. Ia menyeruput kokoa panasnya dan memantik sebatang rokok lagi. Piringnya licin, tandas bersih. Izuku melanjutkan makannya dengan raut muka kurang senang.

Sebelum sarapan sebatang, setelah sarapan sebatang lagi.

"Kau mau kuantar ke kantor?" tanya Shoto tiba-tiba.

"Eh?" Izuku mengulum garpunya. "Kenapa?"

"Aku belum pernah ke sana. Cuma ingin tahu."

Izuku nampak merona, lalu ia menggeleng lagi. "Nggak usah. Janjiannya siang. Tsuyu-chan tadi bilang mau berangkat bareng. Jadi paling aku menumpang mobilnya."

Ucapan Izuku hanya dibalas dengan helaan kabut tipis.

"Izuku."

Punggung sang istri menegang. Shoto menjejalkan puntung rokoknya ke dalam asbak.

"Kenapa diam?"

Izuku tertunduk. "Aku...harus bilang apa?"

"Apa saja, terserah." Shoto menghabiskan coklat panasnya. "Aku cuma mau mendengarkanmu bicara. Itu saja."

Mendengarkanmu bicara? Izuku mencelos dalam hati.

"Aku berangkat."

Shoto menyambar kotak bekalnya berikut kunci mobil. Izuku mengantarnya hingga pintu depan, namun tidak ada kecupan perpisahan yang diterimanya. Mesin mobil menderu, lalu perlahan hilang bersama entitas kaku berambut nyentrik itu, pergi menuju kantor. Izuku hanya terdiam sejenak memandangi garasinya yang kosong tanpa arti, lalu kembali ke dalam rumah.


hai hai semuanya.

Saya udah lama sebenernya ngikutin BnHA (animenya aja tapi) dan baru berani menceburkan diri ke dalam fandom ffn-nya. Ini adalah salah satu dari sekian karya saya yang straight. Technically, alurnya bakal agak gelap dan berat, mengingat kepribadiannya todoroki sendiri yang kebanyakan diam tanpa kata. Apdet secepatnya, diusahakan.

yosh...sekian saja bacotan saya di first chapter ini. Semoga berkenan bagi readers sekalian untuk memberikan review, apalagi fave, apalagi follow.

bye-bye! See you on the next chapter!