A/n : Sebelumnya aku mau minta maaf banget udah M.I.A selama dua mingguan. something's came up, sampe-sampe gak sempat nulis :''( . Sebenarnya sih ceritanya sudah dibuat, cuma tengah jalan gonta-ganti endingnya terus gara-gara gak puas. Gak mau panjang-panjang lagi deh, selamat membaca Chapter terakhir dari fic ini ya.. oh iya ini lebih panjang dari chapter biasanya.. semoga kalian suka ya :)

.

.

Let them wonder how we got this far, cause i don't really need to wonder at all..

After all this time, I'm still into you..

.

.

Semenjak Jonghyun mulai fokus menyusun skripsinya, harinya menjadi terbalik. Ia tidur larut malam, dan baru memulai harinya siang atau sore hari. Memang sih, bergadang itu tidak sehat, bagaimanapun juga, mahasiswa itu tidak punya pilihan karena waktu malam hari lah saat dimana inspirasinya muncul, makanya ia memilih untuk terbangun dengan amunisi bercangkir-cangkir seduhan kopi sachet murah untuk menjaganya dari mengantuk. Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, Jonghyun bangun lebih pagi dari biasanya. Ia sudah sengaja tidur lebih awal yang sebenarnya sulit, secara tubuhnya sepertinya sudah terbiasa menjadi manusia kalong. Nah sekarang, Jonghyun sudah mandi dan bersiap-siap. Ia pun sudah menyetrika setelan yang akan dipakainya hari ini. Kemeja putih, celana hitam dan dasi hitam.

Hari yang diperjuangkan Jonghyun selama ini akhirnya datang juga.

Ya, Hari ini ia akan mengikuti sidang skripsinya. Jonghyun sudah mempersiapkan semuanya dengan matang dan sesempurna mungkin. Hari ini adalah the moment of truth atas semua air mata dan keringat yang telah ia curahkan selama ini—semua perjuangannya. Ia tidak mau keluar dari ruang sidang dengan penyesalan. Mimpinya selama ini bukan hanya untuk lulus, tapi juga mendapatkan predikat lulusan terbaik agar semua orang yang menyayanginya bisa bangga padanya.

Sebelum berangkat ke kampus, Jonghyun sudah melakukan video call dengan keluarganya di kampung halaman. Ia meminta doa dan restu orang tuanya agar ia bisa melewati sidangnya dengan lancar. Jonghyun sangat bahagia saat melihat keluarganya berkumpul bersama-sama hanya untuk menyemangatinya. Bahkan kakak ipar beserta keponakannya yang masih balita pun ikut dalam video call mereka. Selama ini mereka selalu mendukungnya disaat susah maupun senang. Jonghyun berjanji akan memberikan hasil yang terbaik untuk mereka.

Dan ada satu orang lagi yang ingin ia banggakan. Ia lah orang yang selalu memberikan semangat padanya, orang yang dengan begitu tulus memberinya cinta tanpa memandang siapa Jonghyun, orang yang mendukung mimpinya dan mempercayai kemampuannya lebih dari Jonghyun sendiri. Seseorang dengan sinar mata terindah di dunia, seseorang yang dengan senyumannya, bisa membuat seluruh dunia ikut tersenyum. Dan seseorang yang sekarang memiliki kedudukan spesial di hati Jonghyun.

Park Jihoon.

Sekarang ini, mereka memang sedang tidak berada di daratan yang sama. Ada jarak ribuan mil yang memisahkan mereka. Dan di hari ini juga, baik Jonghyun maupun Jihoon sama-sama akan menghadapi salah satu stage terpenting di hidup mereka. Jonghyun akan mengikuti sidang skripsinya dan Jihoon akan melakukan konser pertamanya di Amerika Serikat. Melakukan konser di negara Paman Sam itu adalah hal yang membanggakan tentunya, sepanjang sejarah musik kpop, belum pernah ada grup rookie dengan umur setahun yang sudah menggelar konser tunggalnya di negara Adidaya itu.

Pagi ini, dengan zona waktu yang berbeda, mereka sudah saling melepas rindu dengan melakukan video-call. Jihoon baru saja selesai rehearsal untuk konsernya besok, sedangkan Jonghyun sendiri baru saja selesai mandi. Jihoon seperti biasanya, terlihat begitu ceria setiap bertatapan dengan Jonghyun meskipun hanya lewat video call. Idol remaja itu terlihat begitu bahagia saat menceritakan bagaimana persiapan konsernya dan betapa ia sudah tidak sabar lagi untuk tampil dihadapan fans Amerikanya. Padahal waktu awal-awal Jihoon memulai konsernya di luar negeri, ia selalu bercerita pada Jonghyun kalau ia selalu merasa gugup sebelum naik panggung, ia takut aksi panggungnya nanti akan mengecewakan penggemarnya. Kalau sudah begitu, terkadang Jonghyun jadi ingin sekali terbang menuju tempat dimana idol itu melakukan konsernya. ia ingin sekali menyemangatinya secara langsung, memeluknya untuk menghilangkan kekhawatirannya pada saat itu.

Jonghyun sudah bisa merasa bangga pada Jihoon sekarang, karena sang idol sudah terlihat terbiasa menghadapi fans internasionalnya, ia pun sudah menjadi orang yang lebih percaya diri di panggung. Jonghyun tahu Jihoon adalah seorang yang profesional, dan ia memang terlahir untuk menjadi seorang performer. Oleh karena itu, Jonghyun tidak pernah merasa ragu pada kemampuan seorang Park Jihoon.

Jihoon tetap tidak pernah lupa menyemangati Jonghyun untuk segera menyelesaikan kuliahnya di hampir setiap waktu. Seperti hari ini, Jonghyun tertawa lepas data Jihoon dengan begitu semangatnya meneriakkan kata-kata dukungan untuknya di video call mereka agar ia bisa tenang menghadapi ujian sidang skripsinya, remaja itu bahkan membawa pom-pom—yang jonghyun tidak tahu darimana ia mendapatkannya dan membuat cheering bersama member Wanna One lainnya. Jonghyun jadi begitu bersemangat karenanya, selain itu ia pun merasa mendapat ekstra energi dari wink dan kecupan online menggemaskan yang diberikan Jihoon dari layar ponselnya.

Bagaikan dalam suatu game, setelah Jonghyun menyelesaikan stage ini, ia pun harus masuk ke stage selanjutnya yang pasti akan lebih sulit dan penuh tantangan. Akan lebih banyak lagi halangan dan rintangan baginya untuk meraih mimpi. Jika dulu, sebelum bertemu dengan Jihoon mimpinya adalah hanya sekedar bisa lulus kuliah dengan nilai yang baik, sekarang mimpinya sudah lebih dari itu, ia berjanji akan menjadi orang yang sukses untuk membanggakan orang-orang yang mencintainya. Ia akan berjuang untuk menjadi orang yang sukses agar bisa setara dengan Jihoon, setidaknya menjadi orang yang pantas untuk berada di sisinya.

Sekarang ini Jihoon adalah seseorang yang sangat berarti bagi Jonghyun, seseorang dengan kedudukan yang istimewa di hatinya. Walaupun Jonghyun tidak pernah mengatakannya secara langsung. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk memperjuangkan Jihoon, sebagaimana remaja itu memperjuangkannya selama ini. Ia akan menjadi orang berpengaruh yang bisa melindungi Jihoon—setidaknya dapat memberikan rasa aman padanya untuk bebas melakukan apa pun yang idol itu inginkan, termasuk mencintai Jonghyun.

-0-

Akhirnya tibalah di penghujung bulan November, dimana musim gugur sudah mulai meninggalkan Korea Selatan untuk digantikan oleh musim dingin. Udara yang kering dengan suhu rendah menusuk tulang akan terasa menyiksa bagi sebagian orang, khususnya mereka yang menyukai hangatnya sinar matahari. Namun, Jihoon tetap menikmatinya dengan senang hati, setelah berbulan-bulan lamanya ia harus berkeliling dunia untuk melakukan tur konser internasional, akhirnya ia kembali ke Kampung halamannya dan dapat menghirup udara yang sangat ia rindukan ini.

Ia baru saja turun dari pesawatnya setelah penerbangan yang begitu melelahkan. Jihoon rasanya ingin sekali merebahkan tubuhnya di kasur hanya untuk sekedar meluruskan tulang-tulangnya yang kaku akibat duduk terlalu lama di pesawat. Namun sayangnya ia dan member Wanna One lainnya harus bertolak kembali menuju Busan untuk memulai tur konser koreanya. Sebenarnya, sekarang ini hati idol itu pun sedang berasa tidak enak. Selain moodnya yang tidak baik akibat masih merasakan jetlag, Ia pun kecewa karena hanya sempat bertemu dengan keluarganya sebentar, dalam keadaan yang diburu oleh jadwal penerbangan mereka selanjutnya ke Busan. Dan yang lebih ia sesalkan lagi adalah ketidakhadiran orang yang ia cintai disana, Kim Jonghyun.

Jihoon tidak marah dengan Jonghyun yang tidak bisa menemuinya sekarang ini, ia sangat mengerti bahwa lelaki itu sangat sibuk sekarang. Jonghyun bercerita bahwa ia sudah mulai bekerja sekarang, walaupun yang lebih tua tidak mengatakan pada Jihoon secara detail apa pekerjaanya dan dimana ia bekerja, yang pasti ia begitu sibuk sampai-sampai hanya bisa menghubunginya di pagi hari sebelum ia berangkat kerja ataupun di malam hari sebelum yang lebih tua pergi tidur. Jonghyun memang sudah lulus dari kuliahnya. Jihoon ingat sekali pada hari saat Jonghyun diwisuda ia malah menangis sepanjang video call mereka karena Jihoon begitu kesal tidak bisa datang di acara yang paling penting di kehidupan orang yang sangat dicintainya itu. Akhirnya sebagian besar durasi video call mereka dihabiskan Jonghyun hanya untuk menenangkan Jihoon. Disitu Jonghyun harus berkali-kali meyakinkan Jihoon bahwa ia tidak masalah dengan ketidakhadiran Jihoon, ia sendiri sangat maklum dengan keadaan idol itu yang memang tidak memungkinkan untuk pulang ke Korea, apalagi hanya untuk datang ke acara wisudanya. Akhirnya Jihoon pun berhenti menangis setelah berjam-jam, itupun setelah ditambah dengan Jonghyun yang dengan terpaksa menyanyikan lagu untuknya—walaupun Jonghyun yakin suaranya pasti fals ia tidak peduli lagi asalkan Jihoon akhirnya bisa tersenyum lagi.

Pesawat Jihoon mendarat tepat pada pukul 14.00 siang waktu Korea Selatan. Pada jam segini, Jonghyun sendiri pasti masih ada di tempat kerjanya. Jihoon memang sudah kangen berat dengan Mas Jonghyun-nya—maklum saja, sudah hampir setengah tahun mereka tidak bertatap wajah secara langsung. Tapi mau bagaimana lagi, Jihoon kan tidak boleh egois. Lagipula ia tidak mau Jonghyun dipecat cuma gara-gara harus keluar pada jam kerja hanya untuk menemuinya. Selain itu, pagi ini juga Jonghyun sudah mengabarkan dan meminta maaf padanya bahwa ia tidak bisa datang ke Bandara. Jihoon hanya perlu bersabar bukan? Walaupun tidak bisa bertemu sekarang, setidaknya mereka sudah berada di daratan yang sama, akan lebih mudah bagi mereka untuk bertemu di kemudian hari.

-0-

'Terima kasih telah ada bersama kami selama hampir dua tahun ini dalam keadaan sedih maupun senang. Kami harap kalian tidak akan melupakan kami, seperti kalian yang akan selalu ada di hati kami selamanya..'

'Semoga kita dapat berkumpul lagi beberapa tahun ke depan.'

'Sekali lagi terima kasih.. kami cinta kalian wannable!'

Jihoon sekarang sedang berdiri di atas panggung, ia memandangi ruangan konser yang sudah kosong sejak setengah jam yang lalu. Jihoon dan beberapa member Wanna One kembali ke atas panggung hanya untuk berdiam dan menikmati momen terakhir yang mungkin tidak akan mereka rasakan lagi di kemudian hari. Momen ketika mereka masih menjadi member dari grup bernama Wanna One yang dicintai oleh semua fansnya. Jihoon jadi teringat kembali masa-masa berat ketika ia masih trainee, bagaimana ia berjuang di Produce 101 hingga ia debut sebagai Wanna One, lalu bagaimana ia dan member lainnya harus bisa bertahan di dunia hiburan yang keras dan sampai kontrak mereka berakhir sekarang ini. Setelah ini masing-masing dari mereka akan berpisah di jalan yang berbeda. Mereka semua masih muda, tentu masih sangat panjang perjalanan yang akan mereka lalui. Dan Jihoon berharap semua orang akan sukses di jalannya masing-masing.

"Jihoon.. ayo, kita harus kembali ke backstage. Sudah banyak orang yang menunggu kita.."

Jihoon mengangguk, ia meraih lengan Jisung, yang baru saja menyadarkan remaja itu dari lamunannya. Ia memeluk lengan leader sekaligus mom-of-the-group itu dan tertawa saat melihat wajah yang lebih tua masih terlihat sembab karena menangis—sama sepertinya.

Melihat itu, Jihoon jadi melakolis lagi, ia pun mengeratkan pelukannya pada lengan Jisung sambil menyederkan kepalanya di bahu lelaki itu. Walaupun Jisung jadi susah berjalan karena tambahan beban pada sebelah lengannya yang disebabkan oleh Jihoon, Jisung hanya tertawa dan menepuk-nepuk kepala yang lebih muda.

"Duh, manjanya Jihoonku.. besok-besok udah gak bisa begini lagi ya.."

Jihoon menghela nafasnya. "Jangan ngomong gitu bang, emangnya abang gak mau ketemu aku lagi besok-besok?"

"Mau dong, aku juga pasti kangen banget sama kamu dan yang lain-lainnya juga."

Jihoon tersenyum, "aku juga bakal kangen banget sama kalian.."

Jisung tertawa, ia mengusak rambut Jihoon. "Nanti kita bakal ketemu kok, bisa di stage acara music, ataupun tempat lainnya, pokoknya yakin deh kita bakal tetap bisa ketemu kok.."

"..Nah, tuh lihat orang tua mu sudah menunggu, sana samperin!"

Jihoon melepaskan rangkulannya pada lengan Jisung dan memeluk yang lebih tua sekali lagi sebelum berlari untuk menuju orang tuanya yang tengah berdiri dengan senyum bahagia di wajah mereka. Jihoon membiarkan tubuhnya tenggelam diantara pelukan ayah dan ibunya. Rasanya begitu nyaman, seperti rumahnya.

"Kau sudah melakukan yang terbaik nak.. kami sangat bangga padamu."

Jihoon mengangguk, air mata bahagia mengalir di pipinya. Ia sangat bahagia bisa membuat orangtuanya bangga, jika bisa ia ingin sekali membuat keduanya bahagia untuk selamanya.

"Jihoon kangen gak sama mama papa?"

"Iyalah ma, Aku kangen banget! Aku kangen kalian setiap hari, kalau bisa, aku mau bawa kalian kemana aja supaya bisa ketemu terus tiap hari!"

Kedua orang tua Jihoon tertawa mendengar perkataan anaknya itu. Selama perjalanan tour mereka, Jihoon benar-benar merindukan orang tuanya. Sebagai anak paling bontot di keluarganya, tentu saja ia sangat manja kalau di rumahnya. Semenjak debutnya di Wanna One ia jadi jarang bertemu dengan orang tuanya karena jadwalnya yang begitu padat, padahal dulu waktu masih di rumah setiap hari kerjaannya ya bermanja-manja pada ibunya.

Jihoon tentu saja sangat bahagia dengan kehadiran kedua orang tuanya di konser terakhirnya sebagai anggota Wanna One ini. Tapi tetap masih ada yang mengganjal di hatinya, ia belum melihat Jonghyun. Jihoon pasti berbohong jika ia mengatakan bahwa ia tidak merasa kecewa sedikitpun dengan ketidakhadiran Jonghyun sekarang. Jonghyun sudah bilang bahwa ia akan mengusahakan untuk datang sebelumnya, namun ia memang tidak bisa menjanjikannya. Jihoon seharusnya maklum jika akhirnya Jonghyun memang benar-benar tidak dapat hadir sekarang—mungkin saja ia memang benar-benar sibuk. Tapi Jihoon tidak salah untuk sedikit mengharapkannya bukan?

Jihoon mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan berharap dapat menemukan sesosok tampan yang sangat dirindukannya itu. Ia pun akhirnya menghela nafasnya, kecewa saat ia tidak menemukan sedikitpun tanda-tanda keberadaannya.

"Jangan sedih gitu dong, mama yakin dia pasti akan datang. Dia belum ada mengabarkanmu kalau ia tidak bisa datang sekarang kan?" Ibu Jihoon mengusap kepala anaknya dengan lembut.

"bisa saja ia terkena macet, atau ada sesuatu yang membuatnya terlambat?"

Jihoon mengangguk, raut wajahnya masih memancarkan kekecewaan. Hanya dengan melihat ekpresi Jihoon, tentu saja seorang ibu mengerti bahwa perasaan anaknya itu memang sedang tidak baik. Dan Ibu Jihoon sendiri tahu bahwa Jonghyun lah yang ditunggu oleh anak kesayangannya itu.

Mengenai hubungannya dengan Jonghyun sendiri, Jihoon sudah dengan gamblang menceritakannya pada Ibunya. Ibu Jihoon sendiri tidak keberatan dengan itu, karena dari cerita yang ia dapat dari Jihoon, ia dapat menilai bahwa Jonghyun adalah lelaki yang baik dan bertanggung jawab dan ia yakin Jonghyun bisa menjadi seseorang yang bisa melindungi anak kesayangannya itu kedepannya.

"Udah ya, jangan murung lagi, mama yakin dia pasti datang. Percaya deh sama mama."

Jihoon tersenyum lemah mendengar perkataan ibunya. Walaupun biasanya firasat seorang ibu itu selalu benar, namun kali ini Jihoon tidak mau banyak berharap daripada ia harus kecewa lagi nantinya.

"Jihoon, kita udah disuruh ngumpul lagi nih."

Jihoon mengerucutkan bibirnya karena kesal, rasanya baru saja ia berkumpul dengan kedua orang tuanya, dan ia sudah harus pergi lagi. Orang tua Jihoon hanya tertawa melihat tingkah anaknya yang benar-benar terlihat enggan untuk pergi dari situ. Daniel yang datang menjemputnya sekarang malah jadi kewalahan karena Jihoon dengan manjanya bergelayutan dilengannya karena ia berjalan dengan ogah-ogahan. Jihoon jadi malas untuk ikut rapat, ia kan masih mau kumpul-kumpul dengan orang tuanya, selain itu juga masih ada seseorang yang ia tunggu.

Jihoon menghela nafasnya saat melihat jam ditangannya, ini sudah sangat larut. Ia sudah mulai putus asa, rasanya memang sudah tidak mungkin lagi bagi Jonghyun untuk datang kesini.

Sepanjang jalan ia menuju ruang rapat ia hanya menunduk, Jihoon tidak mau menunjukkan wajah kecewanya pada orang lain yang masih ada disana. Jihoon memegangi lengan Daniel, mengadalkan center Wanna One itu untuk menjadi penunjuk arahnya.

Tiba-tiba langkah Daniel terhenti yang membuat Jihoon tersandung dan menabrak punggungnya yang lebar. Jihoon baru saja mau protes saat ia sadar apa yang membuat langkah center Wanna One itu terhenti.

"Hey Jihoon, dia orang yang kau tunggu-tunggu kan?"

Jihoon harus mengucek matanya dua kali, hanya untuk memastikan apa yang ia lihat sekarang adalah kenyataan.

Kim Jonghyun sekarang sudah berdiri dihadapan mereka.

Ia tersenyum canggung pada mereka dengan nafas yang terengah-engah dan setelah jas yang berantakan—terlihat sekali ia habis berlari. Jonghyun memegang buket bunga ditangannya, yang Jihoon sudah tidak bisa mengenali lagi jenisnya, karena bunga tersebut terlihat sudah rusak dan tidak berbentuk lagi.

Jihoon masih berdiri di tempatnya, ia hanya memandangi Jonghyun yang sekarang masih berusaha untuk menstabilkan nafasnya. Jihoon benar-benar tidak dapat menahan senyumannya lagi, secara tidak sadar ekpresinya yang sebelumnya masam berubah menjadi begitu cerah sekarang. Jonghyun memandanginya sambil tersenyum dari jauh, ia terlihat segan dengan keberadaan Daniel di samping yang Jihoon.

"Baiklah, sepertinya aku harus pergi."

"Hey Jihoon, aku kasih waktu 10 menit untukmu, aku akan bohong sama mereka kalau kau sakit perut.."

"..Kau berhutang padaku soal ini. Belikan aku makanan enak nanti."

Jihoon mengangguk dengan cepat dan menyengir lebar pada Daniel, ia pun langsung berlari menuju Jonghyun, mengabaikan Daniel yang tertawa melihat Jonghyun yang kewalahan karena tubrukan Jihoon yang memeluknya secara tiba-tiba.

"Akhirnya mas datang juga!"

Jonghyun tersenyum dan mengangguk pada Daniel di balik pelukan Jihoon, ia lalu mengusap kepala Jihoon dengan lembut, rasanya masih sama seperti terakhir ia menyentuhnya. Walaupun sudah lama ia tidak bertemu dengan Jihoon, Jonghyun tidak sedikitpun lupa bagaimana lembutnya surai itu di jemarinya.

Jihoon melepas pelukannya dan tersenyum lebar pada Jonghyun.

"Maafin mas ya, ini udah telat banget.."

Jihoon menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Gak apa-apa mas, mas datang aja aku udah seneng banget."

Walaupun Jihoon sudah mengatakan kalau dia tidak keberatan, raut muka Jonghyun masih terlihat merasa bersalah. Jonghyun menghela nafasnya, ia lalu mengusap rambut Jihoon yang masih memandanginya dengan wajah yang berbinar. "Tadinya mas udah mau berangkat dari sore tadi, eh Bos tiba-tiba nyuruh mas ngerjain presentasi buat bahan beliau rapat besok. Untung akhirnya selesai..."

"Dan ini—"

Jonghyun terlihat akan menyodorkan buket bunga di tangannya pada Jihoon, tapi tiba-tiba ia berhenti dan menariknya kembali. "Ah, failed banget lah ini. Gak usah mas kasih aja ya bunganya, udah rusak nih.. besok-besok nanti mas beliin yang baru."

Jihoon tertawa, ia langsung menarik buket bunga—yang ternyata adalah bunga mawar, dan sekarang hanya tersisa dua tangkai yang masih berbentuk dalam buket tersebut—itupun kelopaknya sudah tidak lengkap lagi. Meskipun begitu Jihoon tetap memeluknya dengan bahagia dan menghirup aromanya. "Gak apa-apa mas, ini aku ambil ya.. aku seneng banget ini kan bunga pertama yang mas kasih ke aku loh.."

Jonghyun menghela nafasnya. " Tapi udah jelek loh dek.."

Jihoon menggeleng, ia memberikan senyuman termanisnya pada Jonghyun, dan yang lebih tua tidak dapat menahan diri untuk mengelus pipinya yang kemerahan—masih terlihat begitu menggemaskan bagi Jonghyun.

"Maaf ya dek.. lain kali mas lebih prepare lagi deh.."

"Iya mas, aku bilang gak apa-apa, udah deh, mas jangan minta maaf terus ya.. Ngomong-ngomong kenapa bunganya bisa sampe begitu sih mas?"

Jonghyun mengeluarkan tawa canggung, ia menggaruk belakang kepalanya dan terlihat agak malu saat ingin menjelaskannya. "Mas buru-buru kan pas mau kesini, nah pas turun dari ruangan, bunganya kejepit di pintu lift. Bodoh banget kan."

Jihoon tertawa ia membayangkan Jonghyun yang pasti kelabakan lari dari kantornya hanya untuk memburu waktu agar tetap bisa bertemu dengannya. Pantas saja rambut dan pakaiannya berantakan seperti korban angin puting beliung.

Untung saja bukan Jonghyunnya yang kejepit pintu lift.

"Makasih udah usahain kesini mas, tadi aku sempet putus asa kirain mas gak bakal bisa datang.."

Jonghyun tersenyum, ia mengusap air mata Jihoon yang hampir menetes di pipinya. Dipikir-pikir Jihoon jadi begitu mudah menangis jika itu berhubungan dengan Jonghyun, mau ia kecewa, sedih ataupun senang, air matanya bisa tanpa ia sadari mengalir begitu saja. "Mas kangen banget sama kamu, masa iya sih mas gak usahain pas ada kesempatan."

Jihoon merasa jantungnya berhenti berdetak sesaat ketika ia mendengar Jonghyun secara gamblang mengatakan bahwa ia sangat merindukannya. Jihoon tersenyum dan memeluk Jonghyun sekali lagi. Idol itu pun menjadi bingung saat Jonghyun tiba-tiba melepas pelukannya dan menggandengnya, mengarahkan Jihoon untuk pergi menuju suatu tempat.

Jihoon pasrah mengikuti kemana Jonghyun akan membawanya, dan akhirnya mereka sampai di suatu ruangan kosong yang tidak jauh dari tempat mereka sebelumnya.

"Mas, ada apa?"

Jihoon merasakan nafasnya terhenti saat tiba-tiba Jonghyun mengecup bibirnya, tidak seperti ciuman pertamanya dengan Jonghyun sebelumnya, sekarang ini—pria yang umurnya diatas Jihoon 7 tahun itu membiarkan bibirnya bersentuhan dengannya lebih lama. Jihoon hanya bisa pasrah saat ia merasakan lumatan lembut pada bibir bawahnya. Jihoon tidak tahu ia harus fokus pada bibirnya, atau pada tangan Jonghyun yang membelai lembut pipinya. Rasanya semua yang dilakukan Jonghyun sekarang membuat lututnya lemas dan jantungnya berdebar begitu kencang.

Akhirnya Jonghyun pun menghentikan ciumannya saat ia merasakan tubuh Jihoon yang mulai oleng dalam pelukannya. Jonghyun tersenyum lebar pada remaja yang sekarang pipinya berubah menjadi merah padam. Lagi-lagi Jonghyun melakukannya, ia selalu bisa membuat hati Jihoon jadi tidak karuan dengan perlakuannya yang manis.

Jonghyun mencubit ujung hidung Jihoon agar yang lebih muda itu kembali ke dunianya lagi. Jonghyun hanya tertawa sambil menggelengkan kepalanya karena gemas melihat Jihoon yang sekarang sibuk mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, ia tidak bisa menatap Jonghyun secara langsung karena begitu malu.

"Adek, kayanya ada yang hilang ya?"

Jonghyun akhirnya mendapatkan perhatian Jihoon lagi. Remaja itu akhirnya mendongak ke arahnya, ia menatap wajah Jonghyun dengan ekpresi kebingungan, ia lalu melihat Jonghyun dari atas sampai bawah, dan menoleh ke sekeliling ruangan, mencari sesuatu yang dimaksud oleh Jonghyun.

"Apa yang hilang mas? Tadi emang mas taroh mana?"

Jonghyun tertawa melihat tingkah Jihoon yang benar-benar menggemaskan, padahal idol itu hanya melakukan hal biasa, entah kenapa semua yang dilakukan remaja itu terlihat begitu menggemaskan baginya. Jihoon yang melihat Jonghyun tertawa langsung menghentikan pencariannya dan menatap jonghyun heran.

"Ini nih yang hilang."

Jonghyun menunjuk pipi Jihoon, menusuk-nusuknya dengan ibu jarinya.

"Pipi tembemnya kok hilang."

Jihoon langsung meraba kedua pipinya, ia pun seketika langsung bete. Pipi lagi, pipi lagi. Walaupun Jonghyun bilang pipi tembamnya hilang tetap saja Jihoon kesal, ingat ya jangan bawa-bawa issue tentang pipi Jihoon. Selain tentang hyungseob atau siapapun yang pernah mendekati Jonghyun, pembahasan tentang pipinya adalah issue yang paling sensitive bagi remaja itu.

Jihoon langsung mencubit lengan Jonghyun kencang, yang lebih tua mengaduh sambil tertawa. "Mas nih ngerusak suasana aja. Gak usah bawa-bawa pipi aku segala deh!"

Jihoon menggembungkan pipinya kesal. Jonghyun selalu saja menggodanya di setiap kesempatan yang ada, Jihoon kan kesal, padahal sekarang suasananya lagi romantis banget, eh Jonghyun malah ngerusak.

Untung ganteng, untung Jihoon sayang.

"Mas kangen liat kamu ngambek soalnya. "

Jonghyun mengecup pipi Jihoon. "Lucu banget deh kalau udah marah kaya gini."

Jihoon mau marah, tapi kalau katanya kangen ditambah dibilang lucu, pake kecup pipi segala, tiba-tiba aja Jihoon jadi lupa gimana caranya ngambek. "Aku juga kangen banget sih sama mas... "

"Tapi gak usah pake ganggu-ganggu masnya tuh!"

Jonghyun mengusak rambut Jihoon gemas. "Iya, iya.. duh gemes deh."

"ngomong-ngomong, emangnya gak apa-apa ya dek kalau kamu gak balik lagi?"

"Oh iya, aku harus balik, Ya ampun!" Jihoon menepak dahinya. Ini sudah lebih dari 10 menit lagi, gawat ini sih Daniel bisa ngomelin dia lagi nanti, kalau gak kena omel ya siap-siapin dompet aja, Daniel bakalan minta dibeliin makanan yang paling mahal deh.

"Yaah, aku ketemu masnya baru bentar padahal.."

Melihat wajah Jihoon yang kecewa Jonghyun jadi merasa bersalah lagi, coba tadi ia tidak datang terlambat mungkin Jihoon bisa lebih lama dengannya. "Maaf ya ini gara-gara mas datang terlambat.."

Jihoon menggelengkan kepalanya. "Gak apa-apa mas, besok-besok kita kan bisa ketemu lagi, malah mungkin bisa lebih lama dari ini.."

"Hmm. Yaudah aku pergi dulu ya mas.. makasih banget udah datang, dan makasih juga bunganya, aku suka kok hehe."

"Iya sama-sama dek, Eits.. bentar.."

Jonghyun menarik tangan Jihoon, menahan remaja itu untuk pergi dari tempat mereka. Ia lalu menunjuk-nunjuk pipinya sambil tersenyum usil. Mengerti maksud dari Jonghyun, wajah Jihoon langsung memerah padam. Biasanya kan Jihoon refleks cium pipi Jonghyun. Kalau diminta kaya gini Jihoon malah jadi mati gaya kan.

Jihoon menarik nafasnya dalam-dalam sebelum menjinjitkan kakinya untuk mengecup pipi Jonghyun dengan cepat. Jihoon merasakan pipinya benar-benar panas, ia yakin pasti pipinya sudah semerah tomat sekarang.

Jonghyun tersenyum lebar padanya. Ia lalu mencium bibir Jihoon sekali lagi dengan cepat. "Nah sekarang udah boleh pergi.. nanti mas kabari lagi ya.."

Jihoon hanya bisa mengangguk dan tanpa melihat lagi kearah Jonghyun ia langsung berlari pergi dari tempat itu. Jihoon benar-benar salah tingkah sekarang, setidaknya ketika masuk ke ruang rapat nanti orang-orang akan percaya ia sakit perut karena wajahnya yang memerah saat ini.

-0-

Musim dingin di korea itu berbeda dari musim dingin negara lainnya. Suhunya akan menjadi lebih dingin dan kering pada saat puncaknya. Seperti pada hari ini, udaranya memang tidak sedingin biasanya, tapi orang-orang tetap akan memilih tetap di dalam rumah untuk menikmati secangkir minuman hangat didalam selimut masing-masing dibandingkan harus keluar dan duduk di taman seperti yang Jihoon lakukan saat ini.

Jihoon duduk di salah satu bangku taman dimana ia bertemu dengan Jonghyun pertama kali. Ia mengenakan mantel tebal berwarna pink favoritnya, dengan beanie hijau stabilo dan sarung tangan warna merah menyala yang terlihat sangat kontras dengan putihnya salju yang menyelimuti seluruh taman itu. Jihoon mengayunkan kedua kakinya, bibirnya menggumamkan lagu dengan irama yang riang. Jihoon tersenyum saat ia mengingat-ingat bagaimana pertemuannya saat itu dengan Jonghyun. Kalau dipikir-pikir lagi, ia jadi malu sendiri. Waktu itu kok bisa ya Jihoon tanpa malu bersikap begitu agresif pada Jonghyun yang kalem.

Jihoon terhenyak dari lamunannya saat ia mendengar suara motor yang berhenti di dekatnya. Ia langsung berdiri dan tersenyum lebar melihat orang yang ditunggunya akhirnya tiba.

Jonghyun datang dan berlari ke arahnya, pria itu terlihat begitu tampan dengan jaket bomber berwana navy blue-nya. Sesampainya di tempat Jihoon, ia langsung menyentuh pipi Jihoon, lalu menangkupkan kedua telapak tangannya yang hangat di kedua sisi wajah remaja itu.

"Pipi kamu dingin sekali, kan udah mas bilang gak usah nunggu disini.."

"Udah lama ya nunggunya?"

Jihoon menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. "Gak kok, aku baru bentar disini.. lagipula aku lagi pengen nginget –nginget kenangan pas pertama kita ketemu di taman ini mas."

Jonghyun tersenyum, ia membetulkan letak beanie Jihoon yang melorot dan hampir menutupi seluruh dahinya, tangannya berhenti sesaat untuk membelai pipi Jihoon yang kemerahan "Rasanya seperti kita baru saja ketemu kemarin ya.."

"Iya mas.. gak kerasa deh, tau-tau aku udah lulus dari Wanna One. Mas pun udah kerja, padahal baru aja kemarin aku minta dijemput mas disini."

Jonghyun tersenyum dan membelai pipi jihoon dengan lembut, ia memandangi yang lebih muda dengan tatapan yang begitu memuja. Jonghyun lalu meraih tangan Jihoon dan menautkan jemari keduanya, kemudian ia masukkan genggaman tangan mereka kedalam saku jaketnya sambil berjalan keluar dari taman.

"oh iya dek, hari ini mas mau bawa kamu ke suatu tempat.."

"Kemana mas?"

Jonghyun menghentikan langkah mereka dan tersenyum pada Jihoon. Ia menatap lekat mata indah remaja itu dan mengecup dahinya. "Nanti kamu lihat sendiri deh."

-0-

Jihoon turun dari boncengan Jonghyun dan berusaha keras melepas helmnya karena kaitnya tersangkut. Jihoon jadi malu ketika akhirnya Jonghyun pun turun tangan untuk membantunya yang berakhir dengan kecupan singkat Jonghyun di bibir Jihoon. Jonghyun ini selalu saja bisa membuat Jihoon salah tingkah dengan perilakunya yang manis. Jihoon padahal sudah sering mengingatkan dirinya untuk bersiap-siap setiap kali berdekatan dengan Jonghyun. Tapi tetap saja semua jenis pertahanannya itu runtuh setiap yang lebih tua memperlakukannya dengan begitu gentle seperti ini.

"Nah akhirnya kita sampai juga.. tunggu disini dulu ya, mas mau parkir motornya."

Mereka berhenti di dalam basement suatu bangunan apartemen mewah. Jihoon hanya ikut saja saat Jonghyun menggandengnya masuk ke dalam lift. Ia pun tanpa bertanya terus mengikuti pemuda itu sampai akhirnya mereka berhenti di depan pintu suatu kamar. Jihoon menunggu Jonghyun menekan digit kunci pintu tersebut sampai akhirnya terbuka. Jonghyun meraih kembali tangan Jihoon dan membawanya masuk ke dalam ruangan tersebut.

"Baiklah, Park Jihoon..Selamat datang di kediaman Kim Jonghyun."

Jihoon mengedipkan matanya, masih mencoba mencerna perkataan dari Jonghyun. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan apartemen dengan desain interior yang minimalis itu. Lalu semuanya ter-klik di pikirannya.

"Ini rumah mas?"

Jonghyun mengangguk, senyuman bangga terpampang di wajah tampannya.

Jihoon langsung berlari memeluk Jonghyun. Ia merasa begitu bahagia mengetahui berita ini. Apartemen ini cukup luas. Ada ruang tamu, ruang keluarga, dapur yang luas, bahkan kamarnya ada dua. Jihoon sendiri suka sekali dengan desainnya, minimalis dan semuanya terlihat modern.

"Mas benar-benar menyisihkan sebagian besar gaji mas untuk beli ini. Belum lunas semuanya sih, tinggal dicicil berapa kali lagi."

"Mas rasa punya tempat tinggal yang nyaman itu adalah hal yang paling penting, paling mas harus sabar-sabar aja pakai motor butut dulu. Setidaknya berangkat ke kantor bisa lebih cepat, gampang nyalip-nyalipnya pas macet."

"So, ini rumah mas yang sekarang, bagaimana? Adek suka gak?"

Jihoon mengangguk, raut wajahnya terlihat begitu senang. Jihoon yakin apartemen ini pasti tidak murah. Jonghyun pasti sudah bekerja keras sampai ia mampu membeli apartemen ini hanya dalam hitungan bulan setelah ia bekerja. Jonghyun sekarang bekerja sebagai analyst di perusahaan elektronik terbesar di Korea Selatan dan dengan gaji yang cukup tinggi. Tentu saja bukan sembarang orang yang bisa diterima bekerja disana, untuk Jonghyun yang hanya merupakan fresh graduated tanpa pengalaman kerja di bidang sejenis, merupakan prestasi yang hebat untuk bisa menjadi pegawai di perusahaan tersebut.

"Sekarang ini mas memang masih belum begitu sukses, tapi mas akan berjuang keras untuk bisa lebih baik lagi. Setidaknya mas ingin menjadi seseorang yang berpengaruh sehingga bisa melindungimu."

Jihoon begitu tersentuh dengan ucapan Jonghyun, dari kata-katanya itu ia jadi tahu bahwa semua kerja keras yang dilakukan pria yang ia cintai itu semata-mata hanya untuk dirinya. Jihoon tersenyum pada yang lebih tua lalu memeluknya sekali lagi, ia mengistirahatkan kepalanya di dada Jonghyun, membiarkan pemuda tampan itu mengusap punggungnya dengan lembut.

"Terima kasih sudah berjuang untukku mas."

Jonghyun mengecup pucuk kepala Jihoon sebelum melepaskan pelukan yang lebih muda. Ia lalu kemudian menggandengnya dan membawanya masuk ke dalam apartemennya lagi. Jika Jonghyun tidak sadar, mereka bisa saja terus berada di posisi seperti tadi entah sampai kapan lagi, padahal mereka itu masih di koridor pintu masuk dan sama sekali belum melepas sepatunya masing masing.

"Ayo masuk dulu, adek lapar gak? Kita masak makan malam dulu ya.. "

Jihoon mengangguk, wajahnya langsung sumringah mendengar kata makan. "adek mau makan apa?"

"Aku mau ramyeon mas!"

Jonghyun mengerutkan keningnya saat mendengar apa yang ingin dimakan oleh remaja itu. " Kok ramyeon? Jangan ya, yang sehat dikit deh makannya.."

"Yaah, aku kan udah lama banget gak makan itu mas.. plis, plis, plis boleh yaa.."

Jonghyun menghela nafasnya, ia memang tidak pernah bisa menolak permintaan Jihoon, dengan rengekan sedikit saja Jonghyun pasti luluh. "Oke, oke. Tapi nanti tambahin sayuran banyak-banyak ya.."

"Call! aku sayang deh sama mas!"

Jonghyun hanya tertawa menanggapi tingkah Jihoon, gemas sekali rasanya. Kalau ia tidak bisa menahan diri, Jihoon pasti sudah kewalahan ia hujani dengan banyak ciuman di pipinya.

Mereka memakan makan malam dengan begitu lahap. Jihoon apalagi—karena menunya adalah yang ia minta tentu saja. Dan sepanjang mereka makan Jonghyun sibuk menyumpitkan kimchi dan berbagai sayuran lainnya pada mangkuk ramyeon Jihoon, agar anak itu mendapatkan nutrisi lebih dari sekedar mie instan yang tidak begitu sehat.

Selesai makan malam, Jihoon pergi ke beranda untuk menikmati udara yang segar. Jonghyun sedang mencuci piring, sebenarnya Jihoon sempat agak kesal sih karena pemuda tampan itu benar-benar memanjakannya sampai-sampai ia tidak membiarkan Jihoon untuk membantunya sedikitpun—padahal kan hanya mencuci piring, bukan kerjaan berat.

Jihoon menatap pemandangan malam seoul yang terlihat begitu indah dari atas beranda apartemen Jonghyun. Langit musim dingin memang begitu gelap, hitam pekat tanpa bulan ataupun bintang, namun lampu malam di jalanan seoul yang berwarna-warni tetap menyemarakkan suasananya.

Jihoon tersenyum, suasana hatinya sedang sangat baik saat ini. Dan pada malam ini Jihoon berencana akan meminta Jonghyun untuk menjadi kekasihnya lagi, seperti janjinya dua tahun yang lalu. Walaupun hubungan mereka sudah begitu dekat seperti sepasang kekasih, Jihoon tetap ingin membuatnya menjadi lebih jelas dengan membuat komitmen di antara mereka.

"Hey, kok melamun dek.."

Jihoon menoleh ke sampingnya, Jonghyun sudah berdiri disebelahnya dan tersenyum padanya. Ia lalu memakaikan mantel rajutan yang ia bawa dari dalam untuk menghangatkan Jihoon dan merangkulnya, menyenderkan kepala yang lebih muda pada bahunya. "Bagus ya pemandangannya? Mas baru kali ini bisa nikmatin, selama ini gak pernah sempat soalnya.."

Jonghyun menatap pemandangan di hadapan mereka, alih-alih ikut melihat pemandangan, Jihoon malah memandangi Jonghyun dari posisi dia sekarang. Ia merasa terpesona dengan dengan raut lembut di wajahnya—Jonghyun terlihat begitu tampan. Jonghyun tidak bertemu dengannya hanya dalam beberapa bulan, tapi wajahnya terlihat lebih dewasa dari sebelumnya. Garis wajahnya lebih tegas dan Jihoon dapat melihat sedikit raut kelelahan dari wajahnya, ia pasti bekerja sangat keras selama ini.

Tiba-tiba Jonghyun menoleh ke arahnya membuat Jihoon yang tertangkap tengah memandanginya pun jadi salah tingkah. Jonghyun tertawa melihat Jihoon yang tersipu malu, ia mengusak rambut Jihoon dan mengeratkan rangkulannya di bahu remaja manis itu, semakin mendekatkan tubuh yang lebih muda padanya.

"Gak kerasa ya, kok bisa kita sampai sini aja ya dek.. "

"Mas jadi ingat kalau dulu mas sempat meragukan hubungan kita ini. Dipikir-pikir ini ajaib juga ya, padahal adek tuh seorang idol yang lagi naik daun saat itu, saya orang biasa, mahasiswa, tukang ojek lagi. Kok bisa ya kita bertahan sampai sekarang."

Jihoon mengangguk, ia saja baru sadar kalau hubungan mereka ini memang agak mustahil pada awalnya, apalagi dengan statusnya sebagai artis yang pergerakannya diawasi oleh media. Jihoon sangat bersyukur sampai sekarang ini tidak pernah keluar rumor apapun tentangnya, dan hubungan mereka pun berjalan dengan begitu baik walaupun begitu sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Mungkin ini memang suatu keajaiban.

"Iya juga ya mas, aku juga gak nyangka deh.. Eh tapi kalau bicara tentang perasaaku, kan udah pernah bilang sih dari awal, aku tuh orangnya setia, dan gak mudah pindah ke lain hati. Mas sih gak percaya."

Jihoon mencebikkan bibirnya, Jonghyun hanya tertawa melihat tingkahnya. Ia mencubit pipi Jihoon sebelum menarik yang lebih muda ke dalam pelukannya, tangannya lalu mengusap punggung dan belakang kepala Jihoon perlahan. "Iya, maaf ya, habis dulu kamu gak meyakinkan sih."

"Gak meyakinkan?"

"Iya, bocah banget. Anak kecil kan biasanya labil. Jadi inget waktu kamu labrak hyungseob. Duh pusing banget mas hari itu liat tingkah kalian."

Jihoon melepaskan pelukan Jonghyun secara paksa, lalu ia pun mencubit lengan Jonghyun.

"Aduuh, kok nyubit?"

Jihoon merengut. "Gak usah bawa-bawa si kelinci itu lagi, aku kan sensi sama dia!"

Jonghyun tertawa, hyungseob ini jadi berasa kaya mantannya yang selalu bikin sensi Jihoon, padahal hyungseob kan bukan apa-apanya juga, ia malah jadi kasian sama hyungseob.

"Iya, iya deh, jangan ngambek lagi dong. Kalau monyong-monyong gitu terus nanti mas cium nih."

Wajah Jihoon seketika langsung memerah saat mendengar ucapan Jonghyun. Duh, kalau dibilang dulu mau cium kaya gini malah bikin Jihoon deg-degan, setidaknya kalau mendadak kaya yang sering Jonghyun lakukan bakal cuma pas udahannya aja yang bikin mau pingsan, gak kaya gini—sebelum mulai aja Jihoon rasanya udah nervous banget.

Jonghyun tertawa melihat ekpresi Jihoon, ia pun mencubit pipinya gemas. Jihoon sekarang sudah tidak bisa mengangkat kepalanya lagi untuk melihat Jonghyun karena ia yakin yang lebih tua sekarang ini sedang memandanginya dengan senyuman yang sangat tampan di wajahnya.

Dan Jihoon tidak yakin ia bisa menghandlenya dengan baik—bisa-bisa ia pingsan di tempat lagi.

Mereka berdua saling diam, suasananya sekarang senyap dan menurut Jihoon sangat romantis. Mungkin sepertinya sekarang ini adalah saat yang tepat untuk menjelaskan kelanjutan hubungan mereka. Ia harus menanyakan jonghyun apakah ia mau menjadi kekasihnya sekarang.

"Mas.."

Jonghyun tersenyum saat dipanggil oleh Jihoon. Jihoon seketika jadi lupa apa yang mau ia katakan sewaktu melihat senyumannya yang begitu menawan.

"Kenapa dek?"

Jihoon memainkan ujung bajunya sambil menatap Jonghyun, ia tidak mengerti kenapa sekarang rasanya ia begitu gugup, untuk mengeluarkan kata-kata saja rasanya begitu sulit, lidahnya terasa kelu. Padahal waktu dulu pertama kali ia meminta Jonghyun menjadi pacarnya, kata-kata itu begitu mudah meluncur dari bibirnya.

" mas..aku.."

"Aku—hmmph

Kata-kata Jihoon terputus saat Jonghyun tiba-tiba melingkarkan lengannya disekeliling pinggang Jihoon dan menariknya, untuk mencium bibirnya. Jihoon sudah tidak dapat menghitung lagi berapa kali bibirnya diklaim oleh pemuda tampan itu dalam sehari ini. Walaupun begitu ia masih saja tak bisa berkutik setiap merasakan lembutnya bibir Jonghyun yang bersentuhan dengannya.

"..Park Jihoon, maukah kau menjadi kekasihku?"

Eh? Sebentar, apa yang baru saja Jonghyun katakan?

Jonghyun tertawa melihat Jihoon yang kelihatan masih bingung. Mungkin karena ciumannya yang mendadak, atau mungkin Jihoon tidak mendengar perkataannya dengan jelas. Sebenarnya Jonghyun sudah tahu apa yang ingin dikatakan Jihoon padanya sebelumnya. Oleh karena itu Jonghyun mendahuluinya sebelum yang lebih muda itu mengatakannya.

"Ya, Aku ingin kamu jadi kekasihku Park Jihoon.."

"Sebenarnya mas tahu kau akan menanyakan hal yang sama padaku sebelum ini. Makanya aku potong duluan."

"Maaf ya dek, soalnya Mas gak mau kalah dengan adek. Sebagai pria dewasa, sudah seharusnya aku yang memintamu duluan untuk menjadi kekasihku.."

"Selain itu aku juga mau menunjukkan padamu kalau semua yang kamu lakukan itu tidaklah sepihak, dan selama ini bukan hanya Park Jihoon yang mencintai Kim Jonghyun,

..tapi Kim Jonghyun juga sangat mencintai seorang Park Jihoon."

"Dan aku sangat berharap kamu bisa menjadi bagian terpenting dalam hidupku."

"Apakah kamu bersedia?"

Jihoon benar-benar speechless, ia sudah tidak bisa berkata-kata lagi mendengar ungkapan perasaan dari Jonghyun. Seluruh kata yang ia ucapkan benar-benar menyentuhnya, sekarang ini dadanya rasanya ingin meledak karena begitu bahagia.

Jonghyun masih menunggu Jihoon menjawabnya, entah kenapa ia jadi gugup melihat respon dari orang yang dicintainya itu tidak seperti yang ia bayangkan. Ia kira Jihoon akan langsung menerimanya sesaat setelah ia menanyakannya.

Jihoon yang sebelumnya masih terdiam tiba-tiba langsung menghambur dan memeluk Jonghyun. Ia mengalungkan lengannya di leher Jonghyun dan menatap matanya yang sekarang sejajar dengan Jihoon. Jihoon lalu mengecup bibir Jonghyun singkat, dan tersenyum begitu lebar setelahnya.

"Tentu saja aku mau mas!"

Jonghyun tertawa mendengar jawaban dari Jihoon. Sepertinya kekhwatirannya sebelum ini memang tidak beralasan, karena Jihoon memang sudah pasti akan menerimanya. Keduanya saling bertatapan sebelum akhirnya sama-sama mendekatkan wajah mereka. Rasanya seperti bunga-bunga bertaburan disekitar mereka dan malam yang dingin ini seketika berubah menjadi hangat seperti saat musim semi saat bibir mereka saling bertemu.

Jihoon tidak pernah berciuman dengan orang lain selain Jonghyun sebelumnya, walaupun begitu ia merasa bibir pemuda yang dicintainya itu sangat cocok menyatu dengannya. Jihoon memang tidak berpengalaman dalam hal seperti ini, oleh karena itu ia membiarkan yg lebih tua untuk memimpin. Ia membiarkan Jonghyun menyentuh bawah bibirnya dan membuatnya membuka mulutnya, memberikan akses pada Jonghyun untuk lebih mengekplorasi ke dalam. Jihoon tidak pernah merasakan sensasi ini sebelumnya, rasanya ia benar-benar mabuk—ia bahkan sudah tidak sanggup lagi untuk berdiri.

Jonghyun mendorong Jihoon perlahan untuk menyandarkan tubuh remaja itu pada tembok beranda apartemennya, kedua tangannya masih menjadi support yang lebih muda untuk tetap berdiri tegak. Jonghyun masih meneruskan ciumannya sampai akhirnya ia menyadarkan dirinya untuk berhenti saat ia merasakan Jihoon yang mulai tersengal-sengal karena kehabisan nafas. Jonghyun tersenyum melihat hasil karyanya, bibir Jihoon masih basah dan memerah. Wajahnya merona dan Jonghyun bersumpah Jihoon terlihat begitu indah saat ini.

Jonghyun merapikan poni Jihoon yang berantakan, dan membelai lembut pipinya.

"Aku mencintaimu Park Jihoon."

Jihoon tersenyum, ia mengenggam tangan Jonghyun yang sedang membelai pipinya. Ia memejamkan matanya, merasakan hangatnya sentuhan pemuda itu di wajahnya. "Aku juga sangat mencintaimu Mas."

"Dek.. sebenarnya ada lagi yang mau aku tanyakan padamu.."

"Apa itu mas?"

Jonghyun menghela nafasnya, ia pun tertawa untuk mengurangi rasa gugupnya. Apa saja yang akan ditanyakan oleh pemuda tampan itu, Jihoon yakin pasti sangat penting. Ia menatap Jonghyun dan tersenyum, ia menggenggam tangan Jonghyun dengan kedua tangannya untuk menenangkannya.

"Aku tahu ini agak konyol dan terkesan terburu-buru.."

"Tapi, aku tidak bisa untuk harus menunggu lagi.. "

Jihoon menahan nafasnya, ia jadi ikut gugup menunggu perkataan Jonghyun yang selanjutnya.

"Bagaimana mengatakannya ya.."

Jonghyun mengacak rambutnya sendiri, ia terlihat begitu nervous. Jonghyun pun menghela nafasnya, lalu melanjutkan perkataannya.

"Jihoon, maukah kau pindah dan tinggal bersamaku disini?"

"Aku tahu ini cheesy, aku sangat tidak pandai dalam hal ini.."

"..dan adek juga boleh tertawa.. tapi.."

Jonghyun menarik nafasnya dalam-dalam, dan Jihoon dapat merasakan genggaman tangannya menjadi lebih erat dari sebelumnya.

"Aku ingin sekali menjadi orang pertama yang kamu lihat saat bangun di pagi hari, dan begitu pula denganku.."

"Kita sudah terlalu lama berpisah, dan ini membuatku benar-benar ingin selalu bersamamu, mungkin kita akan punya kesibukkan masing-masing nantinya dan aku tidak mau itu menjadi alasan bagi kita untuk sulit bertemu.."

"Kau telah membuatku jatuh cinta padamu sampai pada taraf aku tidak mau kehilangan satu hari dalam hidupku dengan tidak melihatmu."

Jonghyun memejamkan matanya karena ia tidak sanggup untuk melihat respon dari yang lebih muda. "Maaf ya dek, ngaco banget omongan mas ini.. mas benar-benar tidak bisa mengungkapkannya dengan baik.."

Terdapat jeda dari terakhir ia berbicara dan suasananya menjadi hening karena tidak ada jawaban dari orang yang berdiri di hadapannya itu. Jonghyun pun membuka matanya perlahan untuk menyaksikan dihadapannya, Jihoon, menggelengkan kepalanya cepat, air matanya sudah jatuh bercucuran di pipinya. Jonghyun menghela nafasnya, ia mengusap air mata Jihoon dengan ibu jarinya dan membawa yang lebih muda itu masuk ke dalam pelukannya. Ia mengusap belakang kepala Jihoon untuk menenangkannya.

"Yaah, kamu nangis lagi, padahal sebelum ini mas udah janji ke diri mas sendiri kalau mas gak akan biarin kamu bersedih, kalau memang bisa mas mau lihat kamu untuk selalu tersenyum.."

"..karena senyuman adalah hal terbaik dimiliki oleh seorang Park Jihoon."

"Dan aku berharap itu tidak akan hilang darimu untuk selamanya.."

Jihoon mengusap air matanya dan tersenyum lebar pada Jonghyun. Jonghyun membantunya untuk mengelap air mata yang tersisa di pipinya. Jihoon tidak pernah menyangka kalau akhirnya Jonghyun akan memintanya untuk tinggal bersamanya. Ia merasa sangat bahagia sekarang ini. Perjuangannya selama dua tahun ini benar-benar berbuah manis. Dan Jihoon benar-benar merasa beruntung bisa bertemu dan jatuh cinta dengan orang seperti Jonghyun.

Karena Jonghyun telah mengubahnya menjadi seseorang yang lebih baik dari sebelumnya.

"Jadi bagaimana dek? Kamu mau?"

"Aku akan ke rumah mu besok untuk meminta izin pada orang tua mu, tapi sebelumnya keputusannya tetap ada padamu, jika adek tidak keberatan mas akan lanjut.."

"Bagaimana?"

Jihoon memberikan senyumannya yang termanis untuk Jonghyun. "Aku mau mas, aku mau tinggal bersamamu dan melihatmu saat aku bangun di pagi hari .. "

"dan aku mau menjadi seseorang yang selalu ada disampingmu di setiap waktu.."

"Aku mau hidup selamanya bersamamu.."

Jihoon menjinjitkan kakinya dan mencium bibir Jonghyun sekali lagi, ia lalu menatap lekat mata pemuda itu dan tersenyum.

"Aku sangat mencintaimu mas.."

Jonghyun tersenyum, akhirnya ia bisa menghela nafas lega setelah mendengar jawaban dari Jihoon. Ia mengecup dahi Jihoon dan mendekapnya masuk dalam pelukannya. "Aku juga sangat mencintaimu dek.."

"So, Grow old with me, will you?"

-Fin-

Akhirnya selesai juga fic ini :''')

jeongmal, jinjja, real, wanjeon, heol Terima kasih banyak untuk semuanya yang selalu review fic ini. Semoga kalian gak kecewa ya dengan endingnya..

aku senang masih ada yang suka pair winkbugi, padahal aku udah hopeless aja tadinya hehehe.

still working on some projects right now, kalau selesai nanti aku post lagi di ffn :'))

sekali lagi makasih banyak! :)))