Reliant

Chapter 4: Prisoner

.

.

.

"Serius? Roti basi? Kau pikir aku burung?"

.

.

.

Disclaimer

Meminjam member NCT tanpa sepengetahuan mereka demi kepentingan imajinasi yang sudah mebludak di pikiran. Fanfiksi belaka yang tidak ada hubungannya dengan kehidupan asli setiap member.

.

Alert

Kemungkinan besar OOC. Beberapa kata-kata kasar yang diucapkan, adegan menjurus seksual atau adegan aksi yang bloody. Mohon membaca dengan bijak dan berilah kritik atau saran yang membangun bila diperlukan.

Pintu gerbang istana Kerajaan Prudia perlahan terbuka ketika iring-iringan kereta kuda yang membawa Taeyong dan tahanannya, Jaehyun, sampai. Taeyong berada di kereta pertama sementara Jaehyun berada di kereta lainnya dengan dijaga beberapa pengawal kekar untuk menghindari perlawanan. Begitu masuk, kereta yang membawa Taeyong dan Jaehyun berpisah jalur. Kereta kuda Jaehyun berbelok, melewati gerbang yang lebih kecil dan membawanya ke bangunan lain yang letaknya di belakang bangunan utama istana. Jaehyun duduk diam memandangi tempat yang ia datangi lewat celah sempit antara tirai kecil yang menutupi jendela. Meski dengan sekali lihat saja, Jaehyun bisa menyadari kesuraman tempat yang sedang ia lewati ini.

Bahkan penjara yang ada di desanya masih lebih baik dari ini, menurut Jaehyun. Pikiran negatif seperti kemungkinan dirinya disiksa sampai mati lalu mayatnya dibawa ke bukit tak jauh dari wilayah Prudia yang merupakan sarangnya burung pemakan bangkai dan membuangnya disana memenuhi kepala Jaehyun. Bohong kalau ia tidak takut. Ia tidak mau mati di tempat yang menyedihkan sebagai orang yang menyedihkan pula.

"Hei, aku tak akan mati, 'kan? Kau tahu, aku punya anak dan istri yang harus kunafkahi. Kumohon mengertilah." Jaehyun mencoba mencari belas kasihan para pengawal minim ekspresi dengan sedikit kebohongan.

"Keputusannya ada di tangan Raja," jawabnya singkat tanpa memandang pada Jaehyun. Ingin rasanya Jaehyun memiliki kekuatan super yang bisa membuatnya menghajar habis-habisan pengawal kerajaan dan kabur.

Yeah, si raja brengsek berwajah manis itu, rutuk Jaehyun dalam hati. "Kau harus tahu, jika aku sampai mati di sini, aku akan bergentayangan di kerajaan dan menebar kutukan mematikan pada setiap penghuninya."

"Diam!" bentak pengawal lainnya yang duduk tepat di samping Jaehyun. Suara nyaringnya membuat Jaehyun refleks mengumpat karena gendang telinganya terasa hampir saja pecah.

"Sialan, kau tak perlu berteriak," gerutunya dalamvolume suara yang lebih rendah, hampir berbisik.

Tepat setelahnya, kereta berhenti. Seorang pengawal membuka pintu kereta dan melompat turun lebih dulu. Yang membentaknya tadi, segera merenggut lengan bajunya kasar dan mendorongnya keluar dari kereta, dengan kasar pula. Entah karena memang tuntutan pekerjaan atau dia sebal pada Jaehyun. Ia diseret masuk ke dalam bangunan minim pencahayaan yang temboknya terbuat dari tumpukan batu dengan obor di sisi kanan dan kiri yang menerangi langkah mereka. Kedua matanya melihat sekeliling, meneliti. Tak ada jendela. Tak ada pintu lain selain yang baru saja ia lewati. Untuk kabur dari sini sepertinya ia membutuhkan persiapan yang amat sangat matang. Salah langkah sedikit, jaraknya dengan dunia akhirat bisa makin dekat.

Lorong yang hanya diterangi api di obor-obor tersebut terasa begitu panjang dan seperti tiada akhir. Ia belum menemukan satu sel-pun sedari tadi. Padahal ia membayangkan akan melihatnya di sisi kanan dan kiri dengan penjahat-penjahat haus darah yang tangannya terjulur ke luar jeruji, siap merenggut siapa saja untuk dihajar. Imajinasinya kadang memang berlebihan.

"Apa masih jauh? Aku lelah dan lapar..." Jaehyun mengeluh sambil mengusap perutnya dengan bibir mengerucut.

"Kau tidak ada di posisi untuk mengeluh. Kunci mulutmu rapat-rapat."

Jawaban menyebalkan yang ia dapatkan dibalas dengan mulut yang sengaja dibuka lebar-lebar seperti sedang menguap dan ditujukan pada pengawal yang tadi menyahutnya. Pengawal lain di belakangnya, menampar kepala Jaehyun agar ia berhenti bertingkah.

Ketika lorong akhirnya bercabang, pengawal membelok dan barulah ditemukan pintu-pintu besi yang rapat tertutup di kedua sisinya. Jaehyun lantas digiring pada pintu ketiga di sisi kiri setelah belokan.

"Wow, seperti kamar tidur. Yah, hanya saja kamar tidurku lebih ceria," komentarnya dengan senyuman ketika pintu besi dibuka.

Tak ada yang merespon perkataannya. Punggung Jaehyun didorong kasar sampai ia masuk ke dalam ruangan berpetak kecil dengan ranjang tunggal berdipan besi berkarat di pojok, jendela kecil berjeruji di bagian atas tembok batu yang sulit dijangkau kecuali memiliki tinggi dua meter lebih, sebuah meja kecil kosong di sisi yang berseberangan dengan ranjang yang entah fungsinya untuk apa. Tapi mungkin bisa Jaehyun gunakan untuk menghantam kepala seseorang.

Jaehyun duduk di bawah, bersandar pada ranjangnya dengan kepala di antara kaki yang ditekuk. "Ironi. Ayah, anakmu saat ini dipenjara di istana kerajaan yang sangat kau cintai sampai kau rela mati demi manusia-manusia sampah ini, hanya karena rajanya membenci apa yang kulakukan. Sungguh, wilayah ini bisa hancur bila dipimpin raja kekanakkan macam dia. Jika ayah masih hidup dan mengabdi padanya, aku tak mau memanggilmu ayah lagi..."

.

.

.

.

.

"Kau harus merasa beruntung kalau Ibumu seang berada di daerah lain mengurusi pertemuanmu, nak. Gosh... Mau sampai kapan mau bertingkah begini?"

"Paman, aku bosan, suasana istana ini menyesakkan. Apa salah kalau aku hanya ingin menghirup udara segar layaknya orang lain?"

Taeyong yang sudah memasuki gedung utama istana segera dihadapkan pada sang paman yang sekaligus adalah penasehat kerajaan sejak jaman ayahnya memimpin. Ia juga bertanggung jawab membimbing serta mengawasi Taeyong agar bisa bersikap selayaknya Raja.

"Paman bisa memahami perasaanmu, namun aku sama sekali tak bisa membenarkannya. Tapi kau bukanlah orang lain, Taeyong. Kau seorang raja, kau memiliki tanggung jawab yang harus kau emban demi masa depan Prudia dan desa-desa yang dinaunginya. Kalau kau berpikir kau bisa hidup seperti kebanyakan orang yang kau temui di desa, kau tak bisa."

Taeyong mendengus sebal. Pamannya bisa jadi orang yang sangat menyenangkan atau sangat menyebalkan. Tapi dia masih lebih baik dari Ibu, batinnya.

"Kudengar kau tidak pulang sendiri. Siapa orang malang yang kau bawa? Yang tengah mendekam di penjara?"

"Seorang pesulap." Taeyong menjawab enggan pertanyaan yang pamannya ajukan baru saja.

Hening sesaat, "Kau serius?"

"Kenapa aku harus tidak serius? Mereka pantas dipenjara karena mereka meraup uang dari warga dengan cara menipu."

"Taeyong. Kau tak bisa memukul rata semua pesulap seperti itu. Sulap bukanlah bentuk—"

Tegas Taeyong memotong perkataan sang penasehat, "Berhenti. Apapun yang kau katakan tak akan mengubah pendirianku. Tidak akan kuizinkan siapapun mengeluarkannya dari penjara jadi jangan coba-coba, paman."

Saat pamannya tak terlihat akan merespon lagi, Taeyong membalikkan badan dan melangkah pergi diikuti dua pengawal, meninggalkan pamannya yang hanya bisa menatap prihatin pada punggung Taeyong yang menjauh lalu menghilang di balik pintu.

Taeyong tak lagi mampir ke tempat lain dan langsung pergi ke kamarnya. Ia melepas jubah gelap dan melemparnya ke sembarang arah sebelum menghempaskan tubuh ke ranjang. Ia menghela napas kasar. "Jaehyun brengsek... Kenapa kau harus pesulap?"

Kembali dengusan ia hembuskan sembari duduk melipat kaki di atas ranjang. "Apanya yang kenapa, Lee Taeyong? Memangnya si Jaehyun itu siapa? Dia bukan siapa-siapa! Ya, bukan siapa-siapa. Dia pantas mendapatkannya. Jika rumor ini menyebar, tak ada lagi pesulap yang berkeliaran di wilayahku."

Tak peduli seberapa banyak kata-kata yang ia pakai untuk meyakinkan diri, Taeyong masih merasa, entahlah, bimbang?

"Memangnya kalau aku menyukaimu itu tidak normal?"

Taeyong reflek menampar pipi kanannya keras saat kepingan kenangan yang seharusnya tak muncul itu terputar di kepala begitu saja.

"Dari segalanya kenapa harus itu yang aku ingat? Sial... Aku sudah gila..." Tubuhnya kembali terhempas pada ranjang empuk dengan wajah yang dibenamkan pada bantal. Taeyong mengerang, sebal karena perasaan yang campur aduk.

Pada saat yang sama, penasehat kerajaan sedang dalam perjalanan ke penjara istana ditemani oleh beberapa pengawal. Tentu saja tanpa sepengetahuan Taeyong karena ia tak ingin membuat amarah Taeyong kembali meledak-ledak. Ketika ditemui, Jaehyun tengah duduk diam dengan kepala menengadah pada jendela berjeruji. Langit sudah gelap pertanda malam sudah hampir tiba. Dari punggungnya, Jaehyun terlihat begitu menyedihkan.

"Apa kalian sudah memberikannya makan?" Penasehat berbisik pada salah satu pengawal pengiringnya yang juga bertugas sebagai sipir penjara ini.

"Tentu sudah, Tuan. Lihat, dia bahkan menghabiskannya meski pada awalnya mengeluh." Sipir menunjuk pada piring dan gelas besi yang ada di sisi Jaehyun, bersih tanpa ada sisa.

"Tentu saja aku komplain. Kau memberiku roti yang keras dan susah digigit dengan kentang tumbuk dan segelas air saja. Itu tak akan cukup untuk memenuhi giziku. Aku bahkan tak punya salah apa-apa yang dapat merugikan kerajaan yang agung ini." Jaehyun menyela tanpa membalikkan badan.

"Jangan bicara sebelum diperintah, tahanan!"

"Ssh, ssh. Tolong jangan berteriak di dekatku yang sudah tua ini. Kalian boleh menunggu di luar, aku ingin bicara berdua dengan anak muda malang ini."

"Jangan, Tuan. Bagaimana bila ia menyerang Anda? Dengan membawa Anda kemari saja sudah melanggar perintah Yang Mulia."

"Dia hanya pesulap. Bukan kriminal. Kami hanya akan mengobrol santai. Benar, kan, nak?"

"Yeah. Semarah apapun aku pada kalian, aku tak akan mengotori tanganku jadi berhentilah khawatir seperti seorang perawan, prajurit." Penasehat tertawa mendengar sahutan Jaehyun yang tentu saja membuat prajurit-prajurit bersumbu pendek ini tersulut.

"...Kami akan menunggu tepat di luar pintu. Kupegang kata-katamu, begundal." Dengan itu, mereka segera keluar dengan pintu yang tidak sepenuhnya ditutup agar mereka bisa segera masuk bila kejadian terburuk terjadi.

"Boleh pak tua ini duduk di sebelahmu?"

"Kalau Anda tak masalah duduk di lantai berdebu yang mungkin akan membuat pantat Anda gatal-gatal nanti, Pak Tua."

"Aku bisa merasakan kekesalanmu dari setiap kata yang kau ucapkan, anak muda. Tampaknya keponakanku benar-benar berulah, ya?" kekehnya sambil mendekat pada Jaehyun dan perlahan duduk di samping Jaehyun.

"Oh, jadi Anda kemari mewakili Yang Mulia yang Agung?" Jaehyun mendengus.

"Tidak juga. Aku kesini tanpa sepengetahuannya. Kau tahu, aku sama sekali tak benci pesulap seperti Taeyong."

Jaehyun melirik ke samping pada pria yang rambut serta brewoknya sudah sebagian besar memutih, ia merasa sangsi pada perkataan sang penasehat.

"Paman tulus, lho."

"Well, itu sedikit menghibur. Jadi, kenapa paman kemari diam-diam? Apa paman ingin membebaskanku?" Katanya dia adalah paman si raja sialan itu, kan? Dia pasti bisa melakukan sesuatu!

Sang penasehat menggelengkan kepala diiringi hela napas panjang, "Sayangnya, meskipun aku ingin, aku tak bisa melakukannya. Maafkan aku, nak."

Jaehyun cemberut, kecewa pada jawaban yang diberikan. Taeyong hanyalah raja yang baru naik tahta. Harusnya mudah untuk membuat Taeyong melepaskan Jaehyun, itulah yang ia pikirkan.

"Aku kemari setelah aku mengetahui namamu, Jung Jaehyun."

"Ada apa dengan namaku?" Dahinya berkerut sembari ia menolehkan kepala untuk dapat melihat lebih jelas wajah pria tua ini.

"Aku dekat dengan ayahmu selama ia mengabdi di sini. Ia benar-benar menakjubkan." Jaehyun terdiam mendengarnya. Ia mencium sesuatu yang aneh dari arah pembicaraan ini.

"Yeah, sudah seharusnya Ayahku itu terkenal, bukan?" balasnya dengan nada getir.

"Ya, dia selalu bertempur dengan hebat. Sayang sekali dia adalah pria yang kelewat kaku. Dia selalu saja susah diajak minum."

"Kurasa ini sudah saatnya Anda berhenti basa-basi dan katakan saja apa yang sebenarnya ingin Anda katakan." Jaehyun menghindari topik nostalgia yang paman itu angkat karena Jaehyun sama sekali tak ingin tahu soal Ayahnya dari orang yang memanfaatkan beliau.

"Hohoho, kau tak suka pembicaraan santai ini? Baiklah. Kau tahu, seminggu lagi, istana akan membuka sayembara terbuka untuk memilih prajurit yang dikhususkan untuk mengawal raja."

"Tidak."

"Maaf?"

"Aku tahu apa maksud Anda. Tapi jawabanku tidak. Aku tak akan mau jadi prajurit seperti Ayahku yang bodoh itu. Apalagi mengawal bayi yang kalian sebut sebagai raja? Hell no." Giginya menggeretak, ia menahan emosinya tetap dalam kendali.

"Jadi, kau lebih memilih untuk membusuk di sini?" tanyanya. Nada suaranya lembut dan menyenangkan. Jaehyun tak bisa merasakan bagian mana dari pria ini yang buruk.

Ia terdiam, tak menjawab. Siapa, sih, yang mau membusuk di penjara sampai tubuhmu membusuk tanpa seorangpun sebagai teman? Dengan hanya roti sekeras batu dan kentang tumbuk sebagai makanan? Dalam sebulan, Jaehyun bisa menebak kalau tubuhnya akan sekurus bambu. Namun dirinya juga tak mau jadi prajurit.

"Kau 'kan belum tentu terpilih. Kalau kau gagal, kau bebas."

"Heh, aku tak sebodoh itu. Anda pasti akan meloloskanku. Karena aku memiliki darah pejuang di nadiku." Sinis ia menjawab. Salah besar bagi pria ini untuk berpikir bahwa Jaehyun adalah pemuda naif.

"Pintar. Tubuhmu itu tubuh pejuang. Dilatih sedikit pun, kau akan setara dengan kekuatan beberapa komandan prajurit di sini."

"Terima kasih atas pujiannya, Tuan. Tapi, jawabanku tetap tak berubah. Aku tak ingin mati untuk seseorang. Kalau aku harus mati, itu hanya karena aku yang menginginkannya." Matanya nyalang menatap si pria tua, sama sekali tak goyah.

"Kau tak perlu mati untuk Taeyong, Jaehyun."

"Lalu, aku boleh melemparnya ke dalam api dan kabur menyelamatkan diriku bila kami terjebak bersama?"

"Kau yakin akan melakukannya?"

Jaehyun tak lagi menjawab.

"Dengar. Aku tak akan memaksamu. Akan kuusahakan untuk membebaskanmu dari sini. Tapi, bila bukan seorang Jung yang menjaga Raja Prudia, kau bisa menebak kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi."

"Sudah selesai? Anda boleh pergi bila sudah."

"Kau tak ingin mengobrol santai dengan paman?"

"...Kecuali paman punya sesuatu yang bisa paman berikan padaku."

"Hahahaha, dasar anak bandel. Tapi untungnya aku kemari dengan sedikit persiapan, nak. Di balik jubah mahalku ini... tunggu. Ini adalah sulap. Aku akan mengeluarkan sesuatu yang mungkin kau inginkan."

Jaehyun memutar bola matanya enggan. "Paman, jangan main-main di hadapan pesulap sejati sepertiku."

Kembali pria ini terkekeh senang. Dari balik jubahnya, ia mengeluarkan sepotong besar roti dan daging beserta sekantung air. Mata Jaehyun segera berbinar-binar senang melihat apa yang ada di tangan pria itu.

"Wow...! Tunggu, ini bukan penyuapan supaya setelah aku menerimanya, aku akan mengawal dia, kan?"

"Bukan, bukan. Ini bentuk maafku karena tingkah laku keponakanku yang telah merepotkanmu." Ia menyodorkan semuanya pada Jaehyun yang segera diterima dengan senyuman lebar.

"Paman sebaik ini punya keponakan yang begitu. Dunia kadang memang tak adil."

"Kau benar. Lihat aku. Aku kelihatan lebih tua dari umurku sebenarnya karena Taeyong." Ia mengeluh sambil mengusap-usap janggutnya.

"Paman. Paman memang tua."

Pintu besi mendadak diketuk dari luar. "Tuan, sudah saatnya kembali. Yang Mulia bisa curiga bila Anda telat menghadiri makan malam."

"Ah, ya ampun. Aku sampai tak sadar waktu." Ia melempar senyum pada Jaehyun yang masih memandangi makanan di pangkuannya yang terlihat seperti harta paling berharga yang dia punya. "Aku harap aku tak harus kembali kemari di lain hari. Anak baik sepertimu tak cocok dengan tempat ini."

"Katakan itu pada keponakanmu, paman." Jaehyun membalas dengan bibir mengerucut.

"Bersabarlah. Kau pasti tak akan lama di sini. Perasaan paman bilang begitu."

Butuh beberapa detik sampai akhirnya Jaehyun membuka mulut, "Terima kasih, paman."

"Ssh, tak perlu. Ah, tunggu sebentar, ya. Paman pinjam bahumu." Satu tangan ditumpu pada bahu Jaehyun supaya tubuh tuanya bisa berdiri. Jaehyun yang sadar akan itu, berniat bangun dan membantu namun ditolak oleh si pria tua.

"Kau tahu, Taeyong sebenarnya adalah anak yang baik dan manis. Ia hanya punya... kenangan buruk yang sedikit mengubahnya." Adalah apa yang dikatakan oleh sang penasehat sebelum ia meninggalkan ruangan Jaehyun.

"Tapi, paman, itu bukanlah alasan yang tepat untuk memenjarakan siapapun yang ia benci." Dengan suara kecil ia menjawab sambil memandangi pintu yang sudah tertutup sepenuhnya dengan langkah-langkah kaki yang perlahan ditelan kesunyian.

.

.

.

.

TBC

Maaf atas keterlambatan update karena minimnya waktu untuk menulis. Dan maaf karena Jaeyong tidak ada dalam satu scene di chapter ini jadi tunggu chapter selanjutnya ya, hoho. Terima kasih bagi para pembaca yang menikmati cerita ini!