Heterophobe presents an NCT's fanfiction

.

.

Reliant

Chapter 1: Outset

"Aku membencimu, Raja. Kau dan seluruh keluargamu. Seandainya aku penyihir, mungkin keluargamu sudah kukutuk jadi katak sawah."

.

.

.

.

.

.

.

.

Jaehyun sejak kecil adalah seorang yang murah senyum. Senyum hangat laksana matahari senantiasa menghias paras tampan yang merupakan salah satu aset berharganya selain kedua tangan yang ia miliki. Kenapa tangan? Karena mata pencaharian Jaehyun membutuhkan keahlian dua buah tangan yang sudah ia latih dalam kecepatan dan ketepatan sejak kecil.

Jaehyun adalah seorang pesulap. Saat awal ia mengenal dunia sulap, semua orang mencemooh, termasuk keluarganya. Para pria di keluarganya, selalu mendapat pekerjaan sebagai seorang pengawal kerajaan. Seperti pekerjaan turun-temurun karena keluarga Jaehyun sejak dahulu dipercayai sebagai orang yang dapat melindungi Raja.

"Aku tak menyukai pekerjaan yang kasar," kata Jaehyun kecil saat sang Ayah menceritakan padanya mengenai tanggung jawab yang harus ia emban saat dewasa nanti.

Pada saat itu, Jaehyun kecil sudah bertemu dengan seorang pria yang memperkenalkannya pada dunia sulap yang terlihat berkilauan di mata seorang anak berusia 10 tahun yang hanya ingin hidup bebas tanpa harus mengorbankan nyawa demi orang angkuh yang hanya bisa duduk di atas singgasana, memerintah sana-sini seakan manusia adalah ternak miliknya. Jaehyun kecil belajar sulap diam-diam setelah mendapat tentangan dari keluarga, terutama sang ayah.

Jaehyun tak pernah menangis. Sejak kecil, tak seorangpun pernah melihat Jaehyun bersedih. Meski ketika sang Ayah meninggal dalam perang untuk melindungi keluarga kerajaan, Jaehyun tak bersedih.

"Kesedihan adalah kelemahan, bagaimanapun keadaannya, seburuk apapun, jangan pernah kehilangan senyummu. Karena hanya itu satu-satunya yang berguna darimu."

.

.

.

.

Matahari telah sepenuhnya menggantung di cakrawala. Pagi ini cerah dengan siraman cahaya matahari menyambut bumi. Kokok ayam jantan bersautan membangunkan insan yang masih terlelap dalam bunga tidur.

Namun, pasar sudahlah ramai bahkan saat matahari masih saja mengintip. Udara dipenuhi dengan celotehan tiap pedagang, riuh-rendah membahas banyak hal diiringi suara-suara lain sebagai pelengkap melodi pagi ini.

Desa Rion merupakan desa para pedagang. Pasar utama dari seluruh wilayah Kerajaan Prudia itu berpusat di desa ini. Kebanyakan petani, nelayan, serta pengrajin menjual hasil jerih payah mereka di sini dari matahari terbit sampai hampir terbenam ke peraduan.

Kerajaan Prudia adalah kerajaan yang paling berjaya di antara kerajaan lainnya selama beberapa dekade karena terus berhasil dalam perang, baik perang untuk mempertahankan wilayah sendiri atau untuk merebut wilayah kerajaan lain. Selain karena memiliki ahli strategi yang berkualitas dan para bahadur yanh kuat, Raja-rajanya pun juga sangat kompeten dan cerdik. Termasuk Raja yang baru-baru ini naik tahta, adalah favorit setiap rakyat di setiap desa yang dinaungi oleh Prudia. Pada masa ini, perang adalah hal utama penentu kejayaan suatu kerajaan. Politik hanyalah kedok belaka.

Biasanya Raja di Prudia akan terpilih pada usia kisaran 30 tahun, namun dalam kasus ini, Raja baru terpilih di usianya yang baru menginjak 21 tahun. Hal ini dikarenakan Raja sebelumnya, yang adalah Ayahanda dari Raja muda ini meninggal karena stroke dadakan.

"Percayalah padaku, bedebah tua itu mati karena diracun." Sebuah pernyataan dilontarkan oleh pemuda dengan tubuh atletis dan berparas tampan yang tengah menggigit roti bertekstur kasar dengan acuh di sebuah kedai yang sepertinya baru saja siap-siap untuk buka.

Kedai Middlemere adalah salah satu kedai populer di Rion. Selalu ramai oleh pengunjung baik siang ataupun malam. Saat malam hari, kedai ini juga memiliki fungsi lain sebagai bar. Pemiliknya adalah seorang pria dengan satu anak yang ramah dan disukai banyak orang.

"Anak bodoh! Pelankan suaramu! Kalau sampai didengar pengawal kerajaan, kau bisa dipenjara dengan tuduhan menebar rumor tidak sedap!" Pemuda lain dengan suara bariton yang maskulin mendesis sambil mata sipitnya awas melihat ke sekeliling.

Yang diperingatkan berhenti mengunyah, memandangi potongan roti di tangan sebelum manik mata beralih pada kawannya.

"Kau benar." Ia berucap sambil menyodorkan roti ke hadapan pemuda yang duduk di sisi kanannya,

"Roti ini memang tak sedap."

"...Kau mendengarkanku tidak, sih? Aku serius, Jaehyun!"

"Hei, aku juga serius. Cobalah makan rotinya."

"Kumakan saja kau daripada terus menimbulkan masalah!"

"Paman, Johnny jadi kanibal, nih~ Aku mau dimakannya~" Jaehyun mengadu pada seorang pria paruh baya tak jauh dari mereka yang sedang membersihkan gelas-gelas minuman dengan tenang.

"Hei, memangnya kau ini sepuluh tahun?" Johnny mengacak-acak gemas rambut coklat karamel teman sejak kecilnya. Jaehyun merespon dengan kekehan jenaka dan lanjut menghabiskan sarapan.

"Kalian ini bukannya keluar cari gadis tapi malah kencan berdua di sini. Pantas saja para gadis takut mendekati kalian saking lengketnya kalian."

Johnny berdehem keras, bermaksud menyela; sebelum ia dicurigai sebagai pria yang menyimpang. "Maaf, ayah. Tak ada gadis manapun di desa ini yang takut padaku. Kebanyakan memujaku."

Jaehyun melirik sinis sekilas sebelum kemudian memasang ekspresi seperti mau muntah. Johnny ini terkadang memang suka narsis berlebihan.

Sang Ayah tertawa saja, "Lalu, tak ada satupun yang menarik perhatianmu?"

"Tidak―"

"Dia itu homo, asal Paman tahu saja. Jadi jangan percaya, " Jaehyun menyela. "Minta susunya lagi, Paman!"

Johnny melemparkan senyum ramah beraura membunuh, "Hey. Kenapa kau suka sekali menebar rumor jelek, sih, akhir-akhir ini?" Ayah Johnny hanya terkekeh kecil, terbiasa akan adu mulut kedua pemuda yang ia sayangi ini. Pria dengan rambut yang sebagian besar sudah memutih ini berlalu dari dekat mereka, membuatkan apa yang Jaehyun pesan.

Telapak menumpu pipi, Jaehyun menghela napas. "Karena aku bosan dan kesal."

Air muka Johnny berubah, otot-otot wajah mengendur dan dahi mengerut tipis di antara kedua alis. Prihatin.

"Ah, karena kehilangan pekerjaanmu, ya." Air muka Jaehyun jadi tak santai begitu Johnny menyebut penyebab keresahan yang ia rasakan.

"Semua gara-gara kebijakan brengsek dari si culas Taeyong itu." Tangan mengepal marah di atas meja. Johnny berdoa agar Jaehyun tak tiba-tiba menggebrak meja kayu ini dengan kekuatan penuh.

"Sudah kubilang untuk menjaga perkataanmu dan kau masih saja sembrono," dengus Johnny. Respon Jaehyun hanya memutar bola mata; jengah akan peringatan yang selalu dilontar Johny untuk membatasi perkataan bila berhubungan dengan kerajaan.

Ia yang semula duduk menghadap meja kini duduk menyamping menghadap Jaehyun. "Berkali-kali kukatakan, kau tak akan bisa kaya kalau hanya mengandalkan pekerjaan macam itu. Carilah pekerjaan lain."

"Tidak bisa. Aku hanya ingin bermain sulap." Suaranya terdengar redup. Johnny pun juga merasa lebih baik diam saja.

Sebuah gelas berisi susu disodorkan ke hadapan Jaehyun. "Paman dengar raja baru kita memang sangat membenci sulap."

"Hmm, mungkin dia ada trauma sama pesulap?" Johnny mengelus dagu.

"Padahal mendiang ayahnya sangat menyukai sulap." Lagi helaan napas dihembus sembari kedua tangan memutar-mutar gelas di tempat seakan tak ada niat ingin menyesap isinya.

"Jaehyun, kau tak memiliki minat untuk mengikuti jejak Ayahmu?"

"Mengorbankan diri dan mati di medan perang? Maaf saja, aku tak akan sudi. Itu namanya mati konyol." Sinar pada manik mata terlihat menyala-nyala. Amarah yang ia miliki untuk mendiang ayah tampaknya belum padam.

"Tapi Jaehyun―"

"Maaf, paman. Meski aku harus mati karena kelaparan, aku tak akan mengambil pekerjaan itu." Jaehyun berkata tegas. Johnny dan Ayahnya hanya bisa saling pandang sambil mengedikkan bahu. Jaehyun ini memang selalu saja keras kepala.

"Mana mungkin kau mati kelaparan kalau kau masih suka makan gratis di tempat ayahku." Pemuda dengan sebagian poni menutupi mata ini mencoba mencairkan suasana dengan memberi pancingan pada Jaehyun.

Jaehyun terdiam sesaat, lantas cengiran lebar menghias paras tampannya. "Astaga, kau tak perlu menyebutkannya, Johnny. Aku jadi malu~"

"Katakan padaku jika memang benar urat malumu belum putus."

"Hahaha~ sudah, sudah. Anggap saja kami ini seperti keluargamu sendiri. Paman janji akan terus memperhatikan gizimu dan Johnny."

"Ah, ayah. Aku cinta padamu~" Johnny mengedip sebelah mata manja sambil membentuk tanda cinta dengan jemarinya.

"Paman, bukan hanya aku saja 'kan yang merinding?"

"Jaehyunie~"

"Maaf, kau bukan tipeku."

"Sini biat kucium pipi bulatmu itu~"

"Paman, tolong!"

.

.

.

.

.

.

Istana kerajaan begitu megah menjulang di tengah-tengah tiap desa yang dinaungi. Dilindungi tembok tebal, pagar besi yang kuat, serta para penjaga yang tak pernah hilang waspada, selama ini istana selalu aman dari segala jenis penyusup.

Mungkin.

"Raja menghilang!"

"Kerahkan regu pencari dan datangi tiap desa!"

"Hubungi tiap pos penjagaan di desa-desa untuk siaga mengawasi dan mencari!"

"Astaga keponakanku ini tak pernah lelah, ya?"

"Ini bukan saatnya tertawa, kan, Tuan? Bagaimana bila dia diculik?"

"Aih, kau seperti tak tahu anak itu bagaimana."

"...Benar juga. Tetap saja, khawatirlah sedikit."

"Hohoho."

「Chapter 1 End」

Yo! Cal mau sedikit cuap-cuap, boleh ya?

Pertama-tama, bonjour!

Sebut saja saya Cal (re: Kal). Saya masih baru di fandom 3D seperti ini jadi mohon maaf bila ditemukan banyak kesalahan. Awalnya, gak pernah berpikir untuk membuat fic NCT tema kerajaan gini macam game RPG tapi karena mood sedang tidak cocok dengan romansa di tema keseharian, saya putuskan untuk mempublish ini. Sudah cukup lama saya tidak menulis jadi kemungkinan besar masih punya /banyak/ kekurangan.

Anyway, untuk para reader sekalian. Terima kasih, ya, bagi yang sudah mau membaca. Saya usahakan untuk tidak memperbanyaj procrastinate mumpung masih libur. ((Tapi kalo libur biasanya makin malas, ya, haha))

Sepertinya segini sudah cukup. Kalau begitu, sampai bertemu di chapter selanjutnya!

Au revoir!