previously

Akibat Bae Jinyoung, skandal Dongho dan Daehwi terbongkar di SMA Nayana. Masalah tersebut harus segera diselesaikan sebelum memperburuk keadaan mereka berdua.

.

.

SHOCK RUN!

Produce 101 by MNet

AR—Altenate Reality

Pieree Present...

(Baekho/Kang Dongho—Lee Daehwi)

.

.

[05: Peringatan]

.

.

Ini hari Senin, sebuah hari yang bisa jadi malapetaka buat Lee Daehwi.

Bagaimana tidak? Mengingat Jumat kemarin dia kabur dari sekolah begitu foto-fotonya bersama Kang Dongho tersebar di kelas.

Ya, lagi-lagi kabur. Sebuah imej yang buruk; memberikan petanda bahwa Daehwi membenarkan permasalahan yang menjadi topik utama satu kelas kala itu: Lee Daehwi memiliki hubungan dengan salah satu artis Korea lelaki. Daehwi seorang gay.

Padahal dia hanya tidak tahan dengan cekikikan dan sorakan ramai orang-orang. Semuanya membuatnya pusing dan ingin lompat dari atap gedung sekolah. Apalagi mengingat semua tuduhan mereka tidak ada yang benar—ingat, tidak-ada-yang-benar.

Semua salah paham, tapi mana ada yang percaya.

Daehwi mencoba membenarkan syal merah yang melingkari lehernya dan meyakinkan diri.

Saat ini dia berada di dalam toilet laki-laki di lantai satu—tempat ia bersembunyi saat sadar ia masuk sekolah terlalu pagi. Dirinya sibuk berdoa dalam hati. Begitu satu menit terlewat, ia beranikan diri melangkah keluar bilik toilet dan jalan cepat ke kelasnya yang berada di lantai dua.

Kepalanya menunduk dalam. Sebisa mungkin dia hindari kontak mata dengan orang-orang yang ia lewati—yang ada kemungkinan dengar desas-desus tentang dirinya.

Bukannya lebay atau apa, Daehwi pun syok begitu kemarin membaca artikel tentang Dongho.

Ini memang telat, tapi ia baru tau kalau sejak awal tahun, nama Kang Dongho alias Baekho memang menjadi sorotan publik—bahkan dunia internasional—karena kehadirannya di acara survival ternama Korea, Produce 101. Begitu acara idol itu selesai dengan sukses besar, Dongho dan keempat member timnya memutuskan debut di Jepang, yang tentunya amat sangat disambut hangat oleh para penggemar.

Kalau ada murid sekolah yang tidak tau siapa Dongho pun, pasti ada orang yang memberi tahu mereka tentang keeksisan Kang Dongho dan acara tersebut di mata warganet.

Namun masalah ini tak sesepele perkiraan awalnya.

"Hey, pacar si artis udah datang tuh..." Seorang perempuan menyeletuk begitu Daehwi memasuki kelas.

Daehwi menelan ludah, dan mati-matian hanya memfokuskan pandangan ke mejanya yang berada di tengah.

"Sousuke, si Daehwi kan gay, tembak dia gih! Kau kan gay juga!"

"Enak saja!"

Tawa mereka benar-benar membuat Daehwi takut mengangkat kepala. Dia hanya duduk di mejanya, mengambil buku lalu pura-pura belajar. Sementara anak kelas lain masih menjadikannya bahan lelucon yang sebenarnya tidak lucu sama sekali.

"Daehwi enak ya bisa pacaran sama artis. Aku juga ingin!"

"Artis mana ada yang mau!"

"Sama Daehwi yang culun begitu saja ada artis yang mau kok!"

Tertawa lagi satu kelas.

Percuma. Daehwi di mejanya hanya bisa mengatupkan mulut rapat-rapat, bahkan membenamkan wajahnya ke syal tebal nan panjang yang melingkari lehernya. Hatinya sakit. Matanya mulai berair. Harusnya ia datang saat bel masuk sekolah berbunyi.

"Si Kang Dongho siapalah itu pasti rabun dikit, ya!"

"Iya, jadi gay kok tidak selektif—"

BRAK!

Tiba-tiba ada suara keras yang menghantam meja. Bukan dari Daehwi. Semuanya langsung menoleh ke belakang, ke arah Bae Jinyoung yang duduk di bangkunya. Anak itu terlihat dingin, ekspresi yang sering dia tampilkan. Tapi kali ini lebih seram. Sedangkan di atas mejanya ada satu kepalan tangan yang membulat kuat. Tangan itu yang menghasilkan suara tadi.

"Ada guru di depan. Tolong diam sebentar."

Secara bersamaan lagi, semuanya baru sadar bahwa sudah ada guru di depan kelas—tepat di depan papan tulis. Sang guru mengusap tengkuknya, panik. "Tidak apa. Saya hanya ingin memanggil Lee Daehwi."

"Ah, aku?" Daehwi mencicit dari mejanya.

"Iya, tolong datang ke ruang kepala sekolah. Ada yang mau dibicarakan."

Ah, ada cobaan apa lagi ini?

Dari meja lain, Bae Jinyoung menelan ludah. Rasa ibanya semakin kentara.

.

.

- x x x -

.

.

tepat tiga menit sebelum bel masuk berbunyi, Daehwi di panggil ke ruang tamu khusus. Di sana sudah ada kepala sekolah, guru budi pekerti dan juga wali kelasnya. Kombinasi yang cukup mengerikan bagi Lee Daehwi, apa lagi mereka membawa topik yang sudah ketebak.

Tiga orang itu membahas permasalahan dia bersama Kang Dongho.

Daehwi hanya bisa menjawab dengan embel-embel 'ini hanya salah paham, dia dan Dongho adalah teman dekat, dan kejadian di hotel hanya bercanda', karena ia sendiri pun takut apa yang ia ceritakan nantinya akan berbeda dengan yang Dongho bicarakan ke publik—oh ya Tuhan, ia bahkan tidak berani mengikuti rencana Dongho yang menyuruhnya mengaku sebagai staf penerjemah Pledis.

Sambil diceramahi, Daehwi hanya bisa mencengkeram erat kain celananya. Dirinya semakin berjengit saat beasiswanya dibahas dipembicaraan tersebut.

"Untuk saat ini kami percaya. Tapi kalau kami dengar berita lainnya yang membenarkan bahwa kalian memiliki hubungan terlarang, perkataan kami sebelumnya tidak main-main. Baesiswamu akan kami lepas."

Masalahnya kini semakin bertambah.

Daehwi nyaris jatuh merosot menduduki lantai begitu sudah dipersilahkan keluar. Dirinya bingung setengah mati. Kalimat Dongho ada benarnya, ia yang terlalu lama menunda. Kalau saja dia cepat membuat kesepakatan dengan Dongho secara resmi, mungkin hal ini tak akan sesulit sekarang.

.

.

- x x x -

.

.

Transisi cuaca dari musim gugur ke musim dingin memang menyiksa.

Apabila memakai baju hangat biasa, maka kau akan kedinginan; dan juga, apabila memakai mantel berlapis nan ekstra tebal, maka di jam-jam tertentu seperti siang ini, kau akan kepanasan sampai berkeringat.

Dongho dengan menggerutu memasuki kantor Pledis sambil membuka jaket tebalnya. Dia gantung di hanger samping pintu dan menyapa beberapa staf yang belalu lalang. Keringat dingin membasahi leher dan dahinya.

"JR menunggumu di ruang biasa." Ujar salah satu wanita yang membawa notes kecil. Dia menatap Dongho. "Sepertinya dia sedang kesal. Kau membuatnya marah—lagi?"

"Mungkin."

Tanpa basa-basi Dongho berjalan ke ruangan yang ia tuju. Dan benar saja, Jonghyun alias JR sudah menempati salah satu bangku sofanya sambil melipat kedua tangannya di dada. Kepalanya geleng-geleng melihat Dongho yang dengan santai menyapanya.

"Siang. Kau sudah makan?"

"Kang Dongho..."

Dongho menjilat bibirnya sendiri, juga menunduk sambil bersandar di bingkai pintu, begitu sang ketua grup NU'EST ini sudah menyebut nama lengkapnya. Sepertinya ia salah pilih kalimat sapaan untuk Jonghyun.

"Sudah kubilang berapa kali, selesaikan masalahmu secepatnya."

"Masalah skandal gay? Itu aman, santai saja. Kulihat berita itu juga semakin tenggelam."

"Aman? Tenggelam? Dari mana? Aku membaca artikel baru di forum, kalau orang yang kau bawa ke hotel itu sudah diketahui identitasnya. Anak sekolah di bawah umur, Dongho. Yang benar saja?"

"Artikel?" Dongho mendekat karena Jonghyun merebahkan ponsel layar lebarnya di atas meja.

Dia lihat foto kartu pelajar Lee Daehwi, seorang lelaki berusia 16 tahun lengkap dengan pakaian SMA, terpampang di media. Dari yang tertulis di sana, identitas itu mereka dapatkan dari cuitan heboh twitter beberapa murid SMA Nayana. Gambar ciri-ciri Daehwi dan lelaki yang Dongho bawa ke hotel dicocoklogikan berdasarkan postur, rambut, tas dan juga sepatu—berhubung anak itu memang tidak punya banyak variasi barang.

Dongho mengeluh dalam hati.

Oke, ini jelas tidak semudah yang ia bayangkan.

Pantas Jonghyun yang biasanya paling kalem dalam menghadapi masalah tiba-tiba jadi seperti ini.

"Akan kupanggil dia... besok."

"Minggu lalu kau juga bilang seperti itu. Tapi mana buktinya? Dia tidak datang."

"Dia memang sulit disuruh ke sini."

"Aku juga dengar omongan, Jumat kemarin kau sempat naik mobil bersama Lee Daehwi, tapi tidak ke kantor?"

"Ah... itu..."

Sial. Pasti Minhyun yang memberitahu Jonghyun—salah dia juga yang keceplosan bicara sedang mengantar Daehwi pulang saat Minhyun meneleponnya kemarin malam.

"Dongho."

"Ya?"

"Kau tidak benar-benar gay, kan?"

Dongho mengernyit. Alis tebalnya bertautan.

"Sejauh ini aku masih percaya kejadian di hotel itu adalah kesalah pahaman. Jangan kecewakan NU'EST, dan juga fans." Jonghyun mengambil ponselnya dan pergi begitu saja, meninggalkan Dongho yang masih berpikir.

"Aku? Gay?"

Dia tertawa, tapi terbayang wajah Daehwi yang banyak tertawa di malam itu. Pemandangan yang unik. Nyaris tak pernah anak itu tersenyum begitu lebar sebelumnya. Buru-buru ia menggeleng.

"Yang benar saja."

Bersamaan dengan ucapan itu tiba-tiba saja ponselnya berdering. Dia melihat nama orang di layar ponsel. Dirinya sedikit berjengit.

Lee Daehwi is calling ...

Tumben anak ini berani meneleponnya.

"Ya?" Dongho menjawab pelan.

'Mm... Dongho-sshi...' Suaranya terdengar pelan, lembut dan takut-takut. 'Apa kabar?'

Apa kabar, katanya?

"Ah." Dongho menyentuh dada kirinya. Tidak tau kenapa jantungnya berdebar keras sekali.

Ada apa ini?

Kenapa tiba-tiba rasa senang menjalarinya?

'Aku mau membicarakan soal skandal. Apa aku sudah bisa bilang ke orang-orang kalau aku ini staf Pledis? Seperti apa yang kita bicarakan kemarin?'

Hati Kang Dongho mencelus begitu obrolan soal skandal langsung diungkit. Perasaan menyenangkan barusan hilang seketika. Tentu saja Daehwi menelepon Kang Dongho bukan karena tanpa alasan. Pertanyaan tadi hanyalah basa-basi semata. Tak dijawab pun Daehwi tak akan peduli. Memikirkan hal itu saja Dongho langsung kesal sendiri.

"Jadi intinya kau meneleponku untuk membahas masalah skandal?"

'Ng... iya. Tadi aku ditanya pihak sekolah.' Lalu ia mengecilkan suara. 'Kalau aku terbukti tidur di hotel bersamamu, maka aku akan terkena hukuman.'

Alis Dongho mengernyit.

Benar basa-basi rupanya...

Jantungnya berdetak tak nyaman. Ini bukan perasaan suka atau gembira. Lebih ke rasa... tersulut?

Ya, tersulut. Entah kenapa ada rasa marah yang ingin keluar.

"Bukannya kita memang tidur bersama di hotel?"

'Eh!?' Daehwi panik. 'A-Aku tidur di depan pintu, tidak persis bersamamu.'

"Itu kau ingat. Jelaskan seperti itu ke mereka."

'Pasti mereka pikir aku mengada-ada.'

Dongho jadi ingat waktu itu CCTV hotel lagi rusak, sehingga tak ada bukti yang mendukung alibi tersebut. "Hukuman apa yang sekolah berikan padamu?"

'Beasiswaku akan dicabut.'

Suatu fakta yang mengejutkan. "Oh, kau anak beasiswa?"

'Kalau beasiswaku dicabut, aku lebih dari skakmat.'

Dongho membalas cepat. "Tidak kabur lagi?"

'Kabur?'

"Waktu aku mau membicarakan cara untuk meluruskan masalah ini bersamamu, kau selalu kabur-kaburan, kan?" Dongho hanya berbicara sesuai apa yang ia pikirkan. "Sekarang kabur lagi saja."

'M-Mana bisa... beasiswaku dipertaruhkan... dan juga aku tidak pernah tidur denganmu, aku pun tidak gay!'

"Itu semua terjadi karena kau menolak kerja sama dari awal!"

Suara Dongho mengeras, namun segeralah ia menenangkan diri dan menghela napas panjang.

"Sejak pertama kali skandal itu diangkat ke dunia maya, popularitas nama, grup dan agensiku sudah dipertaruhkan. Aa, iya, kau mana peduli dengan itu." Desisnya. "Kalau aja aku mau, sekarang aku bisa menertawakan nasibmu. Atau kalau lebih jahat lagi, aku bisa balas dendam menidurimu, merekamnya kalau perlu, lalu memberikan ke sekolahmu. Biar kita hancur sama-sama."

Di sambungan ponsel Daehwi terdiam. Ia sepertinya kesulitan membalas kata-kata Dongho yang kelewat jujur. Dongho sendiri pun menahan kata 'maaf' atas kelancangannya dalam berbicara. Tapi tidak tau kenapa ia jadi ingin melakukan sesuatu yang mungkin bisa membuat jera Lee Daehwi.

Mungkin sebuah kebohongan bisa dia gunakan.

Dan juga jera karena sempat membuatnya senang di awal ia meneleponnya.

"Aku baru saja bilang ke pers kalau aku gay."

'A-Apa...?'

"Dan aku sudah minta maaf karena meniduri anak dibawah umur."

'D-Do-Dongho-ssi, kau bilang itu ke pers!?'

"Ya. Aku malas memikirkan kebohongan untuk menutupi masalah kita. Dibilang salah paham dan diceritakan yang benar pun netizen tak akan percaya." Jelasnya. "Selamat, beasiswamu mungkin akan dicabut sebentar lagi."

'Kau bercanda... pasti kau bercanda...' Kini suara Daehwi serak. Sepertinya dia akan menangis.

"Temui aku di kantor. Kita bicarakan bersama-sama."

'Ta-Tapi...'

"Kalau kau menunda lagi, berlari lah. Kabur." Dongho berujar pelan dan sengaja menyakitkan. "Itu sudah sering kau lakukan, bukan?"

.

.

- x x x -

.

.

Dengan keringat dingin bercucuran Lee Daehwi sampai di kantor Pledis pada jam 18.00 tepat, sore menjelang malam. Dia menjelaskan ingin bertemu Baekho pada salah satu staf, lalu dia di antar ke sebuah ruangan. Di sana ada Dongho, dan empat member boy grup NU'EST lainnya—Daehwi familiar dengan muka-muka itu sekalipun saat ini mereka tidak mengenakan make up.

Saat mata mereka semua mengarah padanya, Daehwi menarik syal yang ia kenakan sampai menutupi hidungnya yang memerah. Sepertinya dia disuruh masuk di saat yang kurang tepat. Mungkin mereka sedang membicarakan sesuatu yang penting.

"Ah, ini anaknya?" Choi Minki berkomentar. "Sini, sini, duduk dulu."

Sebelum menuruti Minki, Dongho berdiri dan menarik tangan Daehwi untuk keluar ruangan. Dibawanya anak itu ke sebuah ruangan kecil yang kosong.

"Kau datang rupanya."

Jujur saja Dongho agak kaget. Ia kira Daehwi tak akan pernah menginjakkan kaki ke kantor. Mendadak rasa kasihan muncul begitu melihat wajah pucat Daehwi yang terus menatapnya penuh harap.

"Aku... ingin menyesaikan masalah kita." Daehwi memulai. Dia tidak bisa tenang, napasnya terengah, dan tangannya terus mencengkeram baju dongho.

"Caranya?"

"Aku tidak tau. Tadi siang kau menyuruhku ke sini."

"Sayangnya sudah terlambat. Kalau dari kemarin kau mudah diajak ke sini, mungkin permasalahan kita akan cepat selesai."

"Untuk saat ini, ada hal yang bisa kulakukan? Mungkin untuk memperbaiki apa pun..."

"Kubilang semua ini sudah terlambat—"

"Apa pun! Akan kulakukan apa pun!" Daehwi mengeraskan suaranya sampai Dongho sedikit terbelalak. Apalagi saat ia melihat wajah Daehwi yang kini memerah. Air mata sudah mengalir bertetes-tetes. Tatapan anak itu hanya terarah padanya dan sembab—sepertinya ia sudah menangis beberapa kali sebelum ke sini. Dongho sampai tak bisa berkata-kata.

Apakah kebohongan kecilnya keterlaluan?

Begitu kasihan ia melihatnya.

Dongho lantas menarik Lee Daehwi perlahan dan memeluknya erat. Dia tepuk beberapa kali punggung Daehwi lalu berujar pelan.

"Sekarang kau sudah tau dampak buruk lari dari masalah, kan? Mau mengulanginya lagi?"

Kepala Daehwi menggeleng cepat.

"Baguslah. Kau harus bersyukur karena aku bohong soal itu."

Daehwi tersentak. Ia lantas mendorong Dongho, namun lelaki 22 tahun itu menahan posisi mereka. "A-Apa maksudmu?"

"Aku bohong soal: sudah mengatakan iya soal skandalku bersamamu ke wartawan. Aku belum bilang apa-apa."

"Apa? Kau bohong?" Daehwi memberontak ingin dilepaskan, tapi satu tangan Dongho di pundak dan satunya lagi di pinggang membuat ia benar-benar terkunci. Tidak bisa bergerak. "Lepaskan aku! Ini sama sekali tidak lucu!"

"Sudah kubilang, seharusnya kau bersyukur sekarang, kau bisa mencegah hal buruk itu terjadi."

Bersamaan dengan kalimat itu daehwi dilepaskan olehnya. Murid SMA itu terjatuh di lantai.

"Ah, sorry." Sambil sedikit panik melihat tubuh kurus itu menghantam lantai yang dingin. Ia coba menawarkan tangan untuk membuat Daehwi kembali berdiri, tapi siswa SMA itu membuang muka.

"Kenapa? Bercandaanku keterlaluan?"

Bukan jawaban, tapi Daehwi membalasnya dengan teriakan kencang.

"Aku membencimu!"

.

.

- x x x -

.

.

Kang Dongho orang gila, Daehwi tak habis pikir.

Dirinya sudah nangis lima kali di sekolah. Stres berkepanjangan sampai ia sama sekali tidak bisa fokus mencerna pelajaran hari ini. Semua karena memikirkan apa nasib sial yang akan mendatanginya lagi setelah Dongho mengiyakan skandal permasalahannya. Apalagi dengan identitas yang sudah tersebar di sekolah maupun dunia maya, juga beasiswa yang terlepas dari genggamannya.

Apa yang lebih buruk dari itu semua? Daehwi bahkan sampai terbesit pikiran untuk mengakhiri hidupnya dengan cara lompat dari gedung.

Dan nyatanya apa? Dongho membohonginya.

Oke, Dongho mungkin memang muak melihatnya yang sering lari dari masalah. Pria itu juga bilang ia harusnya bersyukur Pledis belum memverifikasi apa-apa ke pers. Tapi semua ini sudah keterlaluan. Memangnya lucu kalau seandainya dia sudah meregang nyawa, tapi tau-tau ini cuma akal-akalan Dongho membuatnya kapok?

"Lee Daehwi."

Daehwi menelan ludah begitu ada suara Dongho yang berada di belakangnya. Sejak tau Dongho hanya berbohong, Daehwi memang langsung pergi dari kantor Pledis—entahlah, mungkin 'kabur' memang pilihan yang paling melekat pada dirinya. Tapi ia tidak kaget dengan kehadiran Dongho di belakangnya.

"Aku minta maaf."

Suara maskulin itu terlontar pelan. Persis seperti cara Bae Jinyoung meminta maaf, tapi kali ini lebih terdengar tulus dan menyesal. Daehwi menghentikan langkahnya dan menghela napas panjang. Meski hatinya belum memaafkan Baejin, ia tau anak itu berusaha melindunginya dari hujatan teman sekelas. Tak ada salahnya juga kan kalau dia memperbaiki kebiasaan buruknya, dan memaafkan Kang Dongho?

Setengah kepala Daehwi yang terbungkus syal tebal menoleh. Pakaian Dongho masih sama seperti saat dia di dalam kantor. Tanpa jaket, hanya kaus lengan panjang yang mungkin tak akan melindunginya dari udara dingin. Pria yang kini rambut under cut-nya ditata turun itu tak memikirkan apa-apa lagi untuk mengejarnya sampai ke stasiun kereta.

"Pulanglah, kau akan mati kedinginan."

"Maafkan aku dulu."

"Belum mau. Hatiku masih kacau."

Dongho mengusap tangannya yang kini membeku. Udara sore menjelang malam musim gugur memang menusuk daging. "Biarkan kita selesaikan ini dulu. Jangan jadi panjang. Masalah utama kita belum selesai."

Sekarang Daehwi berbalik dan memperlihatkan wajahnya yang masih merengut. Tapi buru-buru ia melepaskan syal panjangnya dan membungkus leher dan bahu Dongho dengan kain itu. "Lagi pula kenapa kau berbohong padaku? Kau pikir itu lucu? Kau sudah nyaris membuatku gila, tau."

Dongho ingin menjawab, tapi suaranya tak keluar. Dia harus bilang apa?

Ya supaya kau tidak lari dari masalah lagi, begitu? Sepertinya tidak. Daehwi memiliki hati sensitif seperti perempuan. Mengatakan hal sejujur itu seperti menyiram bensin ke api. Atau hanya kalimat spontan karena kecewa dengan topik yang kau bahas saat meneleponku pagi ini?

Itu jujur, tapi membuatnya terlihat bodoh. Dan juga kalau dipikir-pikir, emosinya memang langsung meluap begitu menganggap Daehwi berbasa-basi dengan cara menanyakan kabarnya. Hanya saja kenapa juga dia marah hanya karena hal sesepele itu? Apa malah dirinya yang gay?

Tidak, Dongho tidak yakin.

"Aku hanya ingin bertemu lagi denganmu. Tapi caraku salah. Maaf."

Ini alasan ketiga yang baru kepikiran tadi. Sebuah kejujuran juga. Dongho belum menyaring apakah itu alasan yang tepat, terutama karena tadi Daehwi sudah akan berbalik pergi. Dan saat Daehwi kini menatapnya bingung, seolah-olah meminta kalimat yang tadi terlontar diucapkan ulang, Dongho terdiam.

Dia menunduk dan cuping telinganya memerah drastis.

"Abaikan."

Sekarang giliran Dongho yang berjalan ke arah keluar stasiun. Daehwi melihat punggungnya yang menjauh, lalu mengejarnya dan mencengkeram kaus Dongho di bagian lengan. Pria dengan marga Kang itu menoleh pelan.

"Aku masih kesal, tapi kau kumaafkan."

Dongho bingung sendiri.

"Lagipula aku sudah banyak membuatmu kerepotan. Dosaku padamu masih lebih banyak..." Sambil memalingkan muka, Daehwi mencoba untuk tidak bertingkah terlalu tsundere. Maka dari itu perlahan-lahan ia tersenyum. Cuma tiga detik, lalu ia menggaruk pipinya. Bingung juga. "Maafkan aku juga. Aku berjanji akan menyelesaikan masalah kita dengan baik."

Dongho menatap Daehwi lekat, si pemilik rambut cokelat itu tak nyaman.

"Ada apa?"

"Apa kau tau, kau lebih manis kalau tersenyum?" Dongho berbisik pelan. Nadanya serius.

"Masa?" Daehwi memiringkan wajah dengan polos. Dia tersenyum lagi. "Kalau begitu... buat aku tersenyum... jangan stress seperti tadi..."

Tanpa di duga, Dongho pun menarik pinggang Daehwi, lalu mencium bibir lelaki itu pelan. Hanya satu detik. Lalu dengan gerak cepat Dongho melepaskannya dan berjalan pergi, meninggalkan Daehwi yang masih mematung di tempatnya berdiri dengan wajah yang luar biasa memerah.

"Hah?" Daehwi memegangi bibirnya sendiri.

Kenapa tiba-tiba Dongho menciumnya!?

Jantungnya berdebar kencang sekali.

"HAH!?"

.

.

to be continued

.

.

my note

Halo teman-teman. Aku writer block (ngga tau mau nulis apa lagi untuk fict ini). Tolong beri masukan supaya cerita ini bisa dapet ending yang bagus ya hehe. Udah mau ending soalnya.

.

.

Warm regards,

Pieree...