summary

Seingat Lee Daehwi, ia hanya mengantar pulang seorang pelanggan mabuk dari tempat part time-nya. Iya, hanya itu. Namun semuanya berubah merepotkan ketika kejadian tersebut malah jadi skandal yang ramai diperbincangkan.

.

.

SHOCK & RUN!

Produce 101 by MNet

AR—Altenate Reality

Pieree Present...

(Baekho/Kang Dongho—Lee Daehwi)

.

.

[01: Prolog]

.

.

Lee Daehwi hanya bisa menghela napas lelah.

Seingatnya ia hanya bekerja part-time di sebuah kedai barbeque biasa, bukan bar malam. Jam 22.00 tepat harusnya mereka sudah tutup. Sehingga pemilik kedai ini, alias Takada Kenta, bisa mengunci kedai—sekaligus rumahnya—dari dalam dan Lee Daehwi, satu-satunya pekerja yang tersisa bisa melepas apron kerjanya dan kembali ke apartemen.

"Hei, kau..."

Namun suara bariton itu kembali memanggilnya.

"Satu soju lagi."

Ini sudah pesanan ke berapa? Ke empat? Atau kelima?

Kenta melirik Daehwi yang sudah siap dengan satu botol soju dingin. Pria berambut mangkuk itu cemberut. Dia tahan Daehwi sebentar lalu berbisik. "Bilang ke orang itu, kita sudah harus tutup. Suruh dia pulang."

"Ah, aku?" Matanya bolak-balik melihat satu-satunya pelanggan yang ada di kedai Takada K-BBQ, dengan posisi malas yakni menyandarkan kepala dan bahunya di atas meja. "Kau tidak lihat ekspresinya? Dia terlihat menyeramkan!"

"Dia sepertinya sudah mabuk. Aku yakin kita bisa mengusirnya lebih mudah."

"Kalau dia mengamuk bagaimana! Badannya terlihat dua kali lipat lebih besar dibandingku—K-Kenta-san!"

Badan kurus Daehwi sudah terlebih dulu ia dorong maju, dan kini, mau tidak mau pemuda berusia 16 tahun itu harus menghadapi kenyataan yang berada di depannya.

Jadi begini, ada seorang pria bertopi putih. Usia mungkin dua puluh tahunan. Dia masuk ke kedai Takada K-BBQ, spesialis korean barbeque pada jam 19.00 sore dini hari. Lee Daehwi hafal betul pria tersebut, dimulai dari raut muka, intonasi suara, dan juga kerutan alisnya yang begitu mencolok. Pria itu sedang marah-marah ke seseorang di ponselnya. Dia berbicara teramat keras dan tuturan katanya terlontar cepat. Daehwi pun semakin panik ketika ia sadar bahwa pria itu berbicara dengan bahasa Korea. Otomatis Takada Kenta pun menunjuk ia, yang juga orang Korea, untuk mengurus pelanggan yang satu itu.

Oh, ya ampun. Mentang-mentang ini Jepang, dan dia adalah pelajar asal Korea yang menjadi part-timer di sini, kalau ada orang Korea yang mampir, pasti Kenta langsung mengopernya ke orang-orang tersebut. Barangkali para pelanggan bisa senang begitu bertemu dengan orang satu bahasa ibu, ia berujar sok tahu.

"Selamat data—"

"Ambilkan pemantik dan soju." Beralih dari ponsel, pria itu berbicara dengan bahasa Jepang lagi kepadanya dan Daehwi pun langsung mengangguk. Padahal dia sedang menyapa kedatangan pelanggan ini dengan sepatah kata.

Saat sebotol soju-nya dan tiga putung rokoknya habis, Daehwi pikir pria itu akan pulang. Tapi nyatanya ia malah memesan botol ke dua dan ketiganya hingga jam 22.00 pun terlewat.

"Permisi, Tuan."

Daehwi menelan ludah ketika ia mendapat lirikan tajam dari pria tersebut.

"Mohon maaf sebelumnya, tapi kita sudah seharusnya tutup. Ini sudah jam 22.20 malam."

"Mana soju-nya?"

"E-Eh... mm, begini, Tuan..."

"Aku minta soju, bukan minta kau mendatangiku dengan tangan kosong!"

Pria itu mabuk sungguhan dan mata Daehwi berkaca-kaca. Jantungnya berdegup-degup parah. Apalagi saat melihat tangan pria itu terkepal keras ketika mengatakan balasan kepadanya. Ia ingin meminta bantuan pada Kenta namun pria itu menggerakkan tangannya, tanda menyemangatinya dari jauh dengan wajah serius.

"T-Tuan ada kenalan yang bisa dihubungi?"

"Buat apa?"

"Supaya bisa m-menjemput Tuan dan..." Daehwi menggigit lidah. "Membayar tagihan?"

"Namaku Dongho, bukan Tuan!" Sekalian menggertakkan gigi Dongho melempar kartu kreditnya di atas meja. Lalu dia menaruh kembali wajahnya ke atas meja. Tertidur. Dengkurannya yang halus langsung terdengar. Daehwi ingin kembali melapor ke Kenta, tapi pria itu langsung menyambar kartu Dongho dari meja dan sekali lagi berbisik. "Aku tidak mau tau bagaimana caranya, kau harus buat dia pergi."

Lee Daehwi mengacak-acak rambut cokelatnya, frustasi. Sepertinya dia harus pakai cara terakhir.

"Dongho-ssi... please, kau harus bangun. Aku ada ujian besok di sekolah, dan aku benar-benar harus pulang." Daehwi ngomel, bahasanya mendadak Korea yang campur formal-informal. "Kalau kau mau diantarkan, aku bisa mengantarkan! Yang penting, tolong bangun sekarang juga!"

"Hotel Ueno, 5012." Pria itu berbisik tanpa membuka kedua matanya yang terpejam.

"Ah, itu dekat apartemenmu, kan? Antarkan dia. Akan kupanggilkan taksi."

.

.

- x x x -

.

.

Malam yang tenang di jalanan kota Tokyo yang sepi. Di dalam sebuah taksi, Dongho masih tertidur di bangku belakang. Menyisakan Daehwi yang berada di sebelahnya dengan posisi duduk yang kaku. Seingat dia menggunakan taksi itu mahal. Ia jadi takut melihat angka yang terpajang di argo dasbor. Bocah itu hanya bisa berdoa Dongho tetap sadar ketika mereka turun di Hotel Ueno, sehingga bukan ia yang membayar biaya taksi.

Daehwi tiba-tiba dikagetkan oleh kepala yang tiba-tiba bersandar di pangkuannya. Itu kepala Dongho. Pria itu tidur telentang dan menjadikan paha kurusnya sebagai bantalan. Tak lupa kedua kaki tak sopannya yang terlipat di atas kursi. Topi yang ia pakai kini dia pindahkan untuk menutupi wajahnya yang—err... dapat Daehwi pastikan tampan.

"Kepalaku pusing."

Iya, pusing. Tapi kenapa harus tidur di pangkuannya, coba? Remaja Lee itu menjerit dalam hati.

Mati-matian dia menahan diri untuk tidak protes. Selain dirinya tidak nyaman sama sekali dengan posisi ini, ia juga jadi bingung harus meletakkan tangan kirinya ke mana—ke dada Dongho atau ke selipan kecil di antara jok dan bahu pria itu.

"Kau terbiasa diajak pergi orang asing?"

Karena itu gumamam dan ia mendadak menggunakan bahasa Korea, Daehwi sempat kebingungan sendiri. Ia tidak salah dengar, kan? "T-Tentu saja tidak."

"Sering ke hotel?"

"Tidak pernah malah!" Pertanyaan asal macam apa itu?

Wajah Daehwi semakin memerah kala ia melihat Dongho menurunkan topinya sehingga membuat ia mempelihatkan kedua matanya yang sedikit terbuka. Ia memalingkan wajah ke jendela.

"Kalau aku orang jahat, dapat kupastikan dengan mudah menculikmu." Ucapnya datar sambil memejamkan mata lagi. "Organ manusia punya tawaran tinggi di pasar gelap."

Ingin rasanya ia menangis tersedu-sedu sambil memukuli Takada Kenta yang mungkin saat ini sudah berendam lega di bak air hangatnya.

.

.

- x x x -

.

.

Selesai menggunakan taksi dan membayar dengan uang tunai, Dongho muntah air di taman depan Hotel Ueno. Kadang Daehwi jadi bingung dan konsep karma. Padahal baru saja Dongho memberikan uang lebih sebagai tip ke driver taksi tadi, tapi setelah menghirup udara luar pria itu malah muntah tak karuan di sini.

Sambil menahan napas, Daehwi mendekati pria itu dan menepuk-nepuk pelan punggungnya yang kini berkeringat.

"Kau tidak apa-apa?"

"Aku sedang sakit, kau tidak lihat?" Jawabnya, ketus. Daehwi meringis. Kalau diperlakukan seperti itu lebih baik ia langsung pergi saja meninggalkan orang ini. Tapi sebelum ia beranjak, pria itu memeluknya, ah bukan, membelit lehernya dengan tangan dan menaruh kepalanya di leher untuk menjadikan Daehwi sebagai topangan berjalan.

"Antarkan aku. 5012."

Daehwi sudah seperti mau mati. Memang, untuk ukuran anak SMA kelas 2 sepertinya, 172 cm itu sudah terbilang tinggi. Tinggi mereka nyaris sepantaran. Namun pria yang ternyata bernama lengkap Kang Dongho itu jauh lebih berat dibanding dia. Mana udara malam semakin menusuk tulang. Boleh pingsan saja tidak di sini?

Ah, ada ujian besok siang. Sebagai murid penerima beasiswa sepertinya, haram hukumnya meninggalkan ujian.

Dia kumpulkan oksigen banyak-banyak dan sekuat tenaga, ia tarik Dongho yang masih bisa berjalan dengan langkah terseret ke lobi hotel. Awalnya Daehwi ingin ke resepsionis dulu, tapi karena letak lift lebih dekat, dengan nekat ia masuk ke lift dan menekan tombol 5. Lebih cepat memasukkan pria ini ke kamarnya, lebih cepat ia pulang, kan?

Di lantai 5 pintu lift terbuka dan ia tarik Dongho walaupun kakinya sudah bergetar karenanya.

"AH! SELESAI JUGA!"

Di dalam kamar 5012, lebih tepatnya setelah ia membuang Dongho ke atas kasurnya yang rapi, Daehwi sempatkan diri membiarkan tubuhnya terbaring di sebelah sambil terengah-engah. Kedua tangan, kaki dan lehernya sakit semua. Keringat pun bercucuran dari pelipisnya.

Dia lirik Dongho yang kini sudah tertidur damai. Wajahnya terlihat licin oleh keringat dan minyak, sedangkan kemeja putihnya terlihat basah. Apa perlu ia mengganti baju pria itu sebelum benar-benar pergi? Ah, yang benar saja. Memangnya dia siapa? Pengasuhnya?

Daehwi hembuskan napas keras-keras dan berdiri. Tapi sepertinya ia harus membiarkannya mengganti baju. Seingatnya pria itu sedang sakit, dan mungkin makin bisa memburuk apabila ia biarkan ia tidur di ruangan dingin ini menggunakan pakaian basah. Dengan perlahan ia buka lemari baju kamar dan menemukan kaus abu berukuran besar. Mungkin bisa digunakan sebagai baju ganti.

Ia menggigit bibir dan menggoyangkan badan pria itu. "Maaf mengganggu lagi, tapi sepertinya kau butuh mengganti baju."

Pria itu tak merespons.

Berpikir keras antara langsung pulang atau membuat Dongho ganti baju, akhirnya pria itu melepas tas sekolahnya yang cukup berat dan menyingsingkan lengan jaketnya. Ia putar badan Dongho—yang posisinya miring—agar tidur telentang, lalu ia buka satu per satu kancingnya tanpa minta izin lagi.

Ayo cepatlah sebelum tangannya memukulmu!—Daehwi menyemangati dirinya sendiri dalam hati.

Namun di saat ia membuka kancing ketiga, alias baru setengah jalan, tiba-tiba tangan Dongho ikut membantu melepas kancing kemejanya, dengan gerakan cepat, lalu sambil membangkitkan tubuh ia lepaskan kemejanya secara paksa sehingga kancing terakhir yang masih terkait putus karenanya. Badan kekarnya yang berkeringat terlihat. Tato yang menghiasi dadanya terlihat. Tatapan tajam yang mengenai Daehwi pun terlihat... ganas?

"WA!"

Daehwi yang merasa Dongho bergerak langsung menjungkalkan tubuhnya ke belakang serta menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia pikir Dongho akan menerjangnya—memukulnya, mungkin? Tapi sambil meringis kesakitan karena punggungnya mengenai lantai terlebih dulu, ia saksikan Dongho kembali tertidur lelap di kasur dengan kemeja yang sudah terlepas. Walau ada bagian kemeja yang masih tersangkut di lengannya.

Dengan degup jantung yang amat menggila Daehwi sudah tak tahan lagi, dia berlari pergi dari kamar tersebut. Dia tekan berkali-kali tombol di depan lift agar dapat membawanya ke bawah. Namun baru saat pintu lift terbuka, kedua matanya melebar.

Gawat, tasnya tertinggal di kamar 5012. Di sana ada kunci apartemen, ponsel, dompet dan berbagai buku pelajaran. Semua kehidupannya ada di sana.

Dan lebih hebatnya lagi, saat ia berniat masuk mengendap-endap kembali ke kamar itu, pintunya tampak otomatis terkunci dari dalam. Daehwi kali ini benar-benar menangis sambil mengacak-acak rambutnyanya.

"Aduh, bagaimana iniii!?"

.

.

to be continued

.

.

my note

Fict ini juga ku-publish di akun pribadiku: wattpad (zocchae) dan AO3 (zoccshan).

.

.

warm regards,

Pieree...