Don't play with the dark...

.

.

.

Lelaki berjubah abu gelap terlihat menatap langit malam yang sepi. Terlalu sunyi seperti beberapa hari sebelumnya, padahal seharusnya sekumpulan binatang nocturnal berlalu-lalang mencari makanan untuk dibawa pulang ke rumah mereka. Seharusnya pula terdengar nyanyian burung hantu dengan kedua matanya yang menyala dalam gelap, atau derap kaki anjing hutan yang sedang berburu hewan-hewan kecil perusak kebun warga.

Lelaki itu tampak gelisah akan suatu hal, sejak tadi mengusap-ngusap tangannya yang terkepal sembari memperhatikan sekeliling rumah kecilnya yang bernuansa merah bata. Tidak ada angin yang membunyikan lonceng dekat pintu, tak ada pula yang menggoyang lentera yang terpasang di setiap sudut rumahnya yang berbentuk setengah lingkaran.

Hatinya gelisah, entah mengapa. Meski dikala siang suasana desa lebih ramai, tetap tak membuat kegundahannya berkurang. Seharusnya mereka pun menyadarinya, tapi mengapa warga seperti tak memikirkannya?

"Selamat malam nak Luhan" seorang wanita separuh baya yang membawa keranjang berisi penuh panekuk menyapanya.

Luhan mengalihkan atensinya, tersenyum ramah pada wanita yang menjadi istri dari ketua desa.

"Selamat malam Bibi Jenice. Anda mau kemana malam-malam begini?" Luhan kembali bertanya. Suaranya terdengar lembut seperti rupanya.

"Malam? Bahkan jam baru menunjukkan pukul 7, nak Luhan" wanita berambut coffee itu tersenyum.

"Benarkah? Oh, saya pikir sudah larut karena malam ini sangat sepi. Apa anda merasakannya?"

Bibi Janice menganggukkan kepala samar, mengarahkan kedua matanya melihat sekeliling lalu menengadah melihat langit.

"Memang benar, sepi sekali sejak beberapa hari yang lalu. Langitnya juga terlihat agak mendung"

Seperti yang dirasakan Luhan sejak awal.

"1 minggu lagi bulan purnama, jika kalian lupa" suara berat seseorang yang datang dari arah berlawanan membuat kedua orang itu menoleh ke sumber suara.

Pria tinggi tampan berkulit putih yang dikenal sebagai penyembuh di desa, rambut hitamnya sedikit berantakan dan dia terlihat sibuk membersihkan jubah putihnya dari dedaunan maupun binatang kecil yang menempel.

Dahi Bibi Janice berkerut samar melihat pria muda itu yang keluar dari arah hutan yang gelap. Sama penasarannya dengan Luhan yang memperhatikan pria itu berjalan mendekat.

"Apa yang sudah kau lakukan di dalam hutan nak William?"

Dia berdarah asia sama seperti Luhan, dikenal sebagai si penyembuh karena pengetahuannya tentang obat-obatan sangat luas. Terlihat berada diusia awal 30, tapi para penduduk desa tidak yakin karena dia terlihat terlalu muda dan bugar.

"Mencari obat untuk Paman Jay" menyibak sedikit jubah penghalang dingin yang dikenakannya, William menunjukkan kantung kain yang terikat denga celananya yang berisi penuh dengan buah-buahan liar.

"Malam-malam begini? Apa kau bisa menemukannya?" Luhan bertanya penasaran.

"Tentu, karena tanamannya tumbuh di dekat sungai yang kalian tahu sangat berbahaya saat siang hari, jadi aku mengambilnya malam hari"

Luhan mengatakan 'oh' tanpa suara sambil menganggukkan kepalanya.

"Bukankah Bibi akan ke tempat pos penjaga? Mau ku antar ke sana?" William pria yang baik, selain dia tampan. Bibi Janice tertawa kecil.

"Kau memperlakukan ku seperti aku adalah seorang nenek tua yang bungkuk, Will. Tidak perlu, aku bisa kesana sendiri" Bibi Janice kembali melangkah, menepuk lengan William saat jaraknya semakin dekat hanya beberapa senti saja.

"Bukan maksud ku Bibi. Tapi malam-malam ini agak berbeda dari hari-hari sebelumnya, benarkan Lu?" menoleh pada Luhan yang masih berdiri di depan pintu rumahnya. Lelaki muda itu beradu pandang dengan William.

"Apa maksut mu berbeda?" Bibi Janice menatap keduanya bergantian dengan wajah bingung.

"Sebentar lagi malam bulan purnama. Tapi seharusnya tidak sesunyi ini" kata Luhan kembali gundah. Tampak di wajahnya yang rupawan.

Bibi Janice tersenyum tipis, bermaksud menenangkan lelaki muda yang baru berusia 25 tahun itu.

"Aku ingat itu, tapi kalian tidak perlu khawatir. Kata Victoria tidak akan ada hal buruk yang terjadi"

"Kenapa Bibi bisa mempercayai ramalannya?" William mengernyit.

"Karena yang bisa menenangkan penduduk desa hanya dia. Lagipula tidak ada salahnya percaya pada ramalannya jika hal itu membuat kita melupakan rasa takut 'kan?" wanita itu tersenyum lagi. "Kalau begitu aku duluan, aku harus mengantar panekuk-panekuk ini pada pria-pria yang berada di pos sebelum mereka terkapar karena lapar. Kalian segeralah masuk"

Baik William maupun Luhan hanya memperhatikan kepergian Bibi Janice yang menyongsong jalan setapak sepi yang agak remang karena langit yang mendung.

"Kau ingin tahu apa yang ku lihat di dalam hutan saat mengambil obat?" Luhan tak berpikir jika William berniat membuka topik lain. Dia hanya bisa menggelengkan kepala.

"Persembahan di sekeliling Pohon Tua masih utuh seperti awal mula warga desa meletakkannya. Kau tahu apa maksudku"

Luhan sadar dirinya menahan nafas ketika William mengatakan hal tersebut. Apa kegundahannya benar?

"Tidak hanya kau yang merasakan ada yang tidak beres. Hutan sangat sunyi. Aku tidak tahu sampai sejauh mana Nona Victoria membuat para warga menjadi 'tenang' seperti ini"

"Dan bulan purnama kurang dari 1 minggu. Ketenangan ini tidak boleh terus berlanjut"

"Satu-satunya orang yang akan mendengar kita hanya Tuan Wang"

Mengangguk setuju, tatapan matanya terlihat begitu Teguh ketika balas menatap William.

"Kau akan bersamaku bukan? Besok kita mengadu pada Tuan Wang"

"Oke, tapi kau tidak melupakan besok hari apa bukan?"

Luhan melipat dahinya bingung. "Hari?"

"Besok hari dimana anak-anak yang belajar akan pulang"

Setelah William mengucapkan hal itu, mendadak kedua hazel Luhan berbinar dengan wajah yang berubah berseri.

"Kau benar! Astaga! Bagaimana aku bisa lupa!"

"Kalau begitu sampai besok. Semoga dengan kepulangan mereka membuat desa ini jadi lebih menyenangkan"

Tak perlu mengucapkan kata basa-basi. Luhan segera masuk ke dalam rumahnya dengan perasaan senang, sementara William kembali melanjutkan langkahnya menuju rumah dengan memikirkan apa yang akan terjadi esok saat anak-anak yang dimaksudnya itu pulang.

.

.

...still counting...

.

.

Hai. Long time no see.

Maaf, saya terserang writer block jenuh tingkat kerak wajan(?). Bosan melanda plus ga ada ide sama sekali buat ngelanjut ff.

Rencananya ini short fic yg terdiri dari 2 atau 3 part yang dibuat pendek seperti ini. Idenya muncul pas lagi beli bakso di deket rumah yg di depannya ada pohon ga seberapa gede yg jdi iconic karena ada patung jamur. Pas nungguin bakso dibungkus, pikiran saya udah kemana2 ngeliat pohon itu, dan yah agak aneh emang :')

Semoga kita segera dipertemukan kembali ya *apa sih*

Regards, Skylar

15-07-2016