jangan memaksakan diri membaca fanfiksi ini, kalau memang anda tak suka. seriously. [REVISED: minor goofies]


cognac

naruto © masashi kishimoto


Hari yang dinanti datang juga.

Antusiasme Hinata tidak berkurang sedikit pun. Sebelum tidur, ia mengecek kurva dari laman resmi bursa saham. Berita yang masuk ke ponsel saat kuliah tidak pernah ia lewatkan. Meskipun menyita alokasi waktu untuk bermain dan makan bersama teman terbaiknya, Hinata membiarkan tubuhnya kerja rodi mendengarkan podcast crypto-currency. Apapun ia lakukan demi menyelamatkan muka Ayah dan nama Hyuuga. Botolan vitamin dan tablet suplemen berjejer di konter dapurnya. Selama ini, Hinata menjauhkan kafein dari lambungnya. Seminggu belakangan, ketimbang ia dirawat di klinik karena asam lambungnya naik, mau tak mau Hinata menggantungkan nasib pada kopi dan snack gandum.

Selama perjalanan menuju tempat pertemuan, Hiashi bercerita putra sulung Fugaku punya sejumlah kemiripan dengan Hinata: ahli waris keluarga, memiliki adik, tetapi jejak rekor Itachi terdengar surealis. Kelap-kelip Tokyo malam hari seperti pantulan permata. Selain sekumpulan remaja menghambur dari bar dan karaoke, dia melihat pula wajah-wajah tua berhamburan dari lorong stasiun. Diam-diam, bulu kuduk Hinata berdiri. Dia akan berhadapan dengan level teratas macam Itachi.

Ayahnya dan Ko masih mengurus surat undangan di resepsionis. Hinata berputar sebentar di depan dinding-dinding kaca, sadar hari ini ia tampil berbeda. Kedua telinganya dipasangi giwang mutiara. Supaya senada, Hanabi meminjamkan kalung yang sama untuk Hinata. Gaun berlengan tiga perempat di bawah lutut pilihan Karin memuji putih pucat kulitnya dengan warna biru kabut.

Hinata merapikan dan menyampirkan rambutnya di bahu kiri. Apalagi bibirnya dibubuhi lipgloss merah muda—menorehkan kesan anggun. Kombinasi monokrom menetralkan aura inosen dari wajah Hinata menjadi dewasa. Remaja tanggung itu menepuk-nepuk tangannya yang berlapis sarung hitam berenda, terlintas ide menghadiahi Karin atas jasa profesionalnya mendandani Hinata.

Hmm… sepertinya snack sehat untuk seminggu ide biasa, tapi yang biasa, biasanya paling dibutuhkan.

Hinata pikir, keberanian menjadi syarat penting ketika menghadapi Itachi, dan dia tidak mau menjadi palsu demi decak kagum dari orang lain. Pada akhirnya, Hinata menenangkan paru-parunya dengan tarikan napas panjang. Dia tidak perlu berpura-pura kalau tidak tahu. Dia tidak mau mencoba menaikkan citra dan menunjukkan dia ada. Perlahan, tali tambang yang melilit perutnya menghilang.

"Kuharap Nona baik-baik saja," Ko pamit dan menunggu di paviliun depan. Hiashi mengangguk, dan Hinata berterima kasih. Pengasuhnya sejak kecil tak pernah berubah. Selalu mendengarkan dan memahami Hinata. Terlebih ketika Hanabi lahir, rasa sayang Ko kepada kedua putri Hyuuga itu semakin melimpah dengan kadar yang seimbang. Malahan, Ko menjaga Hinata dan adiknya telaten selayaknya mengasuh anak sendiri. Hinata menyelipkan uang tambahan dan memastikan Ko bisa mencicipi kue di kafe hotel selama Hinata dan ayahnya bertemu keluarga Uchiha.

"Terima kasih, Ko. Doakan aku."


[Kabar siang. Kamis, tanggal X-X-2017, keluarga Kohaku ditemukan tewas mengenaskan. Keluarga pemegang saham terbesar perusahaan Kelvin Chemical Industry tidak meninggalkan pesan apapun. Kelima anggota keluarga tersebut ditemukan tidak bernyawa di rumah mereka. Polisi dan penyidik telah dikerahkan. Berdasarkan keterangan sementara, pelaku menggunakan zat kimia dan penyekapan terhadap korban. Motif diduga kuat alasan ekonomi dan masalah pribadi—]

Tiga hari kemudian, beritanya baru diangkat media. Berita tersebut jernih, seperti berada di lapisan teratas dari campur-baur dengung speaker berbagai toko, riuh pejalan kaki, dan bunyi kendaraan.

Hinata terpaku di tengah kerumunan pengguna zebra-cross. Entahlah, firasat buruk sekejap mencengkeram kedua betisnya. Selembar pamflet kelas balet kusut dalam genggaman tangannya. Berita yang telah beredar di pesan grup berantai milik Hiashi dibacakan ulang oleh penyiar yang wajahnya buram ditimpa terik sinar matahari. Pukul dua siang lewat, Hinata bergegas menuju Shibuya. Tenten dan Karin—jadwal asistensi memenjarakan mereka berdua dan Hinata tidak mau merepotkan dan menambah masalah. Ding dong ding dong. Lampu lalu lintas telah berganti dan memberi sinyal agar Hinata segera mempercepat langkah. Hari ini keputusannya telah bulat. Kelas balet di Tokyo sedang membuka pendaftaran kelas—dia tidak mau kehilangan tujuan hidupnya lagi. Sendirian, Hinata menyisiri trotoar, dan mengerti bahwa ia selama ini terperangkap dalam sangkar emas. Pepohonan tampak rimbun, memayungi Hinata dengan bayang-bayang teduh. Hinata tahu betul, bahwa penyesalan, bisa mengikuti hidupnya sampai ke ujung dunia.


Dara ayu ini mengekori ayahnya seperti anak ayam. Mereka bergerak ke lantai tiga, dan diarahkan menuju meja privat di sayap barat. Ornamen ruangan disusun dari ukiran mahogani. Restoran ini mengusung eksotisme arsitektur Jepang dengan Eropa, ruangan ini didesain senyaman mungkin dengan lukisan-lukisan kontemporer, pencahayaan dari lampu gantung, dan aksen detail dari bunga-bunga rampai. Ketika kakinya melangkah masuk ke ruang prime suit, aromaterapi mempersilakan masuk dua Hyuuga tersebut.

Tak jauh dari pembatas berupa kaca yang memisahkan kebisingan jalan raya dan alunan penyanyi jazz, sudah ada dua pria dewasa menunggu kedatangan mereka. Hiashi membungkukkan badan, dan Hinata mengikutinya. Pria dengan garis muka yang kaku mengenalkan diri sebagai Fugaku. Hiashi mengangguk dan mengenalkan Hinata setelahnya.

"Selamat malam. Saya Hinata Hyuuga." uluran jabat tangan Hinata bersambut. Hinata tidak berpikiran macam-macam. Benaknya tengah memetakan arah kurva saham tadi sore, dan memastikan baterai ponselnya penuh. Seandainya ia lupa, Hinata masih bisa menarik simpulan singkat perkiraan angka-angka bursa mendarat di titik mana.

"Saya Itachi Uchiha." yang lebih muda membalas ramah. Hinata agak kaget menerima perlakuan bersahabat dan profesional seperti ini. "Senang bertemu Anda, Tuan dan Nona Hyuuga."

"Terima kasih, Fugaku. Kudengar kau akan datang dengan dua putramu?" Hiashi membuka percakapan. Kursi-kursi sudah diisi, dan Hinata mengambil keputusan teraman. Matanya fokus pada gelas-gelas yang mengilap. Telinganya dipasang, dan dia menyerah atas keinginan mengimpresi si sulung Uchiha demi sebuah senyum dari ayahnya. Biarkan ini berjalan semestinya. Tenang, Hinata. kamu bisa. Mantra ini terus berulang dirapalkan sampai mengalir di setiap jalur neutron Hinata.

Kedua lelaki Uchiha sekilas tampak jauh berbeda dari wajah Sasuke yang feminin. Rasa familiar itu datang dari figur halus tulang hidung Itachi. Entahlah, baru memahami apa yang ada di dalam pikiran penggemar Sasuke ketika melihat idolanya. Kekagumannya tidak melebihi batas-batas yang wajar. Ketidakadilan Dewa bisa ditemukan dari diri Itachi. Hinata mengangguk. Pasti Tuan Fugaku dulu melempari kuil se-Jepang dengan sekarung koin emas ketika istrinya mengandung.

"Oh, Sasuke. Dia tengah sibuk kepanitiaan kampus. Jadi, hanya Itachi yang kebetulan kosong. Bagaimana kabarmu, Hiashi?"

Hinata mendongak. Kakaknya Sasuke? Rasa keterkejutannya dapat ditutupi dengan baik. Tenang, Hinata, tenang. Tarik napas… jangan berlebihan. Seperti biasa. Tidak ada yang tahu. Tidak ada.

Hinata mencoba mengalihkan kecemasannya dengan mengamati Itachi sebentar.

Jika Sasuke dianugerahi fitur lembut dan menciptakan kesan awet-muda, maka Itachi adalah jenis yang mewah. Sasuke membiarkan rambut belakangnya pendek, sementara rambut panjang Itachi membingkai wajah aristokrat itu dengan sempurna. Bagi Hinata yang lahir dari keluarga berpenampilan klasik seperti Neji, Hiashi, dan Hizashi, mau tidak mau, ia harus mengakui Itachi punya mata yang rupawan. Bingkai bulu matanya tajam, dan iris hitamnya benar-benar serupa intan yang merebut perhatian.

Pantas Sasuke pernah mengatakan bahwa kakaknya orang hebat. Tidak ada argumen kontra.

Hinata diam, menunduk. Separuh dirinya terintimidasi, sementara separuh dirinya yang lain mati-matian memupuk rasa percaya diri yang nyaris hangus menjadi abu. Ahli waris Hyuuga ini memilih menyimak percakapan Ayahnya sembari merapikan set peralatan makan. Dia tak punya keberanian menegakkan wajah setara dengan Itachi.

Hinata, ayo, tegakkan badanmu.


"Asumsi hanya menyesatkanmu, Sasuke." Itachi memberinya ungkapan selamat datang dengan cara yang eksentrik. Kakaknya tengah duduk meluruskan kaki di sofa, tidak berniat menanggalkan jasnya—dia pulang duluan dari si adik. Lengan Itachi menelekan dagu, mengamati Sasuke yang melempar pantatnya di kursi meja makan. Adiknya mengernyitkan kening, masih mencanangkan deklarasi perang dingin pasca insiden kemarin lalu. Kerasukan apa Itachi bertingkah selayaknya filsuf kuno? Tetapi sifat dan sikap Itachi rumit dan sulit diterka, bahkan oleh Madara sekalipun.

"Kau terlalu banyak fokus pada hal trivial dan kehilangan hal paling esensial." keseriusan kental dalam suara serak Itachi. Jiwanya hidup di dimensi berbeda dari Uchiha kebanyakan. Jauh lebih tinggi. Ayahnya memutuskan menyerah atas Itachi. "Ketidaktahuan sangat sulit diubah. Bagaimana kita bisa berkembang kalau apa yang kita kenal hanya regulasi dan konsep kabur tentang realita?"

Sasuke melompat bangkit dari kursinya, mencari sisa makanan dari microwave. Menulikan telinganya, menganggap si kakak mengoceh sendirian. Peduli setan.

Itachi melanjutkan lagi, tatapannya sulit diartikan. "Sungguh bodoh, ketakutan akan sesuatu yang belum dilihat dan diketahui."

Sasuke menemukan sekantung hamburger di antara hamburan sachet saus tomat. Buru-buru dia melahapnya tanpa berterima kasih pada si Kakak. Dia tidak memaknai kalimat kakaknya dengan seksama. Perutnya mesti diisi sebelum kemudian hari ia sadar bagaimana kakaknya selalu berhasil memenangkan berbagai macam taktik pertempuran.

"Cari tahu kebenarannya. Kuberitahu, asumsi mengantarmu pada kesalahan penafsiran. Hanya akan memakanmu hidup-hidup dengan penyesalan, Sasuke."


"Sudah lama tidak berjumpa seperti dulu. Kita tidak punya waktu banyak, sementara umur makin tua. Anakku dua-duanya perempuan, aku merasa senang kalau kau penasaran." kata Hiashi. Raut wajahnya berkeriput: bukti ia mengasihi anaknya dengan cara yang ia yakini. "Aku harus menjaga dan membekali mereka sedemikian rupa, Fugaku."

Bagi Hinata yang tinggal bersama dengan Hiashi, selama dua puluh tahun kurang, Ayahnya bukan orang yang pandai menuangkan perasaan. Bukan pujangga. Kalimat barusan membuat dada Hinata digenangi nostalgia, bahagia;

"Tidak masalah. Kudengar Nona Hyuuga kuliah di Ilmu Politik Todai?" tanya Fugaku. Dia dikaruniai dua anak laki-laki, dan postur Hinata mengingatkannya pada Mikoto. Dulu dia melihat Hinata masih dalam buaian ibunya, dan ternyata waktu berlari sangat cepat. Tahu-tahu, Hinata dan Sasuke masuk tahun ketiga kuliah.

Hiashi menyimak ketenangan anaknya dalam menghilangkan gagap. Malam ini, ia kira Hinata pantas menyandang nama Hyuuga.

"Betul, Tuan Uchiha."

"Kalau begitu, kau kenal Sasuke tidak? Dia jurusan Hukum."

"Uhm," Hinata mencoba peruntungannya kali ini. Dia tidak akan berbohong, tetapi jawaban diplomatis sungguh akan menyelamatkan dirinya dari kecurigaan dan pertanyaan-pertanyaan yang mendesak. "Saya jarang keluar dari fakultas. Uhm, saya memang terlalu fokus di kegiatan jurusan sendiri."

"Oh, bagus. Pertahankan, Nona Hyuuga. Itu baik untuk membangun relasi dan mengumpulkan pengalaman."

"Panggil saya Hinata saja."

"Kalau begitu, aku pun. Itachi."

"Akrabkan diri kalian nanti." Fugaku memotong ucapan anaknya. Hiashi menyeduh kopi hitam. "Kurasa kita tidak perlu berputar-putar, hm, Hiashi?"

"Ya, silakan."

Obrolan mereka segera disetir ke tujuan utama. Dimulai dari indeks pertumbuhan ekonomi yang stabil, hingga tawaran kerjasama pihak Hyuuga dengan Uchiha. Hinata sendiri direkomendasikan Hiashi untuk memegang projek tersebut. Fugaku memastikan Hinata dapat pengarahan sekaligus pengawasan dari Itachi. Pria paruh baya itu yakin putranya dapat membantu Hinata mengembangkan prospek bisnis ke arah yang menjanjikan bagi dua belah pihak. Hiashi menyetujui gagasan tersebut, dan meminta Hinata agar lebih banyak belajar dari Itachi.

"Omong-omong, Hinata." Hinata menelan kembang tahunya. "Bagaimana kuliahmu? Menyenangkan?"

Hinata mengedip sebentar. "Tentu. Ilmu politik ternyata banyak tantangan. Anda sendiri?"

"Hmm." Punggung Itachi bersandar di kursi. Intensitas tekanan di antara mereka berempat melunak. "Aku sekarang bekerja di kepolisian. Aku tidak akan memperhalus sesuatu. Singkatnya, bukan hal mudah, tetapi sama sepertimu. Penuh tantangan."

Hinata melemparkan senyum sopan. "Ayah bercerita banyak tentang Anda. Saya yakin Anda sangat berdedikasi pada profesi Anda. Tokyo beruntung rupanya."

Itachi memejamkan mata. Pujian Hinata tidak terdengar seperti perempuan-perempuan yang selama ini mengejarnya. Polos, jujur, tercermin dari pilihan katanya, seperti lepas dari anak kecil yang ditunjukkan aksi-aksi Power Rangers menumpas kejahatan.

Lelaki itu meraih sesuatu, dan Hinata segera menunduk ketika rasa panas menyengat pahanya. Cangkir tehnya tergolek, bergoyang-goyang, dan isinya tepat mengucuri bagian bawah gaun Hinata.

Lengan Itachi menyenggol cangkir Hinata. Kejadiannya berlangsung cepat. Itachi hendak meraih botolan merica yang rupanya tepat di samping lengan kiri Hinata. Sebelum Hinata sempat memproses, cairan panas merembes menemui permukaan kulitnya. Sulung Hyuuga itu meletakkan pisau dan garpu, lalu mengeluarkan saputangan dari tas cangklongnya tanpa mengeluarkan keluhan. Ternyata lingkaran basah itu makin meluas di atas gaunnya.

"Ah, maafkan kecerobohanku." Itachi berseloroh. Suasananya buyar. Lelaki itu tampak khawatir, dengusan kasar datang dari arah Fugaku. Itachi menawarkan solusi, "Mari Nona Hinata, biar kuantar ke toilet."

Hinata menggeleng. Sebagai gantinya, dia tersenyum simpul dan membungkuk.

"Tidak perlu." Hinata mengambil tasnya, dan melirik si Ayah. Fugaku tengah melancarkan horror dari pelototan matanya, dan Itachi mengabaikan ancaman dengan menatap Hinata sedikit takjub. Kontak mata dengan Hinata nol besar. "Saya izin ke belakang sebentar."

"Maafkan kami, Hiashi. Itachi kadang-kadang bertingkah seperti anak kecil."

Itachi masih sibuk berdialog dengan kepalanya sendiri. Yang barusan peristiwa langka. Gadis bermata perak itu punya kemampuan mengendalikan emosinya dengan rapi. Tidak semua orang bisa menguasai hal tersebut di umur seperlima abad.

Hiashi mengamati punggung Hinata yang mengecil. "Tidak apa. Anak itu bisa jaga dirinya sendiri." sebelum melahap irisan tenderloin dari garpunya.


"Siapa yang membocorkan kasus ini ke publik?"

"Demi Tuhan, Itachi, aku bersumpah. Wartawan gila—mereka menginap semalaman dan menerobos garis polisi!"

"Segera hubungi Sasori. Atur sedemikian rupa, hubungi seluruh saluran TV. Cukup informasi umum. Tidak ada detail."

"Tidak ada detail."

"Satu lagi, pantau bursa saham. Kakuzu."

"Oke, oke, fine. Kuhubungi lagi. Adikmu?"

"Urusanku. Kirim laporannya berkala. Jeda per dua jam."

"Oke, Tuan Uchiha. Bawakan aku Bordeauxmu, jangan lupa."


Hidungnya gatal. Sasuke bergantian menciumi lengan kemeja tartannya, dia yakin parfumnya sudah bukan lagi aroma sandalwood dan musk, tapi berganti legit blueberry dan kayumanis. Di bawah tumpukan buku dalam tas selempangnya, sekotak cinnamon roll tersimpan aman dan masih terasa hangat. Berharap ingatannya tidak mempermainkan. Sadar dia berada di wilayah baru, Sasuke kembali ke posisi semula: pengamat amatir keadaan sekitar.

Sasuke tidak pernah mengutarakan pertanyaan personal kepada Hinata—walaupun mereka sering tertidur berdampingan. Dia tidak tahu apa makanan kesukaan si Hyuuga, sementara Hinata dapat menebak tomat dan nasi kepal sebagai favorit Sasuke. Dia tidak pernah bertanya bagaimana perasaan Hinata, dia hanya mendengarkan apa yang Hinata sempat lontarkan ketika napas mereka saling menderu. Bodoh sekali. Aturan yang ia buat sekarang menjadi pedang bermata dua. Menikam tuannya sendiri. Sasuke meniup poninya keras-keras. Analoginya, ada sesuatu yang mengakar dan enggan lepas dari benaknya. Bercokol. Dan Sasuke tahu, semua kebingungan ini berujung pada satu nama. Hinata.

Fakultas Hukum menerapkan aturan mengikat tentang pakaian. Bahkan, Shikamaru yang memegang prinsip protokol ada untuk dilanggar pun memilih menghindari detensi dengan mengenakan blazer santai untuk melapisi kaus oblongnya. Sasuke menyelipkan kedua tangan di saku denim hitamnya, bersandar pada dinding kelas FISIP, mengobservasi norma tidak tertulis terutama Ilmu Politik. Usahanya mencari kelas Hinata terbilang susah. Sasuke perlu mengecek mading fakultas untuk melihat jadwal kelas semester ini. Setelah menemukan nama Hinata, Sasuke harus memastikan kecocokan data dengan nomor kelas di peta denah FISIP. Terdengar tanpa hambatan, tetapi memindai tiga ratus kanji dari daftar nama bukanlah perkara enteng. Berkali-kali ia memelototi jarum jam tangan. Matanya sigap mencari si rambut panjang yang belakangan ini gentayangan di seluruh hari-hari yang ia jalani.

Pintu kelas dari arah kanan terbuka. Dari kerumunan, iris hitam pekatnya menangkap target. Nyaris keraguan menghambat langkahnya dan Hinata bisa lepas dari pandangannya seperti angin. Refleks tubuhnya lentur macam pemangsa menandai buruannya.

"Hinata." Sasuke gigih menahan riuh euforia dalam dadanya. Dia yakin suaranya terdengar tenang meski gemuruh mengalir di sepanjang nadinya. Hinata berbalik, menatapnya terkesiap walau sebentar. Dia menunduk, melihat Sasuke berusaha menggenggam tangannya.

"Uh, maaf." Sasuke segera melepaskan gamitannya dari tangan Hinata. Malu. Sial. Sial, sial, sial. Sasuke merapal makian dalam benaknya. Hei, kau lupa kita pernah lebih dari ini?

"Tidak apa." Hinata mundur, menggariskan batas tak kasat mata di antara mereka. Bentuk keterkejutannya dinyatakan dari sorot pandangan penuh tanya.

"Uhm—Sasuke? Hmn?"

"Kamu menghindariku." tukas Sasuke segera. Menarik Hinata dari keramaian. "Aku melihatmu di kantin, tahu."

"Ti—tidak."

"Aku tahu kamu melihatku." Wajah yang biasanya sepi dari emosi kini perlahan mengelupas. Ada semburat sedih di sana. "Tapi kau langsung pergi."

"Telepon dan pesanku tidak dibalas." Fakta. Hinata mengangguk mengiyakan. Setidaknya Sasuke mampu memparafrasakan bebannya menjadi kalimat singkat. Dan reaksi Hinata tidak lari dari tatapannnya. Bagus. "Kupikir aku perlu menemuimu langsung."

"Soal pesan-pesan itu… kupikir kita selesai?" kelopak mata Hinata merendah. Bingung. Bercak noda bersalah mulai bermunculan di ulu hatinya. Hinata sudah tidak sanggup mendapati nama Sasuke muncul di layar ponselnya. Setiap kali nama Sasuke hadir, Hinata tidak bisa lari dari kejaran wajah Karin, Naruto, Hiashi, Hanabi… berputar-putar dan melempari Hinata dengan cela kekecewaan. Hinata membasahi bibirnya yang kering dengan ujung lidah. Gawat.

Setiap kata Sasuke tersangkut di tenggorokan. Kontrol atas dirinya terbilang payah. Sasuke bisa, saat ini juga, merangsek Hinata supaya terkurung dalam dekapan, biar dia dengar seluruh jeritan empat katup jantung Sasuke, meraup bibir mungil itu biar Hinata tahu seberapa keras usaha Sasuke mengenyahkan harum vanilla dari ingatannya, dan mendorong punggung Hinata ke dinding agar semua orang yang menonton paham mereka saling memiliki. Dia bisa melakukan itu semua lalu menghancurkan kehidupan yang telah Hinata bangun susah payah. Melenyapkan usaha Hinata jadi percuma. Dan artinya, membunuh Hinata pelan-pelan. Tetapi, Sasuke membiarkan segalanya tidak beranjak keluar dari kepala.

Dia diam, menimbang-nimbang kalimat Hinata barusan. Memikirkan pasti situasi yang diawasi berpuluh-puluh pasang mata tentu menjadi alasan kegelisahan Hinata, tapi pilihan semakin sedikit begitu pula waktu yang tersedia.

"Bukan begitu caranya." Sasuke menghela napas. Jemari menyisir rambut hitam jelaganya ke belakang. Oh, sesuai dugaan. Semestinya ia memaklumi sifat Hinata yang enggan memicu problem dan tertutup. Sepenuhnya memang ia yang patut disalahkan. Tetapi, ini Sasuke, Sasuke yang sering dianggap sebagai nomor dua, sulit memahami orang lain, dan Sasuke yang tidak mau lagi kehilangan apa yang ia miliki. "Aku punya hak bertanya."

"Kukira—aa… kita, kita sudah tak ada urusan lagi…." bila diperhatikan cermat, Hinata mengucapkannya hati-hati. Seakan menjaga barang rapuh agar tidak pecah. Tangannya bergerak menyisipkan anak rambut ke belakang telinga. Lama sekali Sasuke tak melihat Hinata di kamarnya. Di ranjangnya. "Jadi… uhn, kurasa itu yang terbaik."

"Aku minta maaf." Sasuke mengucapkannya pelan. Berat dan dalam. Menyertakan segala perasaan yang ia punya sebagai bayaran. "Untuk semuanya. Emosiku kacau. Kau tahu, kuliah, dan pekerjaan. Bukan alasan, aku yang salah telah menyentakmu seenaknya." ungkap Sasuke—raut wajahnya tidak mengatakan apa-apa, tetapi Hinata bisa merasakan kegetiran dari suaranya yang serak.

Tatapan mata Hinata melembut.

"Aku memaafkanmu." Intonasinya tenang. Pasti Sasuke repot-repot menginjak harga dirinya sampai mencari Hinata sebegininya. "Aku sudah memaafkanmu pada hari itu juga."

Ketulusan Hinata menamparnya telak.

Bahu Sasuke melemas. Binar pada sepasang mata perak itu masih sama. Rambut tebal nan lurus yang ia kagumi kini menjuntai tepat di pinggang. Tetapi, tertawakan, leher Sasuke mendadak pegal dan berpikir ia tengah menghadapi orang yang berbeda dari apa yang ingatannya kenal. Hinata yang kini berdiri di hadapannya, menatapnya persis seperti mereka pertama kali berjumpa: sadar keadaan, kalem, dan bersikap selayaknya Sasuke adalah orang asing dari planet antah-berantah.

Pemaafan Hinata berefek sebaliknya; lambat laun meremukkan harapan Sasuke sampai menjadi kepingan kecil dan berserakan di sekitar kakinya.

"Anggap sandwich kemarin hadiah," Hinata buru-buru menambahkan, "Tasnya pun…. Tidak perlu dikembalikan."

"Aa." Sasuke sadar ada garis batas di antara mereka. Melebar. Semakin jelas. Dia memijat batang hidungnya. Sejak kapan perempuan ini belajar menerka isi kepalanya semudah itu? Sasuke yakin Hinata bukan cenayang. Seratus persen yakin. "Bahkan kau tahu apa maksudku."

"Hmm…." Jemari Hinata merapatkan cengkeramannya pada buku-buku teks yang tengah ia peluk. Ada apa Sasuke? Kita tidak sepatutnya bertemu di kampus… perempuan itu memilih menunduk, mengabaikan orang-orang yang mulai memperhatikan mereka. Tanpa perlu menoleh, Hinata tahu di balik punggungnya, konsep mengenai dia dan Sasuke sulit dicerna akal sehat. Ya, bagi mereka, antara Hinata dengan Sasuke, keduanya tidak bisa disandingkan dalam satu premis logika.

"Apakah itu saja? Aku masih ada kelas, Sasuke."

"Tidak."

"O-oh?"

Ada lagi?

Jemari Sasuke mengepal. Hei, kenapa sesulit ini meminta Hinata menjadi bagian hidupnya kembali? Tinggal beri kotak cinnamon roll di tasnya, ucapkan terima kasih yang pantas, dan menjelaskan betapa ia menginginkan Hinata di sisinya. Betapa perempuan pendiam ini sukses mengacaukan kewarasan yang Sasuke jaga baik-baik. Betapa perempuan ini telah membuat Sasuke menarik kembali banyak kata dan janji. Iya. Dia rindu. Terserah. Sasuke mendengus kesal.

Sungguh bodoh, ketakutan akan sesuatu yang belum dilihat dan diketahui.

Kalimat Itachi meredam degup jantungnya yang berisik. Keputusan final ada dalam kepalan tangan. Semalaman ia mondar-mandir dari kamar ke dapur, dari pintu ke balkon, memikirkan probabilitas Hinata menerima atau menolak, apakah lima puluh banding lima puluh, atau ternyata kesempatan tidak menyediakan tempat bagi Sasuke. Ironis, julukan 'Mahasiswa Terbaik se-Angkatan Hukum', 'The Most Wanted Person for Study and Date', dan 'The Perfect Boyfriend' sekadar lelucon sampah. Ketakutan akan penolakan dan kehilangan adalah monster terbesar yang pernah Sasuke hadapi.

"Hinata."

Oh, ayolah, Sasuke jengkel dengan tingkahnya sendiri. Rintangannya sepelik ini; mengucapkan tiga kata yang sering dia cela—karena terlampau pasaran—tak bermakna—dan dia pernah mendeklarasikan tak menaruh minat pada segala sesuatu yang berhubungan dengan romansa? Sasuke mendecih, menertawakan betapa dirinya amat menyedihkan.

Dia harus bergerak lebih dulu dari Itachi, demi Tuhan—Sasuke tidak tahu lagi jika untuk urusan ini, perlu menerima lapang dada kekalahan pahit dari si Kakak. Dia hanya perlu membuat Hinata jatuh cinta. Persetan dengan pelanggaran aturan yang ia buat dan pegang—Sasuke menyerah. Dia cuma manusia… dan mengejar Itachi pada seribu tangga Uchiha jatuh bukan prioritasnya lagi. Hinata tidak mengenalnya sebagai Uchiha. Sasuke baru menyadari hal terpenting di detik-detik krusial.

Hinata… menerimanya sebagai Sasuke. Tanpa nama belakangnya. Utuh. Tidak lebih dan tidak kurang.

Bahkan, ia menyiapkan segala kemungkinan. Satu, jika Naruto adalah orang yang membuat Hinata mabuk kepayang, Sasuke akan menerimanya lapang dada. Dia tidak keberatan melanjutkan hubungan tanpa status selama Hinata membutuhkannya (tetapi apa Hinata masih butuh sandaran bahu?). Ia menerima konsekuensi berupa kenyataan bahwa Hinata memikirkan orang lain ketika mereka bersama. Dua, jika bukan Naruto, pun Sasuke berjanji pelan-pelan menjalin ikatan yang lebih matang. Mengubah dirinya merupakan prioritas (Hinata tidak mempan dengan urusan muka; dan Sasuke terhibur oleh gagasan tersebut). Urusan kebutuhan biologis dapat dikesampingkan atau malah dienyahkan (demi memupuk kepercayaan Hinata dari nol—toh Sasuke tidak keberatan). Terakhir. Jika Itachi orangnya, dan ternyata Hinata sudah ditunangkan dengan Itachi, tanpa sepengetahuan Sasuke, maka itu bendera putih bagi Sasuke. Kekalahan absolut. Batas final dan dia terlanjur menyumpahi Itachi dengan janji. Dan Sasuke enggan menjilat kembali ludahnya sendiri, apalagi jika itu menyangkut soal Itachi.

"Ya?" kesabaran Hinata patut diapresiasi. Sasuke ditarik dan diempaskan kembali ke dunia nyata. Perempuan itu tidak mempermalukan ego Sasuke, melainkan mencoba berkompromi dengan cara paling subtil. Dia tidak menunjukkan ketergesaan, pun menampakkan perasaan tak nyaman yang mulai menguasai kendali pikirannya. "Sasuke?"

"Uhn—soal kita—"

"Hei, kucari-cari!"

Sentakan seseorang menyela keduanya. Konsentrasi Sasuke buyar saat itu juga.

Napas Tenten agak tergesa. Hinata menepuk-nepuk bahu kawannya yang barusan berlari di sepanjang koridor.

"Woah, kau si Uchiha itu 'kan, sungguh aku tidak berminat menginterupsi percakapan kalian berdua," mata Tenten melirik Hinata (kau wajib menjelaskan segalanya padaku) dan menunjukkan jarum jam tangannya. "Professor Ibiki sudah mencarimu, kau urutan keenam 'kan? Urutan lima mungkin sekarang sudah keluar!"

Hinata menatap Sasuke sekejap. "Ah, terima kasih, Tenten…."

"Hinata—!"

Perempuan itu nampak tergesa, rusuh mengeluarkan catatan dari foldernya. Tenten membantu membawakan buku-buku Hinata, dan Sasuke dilupakan dengan mudah. "Uhm, aku duluan, Sasuke. Maaf, mungkin lainkali."

Rasa bersalah melambatkan langkah Hinata. Sebelum jarak memanjang, Hinata berbalik dan lirih berbisik. "Permisi."

Holy shit!


"Sebagai permintaan maaf," Itachi menerima botol yang diangsurkan oleh pelayan setelah menu utama mereka tandas dari piring. Fugaku menyantap appetizernya dan memikirkan betapa makan malam ini menjadi langkah fundamental memperkuat aliansi Uchiha. Harum anggur merah pelan-pelan menyebar di udara. "Ini favoritku. Kadar alkoholnya rendah. Tapi berani jamin, wine ini sangat cantik."

Cheval Blanc 1947 St-Emilion. Kelopak mata Hinata mengerjap. Merahnya tampak seperti batu permata.

"Ah, saya tidak pernah minum wine." Ujar Hinata, dan disambut anjuran Hiashi agar menerima tawaran Itachi. Hmm, baiklah. Satu sloki tidak akan membuatnya pingsan, 'kan?

Toh, dia sudah mencicipi gelas kecil cognac dari Sasuke—

Cognac untuk si adik. Dan wine untuk kakaknya. Kakak adik yang berbagi kesamaan dari minuman, hmm?

"Oh, baguslah kalau begitu." Cairan merah pekat itu berkilau ketika berjumpa dasar sloki milik Hinata. Bahkan hidung pemula sepertinya bisa merasakan nilai kelas A dari wanginya. Itachi menuangkannya, presisi. Seolah insiden menumpahkan teh sebatas candaan. "Mungkin ini bisa menjadi pengalaman baru."

Hinata berterima kasih. Fugaku mengkonfirmasi beberapa poin dengan Hiashi. Itachi menopang dagu dengan kedua lengannya, menunggu seperti apa reaksi ekspresi gadis manis di hadapannya.

"Bagaimana?"

Teksturnya antik dan premium. Hinata tidak bisa menghindari kemewahan citarasa anggur ini. Lekat, dan perlahan ia bisa merasakan kegurihan dan alkohol dari anggur dengan pekat. Hinata menggumam samar. Si ahli waris Hyuuga ini meninggalkan impresi khusus yang dicatat perinci oleh Itachi.


Berbohong bukan keahlian Hinata.

Neji yang terukur dan mengedepankan rasio sekali waktu pernah berang. Nyaris Hinata diculik—terlalu naif mengakui dia bagian dari keluarga Hyuuga pada oknum tak bertanggung jawab. Katastrofe, Hiashi marah besar, dan hampir mengurung Hinata seminggu sebagai hukuman. Hinata tetap tak bisa. Baginya, bohong; terserah kata orang bohong putih atau hitam, semuanya berseberangan dengan prinsipnya. Konyol, cerca Neji. Yang paling penting itu keselamatanmu, Hinata!

Perempuan itu dirundung gamang. Berkali-kali tergoda mengirimkan minta maaf pada Karin. Setelah beradu tenaga dengan sejumlah pekerja, Hinata akhirnya sukses mengamankan sisa celah dalam kereta menuju apartemen. Beruntung, tubuhnya kecil, hilang ditelan kerumunan jas dan kemeja kerah putih. Pukul delapan malam, gedung-gedung kantoran mulai memadamkan lampu-lampu mereka.

Hinata enggan menyetop taksi. Pasalnya, kemungkinan berpapasan Karin di lobi sangat tinggi. Ia ingin mendinginkan sejenak kepalanya yang sebentar lagi akan meledak. Ajakan pulang bareng ditolak dengan alasan tugas kelompok di kafe. Agak kedengaran konyol, tetapi Hinata betulan kehabisan akal menghindari tatapan menyelidik milik primadona jurusan Kimia. Kejadian tadi siang di kantin Hukum menggerogoti persimpangan pernapasannya. Hanya sesak yang ia rasa.

Sasuke Uchiha. Dia, Hinata. Dia. Dia yang kuceritakan padamu. Orangnya tampan ya?

Benteng pertahanan mentalnya mulai dihujani serangan bertubi-tubi. Kalimat Karin terngiang-ngiang di tengkuknya. Cakep banget, 'kan? Mukanya datar 'sih, tapi orangnya baik. Bentengnya mulai runtuh ke tanah. Hinata mengeratkan pegangan pada tali penumpang. Ketakutan, kecemasan, semuanya berkumpul dan menjelma menjadi sosok tanpa muka dan mengerikan. Sosok tersebut naik ke podium, menyalakan layar putih nan besar, lalu mengecek mikrofon. Baik banget, serius. Uh, nanti kapan-kapan kita harus ngobrol dengannya.

Seharusnya ia tidak mengiyakan ajakan makan barusan di kantin Hukum.

Selanjutnya, ia tidak akan bertemu Sasuke, ia tidak akan mengetahui kenyataan Karin… menyukai Sasuke.

Hinata merasa hadir di dua tempat. Yang satu ia kenali: ia berada di kapsul kereta, yang satu asing: ia diborgol dan diarahkan ke meja pengadilan. Tubuh utuhnya berdiri di dalam laju kereta pulang, sementara pikirannya tengah menjadi terdakwa di kursi pengadilan. Ia seorang diri, dan podium dipadati berpasang-pasang mata yang tak dikenal.

Sosok itu merebut seluruh kesadaran Hinata. Biji keringat dingin bermunculan di kening dan hidung si perempuan bermata perak. Tiba-tiba sorot lampu tembak menyakiti penglihatan Hinata.

[baik. dengan Hinata Hyuuga? saya di sini sebagai penuntut atas prinsip-prinsip keadilan, menjatuhi anda vonis sebagai perempuan tidak tahu malu dan pembawa aib keluarga Hyuuga.]

Jantung Hinata seakan-akan berlari, seperti sadar sosok tak berwajah itu mengambili isi laci memorinya dan membawanya ke hadapan umum. Lalu dia mengambil salah satu rekaman secara acak, dan memutarnya tanpa basa-basi.

Hinata kehilangan suara.

"Untuk seukuran gadis pemalu sepertimu, kau punya prinsip kuat rupanya." Sasuke menyusuri tulang pipi, dagu, hingga perpotongan leher dan bahu Hinata, menikmati detak jantung perempuan ini terasa dekat dan nyata. Halus kulit bertabur manis kamomil dan vanilla. Dia mencetak bekas-bekas kontras di atas putih. "Kau gugup."

Kelopak matanya mengerjap, napas hangat Sasuke memojokkan akal sehat Hinata.

Bibir Sasuke menciumi setiap sela jari-jari lentik Hinata. Kedua pergelangan. Bergantian. Lengan. Naik hingga kembali lagi bersinggungan mata dengan Hinata. Gadis ini tampak kepayahan; poninya terjatuh berantakan. "Tutup matamu." Bisikan serak menyapa daun telinga si perempuan. "Aku akan berlaku lembut."

[hmm… saya kira tentu anda yang paling tahu, Sasuke Uchiha itu orang yang baik, 'kan, Hinata? anda menikmati kebaikan tersebut dengan cara yang teramat salah.]

Lidah Hinata terasa kelu. Ditayangkan memori seperti ini membuat kaki dan tangannya beku.

[anda masih belum mengerti cara kerja meja hijau? Baiklah, saya akan mendesak Anda untuk tahu betapa Anda telah mencemari nilai-nilai yang Ayah Anda tanamkan]

Sosok itu mengeluarkan foto-foto Karin.

[saya deskripsikan agar menghemat waktu. Anda lihat, ini foto ketika berpapasan di apartemen.]

Hinata mencelos. Grafik napasnya naik turun—tergesa.

[Karin menolong Anda ketika terjatuh di perpustakaan. Hmm, ini ada foto Karin membawakan Anda kejutan. Mengantar Anda pergi berbelanja mencari pakaian. Membuka kamarnya ketika Anda kesulitan. Apakah foto ini benar?]

Ya. Ya, i-itu semua benar….

[Gadis ini menyukai partner… menyukai teman-dalam-keuntungan Anda. Sasuke Uchiha.]

Y-ya… air mata terbit, secepat itu mengaburkan pandangan mata Hinata.

[Anda menyukai Naruto Namikaze, apa itu benar?]

B-berhenti… permohonan Hinata dihiraukan oleh sosok hitam itu. Kekehan menggema di ruangan kosong tanpa ujung. Berhentilah….

[Dan Anda ketakutan hubungan terlarang Anda dengan Sasuke Uchiha diketahui oleh Karin Uzumaki, sahabat Anda sendiri?]

Hinata menggeleng-gelengkan kepala. Keringat dan airmata bercampur, pipinya amat lengket. Napasnya semakin cepat, sampai ia terpisah dari kenyataan bahwa kereta sempat macet karena gangguan listrik, dan mulai kembali bergerak normal di atas rel. Emosi-emosi negatif menggelayuti kedua pundaknya, mulai memotong jalur pernapasannya.

[masih tidak mengaku? Baik. kalau begitu, apa yang ada dalam pikiran Naruto Namikaze—]

[kira-kira saat mengetahui fakta bahwa gadis yang sikapnya manis dan sopan ternyata menjalin hubungan seks rutin dengan sahabatnya sendiri?]

[sementara selama ini terdapat deklarasi implisit kalian hanya teman-ternyata itu sekadar omong-kosong belaka?]

[kekecewaan? Lebih besar daripada itu]

[selamat, Hinata Hyuuga. Anda telah mengambil rute terburuk dalam kehidupan Anda. Semoga Anda selamat sampai tujuan]

Ding-dong.

Pintu kereta membelah dan ditarik ke dalam. Lelaki perempuan semua tumpah keluar membanjiri peron, dan Hinata terombang-ambing, terbawa arus. Kunang-kunang beterbangan di sekelilingnya. Dengung panjang menembus kepalanya jadi dua; Hinata merasa dunia perlahan menjadi tiga, empat, dan lima. Kerlap-kerlip? Ini bukan taman fantasi….

Dia tertatih-tatih menghampiri papan iklan sebesar delapan kali delapan meter yang menyala. Bahunya bertabrakan dengan gambar ponsel canggih dari produsen ternama. Mimpi buruk tengah mencengkeramnya dengan ketakutan hingga dia menggigil. Betisnya tak sanggup menopang beban, lalu perlahan merosot ke tanah. Orang-orang tidak punya cukup waktu mempedulikan mengapa ada gadis sendirian bersedih, karena semesta berputar tidak hanya demi satu manusia saja. Deru kereta, suara petugas perempuan, bunyi bel gerbang tiket, dan ketukan sepatu. Hinata tergugu dalam sunyi—baginya, bumi tengah berhenti saat itu juga.

siapapun,

tolong aku….


Seseorang mengulurkan tangan. Hinata mendengar namanya dipanggil.

Ketika gadis itu mendongak, seseorang menawarkan sejumput kehangatan yang ia butuhkan. Bibir Hinata mengeja lirih namanya. Kemudian, hujan pun turun semakin deras membasahi pipi putihnya.