cognac

cognac: /n/

the brandy distilled in and shipped from the legally delimited area surrounding the town of Cognac; in W central France.

any French brandy.

any good brandy.


Embusan beku meniup pergi mimpi kosongnya. Saat matanya berhasil terbuka, ia lihat langit kamar familiar menyapa. Seharusnya ia terbiasa, tapi perasaan asing menyelubunginya seperti benang laba-laba. Rupanya, cahaya matahari pagi telah menerobos masuk jendela. Bayang-bayang tirai bermain teater di selimut, menyorot hingga ke dinding bercat biru pudar.

Masih setengah sadar, tangannya mencari-cari remote AC di laci samping. Suhu kamar berangsur-angsur naik. Kepalanya agak pusing—mungkin karena semalaman pendingin bekerja mengawetkan mereka pada suhu 16 derajat celsius. Kalau saja comforter tebal ini tidak ada, Hinata yakin sekarang ia menggigil diserang demam.

Jadi, sel otaknya mulai berfungsi, tanggal jatuh tempo pengembalian buku perpustakaan sudah lewat. Ada cucian menumpuk dalam rongga mesin. Dan yah, Hinata baru ingat galon di kamarnya kosong. Hmm, mengirim file kelompok…

Oke—aku mesti bersiap—

Sayang, deru napas teratur milik orang lain mengembalikannya pada kenyataan. Lelaki di sebelahnya pulas terlelap. Rambut hitamnya menyebar, kontras sekali dengan warna pembungkus bantal. Sudah berapa kali Hinata terjebak dalam situasi seperti ini? Tujuh kali? Atau delapan? Ia tak ingat—yang jelas rasa malu dan panas muncul, menyengat, dan menjalar di wajahnya. Buru-buru perempuan itu menyibak selimut, duduk di pinggiran kasur sambil mengamati pakaiannya yang berceceran. Ah, untunglah, ia menaruh rapi buku-buku teksnya di dekat lemari.

"Jam berapa?"

Suara serak mengagetkan Hinata. Perempuan itu menundukkan kepala, sengaja supaya poninya turun jatuh menutupi wajahnya. "06.15," ia mengetuk layar ponselnya dua kali. Delapan puluh chat belum dibaca. Salah satunya panggilan tak terjawab dari tetangga apartemen, dan dua pesan dari Hanabi. Lelaki itu menutupi bahu telanjangnya, sepertinya memang berniat membeli waktu lebih untuk beristirahat.

Hinata menghela napas. Mengumpulkan kembali hatinya yang berserakan dan bergegas masuk ke kamar mandi.

Selesai mengeringkan rambut, Hinata seperti pagi-pagi sebelumnya, akan memasakkan menu sederhana. Sebagai pengisi perut sementara. Lemari es milik Sasuke tidak banyak menawarkan bahan yang menyenangkan, kecuali ia memintanya malam sebelumnya. Dan kemarin, Hinata lupa.

Sisa kotak susu tinggi kalsium yang nyaris basi, sayur-sayuran lapuk di loker bawah. Beberapa telur dan sekotak daging ham. Wadah bawah mengatur rapi barisan beragam merk brandy. Seingat Hinata—brandy jenis ini bukan dipakai sebagai pelarian sesaat dari masalah. Jelas Sasuke mengoleksi sebagai hiburan dan menikmatinya perlahan—botol-botol disusun menurut usianya.

Perempuan itu memutuskan merapikan pakaiannya terlebih dahulu sembari membuka buku resep dalam kepalanya. Nasi goreng tidak buruk. Tasnya sudah bersiap di sofa, dan perempuan itu mulai mengisi sela-sela kamar dengan wangi tumisan. Hinata mendorong pintu kaca balkon agar terbuka, supaya embun pagi bisa menyegarkan udara.

Kadang-kadang, Hinata merasa apa yang ia lakukan ini amat salah. Jelas, Ayahnya tidak pernah setuju dengan sedikit pun pembangkangan—dan Hinata melawan di balik punggungnya. Api kompor dikecilkan. Ia tidak tahu apa makanan kesukaan Sasuke—tidak pernah bertanya juga, namun ia tetap memotong tomat menjadi dadu dalam porsi banyak. Sasuke sering memakan tomat utuh seperti camilan harian.

Dirinya yang lain seringkali menghantuinya dengan pertanyaan sederhana: apakah Ayahmu senang melihat putrinya seperti ini? Dan dirinya yang lain pula membalas, tentu tidak. Tentu tidak. Jarinya cekatan menabur ham di atas nasi dalam wajan.

Tak berapa lama, setelah piring-piring tersaji, Sasuke muncul. Tetesan air menciptakan jalur jejak dari kamar sampai ke meja makan. Rambutnya layu dan handuk melingkari lehernya. Lelaki itu dipaksa menerima fakta bahwa Hinata hapal posisi botol kecap, saus tomat, dan rak bumbu di dapur. Harus malu atau tidak, Sasuke mengakui ia sering jengkel karena kesusahan mencari merica.

Sepertinya dia ada kelas, pikir Hinata. Harum sampo mereka sama. Sasuke menumpuk buku teksnya di depan tv, memilah mana yang akan masuk ke dalam tas. Meskipun Hinata membalikkan badan, tapi ia tahu Sasuke tengah menatapnya dengan lekat.

"Thanks." Ah, syukurlah. Setidaknya ucapan terima kasih dari Sasuke memecah kekakuan di antara mereka. Lagipula, Sasuke juga merasa tidak perlu repot memberitahu Hinata apa makanan favoritnya. Perempuan itu bahkan kelihatan nyaman dengan apron hitam, dan mudah menggunakan dapurnya yang seringkali berfungsi sebagai pajangan interior. Setidaknya, Sasuke pikir uang listrik untuk kompor tidak berakhir sia-sia.

"Nasimu di piring merah." kata Hinata.

"Ada kelas pukul berapa?" Ia menyodorkan sendok pada Sasuke. Lelaki itu membasahi tenggorokannya dulu dengan sebotol besar isotonik. Dia kelihatan bosan—wajahnya datar—tetapi Hinata bisa melihat perbedaan-perbedaan kecil yang ada. Minim, tetapi Sasuke dalam mata Hinata, gampang ditebak.

"Sembilan." Mulutnya berganti mengunyah nasi. Hangat, dan enak. Sasuke sadar salad dan tomat miliknya banyak ketimbang milik Hinata. Perempuan itu tengah mengelap tangannya, lalu apron digantungkan dekat wastafel cuci piring. Sasuke sendiri menyuap satu-dua sendokan lagi. Ia terbiasa makan nanti siang, beli di kedai persimpangan jalan, atau merepotkan dirinya sendiri dengan mengantri di kantin kampus.

"Kau?"

"Sama,"

Pagi yang cerah melingkupi keduanya. Hinata menyimpan porsi makanannya di microwave. Sasuke sendiri tidak mengerti, perempuan macam apa yang bisa-bisanya tidak kelaparan setelah menghabiskan semalaman dengan seks? Koreksi, seks panas. Dia merasa payah, karena lambungnya merongrong tak karuan, menegakkan kakinya supaya segera mandi, bersiap, dan Hinata di sini tampak segar, mau membikinkannya sarapan.

Lelaki itu mengamati Hinata dari punggung kursi. Memandangi rambut panjang itu akhir-akhir ini menyumpal saluran air kamar mandi.

"Kau tak lapar?"

Perutnya sedari tadi adem-ayem. "Aku mesti cepat ke kampus."

Nasi goreng itu cuma makanan sederhana. Banyak yang enak di restoran. Tapi Sasuke pikir, paduan rasanya pas.

"Mau berangkat bersama?" tawar Sasuke. Sepertinya perempuan ini tergesa. Pergi ke kampus dengan porsche hitam? Lalu membeberkan rahasia di antara keduanya dengan mudah? Hinata menggeleng. Orang-orang siap menghujani dengan pertanyaan mengerikan! Dia merapatkan sweater rajutnya yang tebal.

Sasuke diam, menandaskan piringnya. Hinata meninggalkan pamitan ramah di undakan kayu sebelum menutup pintu apartemennya pelan-pelan. Yang Sasuke pahami amat jelas. Hinata betul-betul tidak datang karena wajahnya, ketenarannya, apalagi marganya.

Sepanjang menyisiri jalanan yang terang, Hinata meyakinkan dirinya, semua barang tersimpan aman dalam ranselnya. Oke, oke, tenang, Hinata. Tidak ada yang ketinggalan.


Setelah melepas sepatunya, Hinata berlari dan melompat ke atas kasur. Boneka Baymax hadiah ikhlas dari Hanabi seolah menawarinya pelukan selamat datang. Berguling kesana-kemari karena awalnya ia sudah bertekad akan mengakhiri hubungan tidak jelas itu—tapi nyatanya? Ia terjebak dalam kubikus penuh harum kayumanis, sangat-sangat menyedihkan. Apalagi sekarang wewangian khas milik Sasuke menempel lengket di kulitnya. Mencoba mengingatnya malah membakar tubuhnya. Perempuan itu menepuk-nepuk keras kedua pipinya (Oh, ayo, sadarlah Hinata, kuis mingguan menunggu digarap!) dan mandi kembali, menuang sabun favoritnya melimpah. Dan menghapus sebersih mungkin harum maskulin itu sampai benar hilang.

Hubungan ini tidak tahu dari mana mulanya. Hinata sama sekali enggan mengetahui banyak hal tentang Sasuke. Cukup di titik jurusan kuliah, namanya, dan apa makanan favoritnya. Sasuke juga tidak pernah bertanya apa-apa. Lelaki itu menyimpan emosinya dengan baik di balik ekspresi datar dan lurusnya. Jarum jam baru sampai di angka tujuh. Dua jam sebelum kelas pertama dimulai.

Ia bukan mahasiswa cemerlang tentu. Mungkin ia hanya bisa membanggakan tekun dan rajin sebagai andalan. Tugasnya dikumpulkan sebelum tenggat waktu. Presentasi diusahakan tidak gagap. Rambutnya disikat, menjuntai lemah di udara. Hinata menyukai rambutnya lurus, walau beberapa temannya sering mengajak ke salon untuk dibentuk macam-macam.

Barangkali, jika dia punya keberanian, setitik, tidak perlu banyak, Hinata akan berkata, 'Aku masuk ilmu politik karena Ayahku. Karena aku akan menjadi ahli waris Hyuuga, dan ya, memang takdirku sudah digariskan seperti itu'. Mungkin kepada seseorang. Perempuan itu menertawakan dirinya sendiri yang payah, di depan kaca rias. Mengungkapkan luka hati saja tidak bisa, apalagi mengubah keinginan Ayahnya? Hinata tersenyum. Ia menjalin rambutnya. Menyemprotkan body mist. Vanilla memenuhi paru-parunya. Dan wangi kayumanis itu lenyap.


"Ughh—h!"

"Hh—h—tenanglah…"

"Ti-tidak bi-bisa—h…hnm…ah, ah, ahh!"


Kehidupan kuliahnya standar. Bukan pemenang olimpiade, bukan pula aktivis sosial. Yang jelas, ia mengisi daftar presensi kuliahnya dengan baik, tidak pernah menggunakan jatah bolos, dan sebisa mungkin mengisi barisan kursi paling depan. Memperhatikan mulut dosen bergerak. Arah kursor laser di layar. Atau bagaimana angin datang, membelai sejuk pohon cemara. Atau bagaimana matahari datang dan memanggang sebagian isi kelas. Hinata terus mengejar dan merekam setiap perkataan yang ia anggap penting dalam catatannya.

Prestasi yang dibanggakan? Hinata berusaha keras menggali. Grafik nilainya stabil dan terus menciptakan garis landai vertikal. Aha, kontes balet semasa SMA berhasil mengalunginya sebuah medali emas. Juara satu—tetapi Hiashi diam seribu kata dan menyuruhnya mematikan lampu kamar karena besok bukan hari libur.

Kehadirannya hampir tidak diperhitungkan. Kalau bukan karena nama belakangnya. Sungguh, Hinata lebih menyukai masa-masa SMA, ia mengisi job di festival tahunan sebagai penari balet sekaligus penata interior kafe. Tanpa harus dibayang-bayangi nama keluarga. Begitu pun, eksistensi sekelompok orang yang menilainya menginjakkan kaki di Todai adalah suatu hal mudah, alih mengiriskan sekerat luka dalam dada.

Neji, sebelum mendorong putaran besi pada gateway di bandara, menyisipkan pesan. Berdiri di atas kakimu sendiri, Hinata. Jangan mau kalah dari takdir. Hinata tidak tahu mengapa, ujung kakinya basah oleh airmatanya sendiri.

Ia tidak mengurung diri seperti usia-usia remaja, tapi intinya tidak berkembang: pendiam, tidak menarik, dan menjadi pendengar yang telaten.

Lagi-lagi, ia harus mengucapkan selamat tinggal pada sepasang sepatu baletnya. Ayahnya bilang, dari balik meja kerja, penerus Hyuuga harus kuat dan tangguh. Sementara Hinata? Lembut dan lemah. Hiashi menentukan garis hidupnya: kuliah yang serius—ambil S2 ilmu ekonomi atau hukum—pahami dan pelajari pengalaman di internship nanti—turuti apa kata Neji—dan masih banyak anak tangga yang perlu dinaiki. Hinata sekarang baru di tangga kedua sebelum tahta ambisius keluarganya menjadi beban terberat dalam hidup.

Gampang melempar pernyataan, kalau aku jadi kau, aku pasti akan memanfaatkan kesempatan sebaik-baiknya. Uang, kekuasaan, dan menjadi ahli waris! Hinata mengusap wajahnya. Duh, belum sempat sarapan, pasti jadi penyebab utama ia larut dalam memori yang sudah tak perlu diungkit kembali. Hmm, mungkin roti yakisoba? Milkshake matcha?

Dia juga tidak pandai bergaul. Temannya hanya hitungan jari, termasuk Karin dari jurusan teknik kimia. Perempuan itu dikenal nyentrik dan asik—hebatnya lagi Hinata bisa berkawan erat dengan Karin. Kamar mereka di apartemen bersebelahan. Karin pernah tak sengaja menumpahkan beberapa cairannya ke atas laundry milik Hinata (bahkan baru diambil dari lobi dasar).

Hinata berjongkok, memunguti tabung-tabung reaksi itu tanpa memamerkan sedikit pun jengkel. Apalagi marah. "Maaf ya, aku tidak melihatmu…" kasihan, pikir Hinata. Pasti cairan ini hasil pengamatan semalaman mungkin, dan bisa jadi akan digunakan sebagai bahan penelitian hari ini, dan gara-gara aku tidak berhati-hati—

"Jelas-jelas aku yang salah!" gadis ini memperbaiki kacamatanya. Kaget barusan dengan reaksi polos Hinata. Dia dengan cepat menyingkap tangan Hinata, "Tanganmu nanti terluka, Sayang. Tapi kau sepertinya tahu ini HcL ya?"

Hinata mengangguk. "Iya. Kau di Todai juga?" tanyanya begitu menyadari jas putih di hadapannya memajang lambang departemen idaman seribu siswa SMA.

"Duh-duh—duh, laundrymu kotor lagi, ya ampun, maafkan aku!" katanya panik begitu menangkap noda kekuningan membesar pada salah satu pakaian Hinata. "Ya, aku dari kimia. Duh, baiklah, aku akan laundry sekarang!"

"Tidak apa-apa. Kau sedang terburu-buru." Tolaknya halus. Demi Tuhan, si perempuan berkacamata mangap lebar. Bahkan ia sudah siap mengeluarkan uang seratus ribu yen begitu sadar label merk baju yang ia rusak.

"Serius? Aku tidak suka berutang. Demi apapun jangan merasa keberatan."

"Betul, kok." Hinata mengangkat laundrynya. "Noda kecil. Namamu siapa?"

"Karin, Karin Uzumaki."

Di kemudian hari, Hinata menemukan wajah Karin terpajang di majalah kampus. Perempuan berpamor terkenal, selain karena encer otaknya, Karin juga dikenal sebagai mahasiswi dengan selera fashion nyeleneh. Skunk-head ala Skrillex? Merah cerah dan pasang tindik? Dia melangkahi aturan berpakaian departemen sains, namun para dosen angkat tangan mencegah kemauan si jenius kebanggaan jurusan kimia.

(diam-diam, Hinata iri. Iri sekali)

"Baiklah Uzumaki-san, aku Hinata Hyuuga. Dan laundry ini kau lupakan saja. Kau terburu-buru. Kelas paling pagi jam 09.00 dan ini dua puluh menit lagi."

Keesokan harinya, Karin membawakannya sekotak coklat. Sekotak lagi kue manis. Aromanya menyenangkan, sampai Hinata membuka pintu apartemennya lebar-lebar. "Ini tentu tidak bisa mengganti harga bajumu! Tapi kupikir kau tipe penyuka kue? Sok tahu sekali ya?"

Kikikan geli milik Hinata membuat Karin banyak menduga-duga. "Kau sudah makan malam? Aku banyak sekali membuat lasagna sekarang."

Hubungan mereka cocok sekali. Klop. Seperti puzzle yang bertemu dan saling melengkapi. Karin merasa Hinata tidak perlu setiap hari bertemu, tetapi perempuan mungil itu dengan senang hati melambaikan tangan ketika mereka berpapasan antar gedung. Bagi Karin yang terbiasa dijejali perempuan sosialita, termasuk dirinya sendiri—ia mendengus—berteman dengan Hinata seperti membawa masuk potongan baru dalam hidupnya.

Karin anak tunggal. Memimpikan adik, persetan jenis kelamin, dan bertemu Hinata—mengetuk pintu hatinya. Gemas. Tanya Hinata, hobi Karin apa. Hinata pasti akan menjawab, Karin sering menggigiti pipinya. Mirip bakpao. Pertemanan aneh itu tidak diketahui banyak orang, dan keduanya menyenangi hal tersebut.

Hinata mengetuk-ngetuk pensil ke ujung hidungnya. Ia butuh Karin untuk bertanya. Barusan ada materi tentang perundang-undangan dan masalah peredaran narkoba. Kasus hukum seperti ini menarik, karena selain eksentrik, Karin punya pengetahuan yang luas. Seringkali Hinata belajar logika (pernah juga advanced mathematics untuk tes kemampuan) dari Karin.

"Hei, kau melamun lagi." sikut teman sebelahnya. Hinata yang barusan menyusun argumen oposisi dari pancingan yang ditebar dosen hanya bisa tersenyum miris. Tenten menggigit pulpennya. "Ada apa? Kau kelihatan lelah."

Pipi Hinata mau tak mau merona. Perempuan itu menarik napas. Memperingatkan dirinya supaya tidak gelagapan. Apa tadi malam ia betulan berisik ya? Sampai Sasuke mengeluh sebelum jatuh ke dalam dekapan bantal. Hinata segera memperhatikan lengannya. Oh, baiklah. Kostum hari ini aman. Turtleneck putih dan sweater burgundy. "Be-begitu?"

Tenten mencondongkan bisikannya supaya dosen tidak mengetahui ada dua mahasiswinya malah mengobrol. "Kantung matamu, Hinata. Makin hitam."

"Jangan-jangan kau begadang lagi ya? Kau ambil matkul tambahan apa?"

"Public policy."

"Hmm. Kau ini politik, tapi ambil kelas di bawah payung makroekonomi."

Pipi Hinata menciptakan lesung pipit. "Aku harus mengambil itu."

Deham keras menyela obrolan mereka berdua. Keduanya saling berpandangan, dan selepas materi super membosankan, Tenten segera berlari ke gedung utara. Ada kelas tambahan di sana. Hinata melambaikan tangan. Sayang sekali, padahal Hinata ingin mengenalkan Tenten pada Karin.


"HAHA! Kau menyukai Naruto. NARUTO! DEMI TUHAN!"

"Ka-karin! Berhenti menggodaku!"

Tawa Karin hampir meledak kembali—perempuan itu mati-matian menggigit lidahnya. Sepupunya yang konyol dan banyak tingkah ternyata punya penggemar rahasia seperti Hinata? Opera sabun suka bercanda! Jika Hinata tahu kelakuan Naruto menggelikan di rumah mereka, Hinata bukan tidak mungkin berubah menjadi jijik dan mencoret nama si pirang itu hidup-hidup dari daftar calon ideal menjadi kepala rumah tangga!

Karin mengusap lelehan tangisnya. "Maaf—maaf, Hinata! Terus terang, aku tak habis pikir. Apa sih yang kau lihat dari Naruto, hmm? Ceritakan, jadi aku berhenti menertawai dan respek padamu. Sumpah, Hinata, aku minta maaf!"

Reaksi jujur Karin merebus Hinata sama seperti kepiting dalam panci restoran. Kantin kampus sangat ramai—semua jurusan memadati kedai-kedai, siapa cepat dia dapat. Meja lingkaran kecil mereka sepi dari makanan. Pasti pelayan di kedai takoyaki kini kelabakan. Hinata sendiri membawa bungkusan roti buatan tangan dari kamarnya. Karin kembali dari toilet, sedikit merasa bersalah karena dia pikir kotak tertawanya dihantam keras oleh Hinata. Duh, seandainya gadis ini punya rasa percaya diri, Karin berani pasang taruhan, pasti banyak lelaki bersedia berbaris mengular sejauh mata memandang!

Bangku yang bersebelahan dengan pagar pembatas kaca dipilih Karin. Keduanya bisa memandangi lalu lalang orang di lantai satu dari tempat mereka berada. Hinata sendiri suka dengan ketinggian, dan posisinya jauh dari lokasi favorit geng ramai—mereka semua mencari tempat yang paling dekat dengan stand-stand makanan, atau meja besar persegi panjang. Kebetulan, blok jadwal mereka ada yang sama tiap hari Rabu sampai Jum'at. Karin senang hati makan siang dengan Hinata. Perempuan kalem itu pasti akan mendengarkan seluruh racauannya seksama.

Topik obrolan mereka seperti roller-coaster. Berangkat dari kegagalan Karin saat uji-coba reaksi di laboratorium, sampai ketika Karin memergoki Hinata melamun—lurus ke arah Naruto.

"Coba beritahu aku, Hinata. Satu saja nilai bagus dari Naruto. Please?" jurus mata berbinar itu biasanya gagal pada setiap orang. Pengecualian Hinata. Jari-jarinya meremas roknya sendiri.

Ugh. Tiba juga masa Hinata terdesak keingintahuan Karin.

Harus ambil lini masa dari mana? Pertimbangan Hinata banyak. Dari kacamata penampilan, siapa yang menolak kombinasi kulit tan, mata biru, dan rambut pirang? Hinata bangga dengan pilihannya. Naruto betulan good-looking. Sedap dipandang. Hinata yakin, agensi model pasti senang melihat Naruto dan kepribadiannya yang cerah.

"Uhm. Alasanku tidak bagus."

"Satu, dan aku sungguh berhenti bertanya."

Baiklah, Hinata seumur hidup tak mau kisahnya menjadi pengamat jauh Naruto Namikaze terbongkar. Klise, umum ditemukan pada plot komik shojo. Sore hari, selesai praktek debat di moot court fakultas hukum, sekumpulan lelaki tengah bertanding basket di lapangan. Hinata paling anti dengan yang seperti ini karena bola basket beserta kulitnya yang keras entah mengapa hobi sekali menjadikan kepala Hinata sebagai objek sasaran. Dan betul sekali prediksinya.

"Maaf! Maaf! Demi Tuhan, aku tak sengaja!" Seseorang menahan punggungnya yang nyaris oleng. Pelipisnya berdenyut kencang. Perih sekali, Hinata mengintip dari balik poninya. "Kuantar ke klinik? Mau?"

"T-tak apa." Tolak Hinata lemah. Padahal lemparannya bola basketnya penuh tenaga. "A-aku bisa sendiri."

"Oi, Naruto! Kau bikin anak cewek nangis!"

"Berisik, brengsek!"

"Jadi, namamu?"

"Hinata."

"Baik, Hinata. Sebagai permintaan maaf, aku akan memaksamu ke klinik. Kau suka jus apa? Aku suka jus jeruk, dan aku tidak suka membuat perempuan menangis. Apalagi menimpuk kepalanya dengan bola basket. Aku sendiri pernah jadi korban, dan rasanya sakit. Jadi, ayo, mau kugendong di punggungku?"

Naruto tidak memberinya kesempatan bernapas bebas. Aksen bicara Naruto mengingatkan Hinata pada pemain film barat. Serak dan dalam. Dia seperti orang Amerika yang bicara bahasa Jepang. Matahari yang terik dan rambut kuning yang terang. Mata biru jernih, dan senyum yang hangat. Dan Karin! Pantas Karin cukup memberi Hinata kesan yang sama dengan Naruto. Mereka energik, dan menebarkan aura positif.

"Hinata?"

—suara Karin menjemput paksa Hinata yang larut dalam kesenangannya sendiri.

"Senyumnya. Senyumnya, mengubahku." Hinata tergagap menjawab. Ya, betul. Dia mulai mengenal Naruto. Jurusan studi Inggris—dan dia ambil kelas internasional. Karin sempat bercerita mengenai latar belakang keluarga Naruto (yang selama ini masuk klasifikasi rahasia kelas kakap dan sebelum Karin tahu Hinata punya sesuatu spesial terhadap Naruto) ayah Naruto asli New York, dan Ibunya petenis terkenal lulusan Columbia. Ayah Naruto, Minato Namikaze, merupakan salah seorang senator di sana. Karin sepupu dari jalur ibu. Naruto tinggal dengan keluarga kakeknya, Jiraiya dan Konohamaru di Tokyo. Tidak heran, kata Karin, kalau Naruto seorang polyglot.

Sedotan kopi itu serak dan keras. Karin menarik napas dan melipat tangan di dada.

"Wow, suprisingly deep. I thought you fall for his built-shape body?"

"N—no! You promise me will stop talking about th—this!"

Tepukan di kepalanya hangat. Baru Hinata terenyuh oleh sikap Karin, perempuan itu segera menjewer kedua pipi Hinata selayaknya mainan. "Semangat! Bocah itu urakan, tapi aku percaya kau bisa mengantarnya ke jalan tobat!" mata merah Karin sangat cantik. Hinata malu bukan kepalang begitu otaknya memproses kata per kata dari mulut kawan baiknya.

"Ka-karin!"

"Hehe, sudah kupesankan donburi! Kali ini aku yang traktir ya?!"


"Kenapa Hinata?"

Dengan cepat, Hinata memuntahkan isi tote bagnya ke atas meja. Dompet, kotak pensil, empat buku catatan kecil berguling keluar. Dua buku teks tipis. Hinata mengulum bibir. Karin segera menyingkirkan piring kotor mereka ke wastafel kantin.

"Euhm, sebentar." Hinata mengecek kantongnya yang kosong. "Bukuku."

"Ketinggalan?"

"Ya. Tapi aku sangat ingat di kelas tidak ada di meja."

"Sebelum kemari?" Karin mencoba mendistraksi kepanikan Hinata.

Tunggu sebentar. Sial. Hinata menggigit bibir.

"Sudah ketemu?"

"Euh, aku mau menghubungi temanku dulu, y-ya." Hinata meraih ponselnya. Karin menyimpan perkiraan, tetapi karena ini Hinata, dia tak mau memaksa.

"Aku ke toilet dulu."

"Aku jaga tasmu di sini."

Sebatas mengirim pesan menuntut banyak keberanian dari Hinata. Mudah-mudahan lelaki ini tidak mengabaikan namanya di kotak masuk. Kegamangan menyergapnya. Hinata dengan mudah melihat pantulan dirinya di cermin: panik. Buku macroeconomics itu dibelinya dengan keringat sendiri. $170. Kalau hilang, baiklah, Hinata harus ambil kerja paruh ekstra bulan depan.

Sasuke… maaf mengganggu. Sepertinya bukuku, judulnya, Macroeconomics John G. ada di sebelah lemarimu. Dekat tas, kurasa. Adakah?

Sasuke mengerutkan kening. Ia pikir LED merahnya berkelap-kelip karena Itachi sudah memberi jawaban. Nama Hyuuga Hinata mengintip dari bar notifikasi. Lelaki itu bukan tipikal pemain gadget saat kuliah jadi, dia membalas sekenanya. Buku merah itu Sasuke simpan di meja makan. Supaya gampang ditemukan.

Ada.

Mata Hinata membulat ketika perempuan itu beres membasuh muka. Pesannya langsung dibalas.

Baiklah, aku perlu. Aku saja yang ambil. Malam ini?

Di Kuriyakashi Kurogi.

Hinata mengopi nama kafe tersebut dan menaruhnya di kolom pencarian ponsel. Tak begitu jauh dari apartemennya.

Terima kasih… maaf mengganggu.

Percakapan itu berakhir. Sasuke menghiraukan seruan dari kawan-kawannya yang sibuk membicarakan bar pusat kota. Kelas pengganti selesai nanti sore. Frasa tersebut diulang dalam benaknya. Layar segera redup otomatis. Lantas menyimpan kembali ponsel ke dalam saku celananya, berbalik fokus pada penjelasan dosen tua di depan kelas.

Maaf mengganggu.

Ada aturan tak tertulis namun perlu dipatuhi demi menikmati hubungan teman dengan keuntungan tanpa perlu ketakutan harus terikat atau ketergantungan. Hubungan ini bersifat mutualisme: sama-sama menyediakan kesenangan tanpa paksaan, uang, atau imbalan ikut satunya diingat Sasuke dengan jelas:

jangan pernah mengajak temanmu keluar selain murni kebutuhan biologis.

Dan Sasuke, baru saja, melanggar peraturan yang pertama.


naruto milik masashi kishimoto.

Tulisan eksperimental. Jadi… begitulah hahaha. Oiya. Gabakal ada konten dewasa grafis. Implisit saja.