Because I Love You

.

.

.

I call out to you till I lose my voice but there's no answer
A nail is driven in my heart so tears fall as I call out to you
Oh I'm crying crying crying
I'm calling out your sad name

(Ali – I Love You, I'm Sorry)

"Jaemin-ah"

Laki-laki yang sedang tepaku pada layar televisi itu menoleh ketika sebuah suara menghampiri telinganya. Mendapati sesosok laki-laki bermata sipit sedang berdiri di belakangnya, laki-laki bernama Jaemin itu tersenyum lembut. Masih dengan berbalutkan setelan jas kerja lengkap, laki-laki bermata sipit itu mulai melingkarkan kedua tangan pada lehernya dari belakang. Dan hembusan nafas lembut yang membelai setiap inci bagian lehernya dapat ia rasakan ketika laki-laki itu mulai meletakkan kepalanya di atas pundak Jaemin. Jaemin terdiam, membiarkan laki-laki itu memeluknya selama beberapa menit sebelum akhirnya pelukannya ia lepaskan dengan sendirinya.

Laki-laki itu berpindah tempat disamping Jaemin, duduk disamping istri tercintanya. Seperti sebuah kebiasaan, Jaemin mulai menyandarkan kepalanya pada dada bidang sang suami yang kemudian dihadiahi sebuah pelukan hangat ditengah badai salju. Tidak lupa sebuah kecupan penuh cinta juga mendarat pada ujung kepala Jaemin.

"Kenapa belum tidur, eoh? Badai saljunya benar-benar buruk, seharusnya kau berada di kamar dan menyalakan penghangat ruangan, Nana" ucap laki-laki itu lembut, jari-jari panjang nan kurusnya membelai surai coklat madu itu dengan lembut.

Jaemin menggeleng.

"Bagaimana aku bisa tidur jika suamiku belum pulang?" Jaemin membalas ucapan sang suami dan menatap sang suami lembut.

Laki-laki itu, Lee Jeno, terkekeh mendengar jawaban istrinya.

"Nana mengkhawatirkanku?" Jeno mulai menggoda Jaemin.

"Tentu saja aku mengkhawatirkan suamiku!" bibir Jaemin mengerucut lucu, membuat Jeno gemas dan mulai mengacak-acak rambut istrinya gemas. Membuat Jaemin berdecak sebal, kebiasaan Jeno yang satu ini terkadang menyebalkan. Rambut yang sudah ia tata serapi mungkin kini menjadi berantakan karena ulah sang suami.

"Kau bau, Jeno-ya! Cepat mandi, aku sudah menyiapkan air hangat untukmu" Jaemin mendorong tubuh yang ia sebut bau tadi menjauh, seakan lupa bahwa ia baru saja menempel seperti koala pada sang pemilik tubuh bau itu sesaat yang lalu.

Bukannya marah, orang yang dipanggil 'bau' itu malah tertawa. Matanya yang sipit menampilkan sebuah bentuk bulan sabit yang indah. Jeno bangkit dari tempatnya, bersiap untuk membersihkan tubuhnya. Jaemin selalu saja menolak untuk dipeluk ketika Jeno belum mandi, tetapi terkadang suka memeluk laki-laki itu dengan seenaknya. Tapi itu bukan masalah bagi Jeno. Ia selalu suka memeluk istrinya ataupun ketika istrinya memeluknya, ia selalu merasa tenang ketika sang istri berada di dalam dekapannya. Dinginnya bada salju tak akan lagi terasa ketika Jaemin berada disekitarnya, hanya kehangatan yang ia rasakan. Rasanya begitu nyaman dan menenangkan.

"Bersiaplah, Nana. Aku akan memelukmu sepanjang malam setelah mandi nanti" Jeno memperingatkan Jaemin dan berlalu ke kamar mandi. Suara tawa mengiringi kepergiannya setelah melihat bibir Jaemin yang mengerucut sempurna mendengar ancamannya.

.

.

"Aku mencintaimu, selalu dan selamanya. Selamat tidur, sayang"

Sambil memeluk sang istri yang sedang berbaring membelakanginya, Jeno membisikkan kalimat itu dengan tulus. Selalu menjadi kebiasaannya mengucapkan kalimat itu sebelum ia menutup matanya untuk menuju ke dunia mimpi. Ia hanya ingin sang istri tahu seberapa besar cinta yang ia miliki untuknya. Jika saja pagi hari datang dan ia tidak mampu lagi membuka mata, setidaknya ia telah membiarkan sang istri tahu seberapa besar rasa cintanya.

Hening sesaat.

"Aku juga, Jeno-ya"

Jeno hanya tersenyum ketika jawaban Jaemin terdengar, lalu mulai menutup matanya perlahan menuju ke dunia mimpi.

.

.

Udara yang semakin dingin membangungkan Jeno dari tidurnya. Matanya mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya terbuka sempurna. Namun beberapa detik kemudian ia mengernyit ketika mendapati sang istri tidak berada di sampingnya, tempat tidurnya kosong. Ia baru saja akan bangkit dari tempat tidur untuk mencari keberadaan sang istri sekaligus menaikkan suhu penghangat ruangan, sebelum akhirnya ia harus mengurungkan niatnya ketika mendengar suara seseorang dari luar pintu kamar. Suara seseorang yang sepertinya sedang berbicara dengan seseorang lainnya lewat telefon dan suara sengaja dipelankan.

Itu suara istrinya. Jaemin.

Dengan siapa istrinya berbicara?

Jeno kemudian melirik jam digital yang berada di meja sampingnya. Jam yang masih menunjukkan pukul 00.57 membuat Jeno semakin penasaran siapa yang menelfon tengan malam seperti ini.

"Aku mengerti, Mark hyung. Kau juga jaga kesehatanmu, aku tidak ingin melihat hyung sakit… Aku juga mencintaimu, Mark hyung…. Eum, baiklah…. Ne, selamat tidur. Semoga mimpi indah"

Bukan pembicaraan penting memang, tapi mendengarnya cukup untuk membuat hati Jeno hancur menjadi menjadi serpihan-serpihan kecil tak kasat mata. Bahkan laki-laki itu harus meremas piyama yang berada tepat dibagian dadanya karena rasa sakitnya. Sungguh Jeno tak ingin mempercayai apa yang ia dengar saat ini, ia berharap apa yang ia dengar tadi hanyalah mimpi. Tapi semuanya begitu jelas.

Setetes air mata jatuh dari mata sipitnya. Namun kemudian sebuah senyum penuh luka terbentuk dari bibirnya.

Seribu kali ia mengucapkan kata cinta kepada Jaemin, sekalipun ia tak pernah mendapatkan balasan dari istrinya. Setiap kali Jeno meminta Jaemin mengucapkan kata cinta untuknya, laki-laki itu selalu menjawab 'bukankan kau selalu mewakilinya untukku? Anggap saja itu perasaanku padamu, Jeno-ya'. Jeno yang bodoh, Jeno yang terlalu naïf, dengan mudahnya menelan mentah-mentah kalimat Jaemin tanpa memikirkan sebuah makna tersembunyi dibalik kalimat yang biasa Jaemin lontarkan. Jeno hanya berpikir Jaemin mungkin malu mengucapkan kalimat yang sama seperti yang biasa ia ucapkan. Mengingat pernikahan mereka terjadi karena sebuah perjodohan, pasti akan canggung bagi lelaki pemalu seperti Jaemin mengucapkan kalimat yang sama seperti Jeno. Tapi mendengar Jaemin dengan begitu lancarnya dan dengan penuh ketulusan mengucapkan kalimat yang begitu ingin Jeno dengar tadi malah membuat hati Jeno remuk. Kalimat yang telah lama ia tunggu itu terucap, namun bukan untuknya melainkan untuk orang lain. Seseorang bernama Mark, yang Jeno harap bukanlah Mark yang Jeno kenal. Kakak tiri yang begitu Jeno sayangi.

Na Jaemin, istrinya.

Raganya mungkin memang telah ia miliki, tapi tidak dengan hatinya. Seharusnya ia tahu dari cara Jaemin menatapnya.

Ketika melihat gagang pintu bergerak, Jeno kembali membaringkan tubuhnya dan memejamkan matanya. Semua rasa sakit ia telan sekaligus secara paksa agar air matanya tak mengalir. Tidak masalah jika Jaemin mencintai orang lain, asal laki-laki itu bahagia dan terus berada dalam jangkauannya sudah cukup bagi Jeno. Cukup Jeno saja yang mencintai Jaemin sebegitu besarnya, tak apa bahkan jika cintanya tak terbalas. Asalkan masih diijinkan berada disisi lelaki itu dan merengkuh lelaku itu dalam pelukannya, sudah lebih dari cukup bagi Jeno. Mendengar nada ceria Jaemin tadi membuat Jeno menyadari bahwa ia bukanlah sumber kebahagiaan Jaemin, meskipun Jaemin akan selalu dan selamanya menjadi sumber kebahagiannya. Sekalipun harus menanggung rasa sakit, Jeno rela asalkan Jaemin bahagia. Biarkan ia mencoba untuk bahagia melalui kebahagiaan Jaemin.

Seseorang mendekatinya, Jeno bisa mendengar langkah kakinya familiarnya. Dan kemudian ia bisa merasakan sesuatu menempel pada keningnya. Sebuah kecupan yang entah kenapa masih saja mampu menghangatkan hati Jeno bahkan ditengah rasa sakit hebat yang ia rasakan.

"Maafkan aku, Jeno-ya"

Bisikan lembut itu membuat sesak dalam dadanya semakin luar biasa.

Dan malam dengan badai salju lebat dilalui seorang Lee Jeno dengan penuh kesakitan.

.

.

Jika saja aku menangis di hadapanmu, apa yang akan kau rasakan?

Jika aku katakan aku tersakiti olehmu, akankah kau meminta maaf?

Akankah kau merasa bersalah?

Apakah akan menyakitimu sama seperti hatiku yang teriris ketika melihat air matamu?

Jika benar, maka aku tidak akan menangis.

Namun ijinkan aku menangis dalam hatiku.

Biarkan aku menangis dalam mimpiku.

Biarkan aku menangis dalam kesepianku.

Biarkan aku menelan semua kesakitanku hingga tak lagi tersisa untukmu.

Serahkan segala luka dan kesedihan padaku agar aku hanya bisa menikmati kebahagiaanmu.

Karena aku mencintaimu, Jaemin-ah.

Melebihi cintaku pada dunia dan diriku sendiri.

Karena aku mencintaimu, aku hanya ingin melihat kebahagiannmu.

.

.

END

Berhubung aku lagi kangen moment NoMin, maka terciptalah ff ini..hehe

Maaf kalau ceritanya aneh, gk jelas, ataupun gk ngefeel sama sekali.. :v

Sebenernya mau lanjutin ff Warm Heart, tapi berhubung ide buat ff itu belum ada.. jadi yaaaaa selingkuh ke yang lain dulu..hehe

Kritik, saran, dan review kalian ditunggu yaaaa~

Mungkin kalau sempet, aku bakalan bikin sequelnya