[Jalan Tanpa Lampu]

.

.

Jeno menghela napas melihat jarum pada jam tangan yang melingkari pergelangannya menunjuk tepat di tengah angka 8 dan 9. Hari sudah malam tapi tidak gelap. Lampu-lampu jalanan sudah dinyalakan, yang mana membuat perjalanan pulang Jeno jadi tidak terlalu sepi. Orang-orang juga masih terlihat berada di luar rumah, entah sedang apa.

Sebenarnya, Jeno tidak terlalu mempermasalahkan ada lampu atau tidak di sana. Toh, dia juga masih bisa melihat jalannya walaupun tidak ada lampu yang menyala sekalipun. Tapi tetap saja sekali-sekali, Jeno pernah asal berkata betapa baiknya jika ada yang dengan itikad baiknya bersukarela menyumbangkan lampu di jalan portal menuju rumahnya.

Mungkin berlawanan dengan kata-kata sebelum ini, tapi entah kenapa, di jalanan yang satu ini benar-benar gelap yang… gelap total. Yang bisa dia lihat tanpa bantuan flashlight hapenya hanyalah lampu rumah yang berada persis di ujung jalan. Jauh. Entah bosan atau takut gelap, Jeno selalu tanpa sadar mempercepat langkahnya kalau sedang berada di jalan itu.

Yah, tapi itu cerita beberapa bulan lalu. Sekarang, sudah tidak lagi.

Hm? Oh, masih belum ada lampu kok. Masih sama gelapnya. Yang berbeda adalah sekarang sudah ada yang membuat Jeno betah melelet-leletkan kakinya.

Jeno menyalakan flashlight hapenya seraya mulai berbelok ke jalan gelap rumahnya.

"Oh, hari ini lebih cepat ya," gumamnya tanpa sadar ketika telinganya mulai mendengar sayup-sayup suara piano dari salah satu rumah di jalan tanpa lampu itu.

Sedikit malu mengakui ini, tapi Jeno sering telat pulang karena sengaja mendengarkan suara piano itu yang selalu terdengar pukul 9 malam. Jeno tahu ada yang namanya youtube, jadi seharusnya dia bisa mencari musik-musik klasik di sana yang dimainkan oleh barangkali pemain yang lebih profesional, tapi… hmm… beda? Entahlah. Dia merasa permainan piano si tetangga ini lebih membuatnya tenang ketimbang suara piano hasil rekaman.

Tapi yang lebih penting adalah Jeno merasa ada sesuatu yang familiar dari suara pianonya. Jeno jadi mengingat-ingat apa memang ada temannya yang bisa memainkan piano, yang juga tinggal hanya berbeda berapa gang dari rumahnya. Hm, tidak terpikirkan satu pun nama yang memungkinkan.

Kepalanya yang tadi tertunduk terbuai perlahan terangkat ketika menyadari suara pianonya tidak terdengar lagi. Dia lihat lagi jamnya. Jam 9 lewat 15 menit. Yah, mulai lebih cepat berarti selesainya juga lebih cepat ya. Pikirnya sambil berbalik badan, ingin melanjutkan perjalanan pulangnya yang tidak panjang. Sekilas dia mendengar suara pagar yang dibuka dari arah belakangnya. Mungkin itu si pemain piano, tapi Jeno putuskan untuk tidak menengok untuk melihat siapa itu. Dia hanya tertarik pada pianonya, bukan orangnya.

Tapi pada akhirnya Jeno mau tidak mau harus menoleh ketika ada yang memanggil-manggilnya dari belakang.

"Hei!" panggil orang itu sambil berlari kecil mengejar. "Ini punyamu?"

Jeno lihat headset putih miliknya ada di genggaman tangan orang itu yang perawakannya lebih mungil dibandingkan dengan dirinya. Iya, tadi dia memang mengenakan headset, tapi dilepas karena ingin mendengarkan piano di sana.

Seharusnya, yang terjadi adalah Jeno langsung menerima headsetnya dan mengucapkan terimakasih, lalu berbalik lagi. Jeno juga pada dasarnya hanya fokus pada benda miliknya yang tertinggal tadi, tapi ternyata tidak demikian dengan orang itu –dia hanya melihat Jeno tanpa berkedip.

Sempat Jeno ingin bertanya, tapi ketika dia perhatikan lagi wajah orang di depannya, dia mendapatkan perasaan yang sama dengan ketika dia mendengarkan suara piano tetangganya –familiar.

"Lee Jeno bukan?" katanya sambil mengacungkan telunjuknya. "Teman sekelas pas SD…."

Ah. Iya. Dia mengenalnya.

"Renjun ya? Huang Renjun?"

Yang ditanya menganggukkan kepala sambil tersenyum, memamerkan gingsulnya.

"Kamu tinggal di sini? Sejak kapan? Aku tidak pernah tahu." Jeno berkata lalu menepuk pundak Renjun pelan. "Rumahku di ujung jalan sana, di kanan jalan."

"Hmm. Aku… bukan baru-baru ini sih pindahnya, tapi aku masih belum pernah jalan-jalan di sekitar sini. Paling hanya ke toko di depan SMP dekat lapangan basket." Renjun mengangkat tangannya sambil menunjuk ke arah yang berlawanan dengan jalan ke rumah Jeno. Jeno hanya mengangguk-angguk mengerti. Memang di dekat rumahnya tidak ada apa-apa, jadi normal kalau Renjun tidak pernah ke sana karena memang tidak ada keperluan.

Jeno lalu bertanya kenapa Renjun keluar rumah. "Oh. Itu, disuruh ibu beli obat."

"Obat? Obat apa?"

Renjun menahan tawa. "Obat gatal. Alergi. Kamu? Habis dari mana?" dia memperhatikan pakaian Jeno yang terlihat sangat ribet dan lengkap –tas, jaket, sepatu bertali. "Tidak mungkin kan kamu baru pulang sekolah?"

"Tidak, lah," jawabnya sambil tertawa pelan. "Dari bimbingan. Tapi aku memang dari sekolah langsung ke tempat bimbingan sih, jadi bisa dibilang aku baru pulang."

Oke, jadi Jeno berkata begitu niatnya ingin membuat Renjun tertawa basa-basi atau yang sejenisnya. Rata-rata, reaksi teman-temannya selalu sama ketika mendengar soal Jeno yang mendekam di tempat bimbingan dari pukul setengah 3 sampai pukul 8 lewat –itupun karena bimbingannya sudah tutup pukul sekian.

Tapi Renjun terlihat begitu bingung.

"Selama itu? Kenapa?" tanyanya. "Kamu juga masih kelas 2, kan?"

Jeno mengangguk. Iya, dia memang kelas 2 SMA.

"…terus kenapa?"

"'kenapa'… apanya?" Jeno tidak mengerti apa yang dimaksud Renjun dengan kenapa. Apa seaneh itu? Teman-temannya juga banyak yang seperti dia, walaupun mereka datang sesuai jadwal saja –Jeno hampir setiap hari. "Tahun depan kita ujian, kan? Jadi ya… aku harus belajar."

Renjun diam. Dia terlihat sedang memikirkan sesuatu, dan itu membuat Jeno sedikit mengingat-ingat apa ada kata-katanya yang salah tadi. "…rajin sekali. Teman-teman di sekolahku semuanya masih santai-santai lho."

"Ya… tiap orang beda kok," balas Jeno, dengan kali ini berusaha agar tidak salah berkata. "Kalau aku, aku serba biasa. Jadi kalau aku tidak bekerja lebih keras dari yang lain… aku jadi benar-benar tidak bisa apa-apa."

Jeno tidak terlalu ingat bagaimana setelah itu, dia tiba-tiba sudah berada di dalam kamarnya. Dia tidak ingat bagaimana mereka akhirnya hanya saling pamit karena masing-masing mereka mempunyai keperluan berbeda. Jeno harus pulang, dan Renjun juga harus membelikan titipan ibunya. Dia tidak ingat bagaimana Renjun membalasi kata-katanya barusan –kata-kata yang lagi-lagi dia yakini adalah salah berkata.

Banyak hal yang dia lupakan dari pertemuannya dengan si teman semasa SD-nya itu setelah sekian lama, sampai akhirnya Jeno merasa tidak perlu untuk mengingat-ingat.

Tapi ada satu hal yang terasa mengharuskannya mengingat ketika dia sadari setelah beberapa hari, dia tidak pernah mendengar suara piano dari rumah di jalan gelap itu lagi. Jeno lalu menyeret kakinya pulang.

.

.

TBC

a/n. bismillah bakal selesai dua chapter! Aku lagi writer block huhu

ini isinya bakalan hasil dari ngobrol2ku sama temen-temen pas mau UN kemaren haha please look forward to it!