Jaehwan tertawa sangat keras diikuti yang lain. Hyunbin sendiri hanya memasang ekpresi datarnya. Tidak mengerti kenapa teman-temannya tertawa. Memangnya ia tampak seperti sedang melawak?

"Ah ya ampun, Bin," Jaehwan menyeka air matanya yang keluar. "Sungguh. Ceritamu lebih lucu dari lawakan Seongwoo."

Seongwoo spontan berhenti tertawa. "Ya! Bagaimana bisa ini lebih lucu dari lawakanku?"

"Lawakanmu itu garing sekali, Ong!" Jujur Jaehwan.

"Kalau garing kenapa kau selalu tertawa?" Tanya Seongwoo tidak terima.

"Aku hanya menghargaimu."

"Sialan kau." Dengan cepat Seongwoo berpindah ke sebelah Jaehwan, memiting leher lelaki itu.

Keempat orang lain tertawa melihat kedua orang yang sekarang saling memiting itu. Hangat yang mereka rasakan jauh lebih terasa daripada hawa dingin di tepi pantai itu, yang bahkan tidak mampu untuk memasuki suasana yang mereka ciptakan.

Hyunbin sudah sering menghabiskan banyak waktu untuk bermain. Namun, untuk kali ini ia merasa waktunya ia habiskan dengan hal yang berguna.

Memahami satu sama lain.

.

.

.

.


THE SHAPE OF LOVE

Main Cast:

Kim Jonghyun, Hwang Minhyun, Ong Seungwoo, Kim Jaehwan, Kang Daniel, Kwon Hyunbin.

Other Cast:

Kim Taedong, Kim Donghan, Lee Seokhoon

Pair:

MinHyunbin, OngNiel, Howons

Genre:

Friendship, Romance, Slice of Life.


This is just fanfiction

Saya hanya meminjam nama tokoh dari Justice League.

(Chapter ini full tentang flashback masa SMA Hyunbin)

.

.

.

.

.


Chapter Eight

"Satu Titik Melihat Pelangi"


"Cepatlah! Jangan lama-lama!"

"Iya iya, ini aku sedang berusaha."

"Sebelum ketahuan Kim ahjussi, nih!"

"..."

"Aduh lama sekali!"

"Ah berisik, kau! Aku tidak bisa berkonsentrasi nih!"

Akhirnya Taedong bungkam. Hyunbin kembali melakukan kegiatannya setelah sebelumnya terganggu oleh sahabatnya itu. Setelah membutuhkan waktu 2 menit, akhirnya pintu gerbang belakang sekolah berhasil ia buka. Hyunbin langsung berbalik, melakukan high five dengan Taedong. Setelahnya mereka mengendap keluar dan mengunci kembali pintu tersebut menggunakan gembok yang sebelumnya di bobol oleh Hyunbin.

Keduanya berlari hingga sampai di jalan besar. Kemudian tertawa karena berhasil membolos. Mereka sebenarnya sudah sering melakukan kegiatan yang tak patut dicontoh itu. Dan mereka selalu melompati pagar sekolah untuk keluar. Namun, karena sering ketahuan oleh penjaga sekolah, maka mereka memilih jalan lain. Yaitu melewati gerbang belakang sekolah yang jarang dijaga karena pintunya dikunci dengan gembok serta pagar di sekelilingnya yang tingginya bukan main.

"Ayo saatnya meluncur!" Ajak Taedong sambil merangkul Hyunbin.

"Ayo!" Teriak Hyunbin kemudian kembali berlari bersama Taedong.

Saat ini mereka sedang berada di depan layar berbentuk persegi panjang. Dengan tangan sibuk menari di atas keyboard atau menggerakkan mouse. Sudah menjadi kebiasaan untuk kedua lelaki tingkat menengah atas itu menghabiskan waktunya di warnet. Melakukan hal yang membuat mereka senang.

"Taedong, setelah ini mau kemana?" Tanya Hyunbin tanpa mengalihkan pandangannya dari game di layar komputernya.

"Kemana, ya?"

"Kau ini, mengajakku membolos tapi tidak ada rencana apapun!"

"Ya! Membolos itu tidak bisa direncana. Kita hanya perlu mengikuti alur saja supaya menyenangkan," ujar Taedong membuat Hyunbin melongo mendengarnya.

"Bagaimana kalau pergi ke taman bermain?" Usul Hyunbin.

"Aku tidak mengerti kenapa kau sangat suka pergi kesana. Taman bermain itu asyik kalau perginya bersama kekasih-" Taedong langsung menghentikan kegiatannya, membuat kedua tangannya kini melayang di atas keyboard. Kemudian menoleh ke arah Hyunbin. "Kau tidak berniat menjadikan aku kekasihmu, kan?"

Hyunbin tersedak air liurnya sendiri. Mempause gamenya kemudian menoleh ke Taedong. "Yang benar saja! Kau pikir aku gila mengencanimu? Aku lebih suka memilih Donghan daripada kau!"

"Ya! Donghan milikku!"

"Terserah kau saja! Jadi mau kemana kita?"

Taedong tampak berpikir. Kemudian menjentikkan jarinya.

"Ayo kita lanjut bermain di kosku."

"Oke!"

Taedong dan Hyunbin melanjutkan kegiatan membolosnya. Bagi mereka hal utama dalam membolos adalah bersenang-senang.

Atau mungkin hal utama dalam hidup mereka adalah bersenang-senang.


Hyunbin diam memperhatikan wali kelasnya yang sedang membolak-balik berkasnya.

"Kau sudah berulang kali membolos. Poin penguranganmu banyak sekali, padahal sebentar lagi kau naik kelas tiga." Ujar Lee Seokhoon -Wali Kelas Hyunbin.

Hyunbin hanya mengangguk santai. Ia menyadari hal itu tentunya.

Seokhoon mendongak menatap muridnya itu. Saat ini dirinya sedang membuka konsultasi untuk murid-muridnya. "Kau tidak berniat untuk kuliah?"

Hyunbin tampak berpikir. "Aku juga ingin kuliah."

"Kalau begitu kemana universitas yang ingin kau masuki?" Tanyanya lagi.

"Universitas manapun yang mau menerimaku. Aku bisa ke universitas swasta yang tidak memerlukan tes." Jawab Hyunbin masih dengan nada santainya.

"Kau tidak ingin masuk ke universitas negeri atau ternama?"

"Tidak." Hyunbin menjawab cepat membuat Seokhoon terdiam sejenak. "Aku masih ingin bersenang-senang, Ssaem. Kalau aku masuk ke universitas bagus, pasti waktuku akan habis hanya untuk mengerjakan tugas dan tugas,"

Seokhoon menghela napas. "Apa kau punya impian?"

Hyunbin terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Impian? Selama ini apa impiannya?

Seokhoon yang menyadari perubahan sikap Hyunbin itu akhirnya mencoba bertanya kembali. "Atau ada sesuatu yang ingin kau lakukan nantinya?"

"Aku... hanya ingin hidup biasa-biasa saja. Bermain, bersenang-senang, tidak melakukan hal yang terlalu keras,"

"Lalu apa kau tidak ingin merubah hidupmu menjadi menarik dan berwarna?"

"Bagiku, hidupku sekarang sudah menarik dan berwarna."

Seokhoon menatap serius muridnya itu. "Tidak, Hyunbin. Hidupmu hanya berputar di tempat yang sama. Kau menggerakkan roda kehidupanmu, tetapi kau hanya terus bergerak dan kembali lagi ke tempat semula. Kau tidak pernah mencoba melakukan sesuatu dengan hambatan di depanmu. Kau hanya membiarkannya dan melewatinya tanpa pernah mengubah roda kehidupanmu."

Hyunbin kembali diam. Membuat gurunya itu berpikiran jika kalimat yang ia lontarkan tak bisa dimengerti oleh muridnya itu. Faktanya pemikirannya salah. Hyunbin mengerti. Sangat mengerti bahwa hidupnya terlalu monoton. Hanya saja ia terlalu malas untuk mengubah kehidupannya. Ia tidak mau ambil pusing dengan terlalu banyak memikirkan tentang hidupnya. Ia hanya ingin hidupnya tenang tanpa ada masalah.

"Ssaem sendiri, apa impianmu? Apa setiap orang harus mempunyai impian?" Kali ini Hyunbin bertanya.

Wali Kelasnya itu tersenyum ramah. "Iya, Hyunbin. Tiap orang mempunyai impian. Hanya saja banyak dari mereka yang belum bisa menemukan impian itu sendiri."

Hyunbin mengernyitkan dahinya tidak mengerti. "Maksudnya bagaimana, Ssaem?"

"Banyak orang di luar sana yang hidup tanpa tujuan dan arah. Mereka hanya hidup mengikuti alur kehidupan yang ada. Nyatanya mereka sedang mencari arti hidup yang sebenarnya. Orang-orang seperti itulah yang belum menemukan impiannya." Jelasnya.

"Jadi... aku juga seperti itu?"

Seokhoon menggangguk. "Ya, kau hanya belum menemukan impianmu." Kemudian menepuk bahu Hyunbin. "Jika kau sudah menemukan arti hidupmu, maka kau juga akan menemukan impianmu,"


Hyunbin terus melangkahkan kakinya. Memandang bayangannya sendiri yang tercipta dari semburat oranye langit. Pikirannya melayang entah kemana. Sayup-sayup terdengar keributan di dekatnya. Hyunbin mengangkat kepalanya, menoleh pada lima orang lelaki yang berdiri di depan sebuah restoran. Hyunbin pikir ada keributan, ternyata mereka hanya tengah asyik berbincang.

"Apa tidak ada ronde kedua?" Tanya lelaki yang terlihat paling kurus diantara mereka.

"Yang benar saja, ini sudah hampir gelap." Jawab lelaki yang sepertinya paling tinggi.

"Hanya hari ini, Minhyun-a. Besok kan kita sudah sibuk mempersiapkan untuk awal perkuliahan,"

Lelaki itu tampak menimang saran temannya.

"Lagipula tiga hari lagi Aron hyung akan kembali ke LA." LA? Hyunbin tidak bermaksud menguping, hanya beberapa kata yang terdengar jelas saja membuat dirinya tertarik mendengarkan.

"Kau tidak mau menghabiskan waktumu dengan Aron hyung? Ah, atau kalian mau kencan berdua?" Kali ini lelaki berbadan kekar yang bicara. Tampak seperti menggoda dua orang lainnya.

Hyunbin hanya menggelengkan kepala malas. Jika sudah menyangkut percintaan, Hyunbin menjadi tidak tertarik mendengarkan lagi. Padahal ia berharap melihat kesenangan orang-orang yang akan menjalani masa perkuliahan.

Hyunbin kembali melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. Pikirannya kembali terisi dengan permasalahannya belakangan ini. Hingga tidak merasakan kehadiran seorang lelaki yang berjalan berdampingan dengannya.

"Jika kau melihat ke bawah terus, kau bisa menabrak tiang,"

Hyunbin menoleh cepat. Menemukan lelaki paruh baya yang tengah menatapnya teduh.

"Ayah juga baru pulang?"

Lelaki yang merupakan ayah Hyunbin itu menepuk punggung anaknya dengan santai.

"Ayah baru saja membelikan beberapa makanan untukmu." Jawabnya sambil mengangkat plastik yang sejak tadi dibawanya.

"Ey hari ini Ayah juga tidak akan memasak?" Tanya Hyunbin dengan ekspresi malasnya.

Lelaki pemilik marga Kwon itu tertawa renyah. Beberapa hari ini dirinya memang tidak memasak makan malam untuk anaknya itu. Banyaknya pekerjaan yang menumpuk membuatnya tidak sempat untuk sekedar menyiapkan makan malam. Tidak dapat dipungkiri menjadi orang tua tunggal sangatlah melelahkan, tetapi ia menikmati perannya menjadi seorang ayah yang baik.

"Sesekali harusnya kau yang menyiapkan makan malam untuk Ayahmu ini. Ayah kan sibuk di kantor. Lagipula kau juga sering pulang lebih awal dari Ayah kan?"

"Waktu itu kan Ayah bilang aku tidak usah memasak." Bela Hyunbin.

"Itu karena kau seperti akan membuat dapur kebakaran." Ucapnya sambil menerawang mengingat kejadian lalu dimana Hyunbin membuat telur dadar, tetapi yang terjadi kemudian dia meninggalkan telur itu di atas penggorengan dengan kompor menyala. Alhasil bau gosong tercium di seluruh inci bagian rumahnya.

"Waktu itu aku kan mendapat telepon dari Taedong. Jadi aku lupa kalau sedang menggoreng telur." Ucap Hyunbin sambil menggaruk lehernya kikuk dengan cengiran yang tercetak di wajahnya.

Ayahnya menggeleng heran dengan senyuman maklum terpatri di wajahnya. "Ah iya, sudah lama anak itu tidak datang kerumah. Apa dia terlalu sibuk mengejar cita-citanya sampai tidak sempat datang berkunjung?"

Bukan hal yang aneh bila Ayahnya bertanya mengenai Taedong. Sejak lama mereka sering sekali saling berkunjung ke rumah masing-masing. Meskipun Taedong tinggal di sebuah kos, tetapi Hyunbin sendiri sudah beberapa kali pergi ke rumah sahabatnya itu ketika liburan.

Kembali ingatan tentang pembicaraannya dengan Wali Kelasnya terngiang. Impian? Apa Taedong dan Ayahnya sendiri juga mempunyai impian?

"...Ayah?" Yang dipanggil menoleh dengan ekspresi bertanya. "Apa kau dulu mempunyai impian?"

Lelaki dengan umurnya yang sudah berkepala empat itu mengerutkan dahinya bingung. Namun, melihat ekspresi anaknya yang serius -tidak seperti biasanya- membuatnya mengerti.

"Tentu saja, anakku. Bahkan hingga sekarang Ayahmu ini masih mempunyai impian."

Hyunbin tidak bisa menutup ekspresi terkejutnya. "Benarkah? Meskipun sekarang Ayah sudah tua?"

Sang Ayah langsung memukul belakang kepala Hyunbin. "Kau ini seenaknya menyebutku tua. Meskipun sudah tua pun setiap orang masih berhak mempunyai impian,"

Hyunbin meringis, mengelus belakang kepalanya yang terasa sedikit berdenyut-denyut. "Memangnya apa impian Ayah?"

Yang lebih tua tersenyum, menampilkan wajah cerah yang masih dapat terlihat di umurnya itu.

"Impian Ayah adalah membuatmu bahagia, Kwon Hyunbin."

Hyunbin tertegun. Maniknya masih terfokus pada wajah Ayahnya. Wajah yang sarat akan kelelahan, tetapi terdapat cahaya disana. Cahaya kebahagiaan yang belum pernah Hyunbin temukan sejak Ibunya meninggal.

"Ah sudah sampai rupanya. Sepertinya kita harus sering-sering pulang bersama jika seperti ini," candanya yang kemudian membuat langkah Hyunbin ikut terhenti.

Tatapannya yang semula mengarah pada rumah sederhana itu kini beralih ke punggung Sang Ayah. Punggungnya lebar nan tampak kokoh. Hyunbin bisa merasakan kerja keras yang selama ini dilakukan oleh Ayahnya. Jika seperti itu, apa yang sebaiknya ia lakukan untuk membalas semuanya?


"Taedong..."

"Hm?"

Hyunbin menghela napas, ragu untuk melontarkan pertanyaannya. "...Apa kau mempunyai impian?"

Taedong menoleh cepat. Atensi yang sebelumnya tertuju pada ponsel kini beralih pada Hyunbin yang sama sekali tidak menatapnya.

"Kenapa tiba-tiba kau bertanya seperti itu?" Tanyanya dengan kerutan di dahinya.

"Kulihat semua anak di kelas ini mempunyai impian. Aku hanya memastikan apa hanya aku yang sama sekali belum memiliki impian,"

Taedong tampak tersentak. Kemudian matanya mengedar. Memandang teman-temannya yang serius mendengarkan penjelasan guru di depan.

"Kupikir hanya kita."

Hyunbin akhirnya menoleh ke sebelah. Menatap Taedong yang menampilkan ekspresi sedihnya.

"Kau juga tidak -eh maksudku belum mempunyai impian?"

"Bukannya belum punya. Tapi... aku tidak yakin bisa menggapai mimpiku,"

Hyunbin mengernyit tidak mengerti. "Kenapa?"

"Kau tahu sendiri aku bagaimana. Terlebih aku tidak terlalu pintar, tidak mudah untukku bisa masuk ke jurusan broadcasting." Ucapnya pelan dengan senyum mirisnya.

Hyunbin memilih diam, tidak berniat mengorek lebih dalam keinginan Taedong. Satu hal yang ia ketahui. Taedong ingin menjadi seorang sutradara.

"Kau mau menggapainya?"

Taedong menoleh cepat. Meskipun pertanyaan Hyunbin terdengar seperti gumaman, tetapi ia masih bisa mendengar dengan jelas.

"Kurasa ini belum terlambat. Jika kita belajar keras seperti yang lain, setidaknya kita bisa menemukan satu titik harapan." Ungkap Hyunbin masih terdengar seperti sebuah gumaman.

Taedong?

Dia melongo. Tidak menyangka bahwa Hyunbin bisa mengucapkan kata-kata seperti itu.

"Apa sekarang otakmu sudah bisa digunakan?"

Hyunbin menatap tajam Taedong. Tidak terima dengan olokan itu, ia mencubit pinggang temannya, membuat sang empunya terlonjak kaget dan kemudian membalas dengan memukul belakang kepala Hyunbin.

Pada akhirnya mereka tidak melakukan rencana mereka hari itu. Mereka tetap bersenang-senang seperti biasa.

"Kwon Hyunbin! Kim Taedong! KELUAR DARI KELAS!"

...Setidaknya untuk hari ini saja.


Taedong dan Hyunbin menatap datar pemuda yang kini memegang perutnya. Lelaki di depan mereka menyeka air matanya. Sesekali ia tidak bisa menahan tawanya.

"Apa keseriusan kita terlihat seperti lelucon bagimu, Tuan Kim Donghan?" Tanya Hyunbin sarkastis.

Lelaki bernama Donghan itu menggeleng lemah, masih tidak bisa meredakan tawanya. "Tidak, bukan begitu. Hanya saja aku tidak habis pikir, kenapa kalian tiba-tiba ingin belajar? Kesambet apa?"

"Terkutuklah kau, Kim Donghan." Umpat Hyunbin sambil memiting leher lelaki tinggi tersebut.

"Aish... sudahlah. Jadi, kau mau membantu tidak?" Pertanyaan Taedong akhirnya menghentikan aksi Hyunbin.

Donghan tampak berpikir. Kemudian mengangguk antusias. "Tentu saja. Asalkan kali ini kalian benar-benar serius ingin belajar."

Keduanya turut mengangguk. Kali ini anggukan mantap dari dua temannya itu tidak bisa membendung lagi tawanya.

Donghan adalah penerima peringkat pertama di kelas mereka. Sedangkan Hyunbin dan Taedong adalah penerima peringkat satu dan dua terakhir dari bawah. Oleh karena itu, Hyunbin dan Taedong meminta bantuan pada lelaki itu untuk membantu mereka belajar.

Terkadang banyak murid lain yang mempertanyakan proses terjadinya pertemanan mereka. Bagaimanapun juga Donghan dan kedua orang itu bagaikan bumi dan langit. Sangat berbeda. Mereka tidak tahu bahwa ketiganya sama-sama cocok dalam hal lain selain urusan sekolah.

Saat ini, di hari minggu yang cerah, ketiga pelajar yang hampir menginjak kelas tiga itu tengah berkutat dengan buku-buku pelajaran. Raut muka serius sangat kentara di wajah masing-masing. Donghan sebenarnya masih tidak percaya dengan perubahan drastis kedua sahabatnya. Namun, ia tidak terlalu peduli, karena apa yang ia lihat sekarang sudah cukup untuk membuatnya percaya.

"Apa Matematika selalu sesusah ini?" keluh Taedong masih tetap menatap bukunya yang dipenuhi berbagai rumus. "Kenapa banyak sekali rumusnya?"

"Kalau kau banyak mengeluh kau tidak akan berubah, Kim Taedong!" Ungkap Donghan yang serius menatap pekerjaan temannya itu.

"Memangnya yang seperti ini akan berguna untuk perkuliahan nanti?" Taedong bertanya kembali, masih dengan kalimat keluhan yang kentara.

"Tentu saja. Apalagi kalau kau masuk ke jurusan teknik."

"Kurasa aku akan cepat tua sebelumnya waktunya," ujar Taedong sambil mengacak rambutnya frustasi. Ia menoleh pada Hyunbin yang tampak serius menulis, "Kau tidak stress, Bin?"

Tak ada sahutan. Donghan yang sudah sibuk dengan bukunya ikut memandang Hyunbin. Merasa ada yang mencurigakan, ia mendekat. Ekspresinya berubah kaget, membuat rasa penasaran Taedong membuncah dan ikut mendekati temannya itu.

Setelahnya, suara tawa Taedong menggema. Hyunbin tiba-tiba sudah berguling mengelus kepalanya yang dipukul oleh Donghan.

"Ya! Ini sakit! Kalau aku jadi bodoh bagaimana?!" Hyunbin masih terus mengaduh kesakitan dengan perpaduan tawa Taedong.

"Siapa juga yang menyuruhmu bermain-main?!" Donghan membalas tidak kalah keras, "ini juga kenapa kau malah menggambar yang tidak jelas?"

"Pantas saja sejak tadi tidak ada keluhan dari Hyunbin. Rupanya..." Taedong kembali tertawa, dan Donghan langsung memukul lengannya, membuatnya spontan berhenti tertawa.

Donghan menghela napas panjang. Kemudian menatap kedua sahabatnya bergantian. "Aku tanya lagi. Kalian serius tidak sih mau berubah?"

Keduanya mengangguk pelan.

"Kalau serius, ayolah serius juga belajarnya! Kalau seperti ini saja kalian mengeluh, kedepannya kalian mau bagaimana? Masa SMA masih bukanlah apa-apa. Jika kalian keluar nanti, kuliah atau kerja, kalian tidak bisa bersikap seperti ini lagi!" Donghan kembali menarik napas, memberi jeda pada perkataannya, "...dunia tidak sesederhana itu."

Hyunbin dan Taedong tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Tidak memikirkan kenapa Donghan bisa berbicara layaknya orang dewasa yang sudah berpengalaman.

Beberapa menit terlewati dengan keheningan. Donghan juga hanya menatap kedua temannya. Menunggu gerakan yang dilakukan oleh mereka.

"...Maaf." Satu kata akhirnya terlontar dari mulut Hyunbin.

Donghan kembali menghela napas. "Jadi kalian mau serius?"

Keduanya mengangguk mantap.

"Aku akan berhenti membantu jika kalian masih tetap bermain-main." Ucap Donghan tegas.

Keduanya kembali mengangguk. Donghan menyunggingkan senyumnya kemudian kembali mengajari kedua temannya dengan telaten.

Hari itu mereka kembali memulai kesungguhan mereka. Bukan hanya melalui ucapan, tetapi melalui tindakan.


Ujian akhir tinggal menghitung hari. Siswa-siswi sudah banyak mempersiapkan ujian akhir tersebut. Meskipun ujian masuk universitas sudah terlewati sehingga hanya tersisa ujian khusus, tidak membuat semangat mereka luntur untuk menghadapi ujian terakhir di jenjang menengah atas.

Ketiga sahabat yang selalu belajar bersama setahun belakangan itu tengah duduk manis di kantin sekolah. Meskipun mereka juga sedang mempersiapkan untuk ujian, bukan berarti mereka meninggalkan pemenuhan gizi tubuh.

Hyunbin menguap lebar, "Hoam... kenapa hari ini aku ngantuk sekali ya?"

"Padahal sudah biasa kau begadang, kan?" Taedong membalas sambil membuka kaleng minumannya.

"Benar juga." Hyunbin menjatuhkan kepalanya di atas meja. "Tinggal satu lagi dan semuanya selesai."

"Masih ada ujian khusus, Bin, jika kau tidak lolos ujian masuk bersama," ujar Taedong kemudian meneguk minumannya.

"Semangat teman-teman! Kita sudah berada di ujung kerja keras selama setahun ini," Donghan mengepalkan tangannya ke atas, membuat Taedong terkekeh.

"Sudah setahun ya..." gumam Hyunbin kemudian memejamkan matanya.

Ingatannya tentang peristiwa satu tahun belakangan ini berputar dengan baik di otaknya. Setiap hari ia dan kedua sahabatnya itu belajar dengan keras. Entah di sekolah ataupun di rumah, pagi, siang, dan malam semua waktu tergunakan dengan belajar. Mereka juga mengikuti les khusus untuk masuk perguruan tinggi. Waktu mereka benar-benar habis untuk belajar. Hingga terkadang ia mendapat teguran dari Ayahnya karena melupakan makan.

Tidak ada lagi kegiatan membuang waktu dengan bersenang-senang. Ia dan Taedong juga sudah berhenti membolos. Hingga membuat murid lain bahkan guru menggelengkan kepala tidak percaya.

Kedua sahabat yang dulunya selalu menganggap mudah sekolah, kini benar-benar serius. Mereka memang tidak bisa masuk universitas dengan nilai rapor, tetapi mereka bisa berjuang di ujian yang tentunya lebih sulit hingga tidak sedikit murid yang mengalami stress.

Apakah sekarang ia sudah menemukan impiannya?

Entahlah. Hyunbin hanya sedang berusaha keras untuk masuk universitas dengan jurusan yang menjanjikan di masa depan. Tidak pernah berpikir apakah jurusan tersebut sesuai dengan bakatnya atau tidak.

"Karena kita semua memilih universitas yang sama, kuharap kita semua juga lolos kesana," ujar Donghan.

"Pasti akan sangat menyenangkan jika kita tetap bersama-sama saat kuliah," Taedong menyahut dengan diselingi tawanya.

Hyunbin mengangkat kepalanya, "Malas sekali harus melihat kalian setiap saat!"

Donghan langsung memukul belakang kepala Hyunbin. "Kau ini tidak tahu terima kasih!"

Taedong tertawa semakin keras, cukup untuk membuat murid lain memandang aneh dirinya.

"Aku kan hanya bercanda." Hyunbin mengusap belakang kepalanya. "Tapi... apa mungkin saat kuliah nanti kita masih bisa seperti ini?" Tanyanya pelan.

"Tentu saja. Meskipun nantinya kita menemukan teman baru, kita harus ingat satu sama lain." Balas Taedong cepat. "Apa yang kita lakukan di umur yang masih belasan ini harus selalu diingat sebagai sebuah kenangan indah. Meskipun satu tahun ini kita habiskan full dengan belajar, tapi... kita melakukannya bersama. Berjuang bersama."

Untuk sejenak semuanya diam, tersenyum, dan meresapi apa yang mereka lalui selama ini. Tidak ada yang menimpali perkataan Taedong yang terbilang sangat tidak biasa. Jika nantinya mereka tidak lolos, mereka tidak akan menyesali usaha yang telah dilakukan. Karena usaha yang mereka lakukan adalah langkah awal yang sebenarnya. Gagal bukan berarti menyerah, tetapi sebuah semangat untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan.

Terlebih mereka adalah laki-laki. Sosok yang suatu saat nanti akan menjadi tulang punggung keluarga. Jika di umur mereka yang masih belia ini mereka sudah menyerah, maka sama saja mereka juga menyerah dengan kehidupan di dunia ini.

"Hah, aku sudah tidak sabar dengan ujian akhir," seru Donghan yang tengah merenggangkan otot-ototnya.

Taedong berdiri dengan mata tertuju pada kedua temannya. "Baiklah, ayo kita lanjutkan perjuangan kita!"

Dan kembali meja mereka menjadi pusat perhatian murid lain di dalam kantin.


Senyuman Hyunbin merekah kala merasakan terpaan angin pada wajahnya. Ia memejamkan matanya, menikmati sensasi yang sudah lama tidak ia rasakan. Kedua lengannya ia bentangkan, membiarkan angin menggoyang-goyangkan jaket hitamnya.

Sudah satu tahun ia tidak merasakan segarnya udara. Ia terlalu sering merasa sesak napas karena terlalu lama berada di ruang tertutup dengan buku di depan matanya.

Tiba-tiba sebuah suara menganggu -kegiatan merasakan udara segarnya.

"Ya! Kwon Hyunbin! Kau bisa terjatuh jika terus memejamkan mata! Apalagi kau tidak memegang setirmu!" suara teriakan Donghan dari samping kanannya membuat telinganya berdengung sesaat.

Kini terdengar suara tawa Taedong di samping kirinya. "Biarkan saja, Donghan-a! Dia sedang merasakan dinginnya udara musim dingin,"

"Tapi kalau terjatuh dari sepeda bagaimana -ah sudahlah aku tidak mau tahu!" seru Donghan kemudian mengayuh pedal sepedanya lebih cepat.

Saat ini ketiganya sedang bersepeda di tepi Sungai Han. Merilekskan tubuh dan pikiran yang sudah setahun ini mereka gunakan untuk belajar.

"Ya! Kau benar-benar akan bersepeda seperti itu?" Tanya Taedong diselingi tawanya.

"Hm."

Taedong menggelengkan kepalanya heran.

Sejenak hanya suara pedal sepeda dikayuh pelan yang terdengar oleh Hyunbin. Ia tidak terlalu peduli apakah Taedong masih di sampingnya atau tidak. Ia hanya ingin menenangkan pikirannya.

"Kau tahu..."

Suara Taedong kembali menggelitik gendang telinganya. Namun, kali ini terdengar pelan dan dalam. Rupanya lelaki itu masih berada di sampingnya.

"...tadinya aku sudah menyerah dengan impianku," ada jeda sejenak yang membuat Hyunbin penasaran, "tapi... kau berhasil membuatku bersemangat lagi."

Hyunbin masih diam, mendengarkan.

"Aku tidak pernah menyangka usaha kita setahun ini tidak sia-sia. Kita... berhasil masuk ke universitas yang sama." Taedong tertawa pelan. "Aku benar-benar bahagia sekarang."

Pada akhirnya Hyunbin tidak bisa mengabaikan Taedong. Ia membuka matanya, jalanan lurus terlihat di depannya. Punggung Donghan juga masih terlihat tidak jauh. Ia menurunkan lengannya, mensejajarkan keduanya di atas setir sepeda.

"Apa sebahagia itu ketika kau berhasil menggapai impianmu?"

Taedong menolehkan kepalanya ke arah Hyunbin. Mengamati ekspresi sahabatnya, kemudian kembali fokus pada jalanan.

"Aku baru maju selangkah untuk impianku. Perjalanan yang harus kutempuh masih jauh," Hyunbin tetap memasang telinganya, "tapi... ketika kau sudah menemukan satu titik harapan, maka rasa bahagiamu jauh lebih besar daripada saat kau memenangkan permainan."

Hyunbin mengernyitkan dahinya. Rasanya ia pernah mendengar hal seperti itu.

"Aku tahu kau masih belum menemukan impianmu, tapi jangan menyerah! Seiring berjalannya waktu aku yakin kau akan mendapat satu titik itu di jiwamu,"

Hyunbin tertegun. Perlahan bibirnya melengkung membentuk sebuah senyuman.

"Kurasa sekarang aku benar-benar jatuh cinta padamu, Kim Taedong." Ungkapnya sambil mengedipkan sebelah matanya genit.

Taedong bergidik ngeri, kemudian mengayuh pedal sepedanya lebih kuat. Tak lupa memukul belakang kepala Hyunbin hingga sang empunya hampir oleng.

Donghan yang merasakan suara roda semakin mendekat, menoleh ke belakang. Menemukan Taedong yang tertawa sambil mengayuh sepeda dengan cepat dan juga Hyunbin yang tampak bersemangat mengejarnya. Donghan pun tersenyum lebar kemudian kembali menatap ke depan.

Sore itu, ketiganya saling mengejar dengan menggunakan sepeda. Tawa mereka seperti sebuah perasaan lega bercampur rasa bahagia. Mereka berada di titik awal roda kehidupan yang sesungguhnya. Semakin lama akan terus berputar mengikuti pilihan yang mereka buat.


Keyakinan adalah awal dari cinta.

-Kwon Hyunbin-


"Lihatlah! Mereka sudah besar tapi seperti anak kecil," cibir seorang pemuda yang duduk di bangku tepi Sungai Han.

Seseorang yang duduk di sebelahnya tertawa. "Biarkan saja, sepertinya mereka anak SMA. Mungkin sedang menikmati liburan,"

Pemuda tadi menatap tidak suka pada temannya itu. "Di cuaca yang dingin begini? Bermain sepeda? Kau sama gilanya dengan mereka, Kang Daniel."

Daniel kembali tertawa. "Kau terdengar seperti mengkhawatirkan mereka, Seongwoo-ya."

Seongwoo hanya memutar bola mata jengah dan Daniel terkekeh melihatnya. Kemudian lelaki berambut honey brown itu kembali menatap tiga sahabat yang masih asyik bermain sepeda. Matanya menelusuri sekitar. Hari ini tempat itu tidak terlalu ramai. Hanya beberapa anak muda yang sedang berjalan atau duduk seperti dirinya. Matanya berhenti pada lelaki yang sedang larut dalam permainan gitarnya sendiri. Sesekali lelaki itu bernyanyi mengikuti alunan musiknya.

"Suaranya bagus." Gumam Daniel yang masih fokus memandangnya.

"Siapa yang kau maksud?" Tanya Seongwoo mengikuti arah pandang Daniel. "Oh itu Hwang Minhyun."

Daniel mengerutkan dahinya bingung. "Mana?"

"Itu yang sedang berjalan di belakang pengamen," tunjuk Seongwoo menggunakan dagunya.

Matanya berpindah ke belakang objek yang sebelumnya ia lihat. Ada dua lelaki yang tengah berjalan bersama. Itu Minhyun dan Jonghyun -teman satu klubnya. "Ah benar. Mau menyapa?"

Seongwoo menggeleng, "Tidak perlu. Kita tidak cukup dekat untuk menyapa mereka. Lagipula aku yakin dia tidak mengenalku,"

"Tumben. Biasanya kau suka menyapa siapapun yang kau kenal,"

Seongwoo tersenyum penuh arti. "Pengecualian untuk yang satu ini. Kesan pertamanya padaku haruslah bagus,"

Daniel hanya mengangguk paham. Ia sangat tahu bahwa lelaki di sebelahnya itu sangat ingin berteman dengan Hwang Minhyun.

Entah kenapa Daniel merasa ada yang aneh dengan dirinya. Seperti sebuah rasa tidak terima yang tiba-tiba datang.

Mungkin itu rasa cemburu?

.

.

.

.

.

.

.

.

.

To be continued...


Halohaa saya kembali... ada yang masih stay baca ff ini?

Selamat Hari Lahir Ong oppa. Tadinya mau update ff ini sekalian pas ultahnya kemarin ini. Tapi malah ada halangan jadi updatenya baru bisa hari ini

Selamat Wanna One makin sukses aja sih. Sewoon juga tisernya udah keluar, aw aw. Nunggu debutnya dia sama JBJ yang makin hari makin kocak. Sama RAINZ yang perpaduan membernya bagus banget.

Terima kasih buat yang udah fav fol review

Tolong tetapkan tinggalkan review. Bagi author manapun tuh yang terpenting reviewnya. Saya sendiri pun lebih menghargai yang ninggalin review daripada cuma asal fol fav.

Sekian. Terimakasih

2017/8/26