Angin malam musim dingin yang menusuk tulang sudah tiada kuasa untuk mengusir pria bertubuh pendek itu dari dek kapal di ruang terbuka. Sepasang bola mata tajam itu menatap layar ponsel dengan penerangan rendah, hitung-hitung sebagai salah satu bentuk menjaga kesehatan mata. Tetapi, bukan itu tujuannya dari menatap layar ponsel itu— apalagi sampai menatapnya begitu lekat, sampai-sampai menolak keberadaan komponen abiotik yang berkutat di sekitarnya. Oh, siapa sangka kalau ternyata ia sedang meratapi— atau merenung dengan hati yang diselubungi kegalauan? Mungkin ada yang menyangka, namun nyatanya tidak begitu juga.

Nama Eren Jeager terpampang jelas di layar ponsel tersebut bila dilihat dari jarak dekat— itulah nyatanya. Tanpa seseorang yang mengetahui, pria yang bernama Levi itu kini tengah merasa, 'Oh, aku akan benar-benar memberimu tendangan keras kalau kau masih hidup'— Yah, namanya juga manusia yang lebih banyak menyalahkan dari pada membenarkan. Juga, siapa yang tahu apa penyebabnya, sampai-sampai ia menjadi seperti ini?

Tubuhnya bersandar pada pagar besi lapis nikel yang temperaturnya kurang dari 273 Kelvin, masih memasati tiap-tiap huruf yang membentuk kalimat-kalimat percakapan yang pernah terjadi. Ia menghela napas, dipikirnya pula apa yang membuatnya justru bersikap dingin pada gadis itu— Petra Ral.

'Saya yakin Anda akan jatuh padanya dalam waktu yang singkat. Mikasa bukan perempuan seperti yang kebanyakan.'

Hah, jika ditanya 'Siapa tunangan yang menjodohkan tunangannya dengan orang lain?', Levi bisa langsung menjawab, 'Si bodoh Eren Jeager'. Entah apa motifnya, lelaki itu meminta Levi untuk melakukan sebuah permintaan penting sekaligus terakhir darinya— uniknya, semua terjadi tepat sebelum ia meninggal. Pikiran Levi mulai mengada-ada, 'Apa semuanya memang sudah di rencanakan?' atau juga seperti, 'Atau semua sudah diatur takdir?'.

Oh, jangan tertawa. Bahkan, orang seperti Levi juga pasti berpikiran seperti itu— Kalau sebagian kewarasannya telah tercuri, haha.

Sekali lagi, ia menghela napasnya dalam-dalam. Lalu, ia segera mengalihkan pandangannya menuju langit yang tak berbintang, hanya bulan purnama yang bersinar terang sendirian di atas sana. Reminds him about something— Piano Sonata no. 14 di C# Minor karya Ludwig van Beethoven, Moonlight Sonata. Movement yang agresif mungkin bisa menjadi pemanasan kecil pada malam ini, pikirnya.

Dan, lihatlah ia beberapa menit kemudian. Ia sudah berada di ruangan dengan penerangan minim— hanya berasal dari sinar rembulan yang menembus ventilasi kecil.

.

.

.

Disclaimer.

Attack on Titan karya Isayama Hajime.

Mohon maaf bila terdapat typo, OOC dan kesalahan lainnya yang tercantum di dalam fanfiction ini.

Mohon maaf pula atas keterlambatan saya sehingga baru meng-update fanfiction ini setelah sekian lama. Yah, sudah sangat lama sekali karena tugas akhir sekolah, lomba-lomba dan pendaftaran universitas akhirnya dapat diselesaikan dengan lancar dalam hampir dua bulan ini.

Mind to RnR?

.

.

.

Gendang telinga Mikasa dapat mendengar bunyi dari tiap-tiap tuts piano yang ditekan dengan intens dari kejauhan. Ia kini memang kembali menyusuri koridor gelap yang cukup mencekam itu. Mirip seperti adegan di film-film horror saja, ketika lagu yang didengar tersebut dimainkan dengan kunci minor. Namun, naluri macam apa yang dimiliki Mikasa sampai-sampai ia justru melangkah mencari sumber suara.

Dipikirnya, seorang yang mencintai musik seperti Levi pasti menguasai sebuah alat musik, setidaknya satu saja. Kemudian, ditemukannya sebuah ruangan kecil yang terletak di ujung lorong koridor, dekat dengan pintu keluar menuju dek kapal. Tidak salah lagi, bunyi itu muncul dari sana. What an aggressive move.

Langkah Mikasa tetap biasa saja— tidak gentar karena memang tidak gentar— toh, tujuannya hanya mencari seseorang yang seharusnya berada di sampingnya saat ini. Huhu, memang 'tidak tanggung jawab' sekali pria itu. Ketika ia sudah berada di depan pintu yang tertutup itu, ia tak ragu lagi untuk membukanya. Padahal, ia sendiri tak tahu apa yang akan dilakukannya ketika sudah bertemu dengan pria itu.

And, there he is. Kedua matanya segera melirik pada kehadiran perempuan yang cukup mengejutkannya di dalam hati. Mikasa masih berdiri diam di depan pintu sedangkan Levi masih fokus pada permainannya— padahal pria itu berpikir bahwa Mikasa mungkin akan langsung masuk. Mungkin sekitar beberapa menit Mikasa masih belum kunjung memasuki ruangan itu.

Levi yang telat peka pun kembali melirik pada perempuan yang tak sedikitpun menggerakkan otot wajahnya selain untuk berkedip, apalagi mengeluarkan suara itu. Untung saja ia tidak pernah percaya dengan keberadaan hantu yang berwujud secantik itu. Sekali ia menghela napas agak berat. Kemudian, pria itu berinisiatif untuk membuka mulutnya lebih awal. "Apa yang kau lakukan di luar sana? Masuklah."

Yah, inilah Mikasa yang bukan merupakan perempuan yang mau asal saja— melakukan sesuatu sebelum mendapat izin— sayangnya, ia juga salah karena tidak bertanya untuk kebaikannya sendiri. Oke, sekarang Mikasa sudah melangkah masuk dan sedang menutup pintu dengan pelan. Di ruangan yang seharusnya pengap itu ternyata masih terasa dingin. Ah, memang kekuatan dari suhu malam hari di musim dingin.

"Aku tidak begitu menyangka kau akan menemukanku di sini," ujar Levi di sela permainannya.

"Yah," respon Mikasa singkat. "Aku hanya mengikuti bunyi yang kudengar."

For some reasons, Levi sempat berpikir bahwa Mikasa mungkin seperti anjing yang setia— jangan pikirkan tanpa kata-kata 'yang setia'. Levi tidak pernah berpikir sejahat itu pada perempuan ini— Mikasa selalu mengikuti orang yang spesial di dalam hidupnya. Selalu saja.

"Apa yang kamu lakukan disini?" tanya Mikasa kemudian.

Levi terdiam sejenak. Kemudian, ia menjawab, "Aku memang tidak begitu menyukai keramaian. Apalagi kalau harus sampai bertemu dengan orang yang tidak ingin ditemui."

Sayangnya, Mikasa tidak begitu memahami kalimat yang terakhir. "Oh…."

Levi pun segera mengakhiri permainannya pada akhir perpindahan kedua. Sorot matanya tertuju pada Mikasa selama kurang dari 2 detik saja. 'Kan rasanya tidak lucu juga kalau mereka berbicara dengan bunyi BGM yang malah lebih bising dari suara mereka.

"Omong-omong, lagu apa yang baru saja kau mainkan?" tanya Mikasa.

"Moonlight Sonata," jawab Levi langsung.

Sekali lagi, Mikasa mengeluarkan suara "Oh," dari mulutnya. "Kalau kau ingin melanjutkan permainannya, lanjutkan saja."

"Dan kau tetap di sini?" tanya Levi memastikan, jangan sampai perempuan itu pergi karena ingin membiarkan dirinya 'bersenang-senang' sendiri.

"Umm… ya?" Sebuah jawaban berintonasi seperti pertanyaan itu dikeluarkan sebagai bentuk ketidakpahamannya. Justru selanjutnya ia bertanya, "Apa aku menganggumu?"

"Tidak," jawab Levi singkat, padat, dan jelas. "Kau tidak akan mengusikku dengan setiap perbuatanmu."

"O-oh." Terasa begitu canggung ketika Mikasa malah 'bawa peraasaan'. Terasa lebih memalukan sebenarnya, haha.

"Well…." Levi menghela napas dan kembali memposisikan tangannya tak jauh di atas tuts piano.

Tak lebih dari satu menit kemudian, Mikasa yang penasaran pun berjalan mendekat agar dapat melihat gerakan jemari yang menari lincah itu lebih dekat lagi. Tangannya menyentuh permukaan piano yang dingin itu. "Bolehkah aku melihat dari sini?"

"Tak masalah bahkan jika kau duduk di sampingku," balas Levi kemudian.

"Eh?"

"Just sit beside me." Oh, kalau sekiranya memang menyuruh, katakan saja dari awal. Keduanya tidak ada yang begitu blak-blakan. Hubungan ini cukup mengkhawatirkan, sebenarnya. Semacam perintah yang tidak menggunakan tanda seru, Mikasa merasa harus mengikutinya walau ragu.

Mikasa pun mendekatkan dirinya— lebih dekat lagi, sampai akhirnya duduk di bangku yang sama dengan pria itu. Ahaha, rasanya canggung sekali. Bayangkan saya bagaimana wajah anak SMA yang sedang dalam masa-masa kasmaran ketika berada di situasi seperti ini. Ugh, notabene-nya saja sudah pernah pacaran. Padahal, keduanya masih sama-sama polos. Mikasa tetap menjaga jarak, malu juga karena ia malah tidak bisa tenang.

"Quasi Una Fantasia," gumam Levi tiba-tiba.

"Eh?" Mikasa berpikir bahwa ia salah dengar, karena ia merasa bahwa Levi baru saja mengucapkan sebuah mantra. It's Latin, after all.

"Judul asli untuk Moonlight Sonata karya Ludwig van Beethoven," jawab Levi yang tetap fokus. "Artinya adalah 'hampir seperti fantasi'."

"Oh…"

"Lagu ini ditulis oleh Beethoven dalam keadaan tuli," ujar Levi selanjutnya.

"Benarkah?" tanya Mikasa yang mulai menunjukkan respon 'tertarik'.

"Lagu ini didedikasikan oleh Beethoven untuk muridnya, sebagai bentuk kekecewaan atas sistem kasta yang berlaku saat itu— sehingga ia tidak dapat bersama dengan muridnya yang ia cintai."

"Cukup tragis," komentar Mikasa sebelum ia terdiam. Bagaimana bisa melodi dan ritme yang begitu kompleks ini ditulis oleh seseorang yang sudah tuli?

Seolah sudah membaca isi pikiran perempuan yang duduk di sampingnya, Levi berkata, "Jika kau merasa tidak percaya, cukup ingat tentang kekuatan yang muncul dari rasa sakit."

Untuk beberapa saat, Levi kembali menggunakan konsentrasi penuh untuk memainkan bagian-bagian yang 'gila'. Namun, ketika melodi yang dimainkan tidak begitu rumit, ia melanjutkan perkataannya, "Aku bersyukur karena sistem kasta sudah tidak berlaku lagi."

Dan, butuh waktu lama bagi Mikasa hanya untuk mencerna kalimat Levi yang barusan. Bersyukur? Semua orang juga pasti bersyukur akan itu. Akan tetapi, kalau sampai pria ini yang berkata, rasanya ini benar-benar hal yang besar. Selang beberapa waktu kemudian, mulutnya baru tergerak untuk bertanya, "Kenapa?"

Sayangnya, Levi sepertinya tidak mendengar pertanyaan Mikasa itu karena ia terfokus dengan permainan movement ketiga bagian akhir yang benar-benar mencapai klimaks.

Mikasa merasa dikacangi. Tetapi, tentu ia diam saja. Dan, tidak dapat dipungkiri juga bahwa Mikasa menikmati 'pertunjukan' ini.

Lalu, ketika permainan telah berakhir, Levi segera berdiri dari duduknya setelah ia menutup kembali fallboard untuk melindungi keyboard. Lalu, ia berjalan mendekati ventilasi sembari mendongakkan kepalanya ke atas. Napasnya belum begitu teratur setelah mengakhiri movement ketiga. Mikasa pun berpikir bahwa Levi tak mendengarnya karena ia tak kunjung menjawab pertanyaannya.

"It was a great play," puji Mikasa.

Akan tetapi, Levi diam saja. Dasar kacang.

"Orang-orang mungkin mengira bahwa kau adalah seorang pianis profesional," ujar Mikasa lagi.

"Baguslah kalau kau berpikir seperti itu," balas Levi. "Sudah sangat lama terakhir kali aku bermain piano sebelum malam ini."

"Apakah kau dulu pernah bercita-cita untuk menjadi komposer?" tanya Mikasa datar dan kasual.

Levi menurunkan pandangannya— tak lagi mendongak. "Sayangnya, tidak."

"Bahkan hanya sebagai pengisi waktu luang?"

"Ya, tidak sama sekali." Kemudian, pria itu berbalik dan berjalan mendekati Mikasa— Eh, bukan. Tetapi, sepertinya hanya mendekati piano.

Mikasa pun menunduk sejenak. What supposed to do?

Kemudian, ketika ia kembali menoleh ke kanan— tempat seharusnya Levi masih berada— "Lalu, apa yang kau inginka— Nn?!"

Mikasa terkena heart attack dan mendapat 'direct attack' pula. Ia tidak pernah menyangka bahwa ia akan merasakan ini. It's warm, and of course it's soft. She do nothing, except enjoy in with pleasure. Dipejamkannya pula kedua matanya— dia sangat menerima dan menikmati, dengan jantung yang berdetak kencang.

Levi seolah sudah paham 'how to comfort a girl' padahal ia baru melakukannya pertama kali, just like Mikasa. Ia bertumpu pada permukaan fallboard yang tertutup dengan tangan kanannya. Dan, oh— It's gettin' wilder and wilder— terlalu melemahkan. Dirinya berinisiatif untuk menahan kepala Mikasa yang terus ditekannya itu dengan tangan kirinya.

Ketika Mikasa sudah mencapai batas, Levi segera menyadarinya. Dilepaskannya tautan itu. Tidak ada jembatan saliva, karena Levi berpikir bahwa itu mungkin terlalu berlebihan untuk yang pertama kalinya.

Dengan napas yang masih tidak teratur, Levi menatap kedua manik milik perempuan di hadapannya seraya berucap, "Yang aku mau adalah dirimu."

Dan, hanya dengan mendengar kalimat sesederhana nan dalam itu, jantung Mikasa berhenti berdetak selama satu ketukan. Setelah itu, jantungnya berpacu lebih cepat lagi. Oh, sungguh. Dia tidak mampu menatap kedua manik tajam itu lebih lama lagi. Rasanya seperti jantungnya akan copot. Tanpa ia sadari, air matanya mengalir turun— tidak deras, sebenarnya. Tetapi, cukup untuk memicu kesalahpahaman.

"Kau tidak berpikiran sama denganku?" tanya Levi yang tak kunjung menerima respon berupa perkataan dari Mikasa, suaranya terdengar begitu dingin.

Terancam. Mikasa segera menatap pria itu langsung ke kedua maniknya lagi dengan matanya yang berair. "Bukan seperti itu!"

Levi pun mulai melepaskan tangannya dari Mikasa dan menjauhkan sedikit wajahnya. "Lalu, apa?"

Mikasa kembali memalingkan wajahnya dan menghapus air matanya yang turun tanpa sebab yang ia ketahui. "Aku hanya…."

"Aku tidak butuh penolakan halus," potong Levi. Kali ini ia menjauhkan dirinya lebih jauh lagi dari perempuan itu. "Karena itu sama seperti menusuk seseorang dengan belati yang tumpu…."

Dan, pria itu seketika bungkam setelah menerima sebuah kecupan singkat dari Mikasa yang sampai berdiri dari duduknya untuk mematahkan kesalahpahaman ini.

"Kenapa kau tidak mendengarkan penjelasanku terlebih dahulu?!" Mikasa cukup kesal, tidak dipungkiri. Perbuatannya barusan menyisakan Levi dengan ekspresi shock yang baru pertama kali ia lihat. "I feel the same way. Tetapi, aku merasa bersalah pada diriku sendiri karena tidak menghiraukan perasaanku sendiri selama ini."

Kalimat yang cukup panjang untuk berkata jujur bagi Mikasa. Setelah mengutarakan itu, ia terduduk kembali dan menutupi sebagian wajahnya karena malu.

Keduanya masih terdiam hingga beberapa saat. Lama-lama menjadi canggung juga karena kini keduanya telah mengetahui isi hati masing-masing.

Kemudian, yang lebih tua akhirnya angkat bicara. "Yang terpenting, kita tidak boleh melakukan hal di luar tugas pekerjaan setelah ini. Untuk kebaikan kita masing-masing."

Mikasa pun mencoba mengerti. Lalu, ia menganggukkan kepalanya tanda paham.

"Untuk saat ini, marilah kita kembali ke ruangan pesta. Sebagai utusan dari DFF Group."

.

.

.

To be continued

.

.

.

Sungguh, maafkan saya atas keterlambatan luar biasa yang tidak terduga.

Syukur, saya sudah diterima di perguruan tinggi idaman saya dan siap melanjutkan kuliah setelah saya lulus SMA tahu depan.

Kemudian, sebenarnya November dan Desember ini masih menjadi masa sulit bagi saya. But, I'll do my best for this fanfiction.

See ya next chapter, nee~