TURN BACK POINT

Cast:

Mark Lee (24)

Lee Haechan/Donghyuck (22)

Nakamoto Yuta (24)

Lee Taeyong (26)

Jung Jaehyun (26)

Lucas (24)

Na Jaemin (22)

Lee Jeno (24)

Yunho - Haechan's Appa (48)

Jaejong - Haechan's Eomma (46)

Sehun - Mark's Appa (45)

Luhan - Mark's Eomma (44)

.

Genre:

Romance, Drama, Family

.

WARNING! YAOI AREA

If you haters, just go away. I'm not bother you so please don't bother me. This fanfiction is just for YAOI tolerate

.

HAPPY READING

.


Chapter 8


Mark memutus tautan bibirnya dari bibir menggoda Haachan. Meninggalkan napas terengah dari pria manis yang sedang berusaha keras menahan kakinya untuk tidak melemas. Untunglah ada kedua lengan Mark yang membantunya menopang berat tubuhnya. Hingga Haechan tidak perlu bersusah payah mencoba untuk tetap tegak berdiri.

Haechan memandang manik Mark dengan sayu. Menikmati bagaimana mata kelam Mark memandangnya dengan lembut dan menenggelamkannya dalam perasaan tak kasat mata.

Mark mulai membuka bibirnya, membuat Haechan waspada dengan apa yang hendak Mark katakan setelahnya. Mungkin saja sesuatu yang akan membuka pintu ruang dihati keduanya, melepaskan perasaan yang selama ini menyesakkan dada dan berteriak untuk segera diungkapkan.

"Aku mencintaimu Lee Haechan."

Akhirnya –

Akhrinya Mark mengambil selangkah lebih dekat. Mengungkapkan perasaan yang telah lama ia sadari namun tetap ditahan dalam hati.

Jantung Haechan berdetak makin keras. Wajahnya bertambah merah tanpa bisa ditahan. Bahkan kini ia dapat merasakan seperti ada ribuan kupu-kupu tak kasat mata tengah berterbangan menggelitik perutnya. Maniknya tidak dapat beralih barang sekejap pun dari tatapan lembut milik Mark. Menenggelamkannya dalam labirin yang tidak memiliki barang sedikit pun celah untuk Hechan melarikan diri.

"Mark hyung –"

Belum sempat Haechan menyelesaikan kalimatnya, lengan kiri Mark kembali menarik tubuh Haechan makin mendekat dengan tubuh bidangnya. Mengukung tubuh mungil itu dengan sangat posesif. Mark menundukkan kepalanya sedikit untuk mempertemukan manik tajamnya dengan manik bulat milik Haechan. Sebelum menyuarakan ketidak sabarannya sekali lagi dengan nada yang semakin berat dari pada sebelumnya.

"Aku tidak bisa menahannya lagi. Aku mencintaimu."

Haechan makin mendalami manik tajam milik Mark. Mencoba mencari adanya keseriusan di sana. Dan ya, Mark memiliki segala yang Haechan butuhkan untuk meyakinkan dirinya.

Lalu apa lagi yang Haechan cari?

Haechan tau sejak ia menyadari bahwa Mark berhasil mencuri hatinya, kapan pun itu, Haechan akan dengan suka rela melemparkan dirinya ke dalam pelukan pria tampan dihadapannya ini.

Bagaimana Haechan bisa menolak jika jiwa dan raganya memuja dan berteriak menginginkan Mark?

"Aku –"

"Hey Mark, Haechan! Sedang apa kalian di sini?"

Teriak sebuah suara beberapa meter di belakang tubuh Haechan. Mark menggeram dalam hati.

Cobaan macam apa lagi ini? Demi Tuhan siapa yang dengan sukarela mengantarkan kepalanya untuk Mark penggal saat ini? Beraninya mengganggu waktunya bersama Haechan!

Mark melayangkan manik tajamnya melewati pundak Haechan. Melihat dua sosok yang ia kenal perlahan mendekati tempatnya dan Haechan tengah berdiri sekarang.

"Jeno." Ujar Mark dengan nada terlampau dalam.

Haechan membalikkan tubuhnya. Menghadap ke arah sumber suara untuk melihat sosok yang baru saja Mark sebut namanya. Setelah retinanya menangkap sosok itu dengan benar, Haechan mengerutkan keningnya kala menyadari bahwa pria itu tidak sendiri, tapi bersama kekasihnya.

"Jaemin?"

Jeno dan Jaemin berjalan semakin mendekat. Dengan Jeno yang antusias dan Jaemin yang seperti tengah berusaha menahan langkah Jeno. Tapi tentu tenaga yang dimiliki Jaemin kalah jauh dengan Jeno bukan?

Jeno meraih tangan Jaemin yang masih senantiasa mencoba menarik lengan kirinya. Melepas tangan itu dan beralih digenggamnya. Menarik Jaemin yang masih senantiasa meronta untuk mengikutinya berjalan lebih dekat menuju tempat Mark dan Haechan berada.

"Kalian sedang apa?" Tanya Jeno dengan nada kelewat antusias menemukan dua sosok yang dikenalnya tengah berdua di pinggir pantai menuju hunian mereka.

Haechan lebih dulu sadar. Lengan kiri Mark masih senantiasa mengukung pinggang rampingnya. Belum lagi kejadian yang baru saja terjadi antara mereka berdua, membuat wajah Haechan yang masih semerah kelopak mawar terlihat samar diterpa cahaya bulan yang meremang.

Haechan mencoba keras mengendalikan dirinya sebelum mulai menjelaskan apa yang tengah terjadi diantara dirinya dan Mark. Sialnya, niat Haechan terlihat lebih tenang malah berujung dengan dirinya yang tergagap menandakan kegugupannya dengan sangat kentara.

"K –kami hanya –"

"Berjalan-jalan." Potong Mark segera.

Mark melepaskan lengannya dari pinggang Haechan. Sebelum memasukkan telapak tangannya ke dalam saku celana miliknya.

Haechan terkejut, memandang ke arah wajah Mark dengan perasaan campur aduk. Bagaimana bisa pria tampan itu terlihat setenang ini setelah apa yang terjadi pada mereka berdua? Yang sedikit banyak membuat Haechan merasa kesal karenanya.

"Y –ya berjalan-jalan." Ujar Haechan kemudian membeo perkataan Mark.

Jeno memiringkan kepalanya, mengingat dengan betul jam saat ia dan Jaemin yang memutuskan kembali ke kamar miliknya beberapa menit lalu. Harusnya saat ini sudah cukup larut untuk acara 'mari berjalan-jalan'. Dan sungguh pantai bukan pilihan yang baik mengingat angin malam di sini cukup dingin hingga dapat membekukan tulangmu.

"Ini sudah sangat larut." Ujar Jeno menyampaikan keheranannya.

Mark memandang Jeno dengan datar. Sebelum menganggukkan kepalanya sekilas.

"Ku rasa kau benar. Haechan kau tak apa kembali ke kamarmu seorang diri? Ada hal yang harus ku urus di resort utama." Ujar Mark masih senantiasa memandang Jeno sengit dan berbicara pada Haechan tanpa berniat melihat pada pria manisnya.

Demi Tuhan Mark tengah geram saat ini. Entah karena kegiatannya bersama Haechan yang gagal. Atau karena emosinya yang belum kunjung reda sejak sore tadi. Entahlah.

Mark hanya merasa bahwa ia butuh ketenangan saat ini. Dan tetap bersama Haechan bukan pilihan yang baik mengingat semua telah hancur berantakan.

"Ya, aku bisa kembali ke kamarku sendiri." Jawab Haechan dengan nada menyiratkan kesedihan dan tidak suka karena Mark kembali mencoba untuk menghindarinya setelah apa yang terjadi barusan.

"Kalau begitu aku permisi."

Setelahnya Mark melangkahkan kakinya mantap menuju arah resor utama. Mengundang tatapan lirih penuh kekecewaan dari Haechan.

Jaemin mengetahuinya dengan sangat jelas. Tampaknya benar kedatangan mereka memang telah merusak sesuatu yang penting antara keduanya.

"Aku juga permisi." Pamit Haechan menyentak Jaemin dan Jeno.

Jaemin gelisah. Mencoba melepaskan tangannya yang masih senantiasa digenggam oleh Jeno. Berniat paling tidak dirinya dapat membuat Mark dan Haechan mengurungkan niat masing-masing untuk berpisah dan kembali melanjutkan apa yang seharusnya mereka lanjutkan.

"H –hey tunggu dulu –kalian berdua, YAK!" Jaemin berteriak frustasi. Tapi nampaknya hal itu tidak dapat mengurungkan niat keduanya untuk meninggalkan tempat mereka berada sebelumnya. Keduanya hanya tetap mengambil langkah cepat dengan arah yang berlawanan.

Bahu Jaemin terkulai lemah. Maniknya melihat bergantian ke arah Mark dan Haechan tidak tau lagi harus berbuat apa untuk mencegah mereka berdua. Tapi sepertinya memang benar bahwa momen penting malam ini telah gagal. Meskipun Jaemin tidak tau pasti apa yang tengah Mark dan Haechan lakukan atau bicarakan di sini, selarut ini. Tapi Jaemin dengan insting tajamnya yakin bahwa pastilah mereka terlibat sesuatu yang penting. Dan keberadaan dirinya dan Jeno tidak seharusnya ada di sini, mengganggu mereka.

Jaemin menggeram. Mengeratkan giginya hingga terdengar bunyi gemertak mengerikan.

Jaemin melempar tatapan tajam tak sukanya pada jeno yang belum paham juga dengan situasi yang tengah terjadi. Menghempaskan tangannya hingga genggaman Jeno terlepas. Kemudian dengan tidak sabaran, Jaemin memukul dada Jeno dengan tidak aturan hingga sang empu mengerang menahan sedikit nyeri karena ulah sang kekasih.

"Jeno hyung bodoh! Sungguh aku ingin sekali mencekikmu sekarang juga!"

Bahkan tangan Jaemin telah diarahkan menuju surai kekasihnya itu. Mencoba paling tidak dapat mencabut beberapa helai surai milik Jeno sebagai pelampiasan bagaimana kesalnya ia sekarang.

"Hey hey, hentikan. Ada apa denganmu, sayang?"

Jeno meraih kedua tangan Jaemin dan digenggamnya erat. Mencoba menghalau tangan itu kembali bertindak brutal dengan memukul atau menjambak rambutnya.

Karena sungguh, Jaemin yang tengah marah tidak pernah berakhir baik untuk Jeno.

Jaemin mendelikkan matanya lebar, membuka bibir sama lebarnya, memandang tidak percaya ke arah kekasih tampannya.

"Kau baru saja menggagalkan momen penting antara Haechan dan Mark, dan kau masih bisa bertanya ada apa! Kau benar-benar menyebalkan! Dasar pria tidak peka!"

Masih dengan ketidak sadarannya akan situasi yang ada, Jeno berusaha membela dirinya.

"Memangnya apa yang salah? Aku hanya menyapa mereka."

Jaemin menghembuskan napasnya kasar. Memandang Jeno tidak percaya.

Aku tidak pernah tau kekasihku akan sangat semenyebalkan ini.

"Lupakan. Malam ini aku tidur di kamarku, SENDIRI. Kau dengar?" Ujar Jaemin dengan penuh penekanan.

Jaemin sadar membuat Jeno mengerti saat ini adalah sebuah kemustahilan. Membuatnya menyerah dan memendam rasa kesalnya seorang diri. Berniat mendiamkan kekasihnya paling tidak sampai ia dapat menenangkan dirinya dari kekesalannya pada kekasih tampannya itu.

Jeno membulatkan matanya kaget. Apa ia salah dengar? Kenapa tiba-tiba –

Kemudian retinanya menangkap gerakan Jeamin yang mulai melangkahkan kakinya dengan cepat dan terlihat marah berjalan meninggalkan dirinya seorang diri.

"Hey kenapa seperti itu? Ayolah itu bukan –Jaemin, sayang! Tunggu!"

Malam itu berakhir dengan Jeno yang mengekori Jaemin, mengemis meminta pengampunan. Bahkan sekalipun Jaemin menutup rapat kamarnya enggan menerima Jeno untuk ikut masuk, pria tampan itu masih di sana, mengetuk pelan pintu masih berusaha membujuk Jaemin dengan nada suara seakan kehilangan harapan.

Ucapkan selamat tinggal pada tubuh yang akan menghangatkan ranjangmu malam ini, Jeno.

.

.


TURN BACK POINT


.

.

Setelah kejadian semalam, Mark memutuskan untuk mengambil penerbangan dini hari –lebih awal dari penerbangan yang seharusnya ia lakukan bersama Haechan. Memaksa Lucas untuk ikut serta bersamanya dengan alibi bahwa pekerjaan di kantor mereka telah menumpuk dan menunggu untuk segera diselesaikan. Untungnya Lucas percaya dengan mudahnya pada semua perkataan Mark.

Sebenarnya apa yang dikatakan Mark pada Lucas hanyalah sebuah omong kosong belaka. Ada beberapa alasan yang membuat Mark mengambil keputusan tersebut. Pertama, karena ia masih belum bisa mengendalikan amarahnya dengan baik jika melihat Haechan yang mana langsung mengingatkannya pada kejadian kelancangan Yuta siang kemarin. Kedua, karena pengakuan dosanya yang telah melecehkan Haechan dan kembali mencium pria manis itu dengan keadaan keduanya yang sama sadar. Dan ketiga, karena ia belum siap menerima kemungkinan jika pria manis yang berhasil memporak-porandakan hatinya itu menolaknya setelah kegagalannya dikarenakan kehadiran Jeno dan Jaemin.

Tentu Mark telah berpikir ratusan kali sebelum memutuskan meninggalkan Haechan pagi ini. Mengingat Taeyong sangat mempercayakan sang adik padanya atas segala bentuk trauma yang dimiliki Haechan pada penerbangan. Tapi kali ini, biarlah ia melarikan diri. Hanya untuk kali ini. Toh Mark sudah memastikan bahwa Jaemin dan Jeno akan berada pada penerbangan yang sama dengan Haechan. Paling tidak, ada seseorang yang dapat Mark percaya untuk menggantikannya menjaga Haechan dengan baik untuk sementara.

Tepat jam 9 pagi Mark berakhir dengan teriakan Lucas karena sesampainya di kantor malah mendapati semua omong kosong dari sahabatnya itu. Apa dia bilang? Ingatkan Lucas bahwa pagi buta tadi Mark memaksanya untuk ikut kembali ke Seocho secepatnya dengan alasan pekerjaan. Dan lihat sekarang, bahkan Lucas tidak dapat menemukan satu pun pekerjaan yang urgent dalam waktu dekat.

Untung kau sahabat baikku, Mark.

Akhirnya Mark yang mulai jengah dengan teriakan dan ocehan panjang Lucas, memilih menceritakan alasan sebenarnya dibalik omong kosongnya. Menjelaskan dengan rinci apa yang telah terjadi antara dirinya dengan Haechan termasuk gangguan kedatangan Jeno dan Jaemin yang menggagalkan semuanya.

"APA KAU BILANG!" Teriak Lucas tidak tanggung-tanggung.

Mark sedikit mengernyitkan dahinya dan mengusap telinganya barang kali setelah ini aset pendengaran berharganya mendadak rusak gara-gara teriakan Lucas yang kelewat kencang. Untunglah ruang kerja Mark dilengkapi dengan sistem peredam suara yang baik hingga teriakan Lucas barusan tidak sampai mengganggu beberapa staff yang tengah bekerja dekat dengan ruangannya.

"Kau menyatakan perasaanmu, bahkan kau men –menciumnya, tapi tidak memintanya untuk menjadi kekasihmu?" Lucas mengulangi apa yang telinganya tangkap sepanjang cerita sahabatnya itu.

Mark yang mendengarnya hanya mengedikkan bahu acuh dan kembali melanjutkan pekerjaannya mempelajari kontrak kerja untuk kemudian memutuskan perlu ataukah tidak ia membubuhkan tanda tangannya pada surat berharga itu.

"Aku tidak memikirkannya. Dan tadi malam itu mendadak Jeno dan Jaemin muncul begitu saja." Bela Mark dengan enteng.

Lucas berdiri dari tempat duduknya tepat di hadapan kursi kebesaran Mark. Menatap sahabatnya itu dengan nyalang dan menggelengkan kepalanya tidak percaya.

"Mark, aku tidak tau kau akan sebodoh ini. Sungguh, begini kau sebut dirimu pria sejati huh?"

Lucas tau sejak pertama kali ia mengenal Mark di Kanada, pria itu tidak menunjukkan ketertarikannya sama sekali pada urusan percintaan. Padahal Mark tergolong mahasiswa yang populer sama sepertinya. Bagaimana tidak? Mark tampan, pintar dan juga kaya. Terasa sangat masuk akal jika pada saat itu ia dinobatkan menjadi pria paling diminati seantero kampus bukan?

Tapi sayangnya di tengah banyaknya pujian dan ketertarikan, Mark hanya akan membalasnya dengan aura dinginnya. Membuat semua orang yang mengincarnya harus menelan buat-bulat keinginan mereka untuk memiliki pria itu. Jangankan memiliki, bersanding pun terasa mustahil. Karena Mark hanya akan memperbolehkan orang-orang pilihannya untuk berada disampingnya. Dan Mark cukup selektif akan hal itu.

Mark meletakkan berkasnya dengan jengah. Beralih menatap tajam Lucas.

"Lucas, jangan memancing emosiku."

"Kau yang sudah memancing emosiku sialan! Kau benar-benar –hah!"

Lucas menggebrak meja Mark kemudian mencoba menahan diri membalikkan tubuhnya ke arah sofa yang memang disediakan dalam ruang kerja CEO muda itu. Menghempaskan tubuhnya dengan kencang dan memijit kepalanya yang terasa mendadak pening.

Mark menghela napas. Berdiri dari kursi kebesarannya dan menghampiri sahabatnya yang nampaknya bisa meledak sewaktu-waktu.

Lucas yang melihat Mark mulai mendekat kembali menegakkan tubuhnya. Melipat kaki kanannya pada kaki kiri dengan tangan yang bersidekap di depan dada. Mencoba kembali mengintimidasi Mark agar pria itu sadar bahwa apa yang telah dilakukannya benar-benar kesalahan besar.

"Ku katakan padamu ya Mark. Kau akan menyesal –sangat menyesal jika Yuta lebih dulu mengambil langkah."

"Tapi aku sudah mengatakan perasaanku pada Haechan, tidakkah itu cukup?"

Mark memang payah. Dan sialnya Lucas melupakan hal itu.

"Hey dude. Menyatakan dan meminta itu berbeda. Meskipun Haechan tau perasaanmu tapi kau tetap tidak punya hak akan dirinya. Dan ya, secara tidak langsung Haechan masih berstatus available saat ini."

Mark masih senantiasa bergeming di tempatnya. Memperhatikan setiap ucapan Lucas lamat-lamat.

"Tidakkah kau berpikir bahwa yang kau lakukan ini sama saja dengan memberi Yuta peluang?" Tanya Lucas.

Mungkin benar apa yang dilakukannya bukanlah tindakan pria sejati. Tapi Mark benar-benar tidak bisa mengendalikan dirinya. Dan kini ketakuktannya semakin menjadi akibat sikap tak sopannya kemarin malam. Mark memang tidak pernah menyesali telah mencium Haechan. Tapi kini ia mendapati dirinya memiliki ketakutan yang entah karena apa. Ia takut Haechan akan menjauhinya setelah ini. Dan itu bukan kenyataan yang baik untuk Mark yang baru kali ini mengalami ketertarikan yang berlebihan pada seseorang.

"Ku sarankan padamu ya Mark. Cepat minta Haechan untuk jadi kekasihmu. Jika perlu lamar dia, nikahi dia, maka batas teritorial yang kau bangga-banggakan itu akan resmi atas namamu. Kau dengar?"

Mark mengusak kasar rambutnya lalu menelungkupkan wajahnya pada telapak tangan dengan siku yang telah ia tumpukan pada lututnya.

"Ini tak semudah yang kau ucapkan Lucas."

Lucas memutar bola matanya jengah.

Mark dan seribu alasannya.

"Hah terkadang aku menyesal memiliki teman yang sangat buta akan urusan percintaan. Lihatlah aku. Kau butuh belajar dari pakarnya. Dan Lucas adalah cerminan paling sempurna untuk itu."

Lucas menuntaskan kalimatnya dengan penuh percaya diri. Menepuk dadanya yang dibusungkan untuk memastikan Mark mengerti bahwa pria seberbakat dirinya tidak semestinya Mark abaikan.

Mark mendengus kesal. Sebelum mengutarakan kalimat ejekan yang terasa lebih masuk akal dari pada ucapan Lucas barusan.

"Pakar playboy yang kau maksud?"

Tidak terima dengan penilaian Mark akan dirinya, Lucas menyanggahnya dengan alasan terbaik miliknya.

"Hey aku hanya belum menemukan yang cocok untuk ku ajak serius!"

Memang benar adanya Lucas suka bermain. Tapi ia tidak sampai hati menyakiti lawan bermainnya dengan sangat. Lucas selalu bermain aman. Memulainya dengan rayuan dan mengakhirinya dengan kesepakatan. Itu tidak melanggar peraturan kan? Toh kedua belah pihak sama-sama mengerti. Ya terlepas intensitas berganti pasangannya yang kelewat sering.

Mark mendengus tidak setuju. "Cih. Sama saja."

Lucas kembali menyenderkan tubuhnya pada sofa dengan nyaman. Mengibaskan tangannya ke arah Mark membiarkan sahabatnya itu masih setia dengan pikirannya tentang Lucas. Percayalah, membuat Mark merubah penilaiannya adalah hal yang sia-sia. Mark adalah seorang ideologis akut. Dan berdebat dengannya hanya akan membuang-buang waktu berharganya.

"Ya terserahmu saja. Tapi ingat apa yang ku katakan tentang cepat bertindak. Kau memiliki kekuasaan Mark. Memaksakan kehendak itu hal yang mudah untukmu. Gunakanlah kemampuanmu itu."

Mark mengikuti apa yang dilakukan oleh Lucas –menyenderkan tubuhnya pada sandaran sofa. Menengadahkan kepalanya yang bertumpu pada sandaran tersebut dengan nyaman. Menatap langit-langit ruangannya dengan pandangan sendu.

"Kau tau Haechan adalah pengecualian."

Lucas harus mengiyakannya.

Itu memang benar. Sejauh ia berteman dengan Mark, baru kali ini Lucas melihat sahabatnya itu menjadi begitu lembut dan mulai mengedepankan orang lain. Lucas sempat bertanya-tanya sehebat apa sosok yang telah merebut hati pria dingin yang tidak pedulian ini? Nyatanya, setelah ia melihat Haechan dengan mata kepalanya sendiri, Lucas tau bahwa seluruh yang dibutuhkan Mark ada pada sosok pria manis itu.

Mark kembali memikirkan perkataan Lucas tentang 'kekuasaan' dan 'memaksakan kehendak'. Kalaupun Mark harus menggunakannya, ia tidak akan melakukannya pada Haechan. Tapi mungkin perlu ia coba pada seseorang.

"Ku rasa kau ada benarnya." Ujar Mark setelahnya.

Mark menegakkan tubuhnya. Menatap Lucas dengan pandangan yang lebih serius. Berhasil menarik perhatian sahabatnya.

"Aku akan melakukannya. Tapi sebelum itu .."

Mark menggantungkan kalimatnya. Memikirkan sesuatu sebentar kemudian melanjutkan kalimatnya dengan disertai smirk tipis yang demi Tuhan sukses membuat Lucas bergidik tanpa alasan.

"Aku harus melakukan sesuatu lebih dulu."

.

.


TURN BACK POINT


.

.

"Kau siap?" Tanya Taeyong yang tengah menatap khawatir sang adik.

Malam tadi ia mendapati kabar dari Mark bahwa pria yang dipercayanya untuk menjaga Haechan itu harus melakukan penerbangan terlebih dahulu. Meninggalkan sang adik yang untungnya masih bersama pasangan Jeno-Jaemin yang ikut dalam penerbangan yang sama. Hal itu setidaknya dapat membuat Taeyong sedikit bernapas lega karenanya.

Taeyong memandang sosok adik manisnya dengan menyesal.

"Maafkan hyung tidak bisa menemanimu."

Jaehyun yang kala itu memang berada tepat di samping Taeyong, meraih pundak sempit milik sang istri dan mendekapnya, mengusapnya lembut, mencoba menenangkan.

"Hyung bicara apa? Tentu saja hyung harus tetap di sini. Hyung sudah menjadi istri dari seorang Jung Jaehyun. Dan jangan pernah mengecewakan kakak iparku dengan lebih memperhatikanku dari pada dia. Hyung dengar?" Ujar Haechan dengan nada memaksa seakan tidak mau dibantah.

Jaehyun tersenyum lebar melihat sang adik ipar kembali membelanya, dan dibalas dengan kedipan mata oleh Haechan.

Tangan Taeyong bergerak meremas kemeja yang Jaehyun kenakan. Menatap sang adik masih dengan rasa khawatirnya. "Tapi –"

"Hyung sudah berjanji padaku." Potong Haechan segera tidak ingin mendengar lagi alasan panjang dari sang kakak.

Taeyong menghela napasnya menyerah. Salahkan bibirnya yang mengiyakan seluruh bentuk tuntutan Haechan menjelang pernikahannya. Tapi pria cantik itu tidak memiliki pilihan untuk berkata tidak saat melihat sang adik makin menekuk wajah dan bersiap untuk menangis.

Dasar bayi besar.

"Iya iya, aku tau."

Taeyong berganti melayangkan tatapannya pada dua sosok di belakang sang adik.

"Jaemin, Jeno, aku titip Haechan. Kalian tau kan kalau satu jam dalam pesawat tidak akan berakhir baik untuk Haechan?"

Jaemin terkekeh sedangkan Jeno masih setia dengan wajah tenangnya.

"Ya tentu saja. Aku mengetahuinya dengan baik, Taeyong hyung. Serahkan pada kami." Ujar Jaemin meyakinkan yang membuat Taeyong tersenyum puas.

Taeyong bergerak melepas kukungan lengan Jaehyun pada pundaknya. Berjalan mendekat ke arah Haechan dan meraih tubuh itu untuk di dekapnya.

"Sesampainya di rumah, mungkin kau akan seorang diri." Ujar Taeyong sedih mengingat sekarang dirinya tidak lagi bisa menemani sang adik.

Haechan terkekeh sekilas sebelum menyanggah perkataan Taeyong barusan.

"Ada banyak pelayan, hyung."

Taeyong melepas pelukannya. Menjauhkan tubuh mereka sedikit, masih dengan tangan yang kini memegang kedua bahu Haechan. Memaksa sang adik untuk memperhatikannya.

"Aku tau. Jangan terlalu lama berdiam diri di kamarmu. Keluarlah, menghabiskan waktu bersama Jaemin atau –atau bersama Mark mungkin?" Goda Taeyong diakhir kalimat yang sukses membuat Haechan merengek.

"Hyung!"

Bicara tentang Mark, Haechan tidak tau apa yang terjadi dengan pria tampan itu. Pasalnya setelah kejadian berpisahnya mereka di pinggir pantai tadi malam, Mark tidak lagi menghubunginya. Dan Haechan sendiri merasa sangat malu untuk menghubungi pria tampan itu lebih dulu.

Haechan susah tidur. Tetap terjaga bahkan sampai burung camar mulai beterbangan di atas huniannya. Sedikit banyak kejadian malam tadi benar-benar sukses membuat pria manis itu gelisah dan berdebar bukan main.

Haechan menunggu jamnya menunjukkan pukul 8 pagi di mana biasanya Mark akan mengetuk pintu kamarnya untuk mengajaknya pergi sarapan bersama. Tapi sosok yang mengetuk pintu kamarnya pagi tadi malah sahabatnya –Jaemin. Membombardirnya dengan pertanyaan panjang tentang kejadian semalam.

Inginnya dapat menemukan sosok yang sangat ingin dilihatnya siang ini. Tapi lagi-lagi Haechan harus menelan kekecewaan saat staff resortlah yang menjemputnya di kamarnya. Membawakan barangnya menuju resort utama disambut dengan kakak tersayang dan suaminya yang akan mengantarkannya menuju bandara.

Sepertinya keberuntungan kembali menjauhinya. Membuat Haechan berubah menjadi tidak semangat meskipun senyum tipis senantiasa ia sematkan pada wajah manisnya.

"Aku bercanda. Tapi sedikit serius." Ujar Taeyong sambil terkekeh pelan puas menggoda sang adik.

Setelahnya terdengar pengumuman keberangkatan dari pengeras suara bandara. Penerbangan menuju Seoul.

"Nah panggilan untuk kalian. Masuk lah. Hati-hati di jalan." Pesan Taeyong sambil mengusap surai Haechan dengan lembut.

Tatapan Haechan berubah sendu. Menatap wajah cantik kakaknya dengan keengganan untuk berpisah meskipun sebelumnya ia sempat bersikukuh menyuruh Taeyong untuk hidup baik tanpanya. Tapi nyatanya, sama seperti yang Taeyong rasakan, Haechan juga merasakan hal yang sama, penuh keraguan untuk tetap baik seperti biasanya kala sang kakak di sampingnya.

"Aku akan sangat merindukanmu, hyung."

Taeyong meraih tubuh Haechan kembali. Mengusap punggung sempit itu dengan lembut untuk menenangkan sang adik. Meyakinkan bahwa meskipun setelah ini mereka tidak lagi bersama, percayalah Taeyong masih sama seperti sediakala, akan selalu ada untuk adik tersayangnya.

"Hubungi aku lebih sering kalau begitu."

Haechan menganggukkan kepalanya mantap.

"Aku akan."

.

.


TURN BACK POINT


.

.

Mobil sedan mewah hitam khas mobil dinas kantor berhenti di depan lobi sebuah gedung tujuh lantai dengan interior yang sarat akan nilai estetika. Tentu saja, karena memang gedung ini adalah galeri baru milik seseorang yang akhir-akhir ini namanya cukup melejit menarik perhatian kalangan atas yang gila akan sesuatu bernilai estetika.

Seorang pria paruh baya dengan setelan kantor berwarna hitam keluar lebih dulu. Memutari mobil untuk membuka pintu penumpang yang berhadapan langsung dengan pintu masuk gedung. Disusul dengan keluarnya seorang pria muda tampan pemilik aura dingin dengan kemeja hitam licinnya dan coat panjang yang asal disampirkan dibahu bidangnya. Jangan lupakan kacamata hitam yang membuat auranya menjadi semakin angkuh khas penguasa.

"Kau yakin ini tempatnya?" Sang pria angkuh bertanya tanpa menoleh pada pria paruh baya. Tetap menatap lurus pada pintu masuk gedung tersebut entah dengan tatapan apa yang tersembunyi dibalik kacamata hitam tersebut.

"Iya tuan muda."

Keduanya melangkah pasti masuk ke dalam gedung dan menghampiri meja resepsionis guna mengkonfirmasi maksud kedatangan mereka. Pria paruh baya berjalan mendahului, berbicara sesaat pada sang resepsionis, dibalas anggukan mengerti beberapa saat kemudian dan mulai melangkah mempersilahkan kedua tamunya tersebut untuk naik ke lantai lima tempat karya-karya ekslusif si pemilik galeri yang biasanya hanya digunakan untuk menjamu mata para tamu kelas VVIP.

Sang tamu memasuki ruangan tersebut. Meminta pada pria paruh baya yang menemaninya untuk ikut meninggalkan ruangan ini bersama sang resepsionis. Meninggalkannya seorang diri karena ia butuh berbicara hanya empat mata dengan sang pemilik.

Beberapa menit menunggu. Pintu ruangan kembali terbuka. Menampakkan sosok pria lainnya dengan celana putih longgarnya dan kemeja berwarna serupa yang ujungnya dimasukkan secara asal. Tapi malah ketidak rapiannya itulah yang mengundang kesan liar dibalik wajah ramah menyenangkannya itu.

"Wah wah ada tamu kehormatan rupanya." Sapa pria tersebut.

Langkah kakinya semakin melangkah mendekat ke tempat berdirinya sang tamu saat ini.

"Apa gerangan yang membuat seorang Mark Lee datang ke galeriku?" Tanya pria itu kemudian.

Mark –si pria dingin menoleh ke asal suara dan mulai membuka kacamata hitamnya memperlihatkan mata tajamnya yang menyala pada sosok pemilik galeri lukisan ini –Nakamoto Yuta.

"Hanya ingin menyapa." Jawab Mark asal.

Yuta terkekeh sekilas sebelum tersenyum sedikit mengejek pada tamunya tersebut.

"Menyapa? Tapi ku rasa kita tidak sedang dalam hubungan yang sedekat itu."

"Ya, tapi mulai sekarang kau harus mulai mengenalku dengan baik."

Mark tidak pernah berbohong tentang dirinya yang akan dengan senang hati mengenalkan diri pada musuh-musuhnya. Karena inilah caranya mengintimidasi. Memberi peringatan pada siapapun itu bahwa jika kau berurusan dengan Mark Lee maka jangan harap dapat menyentuh kemenangan. Karena kemenangan adalah mutlak miliknya. Dan tidak pernah ada kata kalah dalam kamusnya.

"Haechan?" Yuta bertanya dengan nada yang kelewat ringan. Menebak apa sebenarnya tujuan dari temunya hingga repot-repot mengunjungi galerinya. Karena sejauh yang dapat Yuta tangkap, Mark bukanlah tipikal orang yang tertarik pada estetika yang diagung-angungkan oleh Yuta.

Mark memandang Yuta penuh minat setelah nama Haechan dibawa oleh Yuta ke dalam pembicaraan mereka.

Yuta mengelurkan smirknya.

"Percayalah Mark, aku tau apa yang coba kau sembunyikan sejak awal." Yuta memasukkan kedua tangannya pada saku celana longgarnya dan memutar badan menghadap sebuah lukisan agung berbingkai emas siluet seseorang yang tampaknya sedang coba mereka berdua perebutkan.

"Dan ku rasa kita menyukai orang yang sama, bukan begitu?"

Mark melirik lukisan tersebut dengan ekor matanya sekilas sebelum kembali menatap tajam pria kelahiran Jepang itu.

"Ku peringatkan padamu Nakamoto, aku bukan tipikal orang yang sabar, dan harusnya kau mundur dari sekarang."

Yuta yang mendengarnya terkekeh sekilas. Memutuskan untuk memutar badan kembali menatap sang tamu yang mulai menampakkan keangkuhannya.

"Benarkah? Kalau begitu kita sama."

Yuta membalas tatapan angkuh tersebut dengan tatapan menantang miliknya.

"Haruskah kita berkompetisi sekarang?" Tanya Yuta semakin sengit.

Mark yang mendengarnya jelas menggeram marah. Dasar bedebah sialan. Berani-beraninya ia bertindak tidak tau diri dengan penuh keyakinan seperti itu.

"Aku tidak sedang bermain. Dan Haechan terlalu berharga untuk dijadikan mainan." Geram Mark dengan nada rendahnya. Memperingatkan Yuta bahwa apapun yang tengah ia pikirkan saat ini adalah sebuah kesalahan besar.

"Well, aku tidak berniat bermain. Hanya saja, sepertinya kau harus menelan bulat-bulat gertakanmu. Karena aku tidak akan mundur lagi .."

Yuta tersenyum menolehkan kepalanya kearah lukisan favoritnya dan kemudian menatap kembali pada Mark.

"Tidak setelah aku menyesali tidak mengambil langkah sejak dulu."

Mark tertampar oleh kenyataan.

Kenyataan bahwa Yuta nyatanya lebih dulu menyukai Haechan terasa seperti sebuah tamparan keras untuk Mark. Seolah pria Jepang itu tengah mengikrarkan bahwa Mark lah yang berulah di sini, dengan mencoba merebut apa yang lebih dulu Yuta inginkan.

Tapi bukankah urusan dapat – mendapatkan hati seseorang tidak dapat diukur dengan siapa yang lebih dulu atau tidak? Hati selalu mempunyai caranya sendiri untuk memilih. Dan Mark sedari awal ia menyadari bahwa dirinya tertarik pada Haechan, mencintai Haechan, dan ingin memiliki Haechan, bertekad untuk tetap memperjuangkannya. Terlepas apapun hambatan yang akan menghadangnya. Tentunya Yuta tidak termasuk dalam pengecualian. Jadi sangatlah wajar kalau Mark akan tetap melawannya, menggilasnya, jika pria itu masih menginginkan apa yang sangat ia inginkan.

Manik Mark seketika menggelap dengan aura pekat yang semakin kentara. Kedua pria matang yang sedang jatuh cinta itu saling melempar tatapan tajam terbaik mereka. Mencoba mengintimidasi sang lawan. Tapi tentunya kedua belah pihak tak ada yang mau mengalah. Diakhiri dengan Mark yang mengeluarkan suara beratnya seperti singa jantan yang menggeram marah.

"Baiklah. Mari kita lakukan secara jantan."

.

.


TURN BACK POINT


.

.

"Jeno hyung?" Tanya Haechan pada Jaemin yang tengah duduk disampingnya.

Mereka kini tengah berada di perpustakaan fakultas mereka. Pagi tadi Jaemin datang diantar supirnya ke kediaman milik keluarga Haechan. Menerobos masuk ke dalam kamar yang sudah sangat dihapalnya luar kepala. Membangunkan sahabatnya itu dan memaksanya segera bersiap untuk ikut pergi dengannya ke kampus.

Haechan mengerang setengah hati tidak tega melepas gulungan selimut tebalnya. Demi Tuhan, ia butuh istirahat pasca kepulangannya kemarin dari Jeju. Tapi nampaknya Jaemin tidak membiarkan keinginan Haechan terjadi begitu saja dengan mudah.

Sejujurnya Haechan enggan berangkat karena memang ia tidak memiliki keperluan lagi di Kampus. Hanya saja Haechan tidak sampai hati ketika Jaemin datang memintanya untuk ditemani ke perpustakaan fakultas mereka, mencari beberapa bahan dan memperbaiki revisi tugas akhirnya sebelum penyerahan.

Jaemin tampak membereskan barang-barangnya. Memasukkan laptop dan note kecil miliknya ke dalam ransel yang ia bawa. Menumpuk beberapa buku yang sempat digunakannya untuk kemudian dikembalikan ke rak yang seharusnya.

"Eum. Ajakan makan siang." Angguk Jaemin membenarkan pertanyaan Haechan dan memberitahukan apa yang baru saja sang kekasih katakan di seberang panggilan.

"Kalau begitu pergilah." Ujar Haechan sambil melihat kegiatan Jaemin.

Jaemin berhenti dari kegiatannya. Mengangkat tubuhnya dari kursi yang tengah ia duduki dan mulai meraih ransel yang akan dibawanya.

"Apa yang kau katakan? Tentu saja kita pergi bertiga." Jaemin mengoreksi kalimat Haechan.

Jeno hendak melangkahkan kakinya meninggalkan meja tempat keduanya menghabiskan waktu beberapa jam yang lalu, dengan harapan bahwa Haechan akan mengikutinya. Tapi kemudian sahabatnya itu kembali mengangkat suara, masih enggan berdiri dari tempatnya.

"Jika Jeno hyung bersedia membayar milikku juga, ya, aku mau." Ujar Haechan dengan ringan sambil memandang Jaemin dari tempatnya duduk.

Jaemin memutarkan bola matanya. Haechan selalu punya cara untuk membuat Jaemin mengurungkan ajakannya. Tapi maaf saja, masalah uang yang bahkan sekedar untuk makan tidak akan pernah menjadi masalah besar untuk Jaemin ataupun Jeno. Bahkan Jaemin akan dengan sangat senang hati menggesek kartu hitamnya untuk memanjakan sahabatnya itu. Tapi sayangnya Haechan bukan orang seperti itu. Karena ya, Jaemin yakin isi kartu milik Haechan pastilah tidak kalah dengan miliknya.

Hanya saja, Haechan perlu memutar otak cemerlangnya lebih baik lagi untuk membuat Jaemin atau pun Jeno berubah pikiran.

"Tentu saja! Serahkan padaku."

Kini Jaemin meraih tangan Haechan. Menariknya dengan tidak sabaran karena sahabatnya itu masih setia dengan posisi duduknya.

Haechan terkekeh. Meraih tasnya dan mengikuti langkah Jaemin menuju pintu keluar perpustakaan.

"Setidaknya itu tidak membuatku terlalu menyedihkan." Ucap Haechan lirih pada dirinya sendiri.

Jaemin mengernyit mendengar samar suara Haechan. Menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap Haechan yang tepat berada beberapa langkah dibelakangnya.

"Kau mengatakan sesuatu Haechanie?"

Haechan sedikit kaget. Mengibaskan tangannya di depan wajah untuk menghilangkan kecurigaan Jaemin. Mempercepat langkahnya untuk mengalihkan perhatian sahabatnya itu.

"Ah tidak tidak. Ayo kita ke depan."

Kini mereka berdua telah berada di dalam mobil Jeno dengan pria tampan itu di balik kemudi. Jaemin duduk di samping kekasihnya tentu saja. Meninggalkan Haechan sendiri di bangku penumpang belakang mereka.

Ya selalu seperti ini.

Dan sepertinya ia harus memantapkan hati, sedikit bersabar. Mengingat satu mobil dengan pasangan ini akan membuat matanya mendadak sakit.

"Haechan, ku dengar kau tengah mempersiapkan tes lisensi mengemudimu." Tanya Jeno memecah keheningan. Melihat ke arah Haechan dari kaca tengah mobil.

Haechan sempat heran mendengar Jeno menanyakan hal itu. karena itu bukan lah sesuatu yang penting yang sampai Jeno pun perlu ketahui. Tapi haruskah ditanya lagi dari mana Jeno mengetahuinya? Tentu saja kekasih cerewetnya.

Mulut Jaemin memang tidak bisa diandalkan.

Haechan mengedikkan bahunya acuh. Menyenderkan tubuhnya dengan nyaman di bangkunya sambil melayangkan pandangan keluar jendela mobil.

"Ya, hyung. Sekarang sudah tidak ada lagi Taeyong hyung yang akan mengantar jemput ku. Jadi ku pikir aku akan membutuhkannya." Jelas Haechan.

"Sudah ku bilang, kau butuh kekasih, bukan lisensi."

Dahi Haechan berkerut dalam.

Jaemin –

"Bilang sekali lagi, ku pukul kepalamu dengan buku tebalku." Hardik Haechan dengan pandangan malas yang kini telah ia hadiahkan ke Jaemin.

Jaemin terlihat sedikit melonggarkan sabuk pengamannya. Memutar tubuhnya ke samping sekedar untuk melihat wajah Haechan di bangku belakangnya.

"Aku serius Haechan, kau tidak lihat aku? Jeno hyung akan selalu ada kala aku butuh tumpangan, menemaniku saat aku kesepian, dan yang paling penting perhatian. Kau benar-benar kurang perhatian dan kasih sayang." Ujar Jaemin yang terdengar seperti sebuah ejekan bagi Haechan.

"Astaga Na Jaemin!" Teriak Haechan mulai kesal.

Kenapa sahabatnya itu suka sekali membuatnya kesal? Tolong ingatkan Haechan kalau itu adalah seorang Na Jaemin.

Baiklah Jeno mulai jengah sekarang.

Mereka mulai lagi.

"Ya ya, terserah kalian saja. Tapi bisakah kalian berhenti bertengkar sekarang? Aku tidak yakin akan dapat melerai kalian jika sedang menyetir begini. Atau paling tidak membawa kita bertiga dengan selamat sampai tujuan, itu akan sangat sulit." Lerai Jeno dengan nada tidak sukanya.

Jeno memang sering di buat heran dengan kelakuan dua orang sahabat itu. Mereka bisa jadi pasangan terkompak yang pernah ada hingga terkadang membuat Jeno cemburu karena pada kasus tertentu Jaemin akan lebih memilih Haechan dari pada dirinya. Tapi tidak menutup kenyataan bahwa mereka juga bisa terlihat bagai musuh bebuyutan dimana sebuah kedamaian terasa sangat mustahil bagi keduanya. Membuat Jeno lebih memilih kemungkinan pertama dari pada harus mendapati kedua pria manis itu saling berteriak satu sama lain. Membuatnya memijat kepala pelan dan Demi Tuhan hal itu dapat menjadikan penuaan dini baginya.

Haechan menghempaskan kembali punggungnya pada sandaran bangku setelah sebelumnya sempat ia tegakkan untuk menanggapi ocehan Jaemin.

"Salahkan kekasih menyebalkanmu itu, hyung." Sindir Haechan dengan mata memicing yang dapat Jaemin lihat dari kaca tengah mobil.

Jaemin menghembuskan napas geli mendengarnya. Sebelum balik menyerang sahabatnya itu tidak mau kalah.

"Berkacalah kalau begitu."

Lihatlah bagaimana keduanya saling mengatai masing-masing menyebalkan. Jeno hanya akan menganggukinya. Karena berbicara tentang siapa yang lebih menyebalkan antara mereka berdua akan memakan waktu yang sangat panjang dan tidak akan ada habisnya.

"Kalian tidak mendengarkanku?" Jeno menggeram dengan nada yang lebih rendah. Mencoba mengeluarkan aura berkuasanya. Berharap dengan begini keduanya akan berhenti berdebat akan sesuatu yang sebenarnya sangat tidak penting.

Jeno akui, kekasihnya sangat suka menggoda Haechan. Sedangkan Haechan, mudah terpancing dengan godaan Jaemin. Bukankah itu sempurna untuk menciptakan kerusuhan?

"Aku dengar, sayang. Baiklah aku akan diam. Hanya genggam tanganku selama perjalanan, eum?"

Dan Haechan hanya dapat memutar matanya malas melihat bagaimana sepasang kekasih itu mengumbar kemesraan di depan matanya.

Terkutuklah kau Na Jaemin.

.

.


TURN BACK POINT


.

.

"Pesan apa pun yang kau ingin, Chan. Iya kan hyung?" Ujar Jaemin masih dengan tangan yang melingkar posesif pada lengan Jeno.

Jeno yang kala itu tengah sibuk membalas beberapa pesan di ponselnya hanya menganggukkan kepalanya sekali dan membalas ucapan kekasih cantiknya dengan asal.

"Ya, terserah kalian berdua saja."

Setelah beberapa menit dihabiskan oleh dua pria manis itu memesan menu makan siang mereka di depan kasir, ketiganya melangkah menuju meja pojok kanan ruangan, tepat di depan kaca bening transparan yang menghubungkan café tersebut dengan trotoar yang di sana tengah berlalu lalang para pedestrian.

Hidangan yang mereka pesan datang tidak lama setelah itu. Haechan menyantap miliknya dalam diam, sedangkan sepasang kekasih Jeno-Jaemin sedikit berisik dan dengan tidak tau dirinya malah melanjutkan acara 'mari mengumbar kemesraan' tepat di depan Haechan –yang Demi Tuhan hal itu membuat matanya mendadak sakit.

Ingin Haechan tidak melihat, tapi apalah daya jika kedua 'love bird' tersebut tengah duduk tepat dihadapannya. Inginnya mengambil meja lain untuk menikmati makan siangnya seorang diri, tapi Haechan tidak tau mana yang lebih mengenaskan dari makan seorang diri ataukah menjadi lalat pengganggu bagi sepasang kekasih. Nyatanya dua pilihan itu terasa sama buruknya saat ini bagi Haechan.

Jaemin menyendok samgyetang miliknya dan menyuapkannya pada Jeno.

"Enak?"

Perhatiannya masih senantiasa terpusat pada kekasih tampannya yang tengah mengunyah suapan darinya. Sampai Jeno balas menatapnya dan menghadiahi Jaemin dengan anggukan dan senyum menghangatkan.

Katakan bagaimana Jaemin tidak berteriak heboh karena ini?

Jaemin berisik. Dan akan selalu seperti itu. Haechan tau sahabatnya itu memuja kekasihnya dengan sangat berlebihan. Memandangnya bagai dewa tertampan yang patut dipuja sejagat raya. Yang demi Tuhan Haechan tidak dapat melihat apa menariknya.

Haechan menghembuskan napasnya berat untuk ke sekian kali.

"Hah, harusnya aku tau aku akan tetap terlihat menyedihkan di sini." Lirih Haechan pada dirinya sendiri. Tapi karena jarak mereka bertiga yang tergolong sangat dekat mengingat mereka sedang berada dalam satu meja yang sama, tentu membuat Jaemin maupun Jeno dapat mendengar dengan jelas apa yang dikatakan oleh Haechan.

Jaemin tertawa keras mendengar gerutuan dari Haechan. Membuatnya tergoda untuk semakin mengumbar kemesraan di depan sahabatnya itu. Karena bagi Jaemin, wajah kesal Haechan adalah hiburan terbaik sepanjang masa.

"Terus saja tertawa." Hardik Haechan pada kekompakan pasangan kekasih dihadapannya itu yang masih setia dengan tawa mengejeknya.

"Jeno."

Sebuah panggilan mengalihkan perhatian mereka bertiga. Jeno sebagai korban pemanggilan menengokkan kepalanya ke arah sumber suara dan mendapati rekan kerjanya berjalan menghampiri meja mereka.

"Oh Lucas." Seru Jeno sambil melambai ke arah rekan kerjanya itu, mengundangnya untuk cepat mendekat.

"Kau kemari?" Tanya Jeno kemudian setelah Lucas tepat berdiri di samping meja mereka.

"Café dengan spaghetti favorit Mark." Jelas Lucas.

Pria dengan aura jenaka itu mengedikkan dagunya ke arah sosok pria lainnya dengan setelan formal yang terlihat tengah menyebutkan pesanan di meja kasir.

"Mark." Seru Jeno setelah retinanya menangkap sosok rekan kerjanya yang lain

Mark yang kala itu baru saja menerima kembali kartunya setelah membayar beberapa pesanannya, membalikkan badannya menuju arah suara yang cukup ia kenal.

Setelah memastikan pemilik suara itu benar Jeno, Mark menghampirinya dan melihat Lucas yang tadi memesan menu bersamanya sudah berada di sana beserta dua pria manis lainnya.

"Kalian? Kebetulan sekali."

"Ya, kebetulan yang sangat mengejutkan. Bukankah ini berarti kau berjodoh dengan Haechan, Mark hyung?" Jawab Jaemin kelewat antusias menanggapi perkataan Mark, disusul ledakan tawa keras oleh Jeno dan Lucas.

Uhuk!

Haechan yang kala itu masih melanjutkan suapan jjampong nya, tersedak mendengar celotehan Jaemin yang selalu tidak bisa menahan diri untuk tidak menggodanya dan Mark.

Jeno masih dengan tawanya, menyodorkan segelas air mineral pada Haechan yang disambar dengan cepat dan diteguknya hingga habis. Memastikan suapannya telah tertelan dengan benar, sebelum menghardik sahabat kurang ajarnya.

"Jaemin!"

Wajah Haechan sedikit berubah memerah samar. Manik bulatnya mencuri pandang pada Mark yang masih senantiasa berdiri melihat baggaimana pria tampan itu hanya terkekeh pelan mendengar perkataan Jaemin.

"Apa aku salah bicara?" Tanya jaemin dengan wajah tak berdosanya –yang sungguh membuat Haechan ingin sekali mencakarnya.

Jeno berdehem sejenak mencoba menghilagkan sisa tawanya. Sebelum mempersilahkan kedua rekan kerjanya untuk bergabung bersama mereka bertiga.

"Duduklah kalian berdua. Tidak perlu mencari meja lain. Kita makan bersama saja."

Ajakan Jeno bukan ide yang buruk, bukan? Mark dan Lucas menganggukkan kepala mereka mengiyakan ajakan Jeno. Mereka berdua mulai mengalihkan pandangan masing-masing pada tiga kursi kosong yang tersisa pada meja tersebut. menimbang tempat yang hendak mereka duduki.

"Lucas hyung, tolong kosongkan kursi di samping Haechan." Jaemin kembali dengan ocehan menyebalkannya membuat Haechan memutar mata malas mengerti ke mana arah pikiran sahabatnya itu.

"Aku mengerti." Jawab Lucas dengan tawa pelan.

Lucas tentu sangat tau diri untuk tidak mengambil tempat tepat di samping Haechan, karena sungguh mungkin saja nyawanya akan terancam jika hal itu ia lakukan.

Meja persegi itu berkapasitas enam orang. Dengan masing-masing 3 sisi yang diisi oleh 2 kursi, sedangkan satu sisi lain dibiarkan kosong untuk memudahkan pelayan café dalam mengantar serta menata pesanan pelanggan mereka.

Lucas duduk tepat di depan Mark dan Haechan. Sedangkan kursi Jeno dan Jaemin berada di sisi yang tidak berhadapan. Jaemin dan Haechan duduk bersebelahan namun dengan arah yang berbeda.

40 menit berlalu dengan obrolan ringan kelimanya yang tidak jauh-jauh dari urusan pekerjaan ketiga pria tampan dan selebihnya adalah godaan Jaemin untuk Haechan.

"Waktu istirahat sudah hampir habis, ku rasa ada baiknya kalian bergegas." Ingat Haechan kepada ketiga pria tampan di sana setelah mengecek jam tangan yang melingkar di tangan kirinya.

Jeno pun ikut melihat kea rah jam tangan miliknya dan mengangguki apa yang Haechan katakana.

"Kau benar."

Jaemin sedikit memutar otaknya. Tidak mungkin kan kali ini ia tidak melakukan apapun pada Mark dan Haechan? Mengingat terakhir kali kemunculannya dan Jeno telah menggagalkan momen penting antara keduanya.

"Tapi aku berharap Mark hyung mau meluangkan sedikit waktunya untuk mengantar Haechan pulang. Bagaimana?" Tawar Jaemin dengan wajah memohon.

Otaknya brillian, benar kan?

Haechan mengalihkan perhatiannya dari ponsel yang tengah dipegangnya. Mendengar Jaemin kembali menyebut namanya.

"Huh?"

Melihat Haechan yang memandangnya dengan tatapan bertanya, membuat Jaemin yakin bahwa sahabatnya itu tidak mendengarkan apa yang ia katakana barusan.

"Kau butuh tumpangan pulang, Haechanie." Ulang Jaemin gemas.

Haechan mengernyitkan dahinya dalam.

"Tapi kan tadi aku datang bersama kalian. Kalian tidak berniat meninggalkanku kan?"

Oke, Haechan mulai curiga sekarang.

Lalu sekilas ia dapat melihat smirk tipis dari Jaemin yang ditujukan padanya.

Tampaknya memang benar sahabatnya itu tengah merencanakan sesuatu.

"Sayangnya kami iya. Maafkan aku Haechanie sayang, tapi aku butuh waktu berdua dengan Jeno hyung. Kau tentu tau kan kalau kami jarang bertemu. Dan waktu berdua itu sangat penting."

Haechan mengeratkan giginya dan memandang Jaemin tajam.

Demi Tuhan, Jaemin dan otak liciknya –

"Kau benar-benar penghianat Na Jaemin." Singit Haechan.

Jaemin menarik lengan Haechan untuk mendekat ke arahnya. Mengeratkan giginya dan berkata sepelan mungkin.

"Sudah, dengarkan saja apa kataku."

Haechan menghembuskan napasnya pelan. Mulai menjauhkan tubuhnya dari Jaemin dan menatap Lucas yang berada dihadapannya.

"Tapi bagaimana dengan Lucas hyung?"

"Jangan khawatirkan aku. Kami membawa mobil masing-masing. Tadi aku sedang dalam tugas terpisah dengan Mark sebelum kemari, dan ku rasa aku harus melanjutkan tugasku kembali." Jelas Lucas.

Jaemin menepuk tangannya dengan keras. Kelewat bahagia.

Bukankah situasi kali ini tengah berpihak padanya?

"Nah kan."

Haechan menghembuskan napasnya melihat usaha Jaemin nampaknya akan kembali berhasil kali ini. Kemudian manik bulatnya ia alihkan pada pria tampan di sampingnya yang sejak tadi hanya menutup mulut memperhatikan.

"Baiklah, jika –jika Mark hyung tidak keberatan."

Mark memandangnya. Terdiam sesaat sebelum menjawab dengan penuh keyakinan.

"Tentu."

Jeno kembali melihat jam tangannya. Memastikan Mark mempunyai waktu yang cukup mengingat rumah Haechan berlawanan arah dari kantor Mark.

"Kalian harus bergegas." Ujar Jeno menyarankan.

Mark ikut memeriksa jam tangannya. Ia memiliki jadwal rapat direksi bersama sang ayah setelah ini. Tapi mengantarkan Haechan bukanlah kesempatan yang layak untuk ia abaikan. Mark hanya perlu melajukan mobilnya lebih cepat, mengantar Haechan sampai dengan selamat dan menghadiri rapat dengan tepat waktu.

Tanpa membuang waktu lagi, Mark segera beridi dari duduknya. "Kau benar. Kami duluan."

Mark menatap semua orang yang ada di meja itu untuk sekedar berpamitan. Dan terakhir, ia layangkan tatapannya pada Haechan. Mengajak pria manisnya untuk segera beranjak.

Haechan megangguk dan berpamitan sama seperti yang Mark lakukan. Memutuskan segera mengikuti langkah lebar pria tampannya sebelum teriakan Jaemin kembali terdengar.

"Semoga berhasil."

Apa-apaan itu tadi? Hah, yang benar saja. Setelah Jaemin melemparnya pada situasi seperti ini, dia malah mengatakan semoga berhasil? Bagus sekali.

Mungkin sesekali Haechan harus memberi perhitungan pada sahabatnya itu di lain waktu.

.

.


TURN BACK POINT


.

.

10 menit perjalanan yang mereka tempuh hanya diisi kecanggungan antara keduanya.

Mobil Mark telah berheti tepat di depan pintu kediaman keluarga Haechan. Haechan terlihat bersiap membereskan barangnya. Sedangkan Mark tengah berpikir, mengingat perkataan Lucas untuk cepat meminta HAechan menjadi kekasihnya.

Mark memandang Haechan dibangku sebelahnya yang masih setia dengan kegiatannya bersiap. Memantapkan hatinya untuk berbicara. Sebelum –

"Haechan" / "Mark hyung" Keduanya berbicara bersamaan.

Mark tersenyum canggung, bergerak mengusap lehernya. Sedangkan Haechan mulai memainkan jemarinya dan menundukkan wajahnya dalam.

Semburat merah muda samar terlihat di pipi keduanya.

Keadaan kembali hening. Kali ini Mark yang memulainya lebih dulu. Mencoba memecah keheningan dengan berdehem sejenak untuk menjernihkan suaranya.

Ya benar Mark, kau harus menyelesaikannya hari ini juga.

"Tentang malam itu .." Mark menggantungkan kalimatnya, memberi kesempatan Haechan untuk sedikit mengingat kejadian yang akan ia bahas.

Wajah Haechan makin memerah. Pipi gembilnya semakin terlihat menggemaskan untuk Mark. Pria tampan itu tersenyum sekilas sebelum melanjutkan kalimatnya.

"Aku –"

Ddrrtt ddrrrtt

Kalimatnya terpotong karena sebuah getaran dan suara nyaring dari ponsel miliknya. Menandakan adanya sebuah panggilan masuk.

Mark menggeram. Meraih ponsel yang ia simpan pada saku celananya dan memeriksa siapa gerangan yang melakukan panggilan di saat yang tidak tepat.

Daddy is calling …

Mark mengusap wajahnya kasar setelah mendapati sang pemanggil yang sangat ingin ia umpati sebelumnya adalah ayahnya sendiri. Ia mengerang keras dalam hati. Mengubur keinginannya dalam-dalam.

Mark mendesah kasar yang dapat di dengar oleh Haechan. Menimbang untuk mengangkatnya atau tidak. Ayahnya mungkin memiliki urusan yang mendesak dengannya. Tapi saat ini ia juga tengah dalam urusan mendesak dengan Haechan. Ayahnya akan mengerti kan jika putranya lebih memilih Haechan saat ini?

Haechan mencuri pandang pada ponsel Mark karena melihat pria tampan itu tertegun pasca melihat id pemanggil di ponselnya.

"Angkatlah, hyung. Mungkin penting." Suara lembut Haechan mengambil alih atensi Mark pada ponselnya. Atau lebih tepatnya menyadarkan Mark dari pikiran rumitnya.

Mark menatap Haechan, dihadiahi dengan senyuman dan anggukan dukungan.

Hah, baiklah.

Tangan Mark mulai menggesek ikon hijau pada ponselnya dan mulai terlibat pembicaraan dengan sang ayah. Haechan memalingkan wajahnya ke luar jendela. Menyadari bahwa dirinya masih senantiasa berada di dalam mobil padahal sudah sampai di kediamannya. Kenapa Haechan tidak berpikir untuk membawa Mark masuk saja jika tau mereka akan terlibat pembicaraan yang cukup panjang?

Haechan sedikit mencuri dengar pembicaraan Mark. Keduanya terdengar membicarakan sesuatu tentang rapat. Membuat Haechan tersenyum lirih karena kemungkinan kegagalan kembali terjadi siang ini.

Beberapa saat setelahnya, Mark terlihat mematikan ponselnya. Mendesah kasar dan mengalihkan atensinya kembali pada pria manis yang masih senantiasa menunggunya.

"Haechan –"

"Pergilah, hyung."

Belum sempat Mark menyuarakan kalimatnya, Haechan telah lebih dulu memotongnya.

Mark yang mendengarnya tentu saja menatap kecewa pada Haechan. Mengira bahwa pria manisnya tidak mau mendengar penjelasannya dengan menyuruhnya untuk cepat pergi dari sini.

"Tapi kita perlu bicara." Sanggah Mark.

Haechan memandang Mark dengan senyuman menenangkan. Mengucapkan kalimat untuk sedikit menenangkan Mark yang tampak sedang memikirkan hal-hal buruk sekarang.

"Lain kali." Ujar Haechan.

Pria manis itu memandang manik tajam Mark dengan tatapan lembut miliknya.

"Hubungi aku lain kali. Aku tidak akan kemana-mana. Sekarang pergilah. Sehun ahjussi sepertinya sudah menunggumu."

Pikiran buruk Mark seketika menghilang digantikan dengan sebuah ketenangan karena nyatanya yang diucapkan oleh Haechan tadi bukanlah sebuah bentuk penolakan yang sempat dikhawatirkannya.

Mark sedikit mengingat perkataan sang ayah di seberang panggilan tadi.

Rapat.

Ya rapat penting. Dan Mark nyaris melupakannya.

Salahkan bagaimana Haechan menyita seluruh perhatiannya.

"Kau benar." Angguk Mark.

Mark menatap Haechan dalam dan penuh perasaan. Mungkin ini memang bukan waktu yang tepat bagi keduanya. Mencoba berbaik sangka dengan keadaan yang ada.

"Baiklah, aku akan menghubungimu begitu waktuku senggang. Tunggu aku."

Nyatanya kalimat 'tunggu aku' milik Mark sukses membuat hati Haechan berdesir bahagia. Ia hanya harus bersabar sedikit lagi kan? Maka dengan seluruh perasaannya yang makin meluap pada Mark, Haechan akan menjanjikan waktu kapan pun itu. Haechan akan menunggu.

"Eum, aku akan. Berhati-hatilah di jalan."

Setelahnya Haechan beranjak keluar dari mobil. Memutarinya dan berdiri di samping kaca kemudi yang telah Mark turunkan untuk kembali saling bertatapan. Memancarkan sorotan mata masing-masing yang enggan untuk berpisah.

Hanya sementara.

"Sampai jumpa, Mark hyung." Ucap Haechan memutus kebersamaan keduanya siang itu.

.

.


TURN BACK POINT


.

.

Haechan baru saja keluar dari kamar mandi. Lengkap dengan piama pendeknya dan handuk kecil yang ia gunakan untuk mengeringkan rambut basahnya.

Suara tanda pesan masuk mengundangnya untuk meraih ponsel miliknya yang tergeletak di ranjang yang juga membuat Jaemin mengalihkan perhatian sejenak dari kegiatannya di depan cermin rias milik Haechan. Jaemin malam ini menginap di kediaman Haechan. Bersikeras menemani sahabatnya itu mengingat kini ia telah tinggal sendiri, sama seperti dirinya. Jaemin hanya khawatir Haechan belum terbiasa.

Haechan masih berdiri tertegun sambil memandang ponselnya tanpa berniat barang membalasnya sekalipun.

Jaemin yang melihatnya mengernyitkan dahinya penasaran. "Pesan dari siapa?"

"Yuta hyung." Jawab Haechan masih dengan pandangan pada ponselnya dan pikiran rumitnya.

Jaemin membalikkan tubuhnya dengan cepat setelah mendengar nama Yuta disebut oleh Haechan.

"Benarkah? Ada apa?"

Haechan mengedikkan bahunya sekilas. Sebelum memberi tahukan isi pesan dari Yuta pada Jaemin.

"Ajakan menemaninya ke acara rekan kerjanya." Jelas Haechan.

Jaemin beranjak dari duduknya. Melangkah dengan cepat menuju Haechan yang masih setia berdiri di samping ranjangnya. Mendempeti tubuh Haechan untuk ikut melihat isi pesan pada ponsel yang tengah dipegang oleh sahabatnya itu.

"Park Hyeon Joo? Bukankah dia pemilik sekuritas Mirae Asset yang terkenal itu?" Tanya Jaemin tidak yakin setelah membaca isi pesan Yuta lebih lengkap.

Siapa yang tidak akan mengenal Park Hyeon Joo? Milyader kaya pemilik perusahaan saham paling terkenal se korea selatan bahkan bisnisnya sudah merambah di berbagai negara sekarang.

Itu memang bukan kemungkinan yang mustahil jika nyatanya sosok seniornya mengenal orang sepenting itu. Tapi Park Hyeon Joo itu memang benar adalah orang besar.

"Ya, kau benar. Dia juga penulis beberapa buku tentang saham yang ku miliki." Angguk Haechan membenarkan pertanyaan Jaemin.

Mata Jaemin membulat. Tangannya bergerak membekap mulutnya karena keterkejutannya.

"Kalau begitu pergilah." Ucap Jaemin setelahnya dengan penuh semangat.

Karena pikir Jaemin, itu adalah sebuah kehormatan datang ke acara orang sepenting itu. Tapi sayangnya keyakinan yang dimiliki Jaemin berbanding terbalik dengan Haechan. Bukannya menerima ajakan, Haechan malah berpikir cara memberikan penolakan pada ajakan Yuta dengan halus.

Haechan memandang Jaemin yang tengah berdiri dekat di samping tubuhnya dengan kernyitan dahi dalam.

"Apa itu tidak salah?"

Jaemin menghempaskan tubuhnya pada ranjang Haechan. Memandang sahabatnya itu dari posisi duduknya.

"Pergilah. Tidak ada ruginya untukmu, Chan. Lagi pula tidak kah kau perlu menjelaskan sesuatu pada Yuta?" Usul Jaemin.

Haechan masih terdiam. Memandang Jaemin dengan sorotan mata tidak mengertinya.

Jaemin tersenyum sekilas. Tangannya bergerak meraih tangan Haechan dan menarik tubuh sahabatnya itu untuk ikut duduk pada ranjang seperti yang ia lakukan. Menggenggam tangan itu untuk sedikit memberi kekuatan sebelum menyuarakan pendapatnya.

"Ini saatnya kau menegaskan perasaanmu, Haechanie. Ya meskipun kau dan Mark hyung belum resmi menjadi kekasih. Tapi ku rasa itu tidak akan lama lagi. Dan sebelum itu, kau harus menangani Yuta hyung terlebih dulu. Dengan begitu dia tidak akan menggantungkan harapannya lebih jauh padamu."

Jaemin sungguh tidak tega setelah mendengar cerita dari Haechan tentang kejadian yang melibatkan dirinya, Mark dan juga Yuta. Jaemin tau sahabatnya sedang dalam posisi yang serba sulit terlepas ia sangat mengetahui apa yang diinginkan oleh hatinya. Hanya saja keadaaan tidak semudah itu bagi Haechan.

Haechan menundukkan pandangannya kembali. Tepat pada ponsel yang masih senantiasa berada di genggamannya.

"Mungkin kau ada benarnya."

.

.


TURN BACK POINT


.

.

Sesuai janji, tepat jam 3 sore Yuta menjemput Haechan di kediamannya. Yuta menghentikan mobilnya tepat di depan pintu masuk. Mengeluarkan dirinya, berdiri bersandar tepat di samping mobil putihnya. Memutuskan untuk menunggu Haechan di luar tanpa repot melangkah masuk bahkan untuk sekedar mendudukkan diri di ruang tamu.

Yuta tau kini Haechan tinggal seorang diri –kecuali para pelayannya tentu saja, jadi Yuta pikir tidak ada yang harus ia sapa sebagai bentuk sopan santunnya.

Beberapa menit kemudian pintu tersebut terbuka, menampakkan sosok pria manis yang di tunggunya.

Cantik

Yuta tersenyum cerah melihat Haechan dengan setelan kemeja biru muda yang sedikit oversize dengan kerah terkancing sempurna dan sebuah dasi pita dongker yang makin mempermanis penampilannya. Celana yang dikenakannya berwarna putih, senada dengan jas semi formal yang tengah Yuta kenakan. Tak ayal hal tersebut membuat Yuta merasa dibumbung tinggi mendapati Haechan pergi bersamanya dan pakaian mereka yang senada menyempurnakan segalanya.

Haechan telah sampai tepat di depan Yuta. Sedangkan pria itu masih senantiasa terpesona dengan apa yang dilihatnya. Merekam benar-benar penampilan Haechan dari ujung rambut hingga ujung sepatu dongker mengkilapnya.

Haechan yang sadar ditatap demikian oleh Yuta, berdehem sejenak sampil meremat clutch berwarna dongker yang tengah ia pegang.

Yuta menghadiahi Haechan dengan senyum lebarnya. Membuat Haechan mau tak mau juga membalas senyum tersebut dengan senyum tipis miliknya.

"Kau siap?" Tanya Yuta setelah menegakkan tubuhnya yang sempat ia senderkan ke badan mobil.

Haechan mengedikkan bahunya sekilas. Melihat penampilannya sendiri.

"Seperti yang hyung lihat."

Yuta terkekeh ikut mengamati apa yang Haechan amati. Pria manis itu sesekali membenarkan kemejanya agar terlihat sempurna dan tidak kusut.

"Ya kau terlihat mempesona dimataku."

Blush

Katakan siapa yang tidak akan merona jika dipuji seperti itu. Terlepas Haechan tidak memiliki perasaan apa pun pada Yuta, tapi ia memanglah tipikal seperti itu. Tidak dapat menahan rona merah diwajahnya setiap kali orang lain memuji dirinya. Itu wajar bukan? Ditambah lagi Haechan mengerti maksud dibalik pujian dan tatapan memuja milik pria dihadapannya ini.

Keduanya memutuskan untuk bergegas berangkat. Yuta memutari mobilnya untuk membukakan pintu untuk Haechan. Haechan sendiri hanya menganggukkan kepalanya sopan untuk mengucapkan terimakasih. Ingin Haechan, Yuta memperlakukannya seperti biasanya tapi sepertinya hari ini akan ada perlakuan-perlakuan yang diluar kebiasaan dari Yuta kepada dirinya.

20 menit mereka berdua lewati dengan obrolan-obrolan ringan yang kebanyakan di awali oleh Yuta. Setelahnya mereka sampai di Gangnam. Memasuki gerbang megah yang akan menghantarkan mereka menuju kediaman Park Hyeon Joo pemilik sekuritas Mirae Asset yang saat ini tengah mengadakan acara peringatan ulang tahunnya.

Yuta kembali membukakan pintu untuk Haechan lalu menyodorkan lengannya pada pria manis tersebut. Ingin Haechan menolak, tapi Yuta dengan cepat meraih tangannya dan dilingkarkan pada lengannya sendiri.

Baiklah ini akan jadi yang terakhir.

Mereka berdua memasuki pintu kediaman Park, disambut dengan ruang tamu luas yang telah di sulap menjadi layaknya sebuah hall pesta. Keduanya berjalan semakin masuk, memutuskan untuk menghampiri pemilik acara untuk mengucapkan selamat.

Beberapa kali Yuta disapa rekan kerjanya yang kebetulan juga menghadiri acara yang sama. Jangan ditanya bagaimana keadaan Haechan kala mereka memandangnya seolah bertanya statusnya dengan Yuta. Yuta memang menjelaskan bahwa Haechan adalah temannya. Tapi nampaknya melihat bagaimana tangan Haechan masih setia melingkar pada lengan Yuta, membuat mereka hanya mengangguki dengan senyum menggoda –sedikit tidak percaya. Sedangkan Haechan hanya dapat menundukkan kepalanya dalam. Inginnya melepas apa yang menjadi bahan kecurigaan, tapi pria dengan senyum yang tidak pernah lepas dari wajahnya itu tetap menahan tangan Haechan pada lengannya.

Makin lama, Haechan makin dibuat tidak nyaman dengan keramaian. Yuta yang mengerti segera menarik pria manis itu ke arah halaman samping ruangan yang langsung bersebelahan dengan taman penuh bonsai sang pemilik dan dipercantik aliran sungai kecil buatan.

"Di sini lebih sepi." Ujar Yuta.

Haechan sedikit mendesah lega. Melangkahkan kakinya pada pagar tembok pembatas rendah. Menumpukan tangannya di sana dan mulai menikmati keindahan yang ditawarkan oleh taman milik tuan Park.

Yuta tersenyum. Ikut melangkahkan kakinya menuju tempat Haechan berdiri dan menyandarkan tubuhnya pada pagar yang sama, dengan posisi tubuh menyamping menghadap Haechan dan tangan yang dilipat di depan dadanya yang bidang.

"Ku pikir kau akan menyukainya, mengingat kau tidak begitu suka berada di keramaian." Ujar Yuta yang tengah mengamati wajah Haechan dari samping.

Haechan tersenyum sekilas, masih melayangkan maniknya ke depan sana. Sebelum menjawab perkataan Yuta tanpa repot-repot menoleh pada pria yang masih senantiasa memperhatikannya itu.

"Itu masuk akal mengingat Park Hyeon Joo seorang milyader korea selatan yang cukup terkenal."

Yuta mengangganggukkan kepalanya, membenarkan perkataan Haechan.

"Kau benar. Dan ku rasa tempat ini memberikan kita waktu untuk berdua." Ujar Yuta kembali dengan nada misteriusnya.

Haechan tentu tau apa yang Yuta maksudkan. Mungkin benar apa kata Jaemin bahwa ia tidak boleh mengulur waktu lebih lama lagi untuk menjelaskan semuanya pada Yuta. Setidaknya dengan begini Yuta tidak akan terlalu tersakiti dengan keputusannya.

Haechan mulai memantapkan hatinya. Mengepalkan pegangan tangannya pada pagar pembatas dan mulai menghadapkan tubuhnya ke arah Yuta berdiri.

"Yuta hyung –"

"Aku yakin kau mengetahuinya, Haechan." Yuta memutus kalimat Haechan.

Semakin memandang manik Haechan dengan pandangan dalam penuh perasaan miliknya. Mencoba menyalurkan apa yang dirasakannya pada Haechan.

Senyumnya menghilang. Digantikan wajah tegas penuh keseriusan meskipun masih terlihat menyenangkan bagi Haechan.

"Perasaanku padamu."

Haechan mengeratkan kedua tangan di samping tubuhnya.

Haruskah sekarang?

Haechan mulai memantapkan hati, memberanikan diri untuk menjelaskan apa yang sempat ia niatkan sejak tadi.

"I –itu aku –"

"Mari kita bicara lebih terbuka. Dan aku tidak akan menahannya lagi."

Yuta kembali tidak memberikan Haechan kesempatan berbicara barang sedikit pun. Yuta hanya merasa bahwa Haechan harus mendengarkannya terlebih dahulu. Karena demi Tuhan pria kelahiran Jepang itu belum siap untuk mendapat kemungkinan alasan panjang dari Haechan.

"Aku mencintaimu."

Deg

Bolehkah Haechan berharap Yuta tidak pernah mengatakannya? Karena sungguh hal itu membuatnya semakin merasa bersalah.

"Yuta hyung –"

"Sejak 4 tahun yang lalu." Tambah Yuta.

A –apa?

Haechan membolakan maniknya. Ia tidak mengira bahwa Yuta telah memiliki perasaan padanya selama itu –sejak mereka berdua masih berada di klub yang sama. Dan sosok seniornya itu memilih untuk memendamnya. Selama ini?

Haechan bahkan tidak pernah membayangkan betapa tersiksanya Yuta dalam jangka waktu selama itu. Apakah ia terlampau bodoh di sini hingga tidak menyadarinya? Ataukah memang Yuta yang terlalu pintar menyembunyikan perasaannya?

Perasaan bersalah mulai memenuhi diri Haechan. Ia tidak menyangka bahwa ia menggantungkan perasaan orang lain sejauh ini. Menyakiti perasaan lain separah ini. Tapi perasaannya tidak bisa dibohongi. Bagaimana pun ia memaksa, Haechan tetap tidak bisa menganggap Yuta lebih dari ini –lebih dari seorang adik pada sosok kakak yang dikaguminya. Yuta memang mempunyai kenyamanan yang Haechan idam-idamkan, yang Haechan butuhkan, tapi hatinya ingin lebih dari itu. Dan ruang khusus dihatinya bukanlah tempat untuk Yuta. Memilahnya menjauh dari ruang itu dan memasukkannya pada ruang lainnya.

"Aku –Yuta hyung, maafkan aku."

Sejenak Haechan menundukkan kepalanya dalam, mencoba mengais napas untuk kembali membangun keberaniannya.

Semua harus di akhiri sekarang. Ya, benar.

Haechan kembali memandang manik Yuta dengan perasaan bersalah yang makin kentara.

"Maafkan aku, Yuta hyung. Maafkan aku yang hanya bisa melihatmu sebagai sosok yang ku kagumi. Sama seperti aku pada Taeyong hyung. Aku –aku tidak bisa melihatmu lebih dari itu."

Yuta dapat mendengar dengan sangat baik semua untaian penolakan yang diutarakan oleh pria manisnya.

Wajah tenang itu berganti tersenyum getir. Hatinya tercubit sakit.

Setelah penantian lamanya, haruskah berakhir seperti ini?

"Sudah ku duga." Jawab Yuta yang sukses mengundang tanda tanya besar bagi Haechan.

"Huh?"

"Kau menyukai Mark?" Tanya Yuta yang sukses membuat Haechan sedikit tersentak dan membulatkan maniknya lebar.

"A –apa?"

Yuta kembali tersenyum melihat bagaimana Haechan kaget mendengar isi pikiran yang selama ini mengganggunya. Melihat bagaimana reaksi Haechan, membuat pria Jepang itu dapat menarik kesimpulan bahwa apa yang ia tebak selama ini adalah benar adanya.

"Haechan."

Yuta ingin kembali menyuarakan isi pikirannya sebelum sebuah suara terdengar mengusik obrolan yang kian serius antaranya dengan Haechan.

Haechan yang namanya disebut, menolehkan maniknya menuju pintu kaca geser yang menghubungkan dengan ruangan pesta. Yuta juga ikut mengikuti arah pandang Haechan. Dan tebak apa yang ia dapati? Sosok yang menjadi alasan penolakannya tengah berdiri di sana. Di tempat yang sama dengan mereka.

"Mark hyung?"

Mark melangkahkan kakinya semakin mendekat ke tempat Haechan dan Yuta tengah berdiri. Sosok pria tampan itu entah kenapa terlihat begitu dingin kali ini, memaksa Haechan mengingat kejadian yang melibatkan mereka bertiga di Jeju beberapa hari yang lalu. Perasaan takut kembali menderanya.

Tidak lagi. Ku mohon tidak lagi.

"Kau kemari juga ternyata." Ucap Mark tenang sambil menatap tepat pada manik Haechan.

Kemudian maniknya berganti menjadi lebih tajam dari sebelumnya menuju pria yang telah resmi menjadi rivalnya.

"–bersama Yuta."

Mark sempat tidak yakin kala ia melihat sosok Yuta saat mengambil gelas minumannya tadi. Kalau pun benar, ia sungguh tidak peduli pria Jepang itu menghadiri acara yang sama dengannya. Tapi kemudian sosok pria manisnya ikut terlihat. Dan kenyataan bahwa Haechan datang bersama Yuta mengubah segalanya. Mark tentu saja tidak bisa untuk tidak peduli.

Yuta terkekeh pelan. Mengingat bagaimana Mark datang ke galerinya kemarin.

"Senang bertemu lagi denganmu, Mark."

Mark memutus tatapan tajamnya pada Yuta. Kembali memusatkan atensinya pada Haechan yang masih senantiasa terpaku dengan kedatangan pria tampan yang telah mencuri hatinya itu.

"Aku datang menagih janji waktu itu." Ujar Mark dengan lembut.

"Huh?"

Mark tersenyum tipis. "Kita perlu bicara."

Mengingatkan pria manisnya tentang pembicaraan mereka dalam mobil yang gagal beberapa hari lalu.

Pikiran Haechan melayang pada kejadian siang itu. Ketika untuk kedua kalinya mereka harus mengakhiri pembicaraan mereka yang sangat mendesak untuk segera dituntaskan. Dan Haechan sangat ingat bahwa waktu itu ia menjanjikan waktu untuk Mark. Kapan pun pria itu mau, Haechan akan menunggu.

"Dan ku rasa, aku memiliki waktu senggangku, sekarang." Lanjut Mark menatap Haechan semakin dalam. Mengucapkan tiap kata yang terasa tidak mau dibantah tentang 'waktu senggang' dan 'sekarang'.

Tapi kemudian Haechan kembali ditampar akan situasinya yang memang tengah menemani Yuta di acara ini. Inginnya melemparkan diri pada Mark, tapi pikiran rasionalnya kembali mengingatkan pada aturan kesopanannya. Bagaimana pun itu, meskipun Haechan ingin, ini akan sangat tidak adil untuk Yuta. Membuatnya berusaha keras untuk membuat Mark mengerti bahwa 'waktu senggang' dan 'sekarang' milik Mark tidak bisa ia penuhi saat ini.

"Tapi Mark hyung aku –"

"Hey Mark. Haechan datang bersamaku, jika kau tidak tau." Kali ini Yuta melerai keduanya.

Haechan menundukkan wajahnya. Sedangkan Mark kembali melayangkan tatapan tajamnya menuju Yuta.

"Ya, aku bisa melihatnya. Tapi aku jauh lebih dulu membuat janji dengan Haechan. Kau ada masalah dengan itu?" Ucap Mark dengan penuh penekanan.

Sungguh, kali ini ia tidak ingin dilangkahi lagi. Sudah cukup waktu itu, pria Jepang dihadapannya ini mengambil waktunya dengan sangat tidak sopan. Memonopoli Haechan. Dan Mark rasa tidak akan ada cela baginya setelah ini jika dirinya tetap membiarkan Haechan bersama Yuta. Mark hanya takut pikiran buruknya menjadi kenyataan. Tentang bagaimana Haechan jatuh ke pelukan Yuta, tentang bagaimana dirinya kehilangan kesempatan untuk mendapatkan Haechan.

Yuta terkekeh mendengar ucapan Mark. Menyadari bahwa gertakan Mark digalerinya beberapa hari yang lalu bukanlah hanya bualan semata. Yuta bahkan dapat melihat dengan jelas bagaimana manik tajam itu melayangkan tatapan membunuh terbaiknya.

Yuta mengedikkan bahunya sekilas. Sebelum menatap Haechan kembali. Menyerahkan segala keputusan pada pria manis yang tengah menjadi bahan rebutan mereka berdua.

"Apa boleh buat. Bagaimana Haechan?"

Haechan menggigit bibirnya kuat. Terlalu bingung dengan situasi yang ada. Di satu sisi ia ingin memilih Mark karena ia takut kembali mengambil keputusan yang salah sama seperti kejadian di Jeju waktu itu dan tidak berakhir baik untuk dirinya maupun Mark. Tapi di sisi lain otak rasionalnya yang menjunjung tinggi keadilan, membela diri untuk lebih memilih Yuta saat ini.

"Aku –"

"Kau sudah berjanji." Ingat Mark kembali.

Persetan dengan sesuatu tentang tidak memaksakan kehendaknya pada Haechan yang selalu ia tanamkan baik-baik. Mark yang kali ini merasa batas teritorialnya semakin terancam, merasa harus melakukannya segera. Ia tidak memiliki pilihan lain bukan?

"Jangan mempersulitnya." Sanggah Yuta.

Yuta tau Mark adalah sosok yang arogan dibalik kepribadiannya yang sangat dingin dan tenang. Pria itu memang sudah menunjukkan sisi gelapnya dengan sangat gamblang pada dirinya. Tapi pada Haechan, Yuta tidak pernah tau Mark akan seperti itu mengingat perlakuannya yang kelewat lembut sejauh ini.

Apakah sekarang ia telah kelewat batas mengusik pria itu?

Baiklah

Mungkin sekarang saatnya Yuta untuk mengalah –sejenak. Memberi ruang pada Mark dan Haechan untuk bicara. Anggap saja sebagai tanda permintaan maaf karena dengan seenaknya menarik Haechan untuk ikut dengannya waktu itu. Mengabaikan pria manisnya yang sepertinya berusaha untuk menjelaskan sesuatu.

"Baiklah, sepertinya kau harus pergi dengan Mark, Haechan. Ku rasa aku sudah selesai hari ini dan kita bisa lanjutkan lagi lain waktu." Ucap Yuta pada akhirnya pada Haechan. Menghadiahkan senyum terbaiknya untuk mencegah pria manis itu semakin dirundung rasa bersalah tidak beralasannya.

Haechan terlalu baik. Dan Yuta sangat hapal akan hal itu.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Mark segera meraih tangan Haechan untuk ia genggam. Menariknya dengan pelan untuk mengikuti langkah kakinya.

"Ayo ikut aku."

Menjauh dari pandangan Yuta yang masih senantiasa melihat dua sosok tersebut sampai tak terlihat lagi. Yuta tersenyum mengejek pada dirinya sendiri.

Haruskah ia menyerah sekarang?

.

.


TURN BACK POINT


.

.

Setelah kejadian penarikan Mark padanya beberapa saat lalu, pria tampan itu segera membawa Haechan menuju mobilnya. Berniat meninggalkan tempat ini tanpa repot-repot mengucapkan salam undur dirinya pada tuan Park –sang pemilik acara. Mengabaikan norma kesopanan yang sebagaimana harusnya, mengingat Park Hyeon Joo merupakan rekan kerja kelas kakap perusahaannya.

Persetan dengan hal itu, karena saat ini urusannya dengan Haechan jauh lebih penting dari pada apapun.

Mark menginjak pedal gasnya dalam. Membelah jalanan Gangnam yang memang sedang lenggang dikarenakan jam pulang kerja telah lewat satu jam yang lalu dan hari mulai beranjak petang.

Sepanjang perjalanan hanya dihiasi keheningan. Tidak ada satu pun dari keduanya yang berniat untuk membuka suara barang memecahkan keheningan yang ada. Sebenarnya Haechan tengah menahan dirinya. Inginya mengatakan sesuatu, tapi aura Mark saat ini seperti memberikan peringatan pada Haechan untuk tidak mengusiknya. Dan hanya terus menutup mulutnya rapat, memberikan waktu untuk pria tampan itu menenangkan diri.

Haechan menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Tangannya menggenggam erat sabuk pengaman yang tengah memeluk tubuh mungilnya yang entah kenapa terasa begitu menyesakkan. Pria manis itu kembali mencuri pandang pada pria tampan di sampingnya.

Mark masih senantiasa diam. Wajahnya kian mendingin. Auranya sukses membuat Haechan menggigil. Belum lagi maniknya yang menatap tajam jalanan di depannya tanpa berniat barang sedikit pun untuk melirik keadaannya.

Demi Tuhan Haechan makin gelisah saat ini. Takut Mark kembali marah seperti waktu itu. Bahkan ia rasa matanya mulai memanas memikirkan seluruh kemungkinan buruk yang tengah berkeliaran dibenaknya saat ini.

Mobil yang Mark kendarai tengah masuk ke jalanan perbatasan. Disambut dengan deretan pohon Maple besar yang beberapa daunnya meranggas tertiup angin malam.

Haechan kembali melirik Mark dengan ekor matanya. Tatapan pria itu terasa semakin menggelap. Setelahnya Mark mendadak membanting setir, menepikan mobilnya tepat di bawah lampu jalan berwarna kuning.

Jalanan tengah sepi saat ini. Tidak ada satupun kendaraan yang melintas. Hanya ada mereka berdua.

Pria tampan itu masih senantiasa pada bangku kemudinya. Terlihat mencoba menormakan napasnya entah karena apa yang sungguh membuat Haechan tidak mengerti. Setelahnya tangan berhiaskan otot samar yang menonjol itu mulai melepas kemudi dan sabuk pengaman yang mengukung tubuhnya, beralih membuka pintu mobil, menutupnya keras, mengeluarkan diri untuk sekedar meredam emosi yang tengah melandanya.

Mark berjalan ke depan mobil dengan langkah yang tampak frustasi. Menengadahkan kepalanya menuju langit berajak gelap yang masih dihiasi semburat merah jingganya di sela rimbunnya pohon Maple. Kedua tangannya ia letakkan pada pinggang kokohnya. Menahan beban tak kasat mata yang makin terasa menyesakkannya.

Haechan yang melihat gerak-gerik Mark tentu saja merasa khawatir. Dengan cepat pria manis itu melepas sabuk pengamannya dan megikuti apa yang si pria tampan lakukan –keluar dari mobil. Haechan membawa langkah kakinya dengan keberanian hanya sebesar biji kacang untuk semakin mendekati Mark.

"Mark hyung." Panggil Haechan tapi enggan untuk mendekat lebih dari ini.

Mark memejamkan matanya.

Suara lembut itu.

Hening kembali melanda. Mark membelakangi Haechan. Sedangkan Haechan masih menunggu dengan perasaan makin gelisah dibelakang Mark.

Sesaat setelahnya pria yang tampak sedang kacau itu menghembuskan napasnya dengan kasar sebelum menghempaskan kedua tangannya dari pinggang kokohnya dan beralih menghadap Haechan yang tengah menatapnya khawatir tepat di belakang tubuhnya.

Masih dengan keterdiamannya. Mark hanya membalas teguran Haechan dengan tatapan tajam sulit diartikan miliknya. Haechan kembali menggigit bibir bawahnya pelan. Menggenggam erat kedua tangannya untuk mengumpulkan keberanian menyuarakan isi kepalanya lagi.

"Mark hyung ada apa?" Tanya Haechan dengan suara yang cukup lirih.

Mark melemahkan pandangannya. Nyatanya apa yang dilakukan Haechan dengan mendekat ke arahnya, mengkhawatirkan keadaannya dengan tatapan sedalam itu, seakan mengundang Mark untuk membagi semua yang tengah mengacaukan dirinya saat ini.

Aku tidak tahan lagi.

Menyerah dengan situasi yang ada, kaki jenjang Mark dengan tergesa berjalan mendekat ke arah Haechan. Dan –

Grep

Kedua lengan kokoh itu menarik tubuh mungil milik Haechan. Memenjarakannya ke dalam dekapan erat yang sarat akan ke posesifan.

"Haechan jadilah milikku." Ujar Mark dengan tiba-tiba dan napas yang memburu.

Deg

Haechan tidak bisa untuk tidak melebarkan matanya. Belum selesai ia mengendalikan diri pasca gerakan tiba-tiba Mark yang memeluknya, kini ia kembali dikejutkan dengan ungkapan buru-buru pria tampan itu. Detak jantungnya makin bekerja adengan menggila.

"Mark hyung –"

Mark makin mengeratkan pelukannya hingga membuat Haechan sedikit sesak karena kungkungan tubuh tegap itu.

"Aku tidak bisa menahannya lagi. Sungguh. Bahkan setelah kegagalan malam itu dan kemarin siang." Ujar Mark dengan nada yang terdengar cukup frustasi.

Pelukannya melemah. Kini kepala Mark beralih terkulai tidak berdaya pada pundak sempit milik Haechan. Berujar dengan sangat putus asa.

"Ku rasa aku nyaris gila karenamu."

Haechan menahan napasnya. Menikmati bagaimana ungkapan Mark menyesakkan napasnya dan meledakkannya dengan perasaan yang makin membumbung tinggi.

Mark menjauhkan tubuhnya. Sedikit menjaga jarak. Memegang kedua bahu Haechan. Memaksa pria manis dengan ukuran tubuh lebih mungil itu untuk menatapnya. Menyuarakan hal yang mengganggunya –mengusiknya.

"Sudah cukup aku melihatmu bersama pria Jepang itu lagi hari ini. Dan aku tidak suka. Aku marah, bahkan aku bisa saja melenyapkannya segera."

Kilatan emosi dalam manik tajam tersebut dapat Haechan lihat. Baru kali ini Haechan melihat sisi lain Mark yang seperti ini. Karena sejauh yang ia tau, Mark adalah sosok dingin yang memiliki ketenangan dan pengendalian diri sangat baik.

Mark –pria tampannya tengah dibakar api tak kasat mata. Dan iku karena ulahnya. Membuat Haechan kembali menyalahkan dirinya –lagi dan lagi. Menyadari betapa pun inginnya untuk tidak menyakiti keduanya, selalu berakhir tidak baik pula bagi Mark maupun Yuta.

"Aku tidak mau terus gelisah seperti ini. Jadi .." Mark menghentikan kalimatnya. Mengambil napas dalam untuk menenangkan dirinya untuk kemudian melanjutkan –

"Jadilah milikku. Jadilah kekasihku. Haechan."

Mark menuntaskan kalimatnya dengan pandangan yang tertuju tepat pada manik Haechan. Menenggelamkannya pada luapan perasaan yang tidak bisa pria tampan itu bendung lagi.

"Mark hyung." Sebut Haechan lirih.

Dari serangkaian kemungkinan kalimat yang dapat Haechan ucapkan, nyatanya hanya nama Mark lah yang mampu ia sebut. Hatinya tengah bergejolak, merasakan gelombang perasaan mulai menghanyutkannya hingga lupa diri.

Mark yang melihat Haechan masih juga terdiam, tidak dapat menahan pikiran buruknya akan kemungkinan penolakan pria manisnya itu.

Tatapannya makin melemah. Berujar makin memelas menandakan betapa tersiksanya ia saat ini.

"Ku mohon jangan katakan tidak. Aku rasa aku bisa mati sekarang."

Mark menundukkan kepalanya. Memperlihatkan betapa kacau dan putus asa dirinya saat ini. Siapa sangka sosok pria dengan kepribadian setenang Mark dapat berada dalam posisi seperti ini.

Haechan mengangkat tangannya. Meraih wajah Mark untuk dibelainya lembut. Mencoba menyadarkan Mark dari pikiran buruknya.

"Tentu saja aku tidak akan membiarkannya." Ujar Haechan yang sukses membuat Mark kembali mengangkat wajahnya.

Pandangan mereka kembali bersibobrok. Menghantarkan perasaan masing-masing. Setelah dirasa cukup, Haechan menghadiahkan senyum terbaiknya untuk pria tampan yang tengah kacau dihadapannya itu. Menjawab apa yang sempat Mark minta, berharap dengan begitu akan memperbaiki situasi yang ada. Mengenyahkan kegelisahan yang melanda Mark –juga dirinya.

"Y –ya, aku –aku mau." Jawab Haechan dengan tersendat karena gugup.

Haechan menelan ludahnya dengan susah payah kemudian mengulangi jawabannya dengan kalimat yang lebih jelas.

"Aku mau menjadi kekasihmu, Mark hyung."

Mark masih senantiasa terdiam mencoba mencerna apa yang baru saja tertangkap oleh indera pendengarannya.

"Apa?"

Bukannya Mark tidak mendengarnya. Hanya saja ia perlu meyakinkan dirinya.

"Ucapkan sekali lagi." Pinta Mark.

Kini berganti Haechan yang bersikukuh untuk diam. Mengundang suara rengekan memohon yang tampak bukan tipikal Mark sama sekali. Tapi sepertinya pria itu sudah cukup putus asa. Hingga memohon adalah satu-satunya yang dapat ia lakukan untuk meminta jawaban yang dapat menenangkan dirinya saat ini.

"Sekali lagi, Haechan. Ku mohon sekali lagi."

"Aku mau menjadi kekasihmu, Mark hyung." Ulang Haechan dengan perlahan dan lebih jelas.

Mark meraih tangan Haechan yang masih senantiasa membingkai wajahnya. Tangan lebarnya ia tangkupkan tepat di atas tangan mungil milik Haechan. Memaksanya untuk tetap berada di sana memberikan kehangatan yang dipuja Mark sejak lama. Menggesekkan wajahnya pada tangan lembut itu dan memejamkan matanya dalam, merasakan betapa ketenangan akhirnya bergerak melanda dirinya saat ini.

"Terasa memakan waktu ribuan tahun bagiku." Keluhnya.

Mark perlahan membuka maniknya. Menghadiahi Haechan dengan tatapan lembut penuh cinta miliknya. Tangan Mark perlahan melepaskan bingkaian tangan Haechan dari wajahnya. Menggenggamnya erat diantara jarak tubuh mereka.

Genggaman tangan kanannya ia lepaskan kemudian. Beralih meraih wajah Haechan untuk semakin mendongak seiring jarak yang semakin Mark persempit.

"Bolehkah?" Ijin Mark yang dapat Haechan pahami.

Haechan tersenyum manis. Senyum termanis yang pernah Mark lihat sepanjang hidupnya.

Pandangan keduanya berubah sayu. Manik Mark yang awalnya menatap fokus pada manik Haechan, kini telah beralih pada bibir merona menggoda milik pria manisnya.

Wajah merona Haechan sangat cantik diterpa lampu jalan yang temaram. Membuat Mark tidak menunggu waktu lebih lama lagi dan mendekatkan wajah mereka berdua. Mengikis jarak yang kian menyempit menjadi tidak ada sama sekali.

Chu

Bibir ini

Candunya

Mark menyesap dalam bibir Haechan.

Tangannya beralih menuju leher milik pria manisnya. Menariknya semakin mendekat dalam rangka memperdalam ciuman mereka. Menyesap bergantian bibir atas dan bawah milik Haechan.

Haechan sendiri hanya bisa membalas ciuman Mark seadanya. Yang ia lakukan hanya menyerahkan dirinya. Ciuman Mark melemahkannya. Sangat wajar baginya hingga terasa sulit bahkan untuk sekedar mengendalikan dirinya. Sekujur tubuhnya semakin melemas. Suhu tubuhnya meningkat dengan panas yang terpusat pada wajahnya.

Pasti wajanya terlihat sangat merah sekarang.

Napas Haechan kian memburu. Sedangkan Mark masih dengan ciuman yang semakin lama semakin menuntut. Haechan meremas kuat tangan Mark yang masih bertautan dengan tangannya. Mencoba sekuat tenaga untuk bertahan lebih lama lagi.

Setelahnya Mark memutus ciumannya. Memberikan Haechan waktu untuk bernapas karena dirasa napas pria manisnya kian putus-putus.

Ciuman terputus, Haechan dengan serakah meraup udara yang mampu didapatnya. Sedangkan Mark masih dengan tenang mengamati wajah merah merona Haechan dengan senyuman lembut dan tatapan memuja miliknya.

Cantik

Entah untuk yang ke berapa kali Mark jatuh pada pesona Haechan.

Mark menempelkan dahinya pada dahi Haechan. Tatapan keduanya kembali bersibobrok menghantarkan luapan perasaan masing-masing. Hati keduanya berubah menghangat seiring kata cinta dan kepemilikan yang baru saja terucap dari bibir masing-masing.

"Aku mencintaimu Lee Haechan. Sangat mencintaimu."

Mark melepas sisa genggaman tangannya pada tangan Haechan. Mengalihkan lengan itu untuk meraih pinggang ramping pria manisnya. Mengukungnya dengan sangat posesif. Hingga menghilangkan jarak barang satu senti pun. Tubuh mungil Haechan telah menempel sempurna pada tubuh bidang Mark.

"Kau milikku."

Dan malam itu keduanya kembali berakhir dengan ciuman dalam. Di bawah lampu jalan yang temaram. Diiringi hembusan angin malam dengan beberapa daun Maple yang ikut berguguran.

.

.

.

.

.

.

.

TO BE CONTINUED


Author's corner

First, makasih banget buat Ica yang udah mewarnai line ku dengan ocehan panjangnya. Ini hasil delusi kita semalaman. Semoga up nya TBP bisa bikin bapernya Icha sedikit berkurang ya haha.

Done! MarkHyuck jadian! Yang gemes sama Mark, mengertilah anak laki saya butuh proses wkwkwkw. Dan seriusan aku jadi merasa bersalah sama Yuta. Please kalian jangan ada yang membenci Yuta karena dia disini sebagai gula tambahan buat cup of tea ku. Aku sempet mikir apa aku salah pake Yuta jadi peran ketiga liat kalian yang jadi gereget gemes kayak pengen nyakar atau apalah itu. Kan gak asik gitu ya kalo jalan Mark menuju Haechan mulus-mulus aja. Yakan?

Maaf banget buat kalian yang selalu ngikutin TBP karena updatenya lama. Sedikit curhat mungkin, aku seorang fresh graduate, jadi sekarang lagi nyari kerja sana sini, panggilan tes, kadang ikut pelatihan sama seminar, dan itu bener-bener gak ngasih aku kesempatan buat berimajinasi sesering yang aku ingin, jangankan itu, bales pm aja lama –efek karena pm ku sering bermasalah sih, gatau kenapa. Salahku juga baru memutuskan mulai nulis saat menjelang sibuk-sibuknya. Aku suka gak enak hati bikin kalian menunggu lama, takut keburu lupa hehe, tapi yaa apalah daya. Aku cuma berharap kalian bisa sedikit mengerti.

Aku gabisa janjiin update ff sering-sering. Tapi aku bisa janjiin ff dengan word panjang disetiap chapternya. Ku harap itu sepadan sama waktu updatenya yang cukup lama. Dan seriusan ini ff paling menyita perhatianku. Nulisnya paling pake hati, harus mantengin momen MarkHyuck dulu –God bless buat Grazia kemarin malam /cryhard/, harus dengerin melodi indah dari DooPiano –kalo kalian ada yang tau.

Menanggapi beberapa komentar masuk yang jadi top list sejauh ini, karena aku belum bisa reply satu-satu dan beberapa ada yang pake akun tidak dikenal alias 'guest', aku memutuskan bikin kolom Q&A di corner kali ini:

1. Naik rate? Kembali lagi ke karakter Mark yang aku bentuk di ff ini, meskipun dia itu sebetulnya punya bakat-bakat bangcat, tapi dia pria sejati yang gaakan lepas kendali sebelum resmi. Dan ya, aku ada rencana naikin rate tapi tunggu sampai Mark berani nikahin Haechan /giggles/.

2. Bakal jadi berapa chapter? Sejujurnya awal aku bikin ff ini, aku memutuskan bikin romance yang pelan-pelan dan bakal berakhir saat Mark dan Haechan jadian. Mungkin sampe 8 chapter aja. TAPI, karena respon kalian cukup memuaskan –dimana itu bikin aku seneng banget TT, dan menanggapi poin pertama juga, aku memutuskan untuk sedikit memperpanjang chapternya paling gak sampek MarkHyuck nikah biar bisa nyelipin scene 'malam tanpa siang di atas ranjang'. Tapi tolong jangan berekspektasi terlalu tinggi karena aku belum berpengalaman nulis adegan ranjang.

3. Upload wattpad? Sejujurnya aku punya akun wattpad dengan username yang sama. Tapi sejauh ini akun itu cuma aku pake buat baca beberapa fiksi fantasi inter. Aku penggemar berat fantasi anw, dan jika ada satuuu aja di sini yang mau bikinin aku ff MarkHyuck fantasi yang gereget dan ada bumbu-bumbu rated M nya –atau ngeremake cerita fantasi yang udah ada juga gpp, aku gatau harus bilang apa, kemari, aku akan kasih kecupan terimakasih sebanyak-banyaknya. Mungkin ke depannya aku bakal upload ff ke wattpad juga. Tapi gak dalam waktu dekat. Ya setidaknya sampai TBP mencapai kata 'complete'. Sekali lagi ini cuma rencana. Sebelum itu, ku harap kalian udah cukup puas sebatas di FFN aja, oke.

Sekian cuap-cuap kali ini. Panjang banget kan ya? Hahahaa. Semoga gak mengganggu dan ada yang berkenan membaca. Sampai jumpa di chapter selanjutnya. Salam MarkHyuck shipper. Please love MarkHyuck more. Love you all as well. Saranghae pyeong~