Lagi dan Lagi


Matahari merangkak naik saat aku membawa istri dan anak kembarku memasuki mobil. Kami mengawali semuanya dengan penuh senda-gurau.

Di mobil Jisoo dan Minsoo tak henti-hentinya berceloteh. Mereka berdua duduk di kursi belakang dan tampaknya mereka berdua sedang asik-asiknya menggumamkan hal-hal lucu dan berbeda di sepanjang perjalanan mereka sembari memandangi jalanan Seoul yang tak seramai biasanya.

"Mereka lucu sekali ya, Sayang?"

Aku menatap ke arah Taeyong dan mendapati istriku yang manis ini terpaku menatapi tingkah dua malaikat kecil kami. Tatapannya begitu takzim dan memuja, dan aku yang terduduk di sebelahnya pun menyadari bahwa aku balas menatap istriku ini dengan tatapan yang tak kalah memuja.

"Aku tak menyangka Jaehyun kalau sebentar lagi Minsoo dan Jisoo akan memiliki adik baru." Taeyong angkat bicara. Pandangannya belum beralih dari kedua malaikat kami.

Sesekali aku juga menatapi dua malaikatku dari balik kaca kemudi dan detik berikutnya aku mendapati kedua pipiku yang mengembang dengan dua sudut bibir yang terangkat ke atas. Saat memandangi dua malaikat kecilku yang sedang berceloteh dan menanggapi ucapan satu sama lain dengan logat menggemaskan mereka, tertawa bersama dan saling menunjuk dengan antusias saat melihat ada sebuah mobil yang mendahului laju mobil kami.

Aku tersenyum bahagia. Perasaanku menghangat. Kalau aku tahu jika memiliki tujuan akhir untuk pulang berarti akan merasakan kebahagiaan yang tiada tara seperti ini, maka aku pasti tidak akan pernah melakukan kesalahan fatal yang lainnya lagi. Kesalahanku yang menjadi orang berengsek dan tamak. Aku jadi sangat membenci diriku sendiri saat aku mengingat bagaimana masa laluku yang dulu dan berakhir dengan terus meratapinya. Benar-benar menyedihkan.

"Mereka pasti akan sangat bahagia karena akan mendapat adik baru," timpalku. Aku memfokuskan diriku kembali ke kemudi. Sesekali menoleh ke arah Taeyong untuk mendapat respon darinya. "Tapi bagaimana perasaan Minsoo dan Jisoo ya saat mereka tahu kalau sebenarnya mereka berdua itu memiliki kakak?"

Ucapanku melirih. Pandanganku menyendu sampai akhirnya aku menyadari tangan lembut Taeyong meraih tangan kiriku dan menggenggamnya erat. Taeyong memandangiku lekat dengan tatapan lembutnya. Itu membuat dadaku berdetak tak keruan dengan segala perasaan bersalah yang kembali menyelimutiku.

"Semuanya sudah berlalu, Jaehyun." Taeyong berucap. "Kau tidak bisa menghakimi dirimu sendiri karena masa lalu yang telah terjadi," tambah Taeyong lagi.

Aku memfokuskan diri pada kemudiku, sesekali aku menoleh pada Taeyong karena aku benar-benar tak bisa menahan diri dari tatapan lembut Taeyong yang tersirat dari kelereng legamnya itu.

Aku bergerak gelisah. "Tapi jika bukan karena kesalahan di masa lalu karena perbuatanku… mungkin saja kakak-kakak Minsoo dan Jisoo masih di sini. Terlahir ke dunia dan ikut berkumpul merasakan kebahagiaan bersama kita. Seperti apa yang Minsoo dan Jisoo rasakan."

Taeyong mengeratkan genggamannya di tangan kiriku. "Sudah kukatakan padamu sebelumnya, Jaehyun. Semuanya sudah berlalu." Aku menoleh ke arah Taeyong sekilas dan mendapati Taeyong yang tersenyum tipis namun terlihat begitu tulus padaku. "Masa lalu yang terjadi sudah tidak dapat diubah lagi. Semua yang terjadi di masa lalu baik itu kenangan yang indah atau buruk memang akan selalu ada menghantui kita karena mereka abadi," Taeyong menjeda ucapannya sejenak, "Tapi Jaehyun, masa lalu terjadi supaya itu bisa menjadi pembelajaran untuk kita. Bagaimana kita bisa berubah menjadi manusia yang lebih baik lagi. Menjadi orang tua yang lebih baik lagi dan supaya kita tidak akan mengulang kesalahan yang sama lagi di masa depan. Percayalah, kita akan menjadi orang tua yang baik untuk anak-anak kita. Kita akan melakukan semuanya. Mengusahakan segalanya untuk anak-anak kita. Kita akan menjadi orang tua terbaik untuk anak-anak kita…" ujar Taeyong panjang.

Aku tercenung mendengarnya. Taeyong benar, untuk apa aku meratapi keberengsekanku di masa lalu yang jelas-jelas sudah tidak dapat diubah lagi. Taeyong benar. Aku menatapi istri manisku yang memandang dua malaikat kami bergantian dengan tatapan yang tak bisa dijabarkan. Yang kuketahui hanyalah tatapan sendu yang tersirat dari dua kelereng legamnya itu. Seberapa kerasnya Taeyong berusaha untuk menyembunyikan kesedihannya, itu tidak akan pernah berhasil. Kesedihannya selalu terlihat kentara di wajahnya, tatapan lembutnya yang selalu terpancar setiap pembahasan kami tentang masa lalu. Aku menyesal dan selalu merasa bersalah setiap kali melihat Taeyong dengan tatapan tegarnya, tapi Taeyong selalu berusaha menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja meski aku tahu ia merasa sangat terluka. Penyesalan yang kami rasakan terlalu terlambat untuk disadari dan bagian terburuknya adalah penyesalan yang terjadi pada kami itu terus menghantui hidup kami bahkan hingga detik ini.

Taeyong benar. Tidak ada gunanya terus meratapi masa kelam kami. Masa lalu biarlah menjadi masa lalu, masa lalu adalah tonggak kebahagiaan yang kami rasakan saat ini. Aku menatap Taeyong sekilas, ia menatapku lekat.

Taeyong, izinkan aku untuk memperbaiki semua kesalahanku.

Izinkan aku menciptakan masa depan yang indah bersamamu…

…dan juga anak-anak kita.


Sedan hitam yang kubawa berhenti di sebuah lobi rumah sakit. Taeyong membangunkan anak kembar kami yang jatuh tertidur setelah lelah berceloteh. Ujung mataku menatap ke arah kaca kemudi dan tersenyum hangat ketika melihat Minsoo dan Jisoo menguap dengan gaya lugu khas anak-anaknya.

"Sayang, kau masuk duluan saja ya. Aku mau parkir dulu."

Taeyong mengangguk. Tangan kanannya menggandeng ujung lengan kiri Minsoo dan tangan kirinya menggandeng ujung lengan kanan Jisoo, mereka berjalan beriringan memasuki koridor utama rumah sakit itu.

Aku menyusul Taeyong saat selesai memarkirkan sedan hitamku dan berlari cepat untuk menyusul kemana istriku pergi tadi.

Aku menyusuri koridor rumah sakit itu cepat setelah bertanya pada resepsionis kemana istriku pergi tadi. Aku tersenyum, mendapati Taeyong yang sedang berbincang dengan seorang dokter wanita. Mereka tampak berbincang akrab bahkan sesekali wanita itu mencubit gemas pipi Minsoo dan Jisoo bergantian. Dan dengan bangganya, aku mengangkat tungkaiku untuk menghampiri mereka.

"Halo, Sayang." Aku mengecup bibir Taeyong sekilas sebelum akhirnya aku mendengar Taeyong berdumal karena malu.

"Jangan lakukan itu, Jaehyun. Ada Krystal noona di sini." Taeyong berkata sembari mendelikkan mata indahnya. Aku terkekeh.

"Hai, noona. Maaf ya kau harus melihat pemandangan yang sangat romantis ini. Kau pasti iri."

Wanita cantik yang kupanggil Krystal noona itu mencibir. "Yak! Dasar sekantung hormon hidup, kau sepertinya memang selalu bernapsu ya setiap bersama Taeyong."

"Hehe, noona tahu saja." Aku menanggapi celotehannya dengan senyum jenaka.

"Maafkan si Jung bodoh ini ya, Taeyongie. Kau jadi harus hamil berkali-kali karena dia," ujar Krystal noona sarkas, ia menatapku dengan tatapan mencibirnya namun berubah tersenyum sangat manis untuk Taeyong.

"Yak! Noona kenapa bilang begitu! Istriku yang sangat cantik ini saja tidak keberatan! Kenapa harus noona yang keberatan," ujarku. Aku mempoutkan bibir ke arah Taeyong dan berusaha meminta bantuan kepadanya agar istriku yang sangat manis ini mau membantuku supaya tidak ter-ejek oleh kakak sepupuku sendiri.

Taeyong terkikik pelan. "Dia memang selalu begitu, noona. Katanya aku memang selalu menarik di matanya dan yah… walau dia memang tidak lebih dari sekedar sekantung hormon hidup, tapi harus kuakui kalau dia sangat romantis, noona. Dia selalu membuatku jatuh cinta lagi dan lagi," ujar Taeyong mengacak surai kelabuku pelan.

"Hei, kau bahkan lebih romantis lagi, Sayangku. Oh, cintaku yang sangat manis." Aku menundukkan kepalaku untuk kembali mengecup bibir cherry itu.

"Yak—berhentilah menebar cinta di sembarang tempat, Jaehyun! Astaga—anak ini…" Krystal noona mencebik dan tawaku meledak melihat raut masamnya itu.

"Noona berhentilah merasa iri begitu," ujarku.

Krystal noona bersidekap. "Yah—kalian romantis sekali. Aku sampai iri," ujarnya. "Tidak-tidak! Aku tidak iri sama sekali! Suamiku bahkan seribu kali lebih romantis daripada tingkah cheesymu itu, Jaehyun!"

Heol, noonaku yang satu ini memang begitu. Ia terlalu tsundere untuk mengatakan kalau aku ini adalah tipikal suami idaman dengan kadar romantis paling tinggi di dunia.

"Sudahlah, Jaehyun. Kita kemari kan untuk memeriksakan kandunganku, bukan untuk mengganggu Krystal noona dan membuatnya kesal begitu."

Taeyong menyiku lenganku dan aku mengaduh pelan, bersungut sembari menampilkan senyum jenakaku lagi.

"Jadi kalian ingin memeriksakan keponakanku? Kenapa tidak bilang dari tadi, Taeyong! Ayo masuk ke ruanganku. Ajak Minsoo dan Jisoo sekalian, ya. Sudah lama sekali aku tidak mencubiti pipi mereka."

Krystal noona menggiring kami—aku, Taeyong dan kedua anak kembarku—memasuki ruangannya yang berada di sudut koridor lantai tiga. Koridornya tidak begitu ramai karena ini lantai tempat dimana orang-orang memeriksakan kandungan mereka. Aku melangkahkan kakiku ringan sembari menggandeng tangan lembut Taeyong karena Krystal noona sudah menggandeng tangan dua anakku dan mereka berjalan beriringan beberapa langkah di depan sana.

"Jaehyun! Ini di tempat umum!"

Taeyong mendelik saat aku kembali memiringkan kepala dan mulai mencium bibirnya perlahan. "Sebentar saja, Taeyongie," bisikku pelan.

Taeyong merotasikan bola matanya. "Yak—kau benar-benar sekantung hormon hidup, ya! Aku baru saja membelamu tadi."

Aku terkekeh pelan di tengah lumatanku. "Karena kau benar-benar sangat menarik. Makanya aku selalu bernapsu saat melihatmu," ujarku.

Aku menghentikan lumatan bibirku yang menimpa bibir Taeyong saat melihat istriku mulai terengah. "Demi tuhan—Jaehyun. Aku sedang hamil besar mana bisa aku mengimbangi napsumu yang bisa meledak dimana saja dan kapan saja!" Taeyong menggerutu pelan.

"Ssshh," aku mengecup bibir itu lagi. Kali ini hanya sekilas dan hanya berupa kecupan kecil, "Kau malah terlihat semakin menarik kalau sedang menggerutu begitu, Sayang. Bagaimana kalau aku kelepasan disini? AKHHH—" aku memekik di akhir kalimatku. Dan segera menutup mulut saat mendapati Taeyong menyeringai lebar setelah berhasil menginjak kaki kiriku.

Taeyong kembali melakukan kebiasaan lamanya dan itu berhasil membuatku merasa dejavu untuk beberapa saat.

"YAK, Taeyong! Kau tidak akan selamat setelah bayi kita lahir nanti! Itu janjiku!" aku memekikkan sebait kalimat itu dengan wajah yang selalu sama setelah selesai saling menggoda dengan Taeyong—tersenyum bodoh dengan tulang pipi yang mengembang, nyaris meledak.

Aish, Lee Taeyong.

Aku bisa gila karenanya.


"Kondisi kehamilan Taeyong saat ini normal. Semua keadaannya, tekanan darah, dan gula darahnya normal. Jika dimungkinkan, fase kehamilan Taeyong ini akan berjalan sesuai dengan perkiraan beberapa dokter kandungan disini, dan kabar baiknya Taeyong bisa melahirkan lebih cepat. Mungkin kalian bisa memikirkan tanggal yang cantik untuk persalinan Taeyong?"

Taeyong menyiku lenganku setelah mendengar penjelasan yang baru saja Krystal noona ucapkan itu. Ia menoleh untuk meminta pendapatku. Aku tersenyum padanya kemudian menggenggam lengannya erat. "Aku sangat bersyukur kalau kehamilan Taeyong kali ini sangat tidak menyiksanya, dan kurasa itu lebih dari cukup. Kurasa semua hari adalah hari yang baik. Kami akan menyerahkan waktu terbaiknya sesuai dengan prediksi seluruh dokter kandungan di sini ya kan, Sayang?"

Taeyong mengangguk. "Jaehyun benar. Aku tidak keberatan kalau bayiku lahir tepat waktunya, tidak perlu terlalu terburu-buru. Aku mau bayiku lahir dengan normal," ujarnya.

Krystal noona mengangguk, kurasa ia setuju atas pemikiran kami.

"Oke, aku bisa memaklumi keputusan kalian," Krystal noona beralih untuk mengambil secarik kertas dan membubuhkan beberapa resep di dalamnya, "Ini beberapa obat untukmu menjelang melahirkan. Beberapa obat pereda nyeri dan obat penambah darah. Jangan sampai kau kekurangan darah saat melahirkan nanti, Taeyongie."

Taeyong mengangguk dengan patuh. Aku yakin Taeyong tidak akan seceroboh itu melakukan hal-hal yang dapat mencelakakan dirinya dan bayi kami.

"Kemana Minsoo dan Jisoo, noona?" aku mengedarkan pandanganku dan mengerutkan dahi saat tak mendapati dua anak kembarku yang biasanya tak pernah berhenti mengoceh itu.

Krystal noona tersenyum. "Mereka pergi bersama suamiku tadi."

"Mereka pergi dibawa suamimu, pasti?" Aku meralat ucapan Krystal noona.

Krystal noona merotasikan kelereng hitamnya. "Yah, aku yang menyuruhnya membawa anak-anak tadi. Mereka tidak seharusnya berlama-lama di dalam rumah sakit, Jaehyun. Mereka masih terlalu kecil untuk mencium bau obat yang sangat menyengat ini. Mereka pasti terganggu karena itu."

"Benar, Jaehyun. Aku juga setuju kok. Biarkan saja sekali-sekali mereka menghabiskan waktu bersama bersama paman mereka." Aku menoleh saat Taeyong menimpali ucapan Krystal noona tadi.

Dan aku pun mengangguk setuju setelahnya—setidaknya sebelum akhirnya pintu ruangan berwarna putih itu berdecit.

"Sayang, mereka menangis."

Pintu itu terbuka menampilkan seseorang bertubuh tinggi yang dengan susah payahnya menggendong Minsoo dan Jisoo di dua sisi berbeda.

"Kris hyung!"

Taeyong langsung berhambur ke arah Kris hyung untuk menurunkan Minsoo dan Jisoo dari atas gendongan pria jangkung itu.

Krystal noona bangkit dari duduknya dan menghampiri suaminya itu. "Astaga, Kris. Kau membuat dua bocah mungil ini menangis?!"

Kris berjengit saat mendengar ucapan istrinya. "Mereka berdua menangis karena mau melihat adik kecilnya, harusnya kau mengizinkannya masuk dan menemani Taeyong periksa kandungan, Sayang."

Kris beralih ke arah Taeyong. "Maaf, Taeyong. Aku membuat dua anakmu menangis." Tubuh jangkungnya itu membungkuk demi perasaan bersalahnya itu.

Taeyong yang tengah sibuk menenangkan anak kembar kami itu menoleh. "Tidak apa, hyung. Aku memaklumi kok."

Aku beralih ke arah Taeyong dan mengusap anak kembar kami yang menangis secara bergantian. "Ssshh—anak Daddy sudah ya, jangan menangis lagi. Jangan buat eomma kalian sedih karena kalian menangis." Dan aku mengakhiri ucapanku dengan kecupan ringan di ujung kepala mereka. Itu manjur membuat Minsoo dan Jisoo, dua malaikatku berhenti menangis. Hanya sesekali sesegukan sisa tangis mereka tadi.

"Sekali lagi aku minta maaf ya, Taeyongie." Kris hyung mengangkat tungkainya menghampiri kami. Ia menatapku dengan tatapan sendu penuh penyesalannya. "Maaf, karena dulu sempat berlaku jahat pada kalian. Terutama kepadamu, Taeyongie. Aku benar-benar sangat merasa jahat karena sudah berusaha memanfaatkanmu demi kebahagiaan pribadiku."

Aku tercenung. Memilih untuk bergeming seraya menatapi Kris hyung yang menjeda ucapannya untuk sementara waktu. Kris hyung selalu saja seperti ini, ia akan selalu merasa bersalah dan kembali meminta maaf atas apa yang telah dilakukannya kepada Taeyong dulu. Tidak pernah merasa jemu atau pun bosan. Mungkin dulunya aku akan menghadiahi rasa bersalah itu dengan cibiran atau sebuah bogeman mentah—tapi itu dulu, sebelum aku menyadari bahwa aku pun tak kalah berengseknya karena telah berkali-kali menyakiti Taeyong.

Tapi apa yang Taeyong tampilkan selalu sama. Tidak pernah sekalipun aku melihat ada perasaan dendam yang berkobar di balik kelereng legamnya. Tidak pernah. Sekalipun. Yang ada hanyalah perasaan lembut. Mengiba miliknya seakan ia tidak pernah disakiti atau ia tidak pernah merasa ada yang salah dari sikap Kris hyung yang kasar dulu. Taeyong terlalu berhati lembut. Terlalu legawa untuk menerima kenyataan bahwa Kris hyung adalah pria yang sama yang begitu merusak hidupnya dulu.

Kulirik ke arah Krystal noona yang tampaknya pun sama-sama enggan mengatakan apa pun. Karena bagaimana pun juga Krystal noona pun tahu apa saja yang terjadi diantara Kris hyung dan Taeyong dan sepupuku itu merasa bahwa dirinya tidak sepatutnya untuk ikut campur. Kami—baik aku maupun Krystal noona—selalu menganggap bahwa masalah ini memang sebaiknya diselesaikan sendiri oleh Kris hyung dan Taeyong dan aku merasa bangga karena keduanya sanggup mengembalikan hubungan erat yang lama telah hancur. Mengembalikannya menjadi lebih harmonis lagi. Kalau Taeyong mengatakan bahwa Kris adalah malaikatnya, aku akan dengan bangga mengatakan bahwa Taeyonglah malaikatku. Perwujudan asli dari malaikat yang sesungguhnya.

"Tidak perlu berkata seperti itu, hyung. Sudah berapa kali aku katakan padamu kalau kau sama sekali tidak melakukan kesalahan apa pun. Kau tetaplah malaikatku. Terimakasih sudah hadir di hidupku, membantuku disaat-saat yang sulit dan terimakasih juga karena berkatmu aku bisa bersama Jaehyun. Menemukan kebahagiaanku."

Aku merangkul istriku dan menghujaninya dengan kecupan-kecupan ringan di ujung kepalanya. Aku selalu merasa bangga terhadap sikap Taeyong yang seperti ini. Sikap yang membuatku terus jatuh cinta padanya. Lagi dan lagi.

"Kris sayang," Krystal noona menyentuh lengan suaminya pelan, "sekarang sudah siang. Katanya kau harus kembali ke kantor?"

Kris mengangguk. "Ah, iya. Aku dan Jaehyun ada rapat dengan investor Jepang di Busan siang ini. Ahh—sayangku sepertinya kita harus berpisah siang ini." Kris hyung mengakhiri ucapannya dengan kecupan ringan untuk Krystal noona.

"Yak, kau mengatakannya seolah-olah kita akan berpisah lama." Krystal noona memukul bahu Kris hyung ringan sembari mencebik lucu.

Aku maupun Taeyong sama-sama tertawa menikmati tingkah tsundere Krystal noona.

"Krystal noona sangat mirip denganmu dulu," bisikku pelan.

Taeyong mengalihkan atensinya dari Minsoo dan Jisoo yang sedang menonton acara kartun yang ada di ruangan itu. Ia beralih untuk mengalungkan lengannya di leherku.

"Memangnya aku dulu seperti apa?" Taeyong mengerjap polos untuk beberapa saat.

Aku tertawa. "Kau sangat tsundere, Taeyong. Selalu menyangkal pesona suami tampanmu ini," ujarku.

"Hei, kau belum menjadi suamiku saat aku bertingkah begitu." Taeyong mengerucutkan bibirnya tidak terima.

"Haish, jangan menggodaku lagi, Sayang." Aku mengecup singkat bibir cherry yang mencebik sempurna itu. "Kau benar-benar berbahaya," bisikku lagi.

"Yak! Jaehyun ayo pergi. Kita harus berangkat sekarang kalau tidak mau terlambat sampai ke Busan!" Kris hyung menyela adegan romantis kami.

"Sebentar, hyung!"

Aku segera mencium bibir istriku dan melumatnya sampai habis di hadapan Krystal noona yang sudah menahan umpatannya habis-habisan, Kris hyung sendiri tampak tak acuh karena kebiasaan kami.

"Dasar sekantung hormon hidup!" teriak Krystal noona yang bersembunyi di balik tubuh suaminya.

Aku melepaskan ciumanku dan terkekeh saat melihat wajahnya yang memerah menahan malu. Manis sekali.

"Sampai jumpa, Sayang. Daddy pergi kerja dulu, oke? Berjanjilah untuk tidak nakal dan turuti ucapan eomma kalian, oke?" aku mengecup ujung rambut Minsoo dan Jisoo bergantian meskipun keduanya malah merengek karena aku mengganggu mereka melihat kartun kesukaan mereka.

"Aku pergi, Sayang. Jangan lupa untuk merindukan aku. Aku mencintaimu."

Taeyong balas tersenyum. Melepasku dengan senyum menawannya karena Kris hyung sudah menarik lenganku keluar dengan dalih 'kita bisa terlambat sampai Busan, bodoh.' dan aku hanya menampilkan cengiran bodohku seraya melambaikan tanganku ke arah Taeyong dan anak-anakku.

"AKU JUGA MENCINTAIMU, JAEHYUN!"

Dan teriakan Taeyong berhasil membuatku meledak seketika. Semangatku untuk hidup dan bekerja sudah terpompa dengan sempurna.

Ah, Taeyong…

Kau benar-benar mampu membuatku jatuh cinta padamu…

Lagi dan lagi.


[Sorry for typo, chapter ini full jaeyong in future].