143 Pounds Beauty

.

.

.

Luhan-Minseok

Genderswitch for Minseok

.

.

.

"Aku harus bagaimana supaya kau percaya?"

-Luhan

.

.

.

-000-

Luhan mencium Minseok tanpa ampun, bahkan terkesan rakus. Pria itu tak mempedulikan air mata yang terus melelehi pipi Minseok. Dalam hati dia maklum, Minseok tengah emosi berat.

Anehnya, Minseok yang tengah emosi berat itu justru diam tak bergeming. Dia sama sekali tak berontak meski emosi membakar hatinya, menyalurkan panas dan perih yang menyiksa. Minseok membiarkan Luhan menghabisi bibirnya. Jujur, jauh di lubuk hatinya yang terdalam, Minseok merindukan ciuman dari bibir suaminya ini. Minseok merindukan sensasi sentuhan bibir Luhan di bibirnya, mengingat dua bulan terakhir ini Luhan teramat sangat jarang menciumnya.

Tapi bukan ciuman seperti ini yang diinginkan Minseok.

Bayangan Meng Jia menyakiti wanita beranak satu itu. Hati Minseok menjerit-jerit, menyeru pada Luhan untuk mengakui apakah lelaki itu juga membagi sentuhan bibirnya dengan bibir seksi milik Meng Jia.

Selingkuhan Luhan.

Luhan bertahan mengerjai bibir Minseok, sama sekali tak menaruh belas kasihan pada bibir sewarna lobi-lobi yang mulai membengkak itu. Tak ada tanda-tanda Luhan bakal mengakhiri ciumannya. Luhan seakan kesetanan, tak peduli pasokan oksigen baginya dan Minseok mulai menipis. Minseok yang merasakan napasnya mulai sesak pun bertahan diam tak bergeming, agaknya terlalu lemah untuk memberontak. Beruntung pada saat kritis inilah Si Kecil Oscar bertindak sebagai penyelamat.

Oscar tiba-tiba merengek dalam gendongan Minseok, merasa tak nyaman karena tubuh sang ayah menghimpitnya. Rengekan bayi itu kontan mengejutkan kedua orangtuanya. Luhan refleks melepaskan tautan bibirnya dengan Minseok dan seketika tersadar bahwa ada Oscar di dalam gendongan Minseok.

Minseok yang terengah-engah itu buru-buru mundur dua langkah dari Luhan. Sambil memuaskan diri menghirup oksigen, wanita itu menenangkan Oscar dengan menimang-nimangnya penuh sayang.

"Ssh, tidurlah lagi, Junjie-ya," bisik Minseok lembut meski napasnya belum benar-benar teratur. Kali ini dia menyebut Oscar dengan nama Tiongkok-nya, Junjie.

Merasa bersalah karena mengusik Oscar, Luhan melangkah maju ke arah Minseok. Dengan hati-hati, dia menyentuhkan tangannya ke kepala Oscar, membelai-belai lembut rambut putranya itu.

"Papa mengganggumu, ya? Dui bu qi. Tidurlah lagi, Junjie," Luhan turut berbisik lembut di telinga Oscar seraya mengecup pipi gembul milik Oscar. Meniru Minseok, Luhan turut menyebut Oscar dengan nama Tiongkok alih-alih nama baratnya.

Begitu mendengar suara ayahnya, Oscar berhenti merengek dan kembali terlelap. Anak itu agaknya menunggu permintaan maaf dari sang ayah yang mengusik tidurnya.

Melihat putra mereka berhenti merengek, Minseok dan Luhan langsung kelihatan lega.

"Kita perlu bicara, Seokkie," kata Luhan pada Minseok setelah memastikan Oscar tak merengek lagi. "Nanti, setelah Oscar benar-benar nyenyak."

Minseok tak menjawab suaminya, menatap Luhan pun tidak. Alih-alih Luhan, dia memilih untuk terus memandangi wajah menggemaskan milik Oscar sambil menimangnya dengan segenap kasih sayang milik seorang ibu. Bagi Minseok tak ada tranquilizer yang lebih baik untuknya selain Oscar. Hanya dengan memandangi putranya itu, Minseok mulai merasakan ketenangan dalam hatinya.

Minseok bertahan dalam diamnya, maka Luhan pun mengalah. Dia memilih untuk diam, memberikan kesempatan bagi Minseok untuk sejenak menenangkan diri.

-000-

Jarum jam menunjukkan pukul setengah satu malam ketika Minseok akhirnya meletakkan Oscar ke boksnya. Wanita pemilik pipi chubby itu tampak lelah. Wajahnya juga sembab lantaran habis menangis.

Melihat istrinya sudah meletakkan Oscar ke boks dan memastikan Oscar benar-benar lelap, Luhan bergegas menghampiri Minseok yang kini duduk di tepi ranjang.

"Kita perlu bicara, Seokkie," kata Luhan pelan. Pria itu duduk di sebelah Minseok, menatap istrinya lurus-lurus.

Minseok melirik Luhan. Wajah sembabnya semakin mempertegas raut kelelahan di sana.

"Bicara soal apa lagi, Ge? Aku capek, mau istirahat." Minseok terdengar tak bersahabat.

Luhan meraih kedua bahu istrinya dengan lembut. Dia terus menatap Minseok dengan intens, tapi Minseok menolak membalas tatapannya.

"Soal Meng Jia," jawab Luhan.

Mendengar Luhan menyebut nama Meng Jia, Minseok terperanjat.

"Apa?" Minseok mendelik.

"Soal Meng Jia," Luhan mengulangi. "Kau pasti penasaran, ingin tahu tentang dia, 'kan?"

Minseok menepis tangan Luhan dari bahunya dengan angkuh. "Tidak," kata Minseok dingin. "Aku tidak penasaran sama sekali. Aku sudah tahu siapa dia. Dia selingkuhanmu, 'kan?"

"Seokkie." Gantian ekspresi Luhan berubah lelah. "Tolong beri aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya tentang Meng Jia," Luhan memohon.

"Apa lagi yang ingin kau jelaskan tentang dia, Ge? Tak ada lagi yang perlu dijelaskan," tolak Minseok. Dia mulai mimbik-mimbik menahan tangis.

Luhan menghela napas melihat penolakan Minseok. Pria itu mendadak bangkit dari ranjang dan berujar lirih pada sang istri, "tunggulah sebentar. Ada yang ingin kuperlihatkan padamu."

Luhan beranjak dari sisi Minseok, meninggalkan tanda tanya besar dalam benak Minseok. Pria itu keluar dari kamar, entah ke mana Minseok tak tahu dan tak tertarik untuk mengikutinya. Minseok lelah, sungguh.

Luhan kembali tak sampai lima menit kemudian. Dia melangkah memasuki kamar dengan sesuatu di tangannya yang dikenali Minseok sebagai kartu undangan. Wanita itu mendadak lemas lantaran melihat inisial yang tercetak pada sampul kartu tersebut.

L&J.

L&J!

Luhan? Dan… Jia?

Walhasil Minseok berubah warna, nyaris sepucat mayat.

"L&J…" Suara Minseok bergetar hebat mengiringi gerakan Luhan yang kembali duduk di sampingnya. "Apa artinya semua ini, Ge?" Air mata Minseok lagi-lagi bercucuran hingga Luhan kaget.

"Seokkie, kau kenapa? Aku bahkan belum menjelaskan apapun, kenapa kau menangis lagi?" Luhan mencoba meraih tangan Minseok, namun wanita itu menepisnya sekuat tenaga.

"Tidak, Ge. Tidak, hiks.." Minseok menggeleng-geleng dengan sedih dan terisak pada saat bersamaan. "Tidak perlu kau jelaskan lagi. Sudah cukup, Ge, hiks… Aku… Tak mau dengar…" Minseok menutupi kedua telinganya dengan tangan. Ekspresinya tampak memelas sekaligus terluka, sukses membuat sang suami kebingungan.

"Singkirkan itu Ge." Minseok melotot ngeri pada undangan di tangan Luhan. "Singkirkan itu dan ceraikan aku sekarang juga."

Luhan tersentak, kaget bukan kepalang. "Apa? Cerai?" kaget Luhan. "Kau ini bicara apa, Seokkie-ya?"

Minseok mulai terisak-isak, lirih, agaknya bertujuan agar tak membangunkan Oscar. Air matanya berderaian bak hujan, benar-benar mengenaskan dipandang mata.

"Teganya kau… Luhan…" Minseok menggigit bibir. Susah payah dia menahan isak tangisnya agar bisa bicara dengan jelas. "Kita bahkan, hiks… Belum bercerai, tapi kau… Sudah mencetak undangan pernikahanmu..., dengan dia…"

Luhan melongo di tempat. Mata rusa pria itu tampak membola.

"Tega. Kau tega." Minseok meraih bantal, memukul-mukulnya dengan frustrasi. Isak tangisnya semakin tak tertahankan hingga bahunya berguncang.

Minseok tak ingin Oscar terbangun oleh isak tangisnya, maka dia memilih meredam isak tangisnya dengan cara membenamkan wajahnya di bantal. Terkesan bak adegan dalam drama televisi, memang, tapi Minseok tak peduli. Minseok hanya ingin menangis sejadi-jadinya tanpa membangunkan Oscar.

Sementara Minseok menangis menyayat hati di balik bantal yang menutupi wajahnya, Luhan yang sempat bengong kini terbingung-bingung memandangi selembar kartu undangan di tangannya. Mata rusanya yang elok memindai sampul undangan tersebut, mencoba mencari petunjuk tentang pemicu tangisan dan ratapan seorang Kim Minseok. Luhan membaca dengan teliti setiap huruf yang tercetak pada sampul undangan tersebut, sampai akhirnya dia menyadari sesuatu yang tak disangka-sangka membuatnya terkekeh saat itu juga.

Luhan terkekeh, mengejutkan Minseok yang langsung menjauhkan wajahnya dari bantal.

"K-kau…" Minseok menatap Luhan dengan horor. Tampak olehnya Luhan terkekeh sambil balas menatapnya dengan sorot mata jenaka. Minseok kontan merasa terhina bukan main.

'Bedebah kau, Luhan!'

Kekehan Luhan berubah menjadi tawa kecil yang efeknya seolah merajam Minseok. Sungguh, Minseok rasanya ingin mati sekarang juga.

"Astaga, Min Skatt*." Luhan mengerjapkan matanya dengan ekspresi lucu yang terasa luar biasa jahanam bagi Minseok.

"Baca dulu baik-baik, baru berkomentar," kata Luhan seraya membuka kartu undangan tersebut dan memperlihatkan isinya pada Minseok.

Sepasang mata indah milik Minseok gantian membola begitu membaca deretan huruf yang dicetak dengan tinta berwarna emas.

Kim Sunggyu and Lee Soojung

along with Meng Yalun and Wang Feifei

invite you to share and celebrate at the marriage of their children

Myungsoo (L)

and

Jia

Saturday, July 1, 2017

at 4:30 in the afternoon

"Ge... Ini…" Minseok tercekat. Dia mengucek matanya berkali-kali, memastikan kalau penglihatannya masih berfungsi normal dan dia memang tak salah membaca.

L&J. L dan Jia. L alias Myungsoo.

Myungsoo, bukan Luhan!

Luhan tersenyum-senyum geli menyaksikan perubahan ekspresi Minseok.

-000-

"Ini undangan pernikahan Jia dan tunangannya, Myungsoo, tapi kami biasa memanggilnya L. 'Myungsoo', Min Skatt, bukan 'Luhan'," Luhan membisiki Minseok setelah wanita itu tersadar bahwa dia memang tidak salah membaca. Luhan sengaja memberi penekanan saat menyebutkan nama Myungsoo dan namanya sendiri.

"Dia pacar Jia selama dua tahun terakhir ini," Luhan menambahkan.

"T-tapi… K-kau dan Jia…" Minseok terbata-bata dengan suara seraknya.

"Seokkie..." Luhan menatap Minseok dalam-dalam. Diletakkannya undangan pernikahan Jia di atas ranjang sebelum kedua tangannya beralih menggenggam tangan Minseok. "Meng Jia itu teman kuliahku di Philadelphia dulu."

Minseok membelalakkan matanya. "Teman…, kuliah?"

Luhan mengangguk. "Ya. Kami satu fakultas di Temple Uni, tetapi beda jurusan," beber Luhan.

"T-tapi kalian kelihatan mesra…" Minseok mencicit. Dalam hati dia masih merasa sedikit ragu mengingat interaksi antara Luhan dan Jia yang menurutnya lebih mirip interaksi antara pasangan kekasih ketimbang teman lama.

"Seokkie," Luhan mempererat genggaman tangannya di tangan Minseok. "Tolong jangan salah paham. Aku dan Jia memang akrab, tapi bukan berarti kami saling jatuh cinta." Luhan mencoba memberi pengertian pada istrinya.

"Aku dan Jia putus kontak dua tahun setelah lulus kuliah. Kami baru bertemu lagi bulan lalu, saat dia datang ke kantorku sebagai klien sekaligus tunangan L, graphic designer kami. Kuakui aku sering pergi dengan Jia untuk sekadar makan siang atau menemani dia belanja. Hanya sebagai sahabat, Seokkie-ya. L juga tahu dan dia tak keberatan, malah senang Jia ditemani sahabat lamanya selama L sibuk dengan proyek di Jeju," cerita Luhan lancar, mantap.

"Tak ada perasaan khusus yang tumbuh di antara kami. Jia selalu kuanggap sahabat sejak kuliah dulu. Lagipula kami sudah punya seseorang yang spesial di hati masing-masing, jadi perselingkuhan yang kau takutkan itu sama sekali tak pernah terjadi, Min Skatt."

Minseok menggigit bibir. Cerita Luhan terdengar begitu logis dan meyakinkan. Ditambah undangan pernikahan Jia dan L yang diperlihatkan Luhan, rasanya dugaan perselingkuhan itu jadi semakin kabur. Jujur, Minseok lega mendengar cerita Luhan, tetapi masih ada sesuatu yang dirasakannya mengganjal di dalam hati.

Minseok tak mengatakan sepatahpun untuk menanggapi Luhan. Dia memilih diam, terlihat ragu-ragu. Luhan bisa memahami arti ekspresi Minseok, tak heran dia jadi gemas sendiri dibuatnya.

"Aku harus bagaimana supaya kau percaya?" Luhan bertanya. "Seokkie-ya, sepertinya baru kali ini kau curiga berlebihan padaku. Dulu-dulu kau tak pernah ambil pusing waktu aku bertemu klien perempuan yang tak kalah cantik dari Jia, tapi kenapa sekarang kau persis orang kebakaran jenggot begitu kau tahu tentang Jia?"

"Karena sekarang situasinya beda, Ge," Minseok akhirnya buka suara. "Dulu aku tak khawatir kau selingkuh, soalnya aku yakin kau tak akan melirik perempuan lain sementara kau punya istri yang cantik, langsing, seksi. Tapi sekarang, aku-"

"Soal bentuk badan lagi?" Luhan memotong kata-kata Minseok. "Seokkie-ya, kau pikir aku mencintaimu hanya karena penampilan fisikmu?" Luhan mengerjapkan matanya.

"Kau pikir cinta yang kumiliki untukmu ini bakal luntur setelah kau berubah gemuk seperti ini?"

"Tidak usah munafik, Ge. Jujur sajalah. Penampilan fisikku ini sudah tak menarik, membuatmu kehilangan selera. Iya, 'kan?" bantah Minseok pilu. "Kau kecewa melihatku berubah jadi buruk rupa seperti ini, sampai-sampai kau jarang sekali memintaku untuk..." Minseok menggigit bibir, tak kuasa melanjutkan kata-katanya.

Mendengar itu, sorot mata Luhan tampak melembut. Seulas senyum mendadak terukir di bibirnya, memperlihatkan kelembutan yang sama lewat tarikan sudut-sudut mulutnya.

"Seokkie, Seokkie," Luhan menggeleng-gelengkan kepalanya, lagi-lagi tampak geli. "Jadi karena itu kau berpikir aku berpaling ke perempuan lain? Jia, misalnya?"

"Memang iya, 'kan?" Air mata Minseok kembali berlinang. Sungguh, dia luar biasa cengeng malam ini. "Kau sudah bosan padaku. Aku tahu, Ge. Aku menyadarinya." Minseok menunduk

Luhan kembali menyunggingkan senyum. Perlahan dia menarik tangan Minseok hingga istrinya itu jatuh ke dalam pelukannya.

Minseok terkejut mendapati dirinya berada dalam pelukan Luhan. Dia mencoba melepaskan diri, namun Luhan memeluknya dengan sangat erat hingga berontak pun sulit bagi Minseok.

Luhan mengecup lembut puncak kepala istrinya. "Seokkie, bisa-bisanya kau mencurigaiku berselingkuh hanya karena aku jarang memintamu menghabiskan quality time berdua." Luhan terdengar geli.

"Dengar baik-baik ya, Skatt. Aku jarang memintamu menghabiskan quality time berdua karena aku tahu kau lelah seharian mengurus Oscar. Aku tak sampai hati mengganggu waktu istirahatmu, sungguh," jelas Luhan lembut.

"Aku tak mau kau terlalu lelah. Murni karena itu, Seokkie. Bukan gara-gara kau yang sekarang sudah tak selangsing Miranda Kerr lagi. Aku sudah pernah mengatakannya padamu. Buatku, kau tetap seksi," Luhan menambahkan, tulus.

Minseok tersentak mendengarnya. Spontan dia berhenti meronta-ronta. "A-apa, Ge?"

Luhan melepaskan pelukannya dari tubuh Minseok. Sepasang lengannya yang kurus namun kuat beralih melingkari leher sang istri. Matanya yang indah memerangkap Minseok lewat sorot mata teramat lembut yang pernah diperlihatkan seorang Luhan pada Minseok-nya.

"Bagiku kau tetap Kim Minseok yang dulu, yang cantik, seksi. Harus kuakui, kau yang sekarang memang jauh lebih berisi, tapi buatku tak masalah. Aku mencintaimu bukan karena fisik, Seokkie-ya. Aku mencintaimu karena kau Kim Minseok, satu-satunya perempuan yang bisa membuatku nyaman, tenang, bahagia," kata Luhan sungguh-sungguh.

"Bentuk badanmu berubah drastis sejak melahirkan, itu sama sekali bukan masalah. Justru kau yang sekarang kelihatan jauh lebih hot," Luhan menahan senyum. "Sungguh. Aku tak bohong. As usual, kau menggairahkan."

Minseok mulai goyah. Di satu sisi dia senang mendengar Luhan yang jarang memuji itu kini berbaik hati memujinya, tapi di sisi lain Minseok masih khawatir kalau-kalau Luhan hanya ingin menghiburnya saja.

"Kau... Serius, Ge? Kau tak bohong?" tanya Minseok sangsi. Setitik keraguan masih terpancar lewat sorot matanya. "Kau bercanda, 'kan?"

Luhan tak menjawab. Alih-alih menjawab, pria berparas imut itu justru mendorong Minseok dengan lembut hingga istrinya itu rebah ke ranjang.

Minseok kontan terkejut dengan apa yang dilakukan Luhan. Wanita itu makin kaget lantaran Luhan menindihnya tanpa permisi, menatapnya dengan seringai yang sangat familiar bagi Minseok.

"Perlu bukti?" tanya Luhan dengan nada menggoda. "Jujur, aku iri pada Oscar. Dia punya banyak waktu bersamamu. Sementara aku? Aku harus ekstra-sabar, menunggu giliran 'diurus' olehmu." Luhan mengedipkan matanya.

Wajah Minseok memerah tanpa disadarinya. Jujur, kalimat bernada seduktif dari Luhan barusan membuatnya tersipu tanpa bisa ditahan-tahan lagi.

Luhan meraih dagu Minseok dengan lembut. "Bagaimana? Mau coba membuktikannya, hmm?"

Minseok tak menjawab, hanya menatap Luhan dengan ekspresi campur aduk, antara tergoda, malu, sekaligus ragu-ragu.

Melihat tak ada respon dari Minseok, Luhan mengambil inisiatif terlebih dahulu. Tanpa sungkan bibirnya mendarat tepat di bibir Minseok, memberikan satu kecupan yang sukses mengejutkan istrinya itu.

Kecupan Luhan kali ini berbeda dengan kecupan yang diberikannya pada Minseok tadi. Kecupannya yang sekarang jauh lebih lembut, tetapi seduktif, menggoda Minseok lewat gigitan-gigitan kecil yang lembut hingga sukses menggelitik syaraf-syaraf Minseok. Kecupan semacam ini paling ampuh membuat Minseok mabuk. Tanpa perlu bersusah payah, Luhan berhasil memaksa satu desahan lembut lolos dari bibir sewarna lobi-lobi milik Minseok. Pria itu menyeringai puas ketika Minseok mulai terlarut dalam kecupannya, perlahan membalas dengan gerakan yang tak kalah lembut namun terasa sensual bagi Luhan.

Kemudian seperti yang sudah-sudah, Minseok dengan mudah terbawa permainan Luhan, melakukan apapun yang diinstruksikan Luhan. Keduanya dengan cepat terlarut dalam suasana hingga melupakan Oscar yang tidur di dalam boksnya.

Minseok dan Luhan terlalu sibuk sendiri hingga mengabaikan Oscar. Menit demi menit berlalu dengan cepat. Tak diduga-duga, mendadak terdengar suara tangis Oscar, mengejutkan Minseok dan Luhan. Pasangan yang tengah berpagut mesra itu sontak menghentikan aktivitas mereka dan segera tersadar kalau ada Oscar di dalam kamar ini.

"Ya ampun, Ge. Kita hampir lupa kalo ada Oscar," Minseok menggigit bibir, terlihat menyesal.

"Iya, Seokkie," kata Luhan, terlihat separo kecewa dan separo merasa bersalah. Luhan segera menyingkir dari tubuh istrinya dan turun dari ranjang. Langkah kakinya bergegas menuju boks Oscar di sudut kamar.

"Junjie, kenapa kau buru-buru bangun, sih?" Luhan setengah mengeluh dan setengah memprotes putranya yang menangis keras-keras. Kekecewaan terlihat jelas di wajahnya yang imut bak remaja SMP.

"Apa kau tak rela melihat papamu ini sedikit bersenang-senang, hmm?"

Luhan meraih putranya ke dalam gendongan, membujuknya agar berhenti menangis lewat bisikan lembut dalam bahasa Mandarin. Sayang, alih-alih diam, Oscar justru makin heboh hingga suara tangisnya seolah mengoyak udara malam.

"Kemarikan dia, Ge," perintah Minseok pada sang suami. Wanita itu tengah sibuk mengenakan kembali blusnya yang ditanggalkan Luhan dan dicampakkan begitu saja ke lantai beberapa menit lalu.

Luhan menuruti Minseok. Dibawanya Oscar yang menangis heboh itu pada sang ibu.

Minseok tersenyum geli melihat raut kekecewaan terpeta di wajah sang suami. "Jangan merengut begitu, Ge. Kasihan Oscar. Dia sedang sakit," kata Minseok seraya mengambil alih Oscar dari gendongan Luhan.

Luhan tak berkomentar, hanya memandangi Oscar dalam diam.

Tak lama, Luhan agaknya sudah tidak terlalu kecewa lagi. Dia justru tampak asyik memperhatikan Minseok yang tengah menyusui Oscar, tersenyum-senyum seakan tengah menyaksikan sesuatu yang kelewat menarik dan menyenangkan.

Minseok mengerutkan kening melihat Luhan yang tersenyum-senyum itu. "Kenapa kau senyum-senyum begitu, Ge?" tegur Minseok.

Mendengar itu, senyuman Luhan semakin lebar. "Aku sedang mengagumimu, Seokkie," jawab Luhan. "Kau sungguhan hot mommy, hot wife too."

Wajah Minseok mendadak merona merah. "Hot apanya? Melar begini juga," kilah Minseok, terkesan agak tersipu-sipu.

"Tetap seksi kok," balas Luhan dengan nada menggoda. "Sungguh."

Minseok menatap suaminya itu. "Gege," panggil Minseok.

"Ya?"

"Aku masih tetap ingin kurus," kata Minseok. "Aku boleh tetap ikut kelas zumba, pilates, belly dance, ya?" Nada bicara Minseok berubah memohon.

Luhan tampak kaget. "Apa?"

"Please, Ge. Aku sungguh ingin mendapatkan S-Line-ku lagi seperti dulu."

Jujur, sebenarnya Luhan kurang setuju untuk mengabulkan permohonan Minseok lantaran istrinya itu sempat mengabaikan Oscar demi kursus-kursusnya. Tetapi melihat Minseok memohon padanya, Luhan tak sampai hati juga. Pria itu pun berpikir-pikir sejenak, sampai akhirnya dia angkat bicara.

"Ya, boleh," Luhan mengumumkan keputusannya. "Tapi cukup satu kelas saja yang kau ikuti, jangan tiga-tiganya. Ingat, jangan sampai quality time antara kau dan Oscar kembali dipertaruhkan. Lagipula menurutku lebih efektif kalau kau fokus di salah satu kelas olahraga saja," kata Luhan berargumen.

Raut wajah Minseok berubah cerah mendengar Luhan masih berbaik hati memberinya izin. "Hmm, baiklah. Kalau begitu, aku pilih kelas belly dance saja, deh," kata Minseok dengan riang.

"Ngomong-ngomong soal belly dance, sekali-sekali cobalah kau praktikkan di depanku." Luhan tersenyum-senyum genit. Pria itu bahkan menaik-turunkan alisnya dengan tak kalah genit, benar-benar bukan khasnya.

Minseok merasa jengah sekaligus tersipu. "Boleh," sahutnya malu-malu. "Tapi nanti, kalau aku sudah langsing lagi. Aku pasang target bulan depan turun 10 kilo," bebernya.

Luhan kembali mengulas senyum, kali ini terkesan geli alih-alih genit. "Semoga terealisasi," komentar Luhan. "Supaya koleksi Victoria's Secret-mu bisa dipakai lagi. Jujur, aku merindukan Minseok-ku yang berkeliaran di rumah hanya dengan lingerie," tambahnya seraya mengedipkan mata.

"Just wait and see." Minseok balas tersenyum malu-malu.

Minseok dan Luhan saling bertukar senyum. Padam sudah sudah api amarah yang sempat membakar hati mereka. Sekarang yang tersisa hanyalah kehangatan semata. Minseok pun agaknya mulai lupa soal kecurigaannya terhadap Luhan dan Meng Jia.

Luhan memperhatikan sang istri dengan mata rusanya yang berbinar elok. Diam-diam Luhan mengagumi istrinya itu. Di matanya, Minseok begitu cantik dan sempurna. Meski sekarang Minseok terlihat gemuk, Minseok tak pernah kehilangan pesonanya di mata Luhan. Bagi Luhan, Minseok tetap sama menggairahkan seperti waktu masih langsing dulu. Kendati demikian, Luhan tetap menghargai keinginan Minseok untuk kembali langsing.

'Tak ada salahnya kalau Minseok sungguh-sungguh ingin langsing lagi. Kangen juga, sih, dengan S-Line Minseok.'

Luhan masih tersenyum-senyum seiring dengan kata demi kata yang terucap dalam hatinya.

-000-

Snow on the Sahara merupakan studio belly dance yang cukup sibuk di kawasan Seogang-dong, Distrik Mapo. Tempat ini nyaris selalu ramai setiap hari lantaran memiliki banyak kelas dengan jumlah murid tak sedikit. Selama sebulan terakhir, tempat ini seakan menjadi rumah kedua bagi Kim Minseok yang mengambil kelas intensif belly dance bersama kedua sahabatnya, Byun Baekhyun dan Zhang Yixing.

Sore ini Minseok terlihat mengikuti kelas seperti biasa bersama kedua sahabatnya, berlatih dengan semangat di bawah instruksi seorang instruktur cantik bertubuh aduhai yang bernama Lee Taemin. Sang instruktur agaknya terkesan dengan Minseok, sampai-sampai dia menghampiri Minseok seusai latihan dan memberikan pujian.

"Minseok Unnie, kulihat progress Unnie yang paling signifikan di kelas. Unnie juga yang paling semangat. Aku suka itu dan aku yakin kalau Unnie konsisten, bukan tidak mungkin Unnie bisa jadi instruktur sepertiku." Taemin yang biasa memanggil murid-muridnya dengan sapaan 'unnie' itu memuji Minseok.

Minseok yang tengah menenggak air mineral di pojok ruangan bersama Baekhyun dan Yixing kontan berseri-seri mendengar pujian dari instruktur cantiknya.

"Jinjja? Padahal kupikir Yixing Unnie yang paling bagus," komentar Minseok dengan nada takjub. "Yixing Unnie itu 'kan jago menari, malah kau bilang dulu sempat jadi ketua dance club di kampusmu, 'kan, Unnie?" Minseok menoleh pada Yixing.

"Tidak, Seokkie-ya." Yixing tersenyum pada Minseok, memamerkan single dimple manis di pipi kanannya. "Belly dance bukan keahlianku. Aku lebih percaya diri dalam salsa dan tango," kata pemilik suara lembut yang satu ini.

"Yixing Unnie memang pandai menari, tapi dia kurang percaya diri dalam belly dance," Taemin memberikan penilaiannya terhadap Yixing. "Aku bakal sangat senang kalau Unnie datang berlatih karena passion, bukan sekadar untuk memenuhi fantasi suami gantengmu itu soal malam panas dengan tema Arabian night."

Paras manis milik Yixing kontan merah padam karena malu, sementara Minseok dan Baekhyun terkikik geli. Memang benar apa yang dikatakan Taemin barusan. Yixing itu ikut kelas belly dance semata-mata demi menyenangkan suaminya yang entah kenapa belakangan ini keranjingan hal-hal berbau Arabian night dalam rutinitas seks mereka.

"Untung saja tema fantasi Joonmyeon Oppa itu Arabian night. Aku tak bisa membayangkan seandainya Joonmyeon Oppa menginginkan tema African night. Bisa-bisa Yixing Unnie terpaksa ikut kursus tari suku Masai dan harus mentato sekujur tubuhnya dengan corak tribal," Baekhyun menyeletuk, mengundang tawa Minseok dan Taemin serta senyum salah tingkah dari Yixing.

"Untung saja suamiku tak aneh-aneh. Chanyeol-ku memang yang terbaik," Baekhyun menambahkan dengan nada pamer.

"Ngomong-ngomong soal suami, bagaimana tanggapan suami Minseok Unnie? Kulihat Minseok Unnie agak kurusan setelah rutin ikut kelas belly dance," Taemin berinisiatif mengalihkan pembicaraan lantaran melihat Yixing merona parah. Tatapan instruktur cantik itu kembali terarah pada Minseok.

"Kutebak angka yang ditunjuk timbanganmu bergeser ke kiri, 'kan, Minseok Unnie?"

Gantian pipi Minseok merona merah mendengarnya. "Ehm, suamiku tidak berkomentar apa-apa," jawab Minseok jujur. "Terakhir dia bilang tak masalah kalau aku gemuk."

"Masa'?" Taemin tampak tak percaya. "Wah, padahal aku tak sabar menantikan kabar baik dari Minseok Unnie soal tanggapan suami setelah istrinya ini rajin ikut belly dance. Aku paling senang kalau muridku dapat pujian soal bentuk tubuh mereka yang jadi ideal setelah ikut kelasku," celoteh Taemin.

"Mungkin karena perubahanmu masih belum terlalu kentara, Seokkie," Baekhyun menyeletuk lagi. "Kau baru turun lima kilo, 'kan? Mungkin perlu sepuluh kilo lagi agar Luhan Gege 'ngeh' dengan perubahanmu."

"Wow, lima kilo? Itu lumayan, Unnie. Lima kilo dalam sebulan itu bagus," Taemin memuji dengan tulus. "Yakinlah Unnie bisa turun lebih banyak kalau tetap semangat ikut kelasku," tambahnya penuh percaya diri.

"Aku dulu bisa turun sepuluh kilo dalam sebulan setelah melahirkan my baby Park Chanhyun," Baekhyun tak mau kalah.

"Iya, tapi gara-gara itu kau sempat kena bulimia dan Chanyeol meneleponku dengan emosional, memintaku jadi konsultan gizimu," Yixing menyeletuk, tak sadar bahwa dia baru saja membuka rahasia terbesar Baekhyun.

"Mwo? Bulimia? Baekhyun?" Minseok melotot kaget. "Serius, Xingie Unnie?"

"Baekkie Unnie sempat kena bulimia? Yang benar?" Taemin tak kalah kaget.

Sekarang gantian wajah cantik Baekhyun yang memerah. Si Ceriwis satu ini seketika mendelik jengkel pada Yixing yang memasang wajah tanpa dosa.

"Yak! Nyonya Kim Joonmyeon, kenapa membuka kartuku segala, sih? Hancur sudah image-ku sebagai penganut program diet sehat di depan Seokkie dan Taeminnie!" Baekhyun sewot. "Aku 'kan jadi malu!"

Alih-alih minta maaf, Yixing justru terlihat bingung. "Membuka kartu? Kenapa jadi kartu? Apa hubungannya bulimia dengan kartu?" tanya Yixing polos.

Baekhyun kontan menepuk dahinya, setengah jengkel-setengah geli menghadapi Yixing yang tak paham dengan istilah 'buka kartu'.

"Kadang aku bingung, kok bisa kau ini lulus pendidikan ilmu gizi dari kampus yang menggunakan bahasa pengantar bahasa Korea. Duh Gusti," Baekhyun gemas.

Yixing masih tak paham, sementara Minseok dan Taemin terkikik geli menyaksikan ekspresi sewot Baekhyun dan ekspresi bingung Yixing.

"Kau ekstrem juga ternyata, Baekkie," Minseok berkomentar. "Untung aku tak separah itu, padahal aku menjadikanmu role model dalam rangka menjadi hot wife and hot mommy, lho." Minseok memasang ekspresi lucu yang membuat Baekhyun mendelik lagi.

"Seokkie!"

Satu suara milik seorang gadis menginterupsi interaksi di antara Minseok dan kawan-kawan. Minseok kontan menoleh, begitu pula dengan kawan-kawannya.

"Ya, Haechan?" Minseok mendapati sosok gadis berambut bob sebahu yang tampil kelewat sporty dengan halter top merah tua dan hotpants hitam tampak berjalan ke arahnya dengan penuh semangat.

"Seokkie! Åh Gud*, I thought I saw a human Barbie doll in the lobby! For søren*, ternyata dia suamimu! God must be crazy! How could He create such beautiful creature like him?" Haechan heboh layaknya fangirl baru bertemu idolanya.

Minseok yang paling jago bahasa Inggris di antara kawan-kawannya itu jadi yang paling cepat memahami apa yang dikatakan Haechan dengan sebegitu hebohnya. Minseok kontan kaget lantaran Haechan menyebut-nyebut suaminya.

"My husband? In the lobby?" kaget Minseok.

"Yes, your husband, Herr Xi Luhan, right? He's here. In the lobby! You didn't reply his message, so he asked me to tell you that he comes to pick you up," jawab Haechan riang. "I'm really surprised! Your husband looks like a human Barbie doll!"

Minseok setengah geli-setengah tersinggung mendengar suaminya disebut-sebut mirip Barbie hidup. Luhan memang punya tampang kelewat imut untuk ukuran laki-laki, tapi sebutan 'Barbie hidup' rasanya terlalu heboh!

"Haechan-ah, Korean please!" Taemin yang tergolong parah dalam berbahasa Inggris menegur Haechan, tampak senewen gara-gara Haechan terus mengoceh dalam bahasa Inggris.

"Kau itu sekarang di Korea, bukan Denmark! Dan biasakan memanggil unnie. Minseok Unnie itu lebih tua darimu, tahu!"

"Oh please, Minseok itu luarnya saja yang Korea, dalamnya totally Swedish! Dia tak akan keberatan kupanggil nama saja," balas Haechan cuek. Dia ini lama tinggal di luar negeri, sama seperti Minseok. Tak heran dia lebih nyaman berbahasa Inggris dan tak sungkan memanggil yang lebih tua dengan nama saja tanpa embel-embel unnie atau semacamnya.

"Ya, 'kan, Seokkie?"

"Totally Swedish, sometimes," Minseok menjawab Haechan. "Aigoo, aku belum memeriksa ponselku. Pasti Lu Ge berkali-kali mengirim pesan. Baiklah, ladies. Aku permisi dulu. Suamiku sudah menjemput. Vi ses*!"

Minseok buru-buru berpamitan. Tergesa-gesa disambarnya ransel Adidas kesayangannya sebelum meninggalkan ruang latihan. Sesaat gendang telinganya sempat menangkap celoteh Haechan yang penuh semangat pada Taemin dan kawan-kawan, "Seokkie's husband just too beautiful to describe!"

Kampret memang. Dasar Lee Haechan!

Minseok memilih tak menggubris. Dia bergegas menemui suaminya, merasa kaget sekaligus senang lantaran Luhan tak disangka-sangka datang menjemputnya.

"Ge!" Minseok berseru memanggil sosok laki-laki berparas imut yang tengah duduk di lobi. Luhan, suaminya.

"Hej*, Min Skatt." Luhan tersenyum. Dia bergegas berdiri menyambut Minseok, meraih pinggang wanita berpipi chubby itu seraya menghadiahinya dengan satu kecupan manis tepat di bibir.

"Gege kenapa tadi pagi tidak bilang-bilang dulu kalau mau menjemputku?" Minseok bertanya begitu Luhan melepas tautan bibir mereka. Wajah cantiknya merona merah, agak tersipu sebagai efek ciuman barusan. Setelah sempat mengalami kerenggangan dengan Luhan gara-gara insiden dugaan perselingkuhan, Minseok jadi malu-malu pada Luhan seperti dulu saat baru pacaran dengan suaminya itu.

"Sori, aku tak sempat mengecek ponselku tadi. Aku tak tahu kalau kau mengirim pesan. "

"Aku sengaja," jawab Luhan santai. "Biar jadi kejutan."

"Tapi kok tumben?" tanya Minseok lagi. "Memangnya kau tidak lembur hari ini?"

"Kebetulan tidak ada," Luhan menjawab. "Makanya aku berinisiatif menjemputmu. Kita kencan, Seokkie. Setuju, 'kan? Mumpung Oscar ada di rumah Eomeonim."

Minseok langsung merona. Luhan mengajaknya kencan? Yang benar?

"Eh, kencan?" Minseok tersipu-sipu. "Gege mengajakku kencan?"

"Iya, Seokkie. Ayo kita kencan." Luhan tampak geli melihat Minseok yang merona dan tersipu hanya karena mendengar ajakan kencan. Minseok tak ubahnya anak gadis belasan tahun yang baru pertama kali diajak kencan, benar-benar menggemaskan hingga Luhan tak tahan untuk tidak menowel pipinya yang memerah.

"Sudah lama kita tidak kencan, 'kan? Belakangan ini aku sibuk terus di kantor sampai-sampai kurang pasokan udara segar dan kulitku jadi keriput. Rasanya aku tidak baby face lagi." Luhan berlagak sengsara.

"Kau memang tidak baby face lagi, Ge, tapi cantik. Persis Barbie hidup," Minseok terkikik, teringat Haechan yang menyebut Luhan sebagai 'human Barbie doll.'

"Mwo? Cantik? Barbie hidup? Ya, Kim Minseok! Aku ini pria tulen. Aku ganteng, tidak cantik!" Luhan pura-pura sewot. Selama ini dia memang seringkali disebut 'pria cantik', tak heran dia jadi kebal dengan julukan menyebalkan semacam itu.

"Bercanda, Ge. Aku hanya meniru Haechan, cewek yang tadi kau titipi pesan. Dia bilang kau macam Barbie hidup," kata Minseok sambil membelai-belai pipi mulus Luhan.

"Wah, sialan dia," Luhan mendengus.

Minseok terkikik lagi. "Jangan marah, Ge. Buatku kau ganteng, kok. Ganteng, jantan lagi. Oscar jadi buktinya."

Mendengar ini, Luhan langsung berseri-seri. "Oscar baru permulaan. Aku berencana menambah Estelle, Leonore, dan Nicolas," balas Luhan bangga.

"What? Kau pikir kita ini Swedish Royal Family?" Minseok membelalakkan matanya. Kebetulan nama-nama yang disebutkan Luhan barusan adalah nama para putri dan pangeran Swedia, para cucu Raja Carl Gustaf XVI dan Ratu Silvia.

"Aku emoh kalau menambah 3. Tambah 1 sudah cukup. Estelle, aku setuju," kata Minseok seraya mengelus perutnya.

Luhan terkekeh. "Soal jumlah kita negosiasikan nanti. Sekarang kita pergi kencan dulu, sekalian membeli dress baru untukmu," ajak Luhan.

"Dress baru?" Minseok langsung sumringah. "Tapi dalam rangka apa? Ulang tahunku 'kan sudah lewat, jatah bulananku juga sudah kau belikan."

"Tentu saja untuk dipakai di resepsi pernikahan Jia dan L besok, Skatt," jawab Luhan.

"Astaga, aku hampir lupa, Ge." Minseok menepuk dahinya. "Untung saja kau mengingatkanku."

"Kita berangkat sekarang." Luhan meraih tangan Minseok, menggenggamnya erat. "Rasanya tak sabar bernostalgia. Masih ingat kencan pertama kita, Nona Pemandu?" Pria itu mengedipkan sebelah matanya.

"Stockholm di musim panas, ya. Kencan pertama dengan mantan turis yang pernah kupandu, yang khusus datang jauh-jauh dari Beijing sesuai janjinya. Aku tak akan pernah melupakannya, Ge." Minseok lagi-lagi tersipu. Kenangan manis dari kencan pertamanya dengan Luhan beberapa tahun lalu di Stockholm kembali hadir menyapanya, menghadirkan kehangatan yang terasa semanis madu.

"Mari kita bernostalgia, Seokkie." Luhan membimbing istrinya untuk berjalan beriringan. "Sudah terlalu lama aku merindukan masa-masa itu."

Minseok mengangguk dengan riang. Senyuman terulas di bibirnya yang ranum bak cherry, terlihat manis dan luar biasa tulus. Langkah kakinya terasa ringan, begitu serempak dengan Luhan yang membalas senyumnya tak kalah tulus.

Minseok berbahagia. Rupanya Tuhan masih begitu baiknya, kembali mempererat hubungannya yang sempat renggang dengan Luhan akibat insiden dugaan perselingkuhan itu. Mungkin inilah yang dinamakan 'ada hikmah di balik setiap peristiwa'. Luhan jauh lebih perhatian setelah insiden dugaan perselingkuhan antara dirinya dan Jia berlalu. Minseok bersyukur, amat sangat bersyukur.

Maka wanita cantik itu terlihat semakin berseri di bawah siraman cahaya mentari sore milik Seoul di musim panas, bersiap memulai kencan spesial dengan seseorang yang paling spesial. Suaminya, Luhan.

.

.

.

FIN

.

.

.

EPILOG

Pesta pernikahan Kim Myungsoo dan Meng Jia mengambil konsep garden party dengan tema elven wedding ala trilogi The Lord of The Rings. Bertempat di halaman salah satu gedung pertemuan terkenal di kawasan Seodaemun-gu, pesta tersebut terasa semarak dan akrab lantaran kedua mempelai dibiarkan bebas berkeliaran menyambut tamu-tamunya, berbaur dengan para tamu. Tak heran Minseok menemukan dirinya berdiri bersebelahan dengan Meng Jia di salah satu meja, mendapati mempelai wanita yang terlihat memesona dalam balutan gaun pengantin berwarna hijau muda ala kostum Arwen Evenstar dalam The Lord of The Rings itu memperhatikannya dengan tatapan takjub.

"Luhan banyak cerita tentangmu, Minseok," Jia memberitahu Minseok. "Tak bosan-bosannya dia menceritakan Minseok begini dan Minseok begitu, membanggakan segala hal tentangmu. 'Minseok-ku paling cantik, Jia', 'dia bisa tiga bahasa', 'dia alumnus Uppsala University jurusan Swedish Literature', 'dia lucu, menyenangkan, perhatian', begitulah. Aku sampai penasaran betul padamu, sayangnya Luhan selalu lupa memperkenalkan kita saking sibuknya dia dengan pekerjaan. Ditambah lagi waktu itu Oscar sakit, dia sampai tak menghubungiku berhari-hari."

Diluar dugaan, Meng Jia sosok yang sangat ramah dan ceriwis. Dia juga tipe supel, cepat akrab dengan orang baru. Minseok berani bertaruh, sahabat Luhan yang satu ini pasti cocok jika dipertemukan dengan Byun Baekhyun yang sama-sama ceriwis.

Minseok menyukainya. Meng Jia itu menyenangkan. Minseok jadi menyesal pernah berprasangka buruk padanya.

"Ternyata kau persis dengan yang diceritakan Luhan. Kau cantik, seksi lagi. Pantas Luhan tergila-gila," Jia menambahkan.

What? Seksi?

Minseok nyaris tak mempercayai pendengarannya sendiri. Jia bilang dia seksi? Yang benar saja!

Minseok masih ingat persis, angka yang ditunjuk timbangannya tadi pagi masih 60kg!

Seksi dari mana, dong?

"Kau terlalu memuji, Jia," Minseok tersenyum sopan. "Seksi apanya? Aku melar begini, lho." Minseok menunjuk dirinya sendiri yang tampil manis dengan dress selutut berwarna salem hasil perburuannya dengan Luhan kemarin di YSL.

"Serius seksi, kok. Memang kelihatan berisi, sih. Tapi auramu itu, lho. Sungguhan seksi. Berani taruhan Luhan pasti tak bosan-bosan menyeretmu ke ranjang. Benar, tidak?" Jia berbisik dengan nada menggoda.

Skak mat!

Pipi Minseok kontan memerah. Demi Tuhan, Jia ini apakah punya darah peramal? Kenapa tebakannya bisa tepat sasaran?

Luhan memang jadi aktif lagi di ranjang setelah insiden kesalahpahaman di antara mereka berakhir dengan damai! Pria itu bahkan mulai egois menurut Minseok lantaran tak segan meminta 'jatah' meski Minseok tengah kelelahan setelah seharian mengurus Oscar.

"Kau terlalu memuji, Jia," Minseok merendah meski merasa tersanjung juga. "Aku malah iri padamu. Kau langsing, seksi lagi." Gantian dia memuji.

"Seksi apanya? Aku ini kerempeng kalau kata L," sanggah Jia dengan mimik lucu. "L itu suka cewek berisi, makanya setiap kencan dia selalu mengajakku wisata kuliner. Dia mau aku banyak makan biar cepat berisi. Sayang, aku ini memang turunan kurus. Mau makan serakus babi pun aku tak bakal gemuk." Dia menggembungkan pipinya, terlihat begitu imut di mata Minseok.

Minseok tertawa. Jia ini ternyata lucu dan imut juga. Nilainya seketika bertambah di mata Minseok.

"Wah, wah, kelihatannya kalian berdua sudah akrab."

Suara empuk milik Luhan sontak memandu Minseok dan Jia menoleh. Tampak Luhan dan L yang berdiri di jarak sekitar tiga meter tersenyum kompak pada mereka berdua. Rupa-rupanya sedari tadi kedua pria itu memperhatikan interaksi di antara Minseok dan Jia sembari berbincang-bincang.

"Tentu saja," balas Jia seraya merangkul Minseok. "Istrimu otomatis jadi sahabatku, Bung," katanya pada Luhan.

"Sahabatmu otomatis jadi sahabatku juga, Ge," Minseok tak mau kalah. Tanpa sungkan dia balas merangkul Jia.

"Kalau begitu kita juga otomatis bersahabat, Hyung." Myungsoo alias L menyela seraya merangkul Luhan. "Karena kau sahabat istriku."

"Barangkali kau lupa, kita ini sudah jadi partner kerja selama setahun, L," kata Luhan. "Memangnya selama ini kita belum jadi sahabat?"

L tertawa. "Kau sahabat terbaikku di kantor, Hyung. Serius!"

Luhan ikut tertawa. Kebetulan di antara sekian banyak rekan kerjanya, L ini merupakan salah satu favoritnya. Kebetulannya lagi, L ternyata berjodoh dengan Jia yang notabene sahabatnya semasa kuliah di Philadelphia dulu.

Minseok dan Jia gantian mengawasi pasangan masing-masing dengan penuh minat, diam-diam mengagumi kecerdikan Tuhan yang mempertemukan mereka melalui jalan persahabatan dan perjodohan. Nampaknya setelah ini daftar sahabat Minseok bakal bertambah satu nama: Meng Jia.

.

.

.

KAMUS

Min skatt (Swedish): my treasure

Åh Gud (Danish): Oh My God

For søren (Danish): d*mn

Vi ses (Swedish): see you

Hej (Swedish): hi

.

.

.

Terima kasih atas apresiasinya terhadap fiksi penggemar yang satu ini. Semoga dapat menjadi alternatif hiburan di kala senggang^^

.

.

.

R.S.