Bab 3

Jongin menatap cermin di kini sudah berganti dengan seragam abu-abu, siap berangkat sekolah.. Senyumnya melebar, melihat refleksi dirinya di cermin. Jongin! Hadapi hidupmu yang baru ini dengan ceria.

Hayoo, tersenyumlah! Di meja makan telah duduk Paman Oh , Tante Oh , si kembar yang juga telah lengkap mengenakan seragam sekolahnya, Sehun yang memakai kemeja panjang serta Sunghwa yang juga telah lengkap memakai seragam sekolahnya. Jongin duduk dekat si kembar. Dia memilih untuk tidak duduk di dekat Sunghwa maupun Sehun. Mereka berdua terlihat cuek pada Jongin, seakan Jongin itu tidak pernah ada. "Jongin," tegur Paman Oh . "Pagi ini Paman akan ke rumahmu. Paman ingin mengobrol dengan paman dan bibi sebagai walimu. Ada hal yang harus dijelaskan pada mereka. Paman rasa sekarang adalah saat yang tepat."

Eh, yang benar saja! Jongin memandang setengah linglung pada Paman Oh . Sunghwa juga mengangkat kepalanya dan menatap dengan sikap keberatan. "Sehun, sebelum ke kantor, antarkan Appa ke rumah Jongin. Ini juga saat yang tepat untuk memperkenalkanmu kepada wali Jongin. Pasti mereka ingin bertemu denganmu."

Sehun menatap Appa nya. Diam sejenak dan mengangguk. Entah mengapa Jongin merasa lega melihat anggukan Sehun. Tapi hei, soal pindah sekolah ini Jongin kan belum bilang setuju. "Tante juga ingin ikut. Tante juga ingin berkenalan," ujar Tante Oh sambil melempar senyum lembut kearah Jongin. Jongin lunglai. Dia tidak mampu mencegah. Terpaksa Jongin setuju. Paman dan Bibi Jongin terkejut mendapati tamu yang berkunjung ke rumahnya pagi ini. Terlebih lagi ketika paman dan bibi menyadari kalau laki-laki muda yang gagah itu adalah calonnya Jongin. Membayangkan Sehun yang dingin dan mengerikan membuat nyali Jongin ciut. Tapi Jongin memutuskan tidak ingin berpikir lebih jauh lagi. Mengerikan rasanya memikirkan hal tersebut.

Kini Paman Cho dan Paman Oh terlihat pembicaraan yang akrab dan pasti berubah menjadi pembicaraan yang sangat serius. Jongin gelisah! Dia sadar kalau pembicaraan yang dilakukan itu pasti menyangkut dirinya dan mungkin seluruh masa depannya. Dan Jongin pun teringat kontrak yang telah mengikat masa depannya. Sebelum pergi, Jongin sempat memandang Sehun yang duduk di sisi Paman Oh . Mata mereka bertemu, tapi tatapan mata itu tidak sesinis sewaktu pertama kali Jongin berkenalan dengan Sehun. Jongin meras sedikit lega. Tapi itu hanya sesaat karena kenudian Sehun melengos, memandang tempat lain di ruangan tersebut. Jongin tersenyum pedih. Ternyata dia tidak bisa berharap lebih baik dari ini. Dengan perasaan campur aduk, Jongin memicu roda sepedanya, menuju satu tempat… sekolah. Jongin meletakkan tas di atas mejanya. Jongdae melambai dan bergegas mendekati Jongin. "Halo, Jong ! Kemana aja kemarin? Kata bibimu, kamu nginap di rumah camer. Benar ya?" "Apaan sih, Dae! Nggak lucu lagi!" "Siapa yang ngelucu, Jong . Aku kan Cuma nanya bener nggak?"

"Iya. Napa emangnya?" "Wah, asyik dong. Tinggal di rumah orang kaya, tidur id kasur empuk. Wah, sekali-kali ajak aku dong, Jong." Jongin mengangkat bahunya. "Nggak usah sirik gitu, Dae!"

"Hei,hei, siapa yang sirik? Aku kan Cuma mau bilang sama sohibku ini, kalau senang-senang jangan lupa sama teman dong!" Jongin segera menarik tangan Jongdae dan menyuruhnya duduk. Jongdae terkesiap diperlakukan seperti itu. "Hei, Jong ! Kalau kangen, jangan kasar gitu dong. Mister Jongdae siap selalu utuk Miss Jongin. Don‟t worry!"

"Huh, siapa yang kangen playboy! Enak aja kalau ngomong!" Jongin langsut sewot mendengar candaan Jongdae. "Sorry Jong, cuma becanda. Kamu serius amat sih? Nggak biasanya." Jongin mendekatkan wajahnya kea rah Jongdae sambil berbisik, "Ini memang serius, Dae. "

"Iya deh. Ada apa lagi sih, Jong?" "Masalah serius. Se-ri-us!" Kening Jongdae berkerut dan matanya menyipit. "Ada apa, Jong? Jangan bikin bingung dong?!" "Dae, kemungkinan aku bakal pindah rumah dan juga sekolah…."

"Apa?! Jong, jangan bercanda dong!"

"Siapa yang bercanda?! Ini serius, Dae!" Jongin menghela napas.

"Orang yang bikin perjanjian aneh itu yang netapin begitu. Dia meminta aku tinggal di rumahnya dan juga sekolah di HS yang sama dengan Jongrinya, Sunghwa." "Nggak bisa gitu dong, Jong. Gimana dengan paman, bibi, aku dan sekolah ini? Waduh, sekolah jadi nggak seru dong kalau nggak ada kamu!"

Jongin mengangkat bahunya. "Aku juga nggak tahu…"

"Tapi kamu kan bisa nolak?" potong Jongdae cepat.

Jongin menggeleng, "Sepertinya sulit." "Kamu itu! Kayak bukan Jongin aja! Masa sih kmu nggak bisa nolak. Ayolah Jong, tolak aja. Pikirin dong masa-masa HS kita. Masa ilang gitu aja! Jongin, paman dan bibi pasti bakal sedih banget kalau kamu nggak ada…Aku juga bakal sedih! Nggak ada yang bisa diajak main lagi, nggak ada yang bisa diajak becanda seperti sekarang. Jong, ayolah… kamu pasti bisa menolaknya kan?" bujuk Jongdae.

Jongin menggeleng. Rasanya sih dia juga ingin menolak rencana kepindahannya itu. Tapi sejak dirinya terbelenggu perjanjian itu, diia tidak punya keberanian lagi untuk melawan. Jongdae mendesah Jongus asa.

"Oke…kalau gitu, aku nggak bisa maksa kamu. Tapi aku harap, setelah kamu pindah rumah, kamu nggak akan melupakan aku dan juga tempat ini." "Nggak akan! Aku nggak akan ngelupain kamu, teman-teman, dan sekolah ini. Jujur…sebenarnya aku berharap paman dan bibi menolak rencana itu, Cuma itu harapan satu satunya…" jawab Jongin tegas.

Jongdae tersenyum, "Aku juga nggak akan melupakan kamu," kata Jongdae mencolek hidung Jongin yang pesek,

"Aku juga berharap kamu nggak jadi pindah dari tempat ini!" Jongdae menepuk pundak Jongin. "Dae…," panggil Jongin lembut.

"Ya?" Jongin terdiam. Matanya menerawang dan Jongin jadi ragu-ragu sendiri. Ada keinginan di hatinya untuk menceritakan sikap tidak suka Sehun dan Sunghwa. Tapi kalau dia ceritakan hal ini, keadaan bisa tambah buruk. Bisa-bisa Jongdae menceritakan pada Paman Cho dan Bibi Cho. Mereka pasti jadi khawatir.

Jongin menggeleng, "Ah, nggak kok. Hanya mau ngucapin makasih atas semuanya selama ini," ujar Jongin akhirnya. "Apaan sih kamu, kayak orang lain aja...," ujar Jongdae dengan senyum mengembang yang ramah, senyum yang selalu dilontarkan Jongdae pada Jongin sejak mereka jadi sohib dekat.

Sepulang sekolah, didapati paman dan bibinya duduk di ruang tamu. Jongin menyapa keduanya. Paman Cho memandang Jongin dan memintanya duduk. Jongin menurut. Diawasinya Bibi Cho yang masih terpekur dengan mata sedikit sendu. "Ada apa, paman?" tanya Jongin hati-hati. " Jong paman dan bibi sudah bicara banyak dengan Mr Oh," ucap Paman Cho . Jongin memperhatikan dengan gelisah.

"Dan mereka meminta kami berdua.. yah untuk menyetujui kamu tinggal dan bersekolah di sekolah yang pantas." "Ya, memang kemarin Paman Oh sudah mengatakannya, Tapi Jongin belum menyetujuinya dan Jongin rasa paman dan bibi juga nggak menyetujuinya kan?" tanya Jongin meyakinkan. "Jongin akan tetap sekolah disini kan?"

"Tidak, paman rasa memang kamu sebaiknya pindah," ujar Paman Cho lagi. "Lho, kenapa?" "Pak Oh banyak cerita pada kami berdua. Dia juga menceritakan tentang dirimu dan masa depannmu, sayang. Kamu calon isteri Sehun dan Mr Oh menginginkan calon isteri Sehun mendapatkan yang terbaik," Paman Cho mendesah, "Dan kami mengerti.

Jadi kami juga setuju akan hal itu. Mr Oh juga menceritakan hubungannya dengan Appa mu, Jong," lanjut pamannya kemudian. "Apa?" Paman Cho mengangguk. "Banyak sekali yang dia ceritakan. Setelah mendengar ceritanya, paman juga jadi tidak bisa berbuat apa-apa.

Dia tidak bermaksud buruk padamu. Justru sebaliknya, dia ingin kamu mendapatkan yang terbaik yang tidak bisa kami berikan. Itu janjinya pada Appa mu dulu." Lho…lho? Jongin melongo. "Jadi kami berdua memutuskan untuk mengijinkannya saja. Paman bukan bermaksud untuk membuangmu, nak. Paman dan bibi hanya ingin yang terbaik untukmu. Tapi…tapi… Bibi Cho di sudut rumah sudah menitikkan air mata. Memang mudah mengatakan itu, tapi tidak mudah melepaskan sesuatu yang dicintai.

"Paman…" bibir Jongin bergetar. Jongin merasa seperti anak kucing yang akan dibuang oleh induknya. Apa ini adil? "Jongin kok merasa seperti dibuang? Apa memang seperti itu yang paman inginkan dari Jongin?"

"Nggak, Jong. Ya Tuhan, mana ada sih orang tua yang membuang anaknya sendiri. Bukan begitu maksud paman. Paman dan bibi hanya berusaha sebisa kami, paling tidak untuk kebahagiaanmu, nak." Kebahagian? Oh, iya benar. Semula ini bermula dari perjanjian itu. Hidup Jongin seluruhnya jadi kacau tidak terkendali, termasuk hidup paman dan bibi.

"Dengarkan paman, sayang. Mr Oh adalah sahabat Appa dan oemma mu. Mereka teman dekat. Mr Oh ingin agar kamu dan anaknya dapat menjaga persahabatan tersebut. Itu adalah salah satu alas an perjanjian itu dibuat. Mr Oh juga merasa bertanggung jawab atas dirimu, nak. Meninggalnya orang tuamu mendorongnya lebih cepat mengambilmu sebagai menantunya. Mr Oh benar-benar tulus melakukan semua ini," terang Paman Cho kemudian. Jongin diam tidak mau menyahut.

Oh, jadi itu alas an Paman Oh ingin agar dirinya tinggal di rumah itu. Jongin tidak meragukan ketulusan Paman Oh , tapi bagaiman dengan Sehun. Sehun tidak setulus hati menyetujui perjanjian tersebut. " Jong paman dan bibi, sebagaimana orang tua, selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Jangan salah sangka," ujar Paman Cho kemudian. "Yang bisa kami lakukan sekarang adalah memberi izin pada Mr Oh untuk membiayai sekolahmu dan membiarkanmu tinggal di rumahnya. Untuk kehidupan yang lebih baik."

Aku tidak butuh kemewahan itu. Aku hanya ingin berada di sini, bersama paman dan bibi, karena hanya kalian keluarga yang aku miliki. Hati Jongin menjerit! Apa kalian tidak mengerti atau kalian memang ingin membuangku! "Jongin…," Bibi Cho memanggil lirih, "Maafkan kami, nak. Kami juga tidak bisa berbuat apaapa lagi. Tapi bibi sudah meminta Mr Oh untuk selalu mengizinkan kamu datang kemari. Oh Jong, andai kamu tahu betapa ini membuat kami susah…!" suara Bibi Cho terdengar serak bercampur isakan.

Jongin sadar, bibinya menangis. Ya, Tuhan! Bagaimana bisa akau menuduh yang tidak-tidak pada paman dan bibi. Mereka mencintaiku, tapi mereka juga jadi susah karenaku. Lebih baik aku melakukan yang disarankan Paman Oh . Semoga dengan begini mereka tidak susah lagi. Jongin menyesal sendiri.

Harusnya lebih mempercayai kedua orang tua walinya itu. Jongin menatap kedua orang tua asuhnya. "Jongin sudah terlibat sejauh ini. Ya sudah, dijalani saja sampai akhir," jawab Jongin pasrah. "Kapan paman mengurus kepindahan Jongin? Besok?" tanya Jongin kemudian Jongin segera berdiri. "Kalau begitu, biar Jongin bereskan semua barang Jongin. Nanti Jongin tinggal berangkat saja."

"Jongin…" panggil Bibi Cho dengan wajah yang begitu pucat. Jongin menoleh. "Apakah kamu membenci kami?" tanya Bibi Cho. Wajahnya sudah sembab oleh air mata. Jongin menggeleng, "Ngaak, aku nggak pernah membenci kalian berdua. Aku mencintai kalian berdua," jawab Jongin.

Rasanya mata Jongin sudah mulai panas. "Syukurlah! Bibi takut kamu akan membenci kami karena menganggap kami membuangmu, nak." "Jongin yakin semua keputusan yang diambil paman dan bibi untuk kebaikan Jongin," jawab Jongin sambil tersenyum.

Kelopak matanya dikerjap-kerjapnya dan berharap air mata yang sudah siap meluncur turun tidak jadi. Ah….. Sore harinya, sopir menjemput Jongin untuk kembali ke rumah keluarga Oh . Paman dan bibi menatap kepergian Jongin dengan pedih. Jongin menatap keduanya. Segulir air mata membasahi pipinya yang kemerahan. Tapi Jongin memasang senyumnya, senyum terbaiknya. Ini bukanlah perpisahan selamanya dan ini bukanlah akhir segalanya. Paman dan bibi tetaplah orang tua yang membesarkannya. Rumah ini tetap rumahnya. Tidak banyak yang berubah dari cintanya dan keluarganya. Mobil pun meninggalkan rumah sederhana itu, meninggalkan segala kehidupan Jongin yang serba biasa. Kni Jongin bersiap menjalani hidupnya yang baru dan berbeda. ====