Namjoon terbatuk kecil ketika partikel halus debu yang menempel pada permukaan buku yang ia letakkan ke dalam sebuah kardus besar berterbangan. Minggu lalu ia sudah wisuda untuk program strata duanya, ia juga sudah mendapatkan pekerjaan dengan estimasi gaji yang lumayan besar di Badan Pengawas Tenaga Nuklir Korea Selatan, dan sekarang ia sibuk mengemas barang-barang miliknya di apartemen baru miliknya di Seoul. Ia menghela napas pelan ketika iris gelapnya mengedar untuk mengamati sekelilingnya yang kini di penuhi tumpukan kardus.

Malam semakin tua dan suhu udara semakin turun drastis saat musim dingin. Namjoon menggosok kedua telapak tangannya, berjalan menuju depan televisi dan meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Ia mengaktifkan layarnya, menatap penuh harap jika layarnya tiba-tiba saja menampilkan nama Seokjin.

Ini sudah hampir empat bulan setelah kejadian di bar malam itu dan Namjoon yang menyelipkan selembar kertas kosong berisi nomer telepon serta alamat yang bisa Seokjin datangi saat ia butuh bantuan. Tahun dan musim sudah berganti. Banyak yang sudah berubah, meskipun Bumi masih berotasi pada porosnya dan bulan masih setia mengikutinya. Banyak yang sudah berubah, baik keadaan dan status pada diri Namjoon. Ia sudah bukan mahasiswa lagi, melainkan seorang calon pegawai dengan masa depan yang menjanjikan. Tapi satu yang tak berubah, harapannya pada Seokjin yang suatu hari nanti membuka mata dan melihat jika ia lebih baik daripada Hyosang.

Namjoon terperanjat dan hampir melempar ponselnya saat benda tersebut berdering nyaring dan menampilkan sederet nomer asing yang tak tersimpan dalam memori teleponnya.

"Halo?"

"Benar dengan saudara Kim Namjoon?" Kening Namjoon mengerut samar ketika mendengar suara halus wanita dari seberang line telepon.

"Ya, saya sendiri. Ada yang bisa saya bantu?"

"Kami dari Seoul Medical Center, apakah Anda mengenal seseorang bernama Kim Seokjin?"


A NamJin Fanfiction

( Kim Namjoon x Kim Seokjin of BTS)

.

Fix You©peachpeach

Based on: Fix You by Coldplay

.

All cast belongs to God, themselves, family and management. Story line is mine. No profit taken.

.

.

And high above or down below.

When you're too in love to let it go.

But if you never try you'll never know.

Just what you're worth.


Gwacheon, lima tahun yang lalu.

Malam semakin larut, bahkan sebentar lagi fajar akan menjemput. Tapi, hujan di luar sama sekali belum berhenti sejak siang. Membuat udara semakin dingin dan menyelimuti Seokjin yang sedang dirundung duka. Bahu pemuda yang baru saja lulus dari perguruan tinggi dua minggu yang lalu itu tampak turun, belum lagi isakan samar yang masih keluar dari celah bibirnya meskipun sekarang ia sendirian.

Tanpa ada seseorang untuk sekedar meminjamkan bahu dan mendengarkan isakan Seokjin. Ia benar-benar sendiri. Dalam balutan setelan resmi berwarna hitam, dengan pita kuning di lengan atasnya yang bebas dari bebatan gips, dan sedang menangis di depan abu jenazah kedua orang tuanya.

"Seokjin—" Seseorang menyentuh bahu Seokjin, membuatnya mendongak dan menemukan figur tinggi dengan bouquet bunga krisan putih dalam dekapannya dan jaket hijau tuanya basah kuyup.

"Hyosang?" Suara Seokjin terdengar begitu lirih dan lemah saat menyebut nama figur yang masih berdiri dan kini mengulum sebuah senyum tipis. Hyosang kemudian meletakkan bouquet bunga yang ia bawa, melakukan penghormatan dengan khusuk, sebelum akhirnya duduk di samping Seokjin yang masih bersimpuh.

"Aku mendengar semuanya dari sepupuku," Hyosang menjeda sejenak ucapannya, kemudian lengannya merangkul Seokjin dengan hati-hati. "Maaf, aku tak ada disaat terberatmu Seokjin. Maaf."

Manik kembar Seokjin masih menatap lurus ke arah potret kedua orang tuanya di altar penghormatan. Ia bergeming, sama sekali tidak bereaksi ketika Hyosang merangkulnya dengan jaket yang basah. Satu dengusan skeptis kemudian terdengar mengisi sunyi diantara mereka.

"Maafmu nyatanya tak dapat menarikku dari dalam momen terberat dalam hidupku. Kau pergi tanpa pamit menuju Seoul setelah malam kelulusan, meninggalkanku tanpa petunjuk apapun tentangmu, dan harus kehilangan kedua orang tuaku karena percobaan bunuh diri setelahnya."

Hyosang menurunkan rangkulan lengannya dari bahu Seokjin, pemuda dengan usia yang sama dengan Seokjin itu kini menggenggam jemari Seokjin yang terasa dingin. Ia memilih diam, membiarkan sunyi merajai mereka.

Dalam otaknya berpikir jika Seokjin hanya perlu seseorang yang menggenggam tangannya, menemaninya yang tengah berduka, sesederhana itu. Genggaman tangan Hyosang semakin erat saat ingatannya berputar ketika sepupunya menelepon dan mengabarkan berita yang membuat Hyosang seperti disambar petir.

'Seokjin masuk rumah sakit, Hyosang-ah. Kecelakaan tunggal. Menurut desas-desus, itu kasus bunuh diri karena lilitan hutang Ayah Seokjin.'

'Seokjin selamat, tapi tidak dengan kedua orang tuanya. Sanak saudaranya lepas tangan dan enggan mengurus Seokjin karena hutang Ayahnya. Kau tidak ingin pulang dan menjenguknya?'

Hyosang memejamkan matanya sejenak, dadanya terasa sesak ketika Seokjin kembali terisak dalam sunyi sembari memanggil nama kedua orang tuanya. Seokjin sudah tidak memiliki apapun. Keluarga, harta, dan teman. Semuanya hilang, semudah angin meniupkan partikel debu di udara. Semuanya lenyap saat kondisi Seokjin berada pada posisi paling bawah.

"Ikutlah denganku ke Seoul, Seokjin." Seokjin menoleh dengan cepat, menatap Hyosang dengan beragam emosi yang bergejolak dalam hatinya.

"Ke Seoul katamu?"

"Ya, tinggallah denganku di Seoul. Tinggalkan semua kenangan burukmu disini, kau bisa menata hidupmu dengan lebih baik di Seoul." Genggaman tangan Hyosang semakin erat, mengalirkan kehangatan yang Seokjin butuhkan saat ini.

"Tapi—"

"—Maaf jika aku menyinggungmu, tapi kondisi kita sama. Kita sama-sama yatim-piatu, kita perlu meneruskan hidup sebagai figur baru setelah semua kesedihan yang kita alami. Kita harus berdiri di atas kaki kita sendiri jika ingin terus bertahan."

Tanpa Hyosang duga, Seokjin kemudian mengulum sebuah senyum dan menggeleng. "Kau tidak tahu apa-apa Hyosang. Aku bahkan ragu jika kau mantap mengajakku untuk hidup bersama di Seoul."

Kening Hyosang mengerut dalam, tanda tak paham dengan perkataan Seokjin.

"Kau mengajakku tinggal bersama di Seoul saat semua yang ku punya lenyap tak berbekas. Kau hanya merasa kita berbagi nasib yang sama bukan? Kau seharusnya membawaku ke Seoul saat kau pergi kesana untuk pertama kalinya. Bukannya meninggalkanku dengan segenap tanya di atas tempat tidur tanpa pakaian setelah pesta malam kelulusan. Kau takut, Hyosang."

Manik Hyosang bergulir gelisah, lidahnya kelu, dan ia kesulitan menelan salivanya sendiri. Seburuk itukah ia dimata Seokjin? Oke, ia akui memang dirinya telah menggores luka untuk Seokjin. Tapi, apakah ia tak mempunyai kesempatan untuk mengobati luka yang ia buat?

"Percaya padaku, Seokjin. Beri aku kesempatan satu kali lagi untuk menebus dosaku. Kita sudah saling mengenal dari kecil bukan? Percayalah padaku satu kali lagi, dan aku akan membuat hidupmu lebih baik."

"Aku bisa hidup selama kedua tangan dan kakiku masih berfungsi, tanpa harus meninggalkan Gwacheon dan pergi ke Seoul, Hyosang-ah. Jika kau ingin kembali ke Seoul, aku tidak akan menahanmu. Dua hari lagi aku juga sudah tidak disini, aku sudah tidak punya hak apapun atas rumah ini."

Seokjin kembali mengalihkan atensinya ke arah potret kedua orang tuanya dengan pandangan kosong. Genggaman tangannya dengan Hyosang belum terlepas, tapi ia hanya membiarkan pemuda itu menggenggam tangannya, tanpa membalasnya. Lalu dengan cepat Hyosang mengecup plum Seokjin, mengulumnya dengan penuh rasa bersalah yang kental dalam dirinya. "Ku mohon, Seokjin. Ikutlah denganku ke Seoul, aku takkan bisa memaafkan diriku sendiri jika terjadi sesuatu padamu nanti."

"Hyosang—"

"Tolong Seokjin, kau bisa membunuhku jika aku menyakitimu lagi. Aku tahu, ini bukan saat yang tepat, tapi aku mencintaimu Seokjin-ah."

Malam itu yang Seokjin ingat setelah Hyosang menangkup wajahnya yang kacau karena menangis seharian, mereka kemudian menangis bersama di depan altar, di depan abu orang tua Seokjin, dan berjanji akan melindungi satu sama lain.


Lights will guide you home

And ignite your bones

And I will try to fix you


"Saudara Kim Seokjin mengalami kecelakaan tunggal di wilayah barat daya menuju Gwacheon. Saudara Kim Seokjin tidak membawa ponsel dan membawa SIM sebagai tanda pengenal, lalu kami juga menemukan secarik kertas dalam saku jaketnya dan berisi nama serta nomer ponsel Anda." Namjoon menerima secarik kertas yang sudah dibungkus plastik klip dari tangan seorang polisi dengan name tag Shim Changmin. Ia mengamati sejenak tulisan di atas kertas, dan sadar itu bukan tulisan tangannya. Jenis kertas yang sedang ia pegang sekarang pun berbeda dengan kertas yang ia berikan kepada Seokjin saat di depan convenience store dekat bar.

"Kalau boleh tahu, Anda siapa?" Polisi Shim menunggu jawaban dari Namjoon dengan pandangan penuh selidik.

"Saya temannya, empat bulan yang lalu saya memberikan nomer ponsel saya kepada Seokjin. Tapi ini bukan jenis kertas yang saya berikan empat bulan yang lalu, itu juga bukan tulisan saya." Kening Polisi Shim membentuk sebuah kerutan dalam, tanda ia ragu dengan penjelasan Namjoon.

"Kami sedang menyelidiki penyebab kecelakaan, apakah murni karena kerusakan mesin atau kasus bunuh diri. Kami juga sedang mencari dimana tempat tinggal Kim Seokjin lewat SIM dan nomer polisi pada plat mobil yang ia gunakan."

Polisi Shim menghela napas sejenak sebelum melanjutkan. "Sekarang, mari ikut saya menemui Dokter Lee. Operasinya mungkin sudah selesai dan karena hanya nama Anda yang bisa kami hubungi, maka saya harap Anda tidak keberatan menjadi pihak yang bertanggung jawab terhadap Saudara Kim Seokjin."

Namjoon mengangguk pelan. Ia mengikuti langkah Polisi Shim dengan berat. Ia sungguh ingin menemui Seokjin sesaat setelah ia sampai di rumah sakit. Ia ingin sekali menggenggam tangan Seokjin dan bertanya apakah ia baik-baik saja. Ia memang ingin sekali bertemu dengan Seokjin, tapi tidak dalam kondisi seperti sekarang. Dengan Seokjin yang berjuang melewati masa kritisnya seusai berjuang sendirian di atas meja operasi.

Tanpa Namjoon sadari, mereka berdua telah sampai di depan sebuah pintu cokelat dengan nama Dokter Lee di bagian depannya. Polisi Shim mengetuk pintu dengan ringkas sebelum seseorang di dalam ruangan mempersilakan mereka masuk.

"Selamat malam Dokter Lee," sapa Polisi Shim. Pria paruh baya di depan mereka kemudian mengulum sebuah senyum menawan dengan garis sabit di wajahnya dan mempersilakan mereka berdua untuk duduk.

"Anda wali dari Kim Seokjin?" Namjoon mengangguk pelan, lalu Dokter Lee menyalakan layar untuk memperlihatkan hasil rontgen dan CT Scan kepada mereka.

"Luka yang dialami Saudara Kim Seokjin lumayan berat karena mobil yang ia gunakan tidak menggunakan air bag sebagai pelindung saat kecelakaan terjadi. Saudara Kim Seokjin mengalami mild traumatic brain injury karena goncangan keras saat kecelakaan terjadi. Saat ia sadar, ia akan mengalami masalah kognitif dan disorientasi selama kurang dari tiga puluh menit. Maka dari itu, kami perlu mengawasi dan mengevaluasi keadaan pasien sampai sadar nanti." Namjoon mengusap wajahnya dengan frustasi setelah mendengar penjelasan dari Dokter Lee.

"Tidak ada tanda jika ia dalam pengaruh alkohol ataupun obat-obatan saat menyetir. Sementara itu, tulang betis pasien mengalami keretakan, tulang lengan kanannya juga patah karena tertindih material mobil yang terguling dan ringsek." Dokter Lee menunjukkan luka yang dialami Seokjin dengan menunjukkan pointer ke arah hasil X-Ray. "Dan, ada satu fakta lagi yang mengejutkan kami."

"Apa itu Dokter?" tanya Polisi Shim.

"Pasien memiliki luka jahit pada bagian belakang kepalanya yang tidak disebabkan oleh kecelakaan, kemudian lengan kirinya juga pernah patah beberapa tahun yang lalu. Anda bisa melihatnya di sini." Pointer kembali di arahkan Dokter Lee ke atas permukaan hasil X-Ray. "Ada bekas luka gores dari sebuah benda tajam yang lumayan dalam di pergelangan tangannya yang bertuliskan nama seseorang disana." Napas Namjoon terasa tercekat di tenggorokan saat Dokter Lee kembali mamaparkan sebuah fakta yang mengejutkan.

Hyosang. Ya, Jin Hyosang. Nama yang terukir begitu indah di pergelangan tangan Seokjin dan mungkin menjadi petunjuk semuanya. Tanpa sadar, Namjoon mengepalkan tangannya dengan erat, sampai buku-buku tangannya memutih dan telapak tangannya terluka oleh kukunya sendiri.

"Mungkin itu bisa menjadi petunjuk yang membantu." Lanjut Dokter Lee kemudian. Menyisakan Namjoon yang kembali menghela napas berat, sedangkan Polisi Shim tampak berpikir di tengah hening yang menguasai atmosfer setelah penjelasan Dokter Lee berakhir.

"Saya berharap, kita semua bisa bekerja sama dengan baik dalam kasus hari ini. Kita semua memiliki tugas yang harus diselesaikan," ujar Dokter Lee sembari menumpukan dagunya di atas kedua tangannya yang terjalin. "Jika kepolisian meminta untuk tindakan medis lebih lanjut guna kepentingan penyelidikan, kami akan berusaha semaksimal mungkin."

Polisi Shim mengangguk tanda setuju, kemudian undur diri dari hadapan Dokter Lee dan diikuti oleh Namjoon yang menutup pintu di belakang punggung mereka.

"Polisi Shim,"

"Ya?" Namjoon menatap binar cemerlang pria yang berprofesi sebagai penegak hukum di depannya dengan sejuta ekspresi yang tak terbaca.

"Apakah—Seokjin bisa masuk ke dalam program perlindungan saksi?" Kening Polisi Shim kembali berkerut dalam saat mendengar pertanyaan Namjoon, lalu ia menggeleng pelan sebagai jawaban.

"Seokjin bukan saksi atas kasus pembunuhan dan penggelapan uang negara, kami juga belum memastikan penyebab kecelakaan dan kejadian yang melatar belakangi terjadinya kecelakaan. Jadi, ia tidak bisa masuk ke dalam program perlindungan saksi."

Namjoon menggigit bibir bawahnya sejenak, tampak berpikir keras di tengah kekalutan yang melanda dirinya. "Jika Seokjin sadar dan mengungkapkan sebuah fakta yang mengejutkan, lalu bisa menjaminnya masuk ke dalam program perlindungan saksi, bisakah itu terjadi?"

"Apakah Anda mengenal seseorang yang mungkin terlibat dalam kecelakaan yang terjadi hari ini dan membuat Seokjin harus masuk ke dalam program perlindungan saksi?"

"Apakah trauma karena sexual abbuse bisa membuat Seokjin masuk ke dalam program perlindungan saksi?" Namjoon balik bertanya dan membuat Polisi Shim semakin penasaran.

"Apakah Anda sedang secara tidak langsung memberitahukan kepada saya jika Kim Seokjin merupakan korban dari sexual abbuse?"

"Saya akan memberitahukan kepada Anda setelah Seokjin sadar dan mengatakan sesuatu kepada saya ataupun pihak Kepolisian Seoul. Untuk sementara ini, saya hanya memiliki spekulasi pribadi yang tak cukup bukti untuk memasukkan Seokjin dalam program perlindungan saksi." Polisi Shim menatap lamat-lamat netra Namjoon, dan ia menemukan suatu niat kuat dari pria di depannya untuk melindungi Seokjin yang kini terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang perawatan.

"Baiklah, sekarang yang terpenting adalah berdoa untuk sesuatu yang terbaik. Kabari saya jika ada sesuatu." Sebuah kartu nama diberikan kepada Namjoon. "Saya pamit kalau begitu. Terima kasih atas kerja samanya hari ini, Namjoon-ssi."

Fix You©peachpeach

Namjoon berlari di sepanjang lorong rumah sakit dan menimbulkan pandangan tak suka dari orang-orang yang berada di koridor. Sore ini, Polisi Shim meneleponnya dan Namjoon segera bergegas untuk minta ijin pulang kepada atasannya.

Seokjin telah sadar, tapi pemuda itu sama sekali tidak mau berbicara dan menemui seseorang. Ia hanya terbaring diam di atas ranjang dan menangis.

"Polisi Shim—" Namjoon tiba di depan kamar rawat Seokjin dengan napas terengah dan mendapati Polisi Shim tengah menunggunya di sebuah bangku panjang.

"Saudara Seokjin baru saja sadar satu jam yang lalu, dan ia menolak siapapun untuk bicara dengannya termasuk Dokter Lee. Sebaiknya Anda menemuinya terlebih dahulu. Saya yakin, ia akan mau menerima kehadiran Anda."

Dengan disertai anggukan, Namjoon mendorong pintu kamar Seokjin dan menutupnya dengan hati-hati. Namjoon melihat Seokjin disana, sedang terbaring dengan perban dan gips di tubuhnya. Pemuda itu bahkan bergeming dengan kehadiran Namjoon, ia lebih memilih menatap kosong ke arah jendela yang tertutup tirai berwarna pastel.

Namjoon duduk dengan hati-hati di kursi tepat di samping ranjang Seokjin, ia meraih tangan Seokjin dengan hati-hati dalam genggamannya. Namjoon memejamkan matanya sejenak ketika melihat betapa kurusnya tangan Seokjin yang ia genggam, belum lagi jarum infus yang menancap dan membantu Seokjin untuk cepat pulih.

"Hei," Suara Namjoon terdengar serak ketika menyapa Seokjin. Ia tak berharap Seokjin meresponnya, ia hanya ingin Seokjin merasa jika ia masih berharga untuk tetap hidup.

"Aku merindukanmu, Hyung…" Namjoon mengusap lembut punggung tangan Seokjin, menyusuri bagaimana lintasan berwarna kebiruan pembuluh vena itu tercetak jelas di bawah lapisan kulit Seokjin yang pucat. Sedangkan Seokjin masih bertahan dalam diamnya.

"Seharusnya aku datang membawa bunga dan—"

"—Seharusnya kau tidak perlu repot mengunjungi seorang jalang yang pantas mati." Suara Seokjin terdengar serak dan lirih. Serta penuh luka dan membuat Namjoon ikut merasakan kepedihan pria yang tengah ia genggam tangannya dengan hati-hati. Namjoon tak tahu apapun tentang Seokjin, tapi ia bisa merasakan jika semesta pria itu hancur dalam genggaman erat seorang penguasa dirinya.

"Shh, jangan bicara seperti itu…" Namjoon mencoba menenangkan Seokjin, tapi ia sendiri berbisik dengan suara yang tak kalah serak karena menahan tangis. Seokjin dengan perlahan menolehkan wajahnya, menampilkan sebuah senyum pilu di atas bibirnya yang kering dan pucat, serta tulang pipinya yang lebam.

"Kenapa aku harus tetap hidup, Namjoon? Dunia membenciku bukan? Kenapa aku masih hidup sampai sekarang?" Lidah Namjoon terasa kelu untuk menjawab pertanyaan Seokjin, ia hanya bisa membawa tangan Seokjin dalam genggamannya ke sisi wajahnya, dan mengecup telapak tangan Seokjin secara hati-hati.

"Jangan memperlakukanku seperti keramik, jika pada akhirnya kau juga akan menjatuhkanku hingga hancur berkeping-keping." Air mata Seokjin kembali luruh membasahi pipinya yang tirus. Mencetak jejak yang lebih jelas di atas jejak lain yang mulai pudar.

"Apa yang Hyosang lakukan padamu, hmm?" Seokjin kemudian mendengus, keping hazelnya kemudian bertemu dengan keping kelam Namjoon dalam satu garis lurus.

"Terlalu banyak yang Hyosang lakukan padaku, Namjoon. Kenapa kau bertanya seakan tak tahu apa-apa?" Hening kemudian menyelimuti mereka berdua, Seokjin bahkan menarik tangannya dari sisi wajah Namjoon.

"Keluar." Bola mata Namjoon melebar selama sepersekian detik, terkejut dengan permintaan Seokjin yang terdengar begitu dingin.

"Hyung—"

"Ku bilang keluar, Namjoon. Hidupmu terlalu berharga hanya untuk menemani orang yang tak layak untuk hidup sepertiku."


Tears stream down your face

When you lose something you cannot replace


Januari, 2017. Dua hari sebelum kecelakaan.

Seokjin baru saja selesai dengan sup krim jamur buatannya untuk malam ini ketika mendengar pintu apartemennya bersama Hyosang di ketuk dengan keras dan tidak sabar. Seokjin buru-buru mengangkat muffin dari dalam oven sebelum mengelap tangannya secara sembarangan pada sisi celana pendeknya dan bergegas membukakan pintu.

"Apakah Hyosang-Oppa dirumah?" Kening Seokjin mengerut dalam ketika menemukan seorang wanita dalam balutan tube dress berwarna merah dan coat dengan bulu-bulu halus berwarna putih sedang berdiri di depan pintu apartemennya.

"Anda siapa? Hyosang sedang pergi bersama teman-temannya." Bukannya menjawab pertanyaan Seokjin, wanita tersebut tampak mengeluarkan amplop cokelat dari dalam tas jinjing yang ia bawa dan menyerahkannya kepada Seokjin.

"Berikan saja itu kepadanya saat ia pulang nanti, ia akan tahu siapa yang mencarinya." Wanita di depan Seokjin mengulum sebuah senyum di atas bibirnya yang dipoles lipstick berwarna senada dengan tube dressnya, lalu melenggang pergi diiringi dengan suara ketukan berirama dari stilleto yang ia kenakan.

Seokjin mengernyit bingung, ia kemudian membawa serta amplop dalam genggamannya masuk ke dalam apartemen. Ada kop surat dari rumah sakit yang Seokjin kenali di atas amplop, ia menggigit bibirnya sendiri ketika rasa penasaran yang besar itu menyergap dirinya.

Dengan satu helaan napas, Seokjin membuka segel amplop dengan hati-hati. Ia sudah tinggal dengan Hyosang hampir enam tahun, bukan? Jadi, ia pikir sudah tak sepantasnya ada rahasia di antara mereka. Tapi ternyata, kenyataan memang tak sesuai dengan harapan.

Napas Seokjin tercekat di tenggorokan ketika kertas di dalam surat berhasil terbuka dan menampilkan hasil tes laboratorium. Dan itu bukan hanya tes kesehatan biasa, melainkan tes kehamilan yang tertera nama wanita yang datang tadi serta usia kehamilannya.

Seokjin tercenung, ingatannya berputar pada kejadian saat di bar beberapa bulan lalu. Kejadian dimana Hyosang menghabiskan malam panjang bersama seorang gadis dengan pakaian minim. Seokjin memejamkan matanya sejenak, mencoba mengingat kembali bagaimana rupa si gadis yang malam itu duduk di pangkuan Hyosang dan menikmati cumbuannya.

"Apa yang sedang kau pikirkan?" Ingatan Seokjin tiba-tiba buyar ketika Hyosang ternyata sudah pulang dan kini memeluk dirinya yang masih mematung di dekat counter dapur sembari menggenggam kertas yang berisi hasil tes.

"Kau sudah pulang?" Seokjin sebisa mungkin mengulum sebuah senyum di bibirnya saat ia berbalik dan mengecup cepat bibir Hyosang. Ada sedikit rasa getir yang familiar tercecap ketika Seokjin melepas kecupannya. Ah, mungkin Hyosang pergi bersama teman-temannya ke sebuah tempat dan mencicipi beberapa linting ganja lagi.

"Apa yang kau pegang? Kenapa kau menyembunyikannya?" Hyosang bertanya dengan nada rendah yang mengancam dan membuat Seokjin bergetar karena takut di tempat.

"Itu—" Belum selesai Seokjin menjawab, kertas yang ia pegang sudah dengan cepat berpindah ke tangan Hyosang. Laki-laki di depannya dengan cepat memindai setiap huruf yang merangkai sebuah kalimat di atas kertas yang ia pegang.

"Darimana kau mendapatkannya?!" Hyosang dengan cepat mengangkat dagu Seokjin dan membuat figur yang lebih pendek darinya itu mendongak dengan sorot mata penuh ketakutan.

"Seorang wanita yang sama dengan yang menghabiskan malam bersama denganmu malam itu." Suara Seokjin terdengar bergetar, tapi ia enggan mengalihkan pandangannya dari netra Hyosang yang berkilat marah.

Hyosang dengan cepat mendorong Seokjin hingga punggungnya membentur ujung meja makan yang runcing. Napas Hyosang memburu ketika ia memegang pundak Seokjin dengan erat. "Kau mengikutiku malam itu, huh?"

Seokjin tidak menjawab, ia hanya terus menatap kedua manik kembar Hyosang yang menggelap karena marah. Seokjin tidak mengerti, seharusnya ia yang marah saat ini. Seorang gadis baru saja mendatanginya dengan pengakuan ia hamil anak Hyosang dan ia benar-benar terluka untuk yang kesekian kalinya karena sebuah kebohongan. Harusnya Seokjin yang marah, bukan Hyosang yang kini menghimpit tubuhnya semakin rapat tanpa celah.

"Jawab aku, Seokjin!" Hyosang menggeram di lekuk lehernya, menanamkan satu tanda kepemilikan yang membuat Seokjin mendengus miris. Kemana kata cinta dan janji untuk tidak menyakitinya kembali, eh? Kenapa bisa ia tak berdaya di dalam kuasa Hyosang?

"Ya," Seokjin berkata dengan lirih, sekuat tenaga menahan tangisnya ketika tangan besar Hyosang menyusup masuk ke dalam celana pendeknya dan meremas sesuatu di bawah sana. "Ya, aku mengikutimu malam itu dan menemukanmu berbagi malam dengan gadis yang tadi menemuiku."

"Kau tahu kan jika aku hanya mencintaimu?" Rasanya Seokjin ingin sekali melemparkan pisau dan meludah di depan wajah tampan Hyosang yang sekarat kehabisan darah karena pisau yang ia lemparkan. Cinta tak akan pernah menyakiti seperti ini. Namun lagi-lagi, Seokjin hanya mengangguk pelan sebagai jawaban. Bagaimanapun, Hyosang tetaplah orang yang menolongnya untuk tetap hidup saat orang lain meninggalkannya.

"Good, jadilah anak manis dan renungi kesalahanmu di dalam kamar, okay?"

Lalu setelahnya, Seokjin kembali meringkuk di atas ranjangnya usai Hyosang puas dan meninggalkan banyak luka di tubuhnya seperti biasanya. Pintu cokelat itu tertutup rapat, membiarkan Seokjin sendirian dan kelaparan selama beberapa hari ke depan hanya karena kesalahan yang tidak ia perbuat.

Fix You©peachpeach

Namjoon datang dengan seikat lili segar di tangannya sore itu. Ia mengulum sebuah senyum ketika masuk ke dalam ruangan Seokjin. Ia meletakkan lili di dalam vas setelah membuang seikat mawar yang telah kering ke dalam tempat sampah.

"Kalau dipikir-pikir, hidupku seperti bunga yang sudah di petik, ya? Dipuja ketika masih segar dan wangi, lalu dibuang begitu saja ketika sudah layu tak berdaya." Namjoon mematung di tempatnya ketika ia mendengar Seokjin menggumam.

"Untuk apa kau kemari lagi? Bukankah sudah ku bilang supaya pergi saja dan membiarkanku mati membusuk disini?" Seokjin kembali berujar dengan nada sinis, tapi sepertinya Namjoon telah menata hati dan bersikap lebih kuat kali ini.

"Aku punya option yang lebih baik ketimbang membiarkanmu mati membusuk sendirian di sini." Tirai penutup jendela disibak cepat oleh Namjoon, membiarkan cahaya matahari sore dan udara musim dingin yang menyenangkan menyusup lewat celah jendela yang ikut Namjoon buka. "Bagaimana jika option Hyosang yang membusuk di penjara? Terdengar lebih baik?"

"A-apa?" Seokjin menoleh ke arah Namjoon yang masih tersenyum dan kini duduk di samping ranjangnya.

"Polisi sudah menangkap Hyosang dengan dugaan sexual abbuse kepadamu dan pemakaian narkotika. Mereka bilang, Hyosang tidak mau mengaku saat dibawa ke kantor polisi dan mereka terpaksa membuatnya jujur dengan amytal sodium." Seokjin tergugu, mencoba mencerna kalimat yang baru saja Namjoon sampaikan.

"B-bagaimana bisa?"

"Polisi melacak tempat tinggalmu melalui SIM dan plat mobil yang kau gunakan saat kecelakaan. Kau kabur dan memutuskan bunuh diri dengan menabrakkan mobilmu ke pembatas jalan menuju Gwacheon bukan?" Namjoon menggenggam lembut jemari Seokjin, "Hyosang sudah mengakui segalanya, termasuk perihal penyekapanmu selama dua hari. Ia mencarimu setelah itu, tapi kau berhasil tidak ditemukan karena polisi melindungimu. Kau tidak perlu takut sekarang."

Seokjin terdiam, ada perasaan lega yang abstrak dalam dadanya ketika mendengar Hyosang berada dalam pengawasan polisi.

"Sampai kapan ia akan dipenjara?"

"Entahlah, keputusan pengadilan belum resmi menjatuhkan hukuman kepadanya. Ia perlu menjalani sidang dan kau menjadi saksinya ketika pulih nanti."

"A-aku…tidak bisa—" Seokjin menggeleng pelan ketika Namjoon menyinggung soal menjadi saksi dalam persidangan Hyosang. Ia belum siap kembali bertemu dengan Hyosang, apalagi dengan Namjoon yang kemungkinan besar mendampinginya ketika sidang berlangsung. Ia hanya tak ingin Namjoon terluka setelah Hyosang selesai dengan masa tahanannya dan membalas dendam kepada Namjoon.

"Ada aku disini, Seokjin-Hyung. Hyosang seperti itu karena pengaruh narkotika dan alkohol, ia perlu binaan dari pihak yang tepat untuk membuatnya lebih baik, jadi jangan khawatir. Kesaksianmu nanti akan menjadi penolong untuk mengubah Hyosang." Namjoon kembali tersenyum dan menampilkan lesung pipinya yang membuat napas Seokjin tercekat secara tiba-tiba.

"Namjoon—"

"Ya, Hyung?"

"Bisakah aku mempercayakan hidupku kepadamu?" Namjoon terhenyak, ia menatap manik hazel Seokjin dan menemukan sebuah harapan disana. Ia kemudian menggenggam semakin erat tangan Seokjin, mengalirkan kehangatan yang selama ini Seokjin inginkan.

"Aku tidak bisa menjanjikan apapun pada Hyung, tapi Hyung boleh percaya kepadaku." Seokjin mengulum senyum untuk pertama kalinya setelah ia sadar.

"Kau tahu? Aku menabrakkan mobilku di tempat yang sama seperti lokasi Ayah yang ingin mengajak kami semua untuk mati. Aku sengaja menyalin nomer ponselmu di kertas yang lebih tebal supaya jika orang menemukan mayatku, mereka akan membawaku kepadamu. Karena hanya kau yang tersisa di dunia ini untuk ku mintai pertolongan."

"Hyung boleh kapan saja meminta bantuanku. Tapi sebagai balasan, aku ingin Hyung terus hidup dalam rasa syukur. Tak ada yang sia-sia di dunia ini, Hyung. Bahkan bunga layu yang dibuang ke tempat sampah masih bisa memberikan manfaat dengan menjadi pupuk organik dan membuat tumbuhan lain hidup. Jadi, please…jangan pernah menyerah dan berpikiran hidupmu tidak berharga."

Seokjin kemudian mengangguk, ujung matanya pun telah basah oleh air mata haru. Sejak awal mengenal Namjoon, Seokjin tahu jika pemuda itu baik dan tulus.

"Terima kasih, Namjoon. Terima kasih…"

"Anytime, Hyung."


Lights will guide you home

And ignite your bones

And I will try to fix you


*FIN*

a/n: yeah, sudah selesai ya Fix You-nya ^^

Ngga tau kenapa ini malah nyerempet crime TT

No sequel ya sayang-sayangku, ehehehe~

Terima kasih untuk semua yang sudah menunggu, support, dan meninggalkan review.

Bunch of love for:

JoonInDecember│Kang Somay│kirameku-14│glowrie│Pecinta Vkook│serenade senja│namjooniee│Re. Rest07│Betelguese│rossadilla17│sunkistmyung│Kookie92│nutellanonv│7D│Guest [taralatte]│yoongiku│bxjkv│pinker61│NamTae1314│cimol mochi│94shidae│Rizkinovitasarii│Guest [AiNaiRaTi]│Vi-kun│CrazyPrince│10113K│vhopeisreal│Bundanya Jimin│Ellegisnt│Eat Jinnie│sekarzane│puputriry│nararai│bluelunatic│ArisaHayashi│naeuioppas

38 favorites/57 followers

—dan siders sisanya, semoga segera menuju jalan yang benar, kkk

Review?