A NamJin Fanfiction

( Kim Namjoon x Kim Seokjin of BTS)

.

Fix You©peachpeach

Based on: Fix You by Coldplay

.

All cast belongs to God, themselves, family and management. Story line is mine. No profit taken.


When you try your best, but you don't succeed.

When you get what you want, but not what you need.


Musim gugur dan hujan itu seperti kembar identik, tidak bisa dipisahkan. Beberapa orang akan bersyukur saat hujan turun, beberapa lainnya mungkin akan membenci hujan. Seperti Kim Namjoon. Hujan dan Kim Namjoon tidak pernah bersahabat dengan baik. Bukannya bersyukur saat hujan turun, Namjoon akan senang hati mengumpat sepanjang hari ketika hujan turun dengan lebat seperti sekarang. Bagi Namjoon, hujan akan merusak segalanya. Jadwal yang mendadak berantakan, sepatu dan ujung denimnya yang kotor, atau jumlah transportasi umum yang mendadak terasa jarang melintasi jalanan yang biasanya padat.

Namjoon masih setia dengan umpatannya di bawah atap halte yang berbunyi ribut karena diterpa ribuan kubik air, ketika ponsel dalam sakunya berdering dan menampilkan sebuah nama.

"Ya hyung? Ah—aku baru saja turun dari subway dan terjebak menunggu bus untuk ke base camp." Jeda sejenak ketika Namjoon memberi kesempatan kepada seseorang di seberang line telepon berbicara. "All Force One? Kapan? Oh, okay…mungkin setengah jam lagi aku sampai di base camp. Okay, see ya." Sambungan telepon berakhir, menyisakan Namjoon yang menghela napas berat. Ia lapar, mendadak pusing karena kehujanan dan teringat tugas akhirnya sebagai mahasiswa strata dua di KAIST. Beruntung bulan ini merupakan jadwal libur semester, jadi ia bisa sedikit santai dan melupakan sejenak teori-teori Fisika Kuantum yang membuatnya pusing setengah mati.

Namjoon berhenti di sebuah coffee shop di perjalanannya menuju tempat yang ia sebut sebagai base camp lewat percakapannya dengan seseorang di line telepon tadi. Ia berdiri di depan kasir, melihat menu yang tertulis dengan kapur pada papan dan mulai menyebutkan pesananya. "Ice americano tujuh, tujuh sandwich tuna, dan satu hot latte. Take away, please…" Namjoon tersenyum, menyerahkan kartu debitnya kepada kasir dan mengetik pesan dengan cepat. Mentraktir teman-temannya setelah tidak lama bertemu toh tidak ada salahnya. Ia menunggu transaksi pembayaran selesai, sebelum duduk di samping jendela besar untuk menunggu pesanannya selesai.

Namjoon segera berdiri ketika namanya dipanggil, kemudian membawa pesanannya dengan kedua tangan, sedikit menyesal karena terlalu repot membawa tujuh cup americano dan sandwich sendirian. Tapi kemudian ia mengedikkan bahu tidak peduli, dan meneruskan langkahnya.

Ia berhenti di depan sebuah gudang bekas dengan pintu dan dinding yang penuh dengan coretan graffiti berisi umpatan. Namjoon mendengus sejenak ketika menyadari sudah terlalu lama ia tidak bersenang-senang. Ia meletakkan barang bawaannya di atas tanah, kemudian menggeser pintu dengan rel berkarat. Diambilnya lagi barang bawaannya, kemudian langsung masuk dan disambut dengan teriakan heboh dari teman-temannya.

"Oh, well…calon astronot kita datang, dudes! Sudah bosan memecahkan teori ledakan semesta?" Seseorang mendekat, memukul bahunya dengan keras dan Namjoon hanya mendengus malas. "Shut the fucking up, Jiho-hyung. Saat di sini aku bukan Kim Namjoon, oke?" Ia menyerahkan cup americano dan sandwich kepada temannya, kemudian duduk di atas sofa yang sebenarnya tidak layak untuk dipakai.

"Mana yang lainnya? Kenapa hanya ada lima orang disini?"

"Hyosang-hyung mungkin akan datang sebentar lagi, yang lainnya mungkin akan datang nanti malam untuk membicarakan All Force One." Jiho menawarkan lintingan sigaret yang diterima dengan kasual oleh Namjoon, di depannya ada Mino yang sibuk mencoret sesuatu di atas lembaran-lembaran kertas HVS. Mungkin lirik lagu baru, atau design merchandise untuk kelompok mereka yang akan dijual saat event All Force One nanti. Entahlah, Namjoon tak terlalu peduli.

"Yoongi masih sering kemari?" Jiho menghisap dalam-dalam lintingan tembakau yang terselip di sela-sela jarinya, memenuhi paru-parunya dengan nikotin sebelum menjawab. "Tidak pernah, lagipula sebentar lagi ia akan menikah dengan calon dokter itu." Namjoon mengangguk, kemudian memperhatikan sekitarnya. Hampir enam bulan ia tidak kemari, tapi atmosfernya masih sama. Ruangan pengap yang kini ia kunjungi, selalu pekat dengan beat musik dan aroma tembakau yang di bakar. Kadang Namjoon sedikit pening saat seseorang temannya membakar lintingan marijuana, tapi ia bisa mengatasinya.

Kim Namjoon memang bagian dari mereka, rapper underground yang kerap kali berkumpul di sebuah gudang bekas yang berfungsi sebagai base camp mereka. Mereka terbiasa berbagi segalanya. Mulai dari ide, lirik, umpatan, beat musik, alkohol, tato—Namjoon bahkan punya satu di ruas jari tengahnya—asap tembakau, dan yang paling parah adalah narkoba. Bukan hal asing jika beberapa dari temannya memiliki barang haram untuk dibagikan.

Kim Namjoon memang bukan figur suci, tapi ia masih punya akal sehat untuk tidak menyentuh selinting ganja yang tampak menggiurkan untuk melupakan sedikit beban yang ada dalam pikirannya, dan membuatnya terasa meledak dalam euforia seperti dalam teori Big Bang. Atau serbuk heroin yang tampak menyilaukan saat di tempa sinar lampu base camp mereka. Ia punya masa depan secerah mentari di luar bekas gudang pengap tempatnya mencari kesenangan. Dan ia tak sebodoh itu merusak masa depannya sebagai calon astronot.

Namjoon masih menghisap nikotin yang terselip di bibirnya, berdiskusi soal mixtape milik Jiho yang akan di tampilkan dalam event tahunan sekelas All Force One saat pintu kembali di geser dan berderit ribut, membuat beberapa dari mereka menoleh secara serentak ke arah pintu. Termasuk Namjoon.

"Oh, Hyosang-ah! Kau sudah datang rupanya…" Jiho berdiri, memberi high five yang di terima dengan antusias oleh figur tinggi yang baru saja masuk bersama seseorang di sampingnya. Hyosang tersenyum miring, ia menghisap dalam-dalam selinting ganja yang terselip di antara bibirnya dan membuat Namjoon pening seketika.

"Kapan calon astronot kita datang eh?"

"Baru saja, hyung…" Namjoon menjawab, namun iris gelapnya masih enggan meninggalkan figur sempurna yang datang bersama Hyosang. Figur dalam dekapan Hyosang tampak terlalu cantik, dan rapuh untuk berada di tempat sekumuh base camp mereka. "Siapa?" Ia akhirnya memberanikan diri untuk bertanya kepada Hyosang, sedangkan maniknya tak luput memperhatikan lebih teliti setiap detail makhluk rupawan dalam dekapan Hyosang. Ada luka kecil di sudut bibir penuhnya, dan dari sorot matanya tampak sekali jika ia mencintai Hyosang sepenuh hati dan dengan seluruh hidupnya.

"Dia?" Hyosang menghisap dalam-dalam lintingan ganja di bibirnya, sebelum membuang sisanya dan menginjaknya dengan ujung sepatu miliknya. "Namanya Seokjin, Kim Seokjin. Kekasihku." Bibir penuh itu mengulum sebuah senyum ramah ke arah Namjoon, lalu pasrah begitu saja ketika Hyosang membawanya ke dalam sebuah lumatan intens yang intim dan menimbulkan suara kecapan basah. Jiho dan Mino memperhatikan keduanya sama seperti Namjoon.

Tapi entah mengapa, sudut hati Namjoon terasa nyeri. Figur seindah Seokjin tak seharusnya ikut mencecap jejak jahanam sisa ganja dari Hyosang. Maka dengan cepat Namjoon bangkit dari posisi duduknya, menarik Seokjin dan membuatnya memekik. Hyosang menggeram, sedangkan rekannya yang lain tampak terkejut dengan keributan yang baru saja ia ciptakan.

"Apa masalahmu sebenarnya Kim Namjoon?!" Hyosang menggeram marah, sementara lengan Seokjin masih Namjoon genggam dengan erat. Tubuh tingginya seakan membentengi dan melindungi Seokjin dari Hyosang.

"Jika ia kekasihmu, jangan rusak ia semakin jauh. Ia terlalu berharga untuk kau rusak."

"Bangsat! Memangnya siapa kau hah?!" Satu pukulan dari Hyosang diterima Namjoon dan ia bisa mencecap rasa besi karena sudut bibirnya yang robek. Genggamannya pada pergelangan tangan Seokjin enggan terlepas, tapi kemudian sentuhan lembut itu memaksanya untuk menoleh dan Seokjin menggeleng pelan.

"Lepaskan aku, Namjoon-ssi…" Kalimat itu terasa begitu dingin, menusuk ulu hati Namjoon dengan sembilu tajam yang tak kasat mata, sementara itu Jiho dan Mino sudah memegang bahunya. Mencegah Namjoon membalas pukulan Hyosang. Namjoon melepaskan genggamannya, iris gelapnya memperhatikan bagaimana Hyosang tersenyum begitu angkuh dengan tangan terselip kurang ajar pada garis pinggang ramping Seokjin.

"Jangan buat keributan Namjoon, dan obati lukamu. Aku tidak ingin persiapan kita untuk All Force One hancur gara-gara masalah internal dan salah satu jalang pribadi Hyosang." Jiho berbisik, sementara Namjoon balik mendesis penuh amarah ke arahnya.

"Dia bukan jalang hyung!" Jiho memejamkan matanya sejenak, kemudian menarik Namjoon menjauh dari sana. Namjoon masih sempat menoleh, memperhatikan bagaimana figur sempurna itu sudah terlalu jatuh dalam dekapan Hyosang. Kim Namjoon mulanya berpikir semuanya akan berjalan terus seperti itu. Ia yang apatis terhadap keadaan sekitarnya. Kemudian, nyeri di sudut bibirnya membuatnya sadar, jika ia tidak seapatis sebelumnya.

. . .

Jiho membawa Namjoon untuk duduk di depan apotek di seberang base camp mereka. Namjoon meringis nyeri saat Jiho mengoleskan salep pada sudut bibirnya yang robek, kemudian pemuda yang lebih tua darinya itu menghela napas pelan. "Kenapa tiba-tiba kau menarik Seokjin dan bersikap seolah-olah kau pahlawan? Ini bukan Kim Namjoon yang aku kenal. Apa teori-teori tentang alam semesta membuatmu nyaris hilang akal seperti Stephen Hawking? Kita ini rapper, bukan fighter. Ini Seoul, bukan Gwangju…" Namjoon terdiam, ia menunduk. Dalam hati ia merasa bersalah karena mengacaukan jadwal yang sudah diatur Jiho untuk persiapan acara sebesar All Force One.

"Mungkin ini saatnya aku berubah menjadi lebih baik dan mencoba peduli terhadap sekitarku?"

"Kau tertarik dengan Seokjin?" Pertanyaan dari Jiho membuat Namjoon mengerjap, kemudian kembali tertunduk sembari memainkan tutup botol air mineral yang di pegangnya. "Kenapa hyung berpikiran seperti itu?"

Helaan napas kembali di dengar oleh Namjoon, kemudian Jiho menepuk pundaknya dengan gerakan ringkas. "Sebaiknya kau pulang, mungkin kau lelah setelah menempuh perjalanan dari Daejeon sehingga tidak bisa berpikir jernih. Kembalilah ke base camp jika kondisimu sudah lebih baik. Ingat, Namjoon-ah…kau dan Hyosang berada dalam satu tim untuk All Force One. Bersabarlah sedikit menghadapinya."

Namjoon masih terdiam di tempatnya, sementara Jiho sudah berlalu pergi. Mungkin Jiho kembali ke base camp untuk mengurus kekacauan yang ia buat tadi. Seokjin, Kim Seokjin. Nama itu terus berputar dalam kepala Namjoon,tapi nyeri di sudut bibirnya yang robek kembali menyadarkannya jika Seokjin sudah milik Hyosang dan ia tak punya hak apapun untuknya.


When you feel so tired, but you can't sleep

Stuck in reverse

And the tears come streaming down your face


Pertengahan September yang dingin dan masih dengan curah hujan yang tak menentu, membuat mood Namjoon semakin kacau. All Force One semakin dekat, tinggal menghitung hari lalu ia akan berdiri di atas panggung besar bersama kelompoknya. Tapi mood yang buruk dan hubungannya yang kacau dengan Hyosang membuat mixtape-nya berantakan. Lirik buatannya kebanyakan hanya menyerukan kebencian, dan jelas teman-temannya menggeleng tidak setuju begitu mereka berkumpul untuk menyesuaikan beat-nya. Sementara itu, Hyosang hanya memperhatikan lewat sudut ruangan dan tidak membantu sama sekali. Seokjin tidak pernah terlihat setelah hari itu, membuat Namjoon semakin terjebak dalam cemas yang tidak beralasan.

Namjoon menaikkan tudung hoodie berwarna kuning cerah miliknya karena gerimis masih enggan berhenti dan membuat suhu udara menjadi lebih rendah. Ia mengguman random sepanjang perjalanan menuju base camp. Hari ini ia berniat menyelesaikan mixtape-nya, jadi ia akan menghabiskan harinya di dalam ruangan sempit yang sudah mereka sulap menjadi studio kecil tapi menunjang pekerjaan mereka. Langkahnya terhenti di depan base camp, keningnya berkerut dalam ketika melihat pintu terbuka sedikit. Padahal menurut Jiho tidak ada yang datang ke base camp hari ini, jadi Namjoon bisa menggunakan studio mereka selama satu hari penuh.

Ia baru saja akan menggeser pintu base camp menjadi lebih lebar, tapi gerakan tangannya terhenti ketika mendengar seseorang merintih dengan napas berdeguk putus asa. Namjoon mengerjap, ia mendekatkan tubuhnya, berusaha menangkap lebih jelas gambaran di dalam base camp dan ia terkejut bukan main.

Seokjin disana. Wajah cantiknya masih terlihat meskipun diterangi cahaya lampu seadanya, sedangkan tangannya diikat dengan sabuk di atas kepalanya. Namjoon tidak bisa melihat tubuhnya, tapi Namjoon juga tidak bodoh untuk menyadari apa yang terjadi ketika mendapati Hyosang juga berbagi tempat di atas sofa yang sempit. Bergerak mendesak Seokjin sampai figur di bawah kuasanya menangis dan tersedak ludahnya sendiri.

Namjoon memejamkan matanya sejenak, tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya sampai buku-buku jarinya memutih. Ia mundur sebanyak dua langkah, berusaha sebisa mungkin untuk tidak menimbulkan suara. Ia sadar betul mengenai siapa dirinya, jadi ia memilih mundur. Melangkahkan kakinya menjauh dari base camp dan membawanya ke depan convenience store terdekat.

Tangannya sibuk memilih cokelat di rak, lalu setelahnya ia memenuhi keranjangnya dengan dua botol susu, air mineral, cola, roti isi, dan sekotak tisu basah. Ia berjalan menuju rak bento, memilih satu kotak nasi kare dan menghangatkannya sebentar di dalam microwave. Keranjangnya juga terisi plester luka dan satu blister painkiller. Namjoon segera menyelesaikan pembayarannya, kemudian dengan langkah tergesa kembali menuju base camp.

Pintu base camp sudah tertutup rapat meskipun gemboknya tidak terpasang, menandakan jika mungkin saja masih ada orang di dalam. Namjoon menghela napas pelan, mencoba mengatur emosinya dan mulai mendorong pintu. Dalam hatinya, ia menyusun rencana untuk melewati Hyosang dan Seokjin begitu saja setelah meletakkan barang belanjaannya di atas meja.

Tapi ternyata Hyosang tidak disana, hanya Seokjin yang meringkuk seperti kucing di atas sofa dengan selimut rajut kusam yang Namjoon tahu itu dulu milik Yoongi, sebelum pemuda tersebut meninggalkan dunia rapper. Namjoon mendekat dengan hati-hati, menyentuh pelan pundak Seokjin yang bergetar karena angin dingin yang menyusup lewat celah pintu base camp mereka yang sengaja Namjoon buka sedikit lebih lebar untuk sirkulasi udara yang lebih baik.

"Seokjin?" Namjoon berusaha supaya suaranya tidak bergetar, kemudian ia menggigit pipi bagian dalamnya saat Seokjin menoleh dan mengulum sebuah senyum di atas bibirnya yang bengkak dan wajah cantiknya yang berantakan. Leher putihnya juga dipenuhi bercak merah nyaris ungu.

"Hei…"

"Mana Hyosang?" Seokjin meringis sedikit ketika ia mencoba untuk duduk, tapi Namjoon menahan bahunya dan menyuruhnya untuk kembali terbaring di atas sofa. "Hyosang pergi setelah menerima telepon. Ia bilang akan kembali nanti, jadi aku disuruh menunggunya di sini."

Namjoon duduk di atas lantai, tidak peduli denimnya kotor, dan memperhatikan kekacauan yang Hyosang lakukan. Baju Seokjin terlihat tergeletak mengenaskan di atas lantai yang berdebu, sementara ia melihat bekas pengaman yang tercecer di sekitarnya. Ia kemudian sibuk membongkar tas plastik yang ia bawa, kemudian menarik sekotak tisu basah dan menyodorkannya ke arah Seokjin.

"Kamar mandinya jauh, dan menurutku kau harus sedikit berbenah. Wajahmu kacau sekali ngomong-ngomong," Namjoon tertawa pelan, "—keberatan untuk membersihkan dirimu dengan ini?" Seokjin mengerjap, kemudian menerima kotak tisu dari Namjoon.

"Aku belikan makanan juga." Satu kotak bento berisi nasi kare hangat dan cokelat diletakkan Namjoon di atas meja. Painkiller, plester luka, dan botol air mineral serta susu menyusul setelahnya. Seokjin masih terdiam ketika Namjoon melepas hoodie miliknya, menyisakan dirinya sendiri dalam balutan kaus abu-abu tipis. "Bajumu kotor. Pakai hoodie ku dulu, pasti tidak nyaman hanya dengan selimut. Nanti kalau Hyosang datang dan kalian ingin pulang, letakkan saja di sini atau bawa saja dulu. Aku di studio, kalau ada apa-apa kau bisa memanggilku. Pintunya akan ku buka sedikit nanti." Namjoon sudah akan berlalu, tapi lengannya kemudian ditahan lembut oleh Seokjin.

"Bisa temani aku makan dulu?" Suara Seokjin masih terdengar serak, sedangkan Namjoon mengangguk mengiyakan permintaan figur di depannya. Ia membantu Seokjin untuk duduk, lalu dengan sopan mengalihkan pandangannya ketika Seokjin mulai menurunkan selimut yang membalut tubuhnya dan menarik beberapa lembar tisu basah untuk membersihkan dirinya.

"Namjoon—" Yang dipanggil menoleh, kemudian bibirnya mengulum sebuah senyum ketika mendapati Seokjin tampak lucu dengan hoodie miliknya yang tampak kebesaran dan menyembunyikan kesepuluh jari Seokjin. Ia kemudian kembali duduk di lantai, membuka kotak bento dan diterima penuh rasa terima kasih oleh Seokjin.

"Setelah makan kau bisa minum painkiller-nya." Satu lagi senyum tulus di bibir Namjoon membuat Seokjin menghentikan kunyahannya. Ia menatap iris gelap Namjoon dalam satu garis lurus, kemudian mendesah pelan. "Kenapa kau baik sekali padaku? Kita bahkan baru saja mengobrol dengan normal hari ini. Pertemuan kita bahkan jauh dari kata baik."

"Salah ya?" Seokjin menggeleng pelan, dan Namjoon tertawa setelahnya. "Jangan dipikirkan. Berbuat baik itu tidak perlu alasan…" Namjoon dengan hati-hati meraih tangan Seokjin yang bebas, kemudian menggenggamnya. Hatinya kembali merasa nyeri saat pergelangan tangan Seokjin terpatri nama Hyosang dalam tato yang diukir dengan indah. Tepat dimana nadi Seokjin berdenyut.

Sementara itu, Seokjin merasanya relung hatinya mendadak hangat saat Namjoon menggenggam tangannya. Genggaman tangan Namjoon terasa ragu-ragu, seakan takut Seokjin marah atau ia menyakiti Seokjin tanpa sengaja. Tapi Seokjin merasakan rasa aman dan dilindungi dengan baik. Sama seperti saat pertama kali Hyosang menggenggam tangannya saat pemakaman kedua orang tuanya dan membawanya ke Seoul.

Tidak seperti genggaman tangan Hyosang sekarang. Yang terasa mengekangnya dengan erat, memaksanya untuk tunduk di bawah perintah Hyosang.

Seokjin memejamkan matanya sejenak, kemudian menggelang pelan dan menarik tangannya dalam genggaman Namjoon saat ia mulai membanding-bandingkan Hyosang dengan Namjoon. Tidak, tidak. Ia mencintai Hyosang, tanpa syarat. Ia tidak boleh merasa nyaman hanya karena genggaman tangan Namjoon. Jin Hyosang dan Kim Namjoon jelas bukan sesuatu yang bisa Seokjin bandingkan. Karena hati dan pikirannya sudah terpatri jika hanya nama Hyosang yang akan selalu Seokjin ingat dalam setiap napasnya.

"Maaf…" Namjoon mengguman pelan, kemudian beringsut untuk sedikit menjauh dari Seokjin. "Habiskan makanannya, aku menemani dari sini oke?"


When you lose something you can't replace.

When you love someone, but it goes to waste

Could it be worse?


Namjoon sedikit terhuyung karena dorongan orang-orang yang berdesakan di lantai dansa ketika ia berusaha untuk mencapai pintu keluar. Kepalanya juga sedikit pening karena beberapa gelas alkohol yang ia konsumsi hari ini. Perayaan kesuksesan All Force One memang tidak pernah main-main. Dan Namjoon selalu menjadi orang pertama yang menjaga akal sehatnya sebelum hilang kendali di bawah alkohol dan pekatnya asap marijuana serta tembakau yang dibakar. Namjoon mengumpat keras saat bahunya di tabrak dari arah belakang dan membuat ponsel dan kotak rokoknya terjatuh.

"Maaf—" Namjoon mendongak ketika mendengar kata maaf yang begitu jarang ia dengar di tempat seperti bar. Netra gelapnya kemudian bertemu dalam satu garis dengan sinar karamel hangat yang familiar baginya saat figur di depannya berusaha membantunya mengambil barangnya yang jatuh.

"Seokjin?" Figur di depannya hanya menunduk sekilas, lalu cepat-cepat berlalu pergi sebelum lengannya di tahan oleh Namjoon. Seokjin terdorong beberapa senti menjadi semakin dekat kepada Namjoon, sementara pemuda yang kini menggenggam erat pergelangan tangannya tampak mencari seseorang di tengah hingar bingar perayaan serta lampu-lampu yang berkedip cepat dan membuatnya semakin pening.

"Bersama Hyosang?" Seokjin menggigit bibirnya sendiri, ragu-ragu untuk menjawab ketika Namjoon bertanya sembari mencondongkan tubuhnya supaya Seokjin mendengar suaranya dengan lebih jelas. Kemudian ia menggeleng pelan, dan membuat Namjoon menghela napas berat. Namjoon menarik Seokjin untuk segera keluar dari dalam bar, membuat Seokjin berlindung di belakang tubuhnya dari dorongan pengunjung bar yang semakin menggila saat malam beranjak semakin tua.

Mereka kemudian berakhir di sebuah bangku di depan convenience store terdekat dari bar. Namjoon tidak berkata apapun, melainkan membuat Seokjin menunggu. Sementara ia sendiri masuk ke dalam convenience store dan kembali dengan dua gelas cokelat panas dan satu botol air mineral. Malam ini gerimis masih menemani, menyelimuti mereka berdua dengan hawa dingin yang sedikit teratasi oleh hangatnya uap cokelat yang Namjoon bawa.

"Hyosang tahu kau kemari?" Namjoon mengawali pembicaraan, keping segelap malam miliknya fokus mengamati rintik air yang turun dari langit.

"Tidak, Hyosang menyuruhku untuk diam di apartemen dan menunggunya pulang. Tapi firasatku tidak enak, jadi aku menghubungi Wonshik untuk bertanya dimana tempat perayaan kalian."

"Dan firasatmu membuktikan sesuatu?" Seokjin terdiam, lidahnya terasa kelu untuk menjawab pertanyaan Namjoon. Sepuluh jemarinya juga semakin erat menggenggam gelas kertas berisi cokelat panas miliknya yang baru berkurang sedikit. Kilasan kejadian yang ia lihat beberapa menit yang lalu seakan berputar cepat dan menghantamnya telak hingga membuat dadanya sesak. "Ya. Hyosang—H-Hyosang disana, bersama seorang wanita penghibur. Telanjang. Berdua." Seokjin tertawa pelan, namun Namjoon tidak bodoh untuk bisa menyadari jika suara tawa halus dari celah bibir penuh Seokjin terbalut luka yang dalam.

"Kau diam saja?" Namjoon menoleh, memperhatikan dengan seksama sisi wajah Seokjin yang masih enggan mengalihkan perhatiannya dari cokelat panas yang ia genggam.

"Memangnya aku harus apa?"

"Kau—astaga, Seokjin!" Namjoon mengerang, membuang cepat gelas kertas yang masih berisi cokelat cair ke tanah, menyebabkan isinya terciprat kemana-mana, dan sebagian mengotori ujung celana denimnya. Ia dengan cepat meraih bahu Seokjin, menatap binar sehangat karamel di depannya yang berkaca-kaca. Seakan siap pecah kapanpun saat Namjoon menyentuhnya terlalu keras. "Harus apa kau bilang?! Hyosang mengkhianatimu, Seokjin. Pria yang namanya terpatri di denyut nadimu itu sedang berbagi sentuhan dengan orang lain!"

Seokjin menyentuh lembut salah satu lengan Namjoon yang masih berada di bahunya dan membuatnya turun. Ia mengulum sebuah senyum lagi di bibirnya, "Hyosang mungkin di bawah pengaruh alkohol dan euforia perayaan. Bukan suatu hal yang besar. Jika ia bangun besok pagi, ia pasti akan kembali mengingatku. Itu hanya hubungan satu malam, Namjoon."

Namjoon menatap Seokjin dengan tatapan tidak percaya, kemudian mengusap wajahnya dan mengacak helaian platinanya dengan frustasi.

"Apa yang Hyosang lakukan itu pengkhianatan, Seokjin! Sadar ataupun tidak kondisinya. Seharusnya ia bisa mengontrol ledakan kesenangan dalam dirinya yang membuat melupakan eksistensi dirimu walau sejenak jika ia memang mencintaimu. Walau hanya untuk sebuah hubungan satu malam seperti yang kau bilang."

"Hyosang memang mencintaiku—" Netra kelam Namjoon masih menatap binar hangat itu, "—dan ini juga salah satu caraku mencintainya, percaya padanya. Hyosang sudah melakukan banyak hal untukku, dan ini balasanku. Cinta tanpa syarat seperti yang ia minta ketika aku setuju untuk hidup di Seoul bersamanya."


*to be continue*

Baper dikit hari Minggu gini boleh lah ya? /kemudian di lempar batu/

Maunya sih oneshoot, eh kok panjang amat .-. akhirnya dipotong deh jadi dua bagian, hehehe.

Selamat hari Minggu, selamat beraktifitas ^^

Cari aktivitas yang faedah mblo XD

Jangan stalking oppa, stalking mantan apalagi XD

Bikin bapereu nanti XD

Eh, stalking orang buat jadi bahan ghibahan juga ga boleh loh ya gaes, kkk~

Pokoknya hari Minggu ini gunakan sebaik mungkin, oke?

Review? ^^