Andai saja Hinata tak menenggak Tequila yang dikira orange jus, minuman tanpa alkohol.

Dengan keadaan mabuk berat, menggoda seorang pemuda bersurai raven yang juga hadir ikut dalam pesta pernikahan Naruto mantan kekasihnya juga Sakura sahabat baiknya sendiri, mengajak pemuda asing nan tampan itu untuk bersenang-senang dengannya sejenak melupakan kesedihan hati yang telah dikhianati, campakan, dustakan juga disakiti oleh kekasih serta sahabatnya sendiri. Rasa sakitnya lebih sakit dari dihujam ribuan pisau dan tak bisa diungkapkan dengan kata-kata hanya air mata mewakilkan semua perasaan hati.

Disclaimer : Masashi Kishimoto

Rate : T posibbel M

Genre : Romance, Family, Drama, Hurt/Comfort

Pair : Sasuke Uchiha X Hinata Hyuuga

(SasuHina)

~ My Young Husband ~

WARNING : AU, TYPO'S, CRACK PAIR, OOC SUPER AKUT, OC, NO BAKU, EYD BERANTAKAN, ALUR CEPAT DAN LAMBAT, DLL

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

X0X0X0X0X0X0X0X0X0X0X0X0X

Hinata Hyuuga, seorang karyawati disebuah kafe sebagai pelayan, berumur dua puluh lima tahun empat bulan, singel untuk saat ini karena baru ditinggal menikah oleh kekasihnya yang sudah berpacaran selama delapan tahun lebih bahkan nyaris hampir menikah tapi Tuhan berkata lain karena ternyata pria bersurai kuning dengan mata biru seindah langit itu memilih melabuhkan hatinya pada gadis musim semi yang merupakan sahabat Hinata sendiri. Hati Hinata sakit sembilu seperti di hujam ribuan pisau karena sudah dikhianati oleh sahabat sendiri dan kehilangan sang kekasih, pria yang begitu ia cintai dan percayai selama bertahun-tahun ini.

Dulu saat masih bersama, Hinata selalu membayangkan akan menikah dengan Naruto, memiliki anak-anak yang manis, membangun sebuah keluarga kecil yang bahagia tapi kini itu hanya tinggal kenangan saja dan harus hancur berkeping-keping seperti kaca tak bisa disatukan kembali. Mencoba melupakan, mengikhlaskan dengan datang ke acara pernikahan mereka berdua, memberi ucapan selamat dari lubuk hati terdalam tapi tetap saja air mata menetes keluar tak kala mengingat kembali kenangan bersama Naruto. Bagaimanapun tak mudah melupakan Naruto, setelah bertahun-tahun bersama dan banyak kenangan indah terjadi yang sampai detik ini masih teringang di kepala.

Duduk di pojokkan menikmati pesta seorang diri tanpa ada teman ataupun sahabat yang menemani, alunan musik yang di mainkan terdengar seperti lagu kematian di telinga Hinata karena suasana hati dan persaannya sedang sedih, orang-orang yang hadir kali dan tersenyum bahagia nyatanya seakan-akan seperti tersenyum di atas penderitaannya.

"Minumannya, Nona," tawar seorang pelayan sopan pada Hinata.

Tanpa melihat atau bertanya jenis minuman apa yang ditawarkan pelayan Hinata langsung mengambilnya, dan menimunya dalam satu kali tengguk. Hinata tidak menyadari kalau yang diminumanya adalah Tequila, sebuah minuman dengan kadar alkohol cukup tinggi.

Awalnya tak ada hal aneh saat meminumnya tapi tak lama tenggorokkan dan dada Hinata tiba-tiba terasa panas kepalanya juga sedikit pusing bahkan bayangan orang-orang disekitarnya terlihat sedikit berbayang.

"Ada apa denganku, kenapa aku menjadi pusing seperti ini."

Mencoba berjalan ke kamar mandi untuk membasuh wajah, tapi langkah kaki Hinata malah terhuyung seperti orang sedang mabuk bukannya menolong atau membantunya orang-orang yang berada di dalam ballroom hotel malah menertawakan, menggangap tingkahnya sangat lucu dan sebagai hiburan tersendiri ditengah pesta apalagi sebagian tamu undangan mengetahui kalau Hinata adalah mantan kekasih Naruto sekaligus sahabat baik Sakura. Kedatangan Hinata ke pernikahan ini pun membuat kaget banyak orang karena Hinata bersikap begitu lapang menerima pengkhianatan keduanya bahkan mendoakan kebahagian mereka berdua. Bodoh atau terlalu baik hati, itulah gambaran orang-orang mengenai Hinata tapi apa pedulinya, ia hanya mencoba bersikap ikhlas dan menerima walau berat juga sulit.

Hinata duduk berjongkok di pinggir dekat sebuah pot tanaman besar, ia tak bisa berjalan ataupun bangun karena kepalanya sangat pusing. Pipinya sudah merona merah, bukan tengah malu melainkan mabuk efek dari minuman tadi.

Bulir-bulir air mata menetes membasahi pipi tak kala kedua kupingnya menangkap suara gelak tawa disertai ucapan ledekan dari para tamu undangan yang ditujukan ke arahnya, ia bukanlah badut yang harus ditertawakan terlebih keadaannya sedang seperti ini dan sangat butuh pertolongan seseorang untuk membantunya berjalan. Selama hidupnya Hinata tak pernah mengumpat pada Tuhan, tapi tidak kali ini ia merasa marah dan menuntut keadilan karena merasa Tuhan tidak sayang padanya, selalu memberikan penderitaan, cobaan berat padanya tak pernah kebahagian.

Berharap ada seorang pangeran tampan berkuda putih dalam balutan tuxedo hitam mewah datang menolongnya itu tak mungkin terjadi, ini bukan dongeng, cerita didalam buku ataupun adegan filem drama tontonan favorit para ibu-ibu rumah tangga tapi dunia nyata yang kejam dan tak adil. Disaat Hinata merasa kecewa pada Tuhan sebuah hal tak terduga terjadi, sepertinya keinginan kecilnya terwujud tanpa disadarinya seorang pemuda tampan bersurai raven dalam balutan tuxedo hitam menghampiri, tanganya menyentuh pelan pundak Hinata dan sedikit mengguncangkannya.

"Kau tak apa, Nona?" tanyanya dengan nada cemas.

Menolehkan wajah Hinata menatap pemuda itu dengan wajah sembab karena menangis, sesaat iris bulannya melebar sempurna dan terpaku menatap wajah pemuda itu sekilas dalam benaknya berpikir kalau yang datang adalah seorang pangeran tampan seperti harapannya tadi.

"Jangan menangis disini, ayo berdiri," ditariknya tangan Hinata membantunya untuk berdiri meninggalkan ballroom hotel.

Aroma parfum yang dipakai pemuda ini sangat harum Hinata sangat menyukai wanginya terkesan maskulin di indera penciumannya, dari sekian ratus orang didalam ballroom hotel ini hanya pemuda asing ini saja yang datang menanyakan keadaannya bahkan membawanya keluar tidak ikut menertawakan keadaannya yang sedang kesulitan.

Entah karena dorongan alkohol atau memang Hinata merasa tertarik dengan pemuda asing ini tanpa sadar Hinata menyerang pemuda ini, melumat ganas bibir tipis nan menggoda milik pemuda itu bukannya merasa marah atau mendorong tubuh Hinata jauh karena perbuatannya pemuda itu malah ikut menikmati bahkan memperdalam ciumannya.

Melepaskan pagutannya Hinata menatap nakal dan penuh gairah pada pemuda didepannya, "Mau menemaniku bermain, tampan." Rayu Hinata dengan nada manja.

"Boleh." Sahut pemuda itu balik menatap Hinata seraya menyeringai.

-(0)-(0)-

Pusing.

Itulah gambaran pertama yang Hinata rasakan saat terbangun dari tidurnya setelah menghadiri pesta pernikahan Naruto dan Sakura yang digelar mewah disebuah hoter berbintang tadi malam. Ingatan terakhirnya adalah ketika menenggak minuman di sebuah gelas kecil kristal yang di sodorkan seorang pelayan tanpa bertanya atau melihat jenis apa minuman itu, Hinata langsung menggenggaknya hingga habis dalam satu kali tenggukkan. Rasa panas begitu terasa ditenggorokkan serta dada saat minuman itu meluncur masuk kedalam tenggorokkan, rasa pusing tiba-tiba mendera dan Hinata tak ingat apa-apa lagi setelahnya.

Dan saat terbangun sudah berada di ruang ini, yang entah dimana dan milik siapa?

Kedua iris bulan Hinata, menatap bingung sekaligus aneh ke sekeliling ruangan, tembok kamar bercat putih gading, lukisan abstrak ditengah ruangan berukuran besar, lemari kayu bercat hitam dengan kaca besar dibagian pintu, sofa putih panjang dengan meja kecil kaca berbentuk oval menghadap ke arah jendela diatasnya terdapat sebuah vas bunga kecil berwarna putih dengan setangkai bunga Mawar merah segar. Dan semua pemandangan yang tertangkap dalam indera penglihatannya menjelaskan kalau ini bukanlah kamar Hinata ataupun kamar apartemen sahabat perempuannya.

"Dimana aku?" Pikirnya bingung.

Nyut~

Kepala Hinata masih sedikit pusing efek dari minuman berakohol yang semalam diminum padahal hanya satu gelas penuh tapi mampu membuatnya mabuk berat bahkan hampir tak sadarkan diri, mencoba mengingat kembali apa yang sebenarnya terjadi semalam hingga membuatnya harus terdampar di kamar ini, tempat asing yang tak dikenalinya sama sekali. Hinata belum sepenuhnya sadar dan menyadari penampilannya sendiri sampai beberapa menit kemudian ketika tangannya meraba bagian tubuh depan mencoba menyingkap selimut putih tebal yang menutupi tubuh sintalnya, kedua iri bulannya membelalak sempurna karena mendapati diri tak mengenakan apapun atau bisa dibilang telanjang bulat.

Kedua mata bulan Hinata melebar sempurna, tak ingin berteriak panik atau stress terlebih membuat keributan dipagi hari apalagi di rumah orang, Hinata mencoba menenangkan diri dan berpikir jernih, tapi nyatanya tak bisa karena bayang-bayangan seorang pria malah terlintas samar di kepala ditambah noda merah di atas seprei membuktikan kalau sudah terjadi sesuatu dengan dirinya.

Keringat dingin sebesar biji jagung mengucur deras di pelipis, wajahnya pucat pasi lebih pucat dari kulit milik Sai, teman sekaligus kekasih dari Ino.

"Ngh~" lenguh pelan seorang pemuda tampan bersurai raven tepat disamping Hinata yang baru saja keluar dari dalam selimut menampakkan diri.

Hinata menolehkan kepala kesamping dengan gerakkan pelan bercampur rasa takut yang begitu besar, perlahan tapi pasti kedua iris bulan miliknya menangkap sosok seorang pemuda tepat disampingnya tengah terlelap tidur.

Kedua mata bulan Hinata langsung membelalak sempurna bahkan hampir copot, wajahnya pucat pasi disertai keringat dingin memandang horor dan takut pria disampingnya seakan-akan tengah melihat hantu tapi ini lebih menyeramkan daripada melihat atau bertemu hantu Sadako sekalipun.

"YA TUHAN!" Jerit Hinata dalam hati.

Dipandanginya lamat-lamat wajah pemuda yang tengah tertidur lelap disampingnya dengan posisi tidur tubuh tertelungkup sebagian wajahnya menoleh kesamping tepat ke arah Hinata dengan mata masih terpejam erat.

Tampan.

Keren juga menawan.

Kulit pemuda itu sangat putih seperti sebuah porseline, hidungnya mancung sempurna, rambut hitam legamnya seperti malam dan lehernya pun sangat jenjang. Satu kata untuk pemuda itu adalah Tampan dan sempurna, ia tak pernah tahu kalau Tuhan sudah menciptakan makhluk setampan ini. Hinata terpernjat dalam dunianya, karena begitu terpana tapi pemikiran itu langsung dihilangkan karena bercak bewarna merah di sprei membuatnya tersadar kembali dengan keadaannya saat ini dimana ia sudah melawati satu malam bersama dengan pemuda itu. Orang yang sudah sudah merenggut kesucian Hinata yang selama lebih dari dua puluh lima tahun selalu dijaga, dengan harapan akan memberikannya pada suaminya kelak ketika menikah nanti tapi keinginannya hanya tinggal kenangan saja karena dengan suka rela Hinata malah memberikan kegadisannya pada pria asing yang entah siapa, dia sendiri juga tidak mengenalinya sama sekali.

Menyibak pelan selimut putih yang sejak semalam menutupi tubuh polosnya setelah melewati petualangan panas nan menggairahkan dengan pemuda asing itu. Hinata turun dari ranjang, memungut satu persatu pakaian miliknya yang berserakkan di lantai dengan gerakkan cepat dan tergesa-gesa memakai kembali gaun pestanya, setelah merasa penampilannya sudah cukup rapih Hinata langsung pergi meninggalkan kamar pemuda itu tanpa membangukannya atau meninggalkan sebuah note dan Hinata tak menyangka kalau ia sedang berada diapartemen mewah yang tak akan pernah mampu Hinata bayar biaya perbulannya. Berjalan cepat bahkan setengah berlari Hinata keluar dari kamar pria asing tersebut dengan harapan kalau mereka tak perlu lagi bertemu, anggap saja kejadian semalam tak pernah terjadi.

"Ya, Tuhan! Kenapa aku bisa sampai lepas kendali seperti itu!" Rutuk Hinata dalam hati.

Langkah kaki Hinata tergesa-gesa seperti sedang dikejar hantu, raut wajahnya sangat ketakutan juga syok menuruni anak tangga apartemen padahal ada lift yang menuju lantai dasar tapi Hinata tak kepikiran untuk menggunakannya karena terlalu panik. Ketika sudah berada diluar apartemen Hinata langsung menyetop taksi, meminta sang supir mengantarnya pulang ke rumah, yang berada di daerah Shinjuku.

Menghempaskan perlahan tubuh ke kursi dibelakang kemudi supir, Hinata menghembuskan nafas cepat memejamkan mata sejenak mencoba menenangkan debaran jantungnya yang terus berdetak tak karuan. Hinata hanya bisa menjerit dalam hati, merutuki kejadian pagi ini yang sangat luar biasa menganggetkan bahkan nyaris membuatnya terkena serangan jantung.

.

.

.

.

.

Waktu berjalan cepat, dua minggu berlalu sejak kejadian pagi itu. Naruto dan Sakura datang dua hari setelah pesta pernikahan mereka berdua ke apartemen Hinata untuk meminta maaf sekaligus berpamitan karena akan pergi ke Amerika untuk tinggal disana mengurus bisnis keluarga Naruto.

Saat datang berkunjung Sakura menangis sedih memeluk Hinata, kata maaf terus meluncur keluar dari bibirnya karena merasa sudah berbuat jahat, mengkhianati persahabatan mereka berdua bahkan membuat hati Hinata terluka juga hancur berkeping-keping bagaikan serpihan kaca. Naruto pun tak jauh beda dengan Sakura, ia merasa paling bersalah karena sebulan setelah memutuskan Hinata tanpa alasan yang jelas lalu menikahi Sakura sahabat baiknya sendiri, dan ia merasa menjadi pria paling jahat, brengsek di dunia dan pantas dibenci seumur hidup oleh Hinata.

Sakit, kecewa, sedih memang itulah gambaran perasaan Hinata pada keduanya tapi terus larut dalam kesedihan dan membenci tidak baik, mereka berdua berhak hidup bahagia mungkin kisah cintanya dengan Naruto harus berakhir seperti ini, memang terasa tak adil dan jahat tapi pasti Tuhan sudah menyiapkan pengganti untuk Hinata seorang pria yang jauh lebih baik dari Naruto dan akan selalu melindungi, mencintainya seumur hidup.

Memeluk erat keduanya secara bersamaan, "Hiduplah dengan bahagia. Dari dalam lubuk hatiku yang terdalam, aku memaafkan kalian." Kata Hinata tulus tanpa ada kebohongan sama sekali.

"Hiiksh...Hinata..." isak Sakura.

"Terima kasih, Hinata. Kau memang gadis berhati mulia dan lapang." Ucap Naruto penuh kekaguman karena sikap Hinata yang luar biasa bisa memaafkan mereka berdua.

Walau memaafkan sangat sulit dan tak mudah dilakukan tapi jika bisa melakunya adalah sebuah hal yang sangat luar biasa indah, ada sebuah perasaan lega dihati Hinata kini ia merasa bebas tak ada beban dan bisa menjalani hari-harinya dengan baik, menatap masa depan bersama pria lain yang akan hadir mengisi hati serta hidupnya.

Dua minggu pun berlalu, Hinata sudah menjalani aktifitasnya kembali dengan baik bahkan ia bisa tersenyum, tertawa lepas tanpa ada beban sama sekali tapi masih ada satu hal mengganjal dihatinya mengenai pemuuda yang sudah tidur dengannya, ia takut jika bertemua harus bersikap dan berkata apa. Tapi sepertinya pemuda itu tidak terlihat mencari atau berusaha menemuinya dan itu membuat Hinata lega sekaligus senang. Tak ada satupun dari temannya ia beritahu mengenai kejadian bersama pemuda asing itu yang entah siapa namanya Hinata sendiri berharap tidak bertemu lagi dengan pemuda itu dan menganggap kejadian itu sebagai one night stand seperti orang-orang diluar sana biasa melakukannya.

Hinata sendiri bekerja di sebuah kafe berlantai dua milik seorang wanita cantik bernama Konan dan diberi nama 'Akatsuki Kafe'.

"Meja nomor tujuh." Ujar Hidan dari arah dapur yang merupakan koki di kafe ini.

"Siap." Sahut Hinata penuh semangat seraya mengambil piring berisikan pesanan.

Dengan senyum mengembang diwajah, Hinata berjalan menghampiri meja pelanggan mengantarkan pesanan tak lupa berkata ramah juga senyuman manis menghias wajah agar para pelanggan senang sekaligus bentuk pelayan dari kafe tempatnya bekerja.

Pekerjaan ini sudah Hinata jalani lebih dari sembilan tahun, ia sendiri sudah bekerja di kafe sejak masih duduk dibangku SMA sebagai pegawai magang dan terus berlanjut sampai kini, Hinata sudah merasa betah, nyaman dan gaji yang diterima pun terbilang cukup untuk membiayai hidup di kota Tokyo.

Mendekap erat nampan didepan dada, Hinata duduk menyandar di pojokkan dapur iris bulannya menatap lelah ke atas langit-langit dapur yang didominasi warna putih. Menghela nafas sejenak, pikiran Hinata mulai menerawang membayangkan sesuatu yang sebenarnya tak boleh dipikirkan sama sekali yang malah membuat wajahnya memerah malu kemudian berteriak histeri.

"Kau kenapa, Hinata?!" tanya Deidara heran mendengar teriakkan Hinata.

"Ti-tidak. A-aku akan kembali bekerja." Kata Hinata seraya bergegas pergi meninggalkan area dapur.

"Dasar gadis aneh!" gumam Deidara.

Mengambil nampan berbahan kayu Hinata menghampir meja dapur melihat masakan apa yang sudah siap diantar ke meja pelanggan, Hinata sendiri sangat sengan menyibukkan diri bekerja bahkan ia mengambil lembur hingga malam dengan harapan bisa melupakan sejenak perasaan sedihnya, kini Hinata sudah tak mau memikirkan tentang percintaan dan akan fokus bekerja, mencari uang sebanyak-banyaknya.

Untuk malam ini kafe sengaja tutup lebih awal karena Konan ingin mengajak anak buahnya pergi karaoke bersama sebagai perayaan atas berdirinya kafe lebih dari sepuluh tahun. Dan ajakan dari Konan disambut penuh kegembiran semua orang termasuk Hinata yang sudah lama tidak pergi berjalan-jalan diluar.

Semua orang tampak gembira bernyanyi bersama, menikmati makanan serta minuman yang dipesan tapi tidak dengan Hinata yang tiba-tiba saja merasa pusing bahkan mual ingin muntah ketika mencium bau alkohol dari botol sake milik Hidan ditambah Pein asik menghisap rokok dipojokkan tanpa mempedulikan teriakkan protes dari Deidara yang merasa sesak karena asap rokok.

Berlari cepat dari ruang karaoke, Hinata pergi ke toilet untuk muntah.

Setelah mengerluarkan seluruh isi perutnya Hinata merasa sangat lega tapi kepalanya masih sedikit pusing, mungkin karena dua minggu ini ia terus bekerja dari pagi hingga malam membuat tubuhnya lelah.

"Sepertinya aku masuk angin." Gumam Hinata menatap pantulan wajahnya didalam cermin wastafel kamar mandi.

Membasuh wajahnya dengan air, Hinata menatap pantulan dirinya didalam cermin. Wajahnya memang sedikit pucat dengan lingkaran hitam dibawah mata membuatnya terlihat seperti seekor panda karena kurang tidur, wajah pemuda asing itu terus terbayang-bayang menghantui malam-malamnya.

"Sebenarnya siapa dirimu? Kenapa wajahmu tidak mau hilang juga dariku." Pikir Hinata.

Membasuh wajahnya kembali Hinata lalu mengusapnya dengan sapu tangan miliknya dan setelahnya keluar saat beberapa siswi SMA berpenamilan sexy masuk.

Saat keluar dari toilet, tanpa sengaja Hinata berpapasan dengan pemuda yang baru saja dipikirkannya tadi didalam toilet. Seperti melihat hantu Hinata langsung berlari cepat menghindari pemuda itu berharap kalau ia tak ditemukan, sikap dan tingkah Hinata seperti anak kecil yang sedang bermain petak umpet berpikir kalau tak akan ditemukan tapi sayang pemuda asing itu berhasil menemukannya bahkan mencengkeram kuat tangan Hinata saat hendak kabur.

"Lepaskan tanganku," ronta Hinata.

"Tidak. Sebelum kita bicara," tolak pemuda itu enggan melepaskan cengkeram tangannya.

"Baiklah, tapi lepaskan tanganku dulu," Hinata memenuhi keinginan pemuda itu.

"Apa jaminannya kau tidak akan kabur,"

"Aku bukan orang yang suka melanggar janji,"

"Baiklah, aku pegang ucapanmu, Nona."

Pemuda asing itu mengajak Hinata duduk di sebuah kafe kecil berdekatan dengan tempat karaoke yang mereka datangi tadi. Suasana tegang begitu terasa, apalagi Hinata terlihat sangat gugup sekaligus syok karena bertemu dengan orang yang sama sekali tidak ingin dilihat seumur hidupnya. Sikap pemuda itu begitu tenang, iris kelamnya terus menatap tajam ke arah Hinata seperti se ekor elang begitu mengintimidasi dan membuat perasaan menjadi tak enak.

"A-apa yang ingin kau bicarakan denganku?" tanya Hinata to the point tak ingin bertele-tele karena ingin cepat segera bebas dari pemuda ini.

"Kita belum berkenalan, Nona,"

"Namaku Hinata Hyuga, dua puluh lima tahun dan siapa namamu?" Hinata memperkenalkan diri.

"Uchiha Sasuke, siswa SMA Empire Gakuen, tujuh belas tahun."

Wajah Hinata langsung pucat pasi mengetahui usia pemuda tampan bernama Uciha Sasuke tersebut yang mengatakan kalau usianya baru tujuh belas tahun dan perbedaan umur mereka berdua luar biasa sangat jauh delapan tahun. Hinata merasa seperti seorang tante-tante ganjen, genit, nakal yang sedang menggoda seorang pemuda dibawah umur atau orang-orang selalu menyebutnya sebagai berondong tapi bukan makanan berupa popcorn atau jagung yang biasa dimakan saat pergi ke bioskop, ini memiliki arti yang sangat berbeda.

Jadi itu berarti Hinata sudah meniduri anak dibawah umur, andai saja orang tua dari pemdua ini mengetahuinya Hinata yakin kalau polisi anak menangkapnya atas tuduhan pelecehan seksual padahal Hinata melakukannya dalam keadaan tak sadarkan diri atau mabuk berat. Hinata ingin menjerit sekeras-kerasnya tapi ditahannya hanya bisa mengepal kuat diatas paha.

"Lupakan kejadian malam itu, anggap saja tidak pernah terjadi. Dan bagi kalian anak muda sudah biasa melakukannya dengan para gadis," kata Hinata mencoba bersikap santai.

Pemuda itu menatap nyalang Hinata, "Aku bukan pria gampangan atau serendah itu yang melakukannya dengan gadis manapun. Malam itu adalah pengalaman pertamaku dengan seorang gadis dan begitu pula denganmu," katanya yang tepat menusuk hati Hinata.

Hinata menelan ludah pelan, ternyata hal itu pengalaman pertama pemuda itu jadi mereka berdua sama-sama masih perawan saat melakukannya tapi beda cerita jika yang melakukannya dengan seorang pemuda berusia dewasa bukan anak dibawah umur seperti Sasuke.

"Jika memang benar, memang kenapa?" tanya Hinata berpura-pura bersikap biasa saja.

"Aku tak ingin hubungan malam itu berkahir begitu saja," jawab Sasuke dengan wajah serius.

"Maksud perkataanmu itu, apa?" Hinata balik bertanya dengan ekspresi wajah bingung.

"Aku jatuh cinta pada pandangan pertama denganmu dan-"

BRAK!

Hinata memukul keras meja, berdiri dengan gerakkan cepat, iris bulannya memandang tajam ke arah Sasuke yang wajahnya sedikit kaget, "Aku tak tertarik dengan anak kecil sepertimu. Diluar sana masih banyak gadis seumuranmu yang cantik juga manis, jadi jangan ganggu atau mencoba merayuku lagi. Selamat malam, adik Sasuke." Kata Hinata tegas dengan menekan kata adik diakhir kalimatnya.

Hinata berlari cepat meninggalkan Sasuke yang duduk termenung di dalam kafe, masih kaget sekaligus syok mendengar penolakkan darinya.

Orang-orang yang berada di dalam kafe memandang ke arah Sasuke, sesaat pemuda tampan itu menjadi tontonan gratis dan hiburan tersendiri bagi pelanggan kafe tapi tak lama karena Sasuke langsung berteriak dengan mengatakan kalau dirinya bukan badut jadi tak perlu dipandangi.

Hinata sendiri tak tahu siapa Sasuke juga keluarga Uchiha yang terkenal akan kekayaannya, bahkan gadis diluar sana berlomba-lomba ingin mendekati Sasuke, tapi tidak bagi Hinata karena menggapnya sebagai anak kecil membuat Sasuke semakin ingin mendapatkan Hinata sekalipun mereka berbeda usia cukup jauh tapi apa pedulinya. Jika Sasuke sudah menginginkan sesuatu apapun itu harus didapatkannya sekalipun harus merebutnya dari orang lain.

~(-_-)~

Hari-hari tenang dan damai Hinata di kafe berubah tidak menyenangkan, ternyata pemuda itu mengetahui tempatnya bekerja bahkan datang ke kafe dengan alasan mau makan padahal sebenarnya tidak. Jika saja bisa Hinata lakukan ingin rasanya ia mengusir Sasuke jauh-jauh dari sini tapi ini adalah tempat umum dan terbuka untuk siapa saja yang ingin datang untuk makan atau sekedar menikmati minuman disini. Sebagai pegawai yang baik dan profesional dalam pekerjaan, Hinata mencoba bersikap ramah, melayani pemuda itu sebaik mungkin agar merasa puas dengan pelayananya karena ini adalah mata pencaharian Hinata untuk bisa bertahan hidup dikota besar bernama Tokyo.

"Apa yang ingin anda pesan Tuan muda?" tanya Hinata seramah mungkin.

"Aku ingin memesan minuman dan makanan paling mahal disini, aku ingin kau yang menghidangkan jangan orang lain,"

Hinata benar-benar kesal dengan sikap sombong dari anak ini, ingin rasanya ia mencubit kedua pipi tirusnya itu.

"Baiklah. Kalau begitu tunggu sebentar, kami akan menyiapkannya untuk anda,"

"Jangan lama karena aku benci menunggu."

Hinata hanya bisa tersenyum kaku, berusaha menahan kekesalannya.

"Dasar, anak menyebalkan." Rutuk Hinata dalam hati.

Berjalan tergesa-gesa Hinata pergi ke dapur memberikan kertas pesanan pada Hidan untuk segera membuatkan pesanan Sasuke, dan setelahnya Hinata akan membawa makanan untuk pengunjung lain karena bukan hanya pemuda itu saja yang harus Hinata layani.

Dari mejanya, iris kelam Sasuke terus mengamati Hinata yang sibuk melayani pelanggan apalagi selalu tersenyum manis pada pelanggan pria membuat hatinya merasa panas dan kesal. Jika saja ini bukan pekerjaan Hinata sudah pasti Sasuke akan mencongkel mata pria mesum itu yang terus menatap Hinata dengan tatapan penuh gairah. Memang pakaian seorang pelayan atau maid harus sependek itu, memperlihatkan paha putih nan mulus milik Hinata secara gratisan pada para pelanggan pria.

"Pesanan siap!" teriak Hidan dari dapur.

Hinata langsung mengambilnya lalu mengantarkan ke meja pelanggan, "Ini pesanan anda Tuan muda dan silahkan menikmati,"

"Kau tak boleh pergi!"

"Aku harus bekerja kembali, jangan ganggu aku atau-"

"Apa aku perlu membeli kafe ini agar kau mau menuruti perkataanku,"

Hinata mendecih sebal, "Lakukan jika kau memang mampu," tantang Hinata.

Sasuke menyeringai senang saat ditantang Hinata, "Baiklah. Jika itu maumu dan setelah kafe ini aku beli kau hanya boleh melayaniku tidak orang lain dan panggil aku Sasuke-kun bukan adik Sasuke,"

"Terserah!" dengus Hinata.

"Aku anggap itu adalah jawaban darimu."

Sasuke mengambil ponsel mahalnya yang bergambar apel yang digigit sedikit, sambil menikmati minuman cokelat yang dibawakan Hinata tadi, "Jugo bisa kau datang ke Akatsuki kafe dan bawakan aku dua koper uang tunai saat ini juga, jangan bertanya untuk apa. Bawakan saja, aku tunggu sepuluh menit dari sekarang." Kata Sasuke dengan penuh percaya diri menatap Hinata.

"Dasar anak sombong. Memangnya aku bisa kau tipu." Pikir Hinata.

Dan tak sampai sepuluh menit orang yang dihubungi Sasuke tadi datang membawakan dua buah koper hitam berisikan uang tunai, Hinata benar-benar sangat syok dan kaget karena ucapan Sasuke benar dan tidak mengada-ngada sama sekali.

"Antarkan aku pada pemilik kafe ini,"

"Apa kau serius dengan kata-katamu tadi?"

"Ya. Dan sebagai seorang Uchiha aku tidak pernah menarik ucapanku, cepat antarkan aku jangan banyak bertanya atau mencoba mencegahku,"

"Ikuti aku."

Sasuke ditemani oleh Jugo berjalan mengikuti Hinata kesebuah ruangan dimana Konan sedang berada didalam ruangan tengah melakukan pembukuan seorang diri. Wanita bersurai biru dengan hiasan bunga mawar dikepala itu sangat kaget dan bingung melihat kedatangan Sasuke ke ruangannya.

"Ada apa ini? Dan siapa dia, Hinata?" tanya Konan bingung.

"Maaf jika kedatanganku mengganggu. Perkenalkan namaku Uchiha Sasuke dan bisakah kita berbicara sebentar,"

Konan cukup kaget ketika pemuda itu memperkenalkan diri sebagai seorang Uchiha, "Si-silahkan duduk," kata Konan gugup mempersilahkan Sasuke untuk duduk.

"Terima kasih. Jugo kau berdiri saja, disana." Perintah Sasuke.

"Baik, Tuan muda." Sahut Jugo patuh.

Ekspresi sang bos yang terlihat kaget dan gugup dihadapan Sasuke membuat Hinata semakin bertanya-tanya memang siapa sebenarnya pemuda menyebalkan, juga songong itu.

"Hinata hidangkan minuman dengan kualitas terbaik untuk mereka,"

"Baik, bos."

Setengah jam berlalu, Sasuke keluar bersama Jugo di ikuti oleh Konan.

Kafe tempat Hinata bekerja sementara waktu di tutup karena ada hal penting yang harus Konan sampaikan pada seluruh pegawai kafe termasuk Hinata. Mereka semua sengaka dikumpulkan ditengah-tengah ruangan kafe dimana Konan berdiri disamping Sasuke yang terus menyeringai menatap Hinata membuat perasaannya menjadi tak enak.

"Mulai saat ini, Sasuke adalah bos kalian karena dia sudah membeli kafe ini dariku dengan harga luar biasa fantastis. Bekerjalah dengan baik dan penuh tanggung jawab dibawah kepemimpinannya, aku juga masih bekerja disini sebagai pengawas kafe," terang Konan memberikan pengumuman yang membuat semua orang kaget terlebih Hinata yang merasa terkena serangan jantung saat ini juga.

Jadi ucapan sombong pemuda bermata kelam itu memang benar dan terbukti, memang siapa pemdua itu bisa sampai membeli kafe ini.

"Hinata,"

"Ya,"

"Kau hanya bekerja melayani Sasuke saja dan mengenai gaji, dia akan membayarmu tiga kali lipat dari bayaran yang kau terima selam ini,"

"Tapi..."

"Mencari pekerjaan lain dengan usia sepertimu apalagi dengan gaji cukup besar sangat sulit sekarang ini, pikirkanlah baik-baik Hinata."

Hinata diam seribu bahasa, wajahnya menundukan dalam tak bisa berkata apa-apa.

Kedua sudut ujung Sasuke terangkat membentuk sebuah senyuman kemenangan menatap Hinata, tak ada yang tak bisa Sasuke dapatkan hanya membeli sebuah kafe kecil seperti ini sangat mudah dilakukannya mengingat kekayaan yang dimiliki keluarganya tak akan habis sampai tujuh turunan mungkin lebih.

Wajah Hinata menatap masam pemuda tampan bersurai raven dalam balutan seragam hitam dengan garis emas di ujung lengan serta pin berlambang sekolah Empire Gakuen melekat di pinggir kerah menunjukkan kalau pemuda itu merupakan salah satu dari sekolah elit dan mahal tersebut.

"Mulai saat ini kau bekerja padaku,"

"Kalau begitu aku-"

"Jika kau mencoba keluar dari sini, maka akan aku pecat seluruh karyawan disini tanpa terkecuali dan mengganti mereka dengan pegawai baru," sela Sasuke dengan nada mengancam.

Hinata hanya dapat diam tak bisa membalas perkataan pemuda menyebalkan dan sombong ini. Jadi nasib teman-teman di kafe ini ada ditangan Hinata, jika ia keluar maka mereka juga harus keluar sungguh kejam perbuatan Sasuke. Ini sama saja seperti makan buah si malakama, sama-sama merugikan.

Salah apa Hinata pada Tuhan hingga mengirimkan iblis tampan ini di kehidupannya dan mengacaukan hari-hari tenangnya di kafe.

"Awas kau Sasuke." Batin Hinata geram.

TBC

A/N : Sebenarnya ini adalah Fic lama di komputer dan Fic kedua yang memakai pair SasuHina. Anggap saja sebagai pengganti sementara waktu Fic 'OH' milik saya yang belum bisa saya lanjutkan atau harus saya DISCONTINUE karena kehilangan jalan cerita, mentok ide tapi akan saya usahakan untuk bisa mengupdate kelanjutannya tapi tak bisa janji cepat atau dekat-dekat ini.

Saya mengucapkan terima kasih kepada siapapun yang sudah mau membaca Fic ini yang jauh sekali dari kata bagus apalagi sempurna. Dan jika berkenan berikan tanggapan mengenai Fic abal ini.

Ogami Benjiro II