Bagian ini waktunya sudah di masa sekarang ya readers?

Selamat membaca.

.

.

.

.

Yoongi mengerang malas untuk terbangun dari tidurnya yang terusik akibat sinar mentari yang masuk melalui jendela kamarnya yang terbuka. Ia pun kembali menutupi tubuhnya menggunakan selimut hingga ia tersadar dan langsung terduduk. Hal itu membuatnya merasakan pusing yang teramat sangat. Seklias ia melihat rambutnya sudah berubah warna.

"Astaga!"

Perkataannya terhenti karena pintu kamarnya yang terbuka sedikit saja. Seakan-akan orang yang ada diluar kamarnya sedang memastikan sesuatu.

"Apa kau yoongi?"

"Eoh? Chanyeol hyung? Masuklah. Ini aku."

"Syukurlah."

Sahabat sekaligus psikiaternya itu pun masuk dan membawa nampan berisi makanan untuk meredakan mabuk.

"Kau menemukan aku dimana hyung?"

.

Chanyeol benar-benar merasa lelah setelah seharian menangani pasien-pasien yang mengalami penyakit kejiwaan yang bermacam-macam. Namun saat perjalanan pulang, ia melihat sebuah mobil yang tidak asing baginya dan pengemudinya dengan warna rambut yang berbeda.

"Yoongi? Tapi kenapa rambutnya- ASTAGA!"

Tanpa berfikir dua kali chanyeol mengikuti mobil itu dan ternyata berhenti di sebuah klub malam.

.

"Aku terus memperhatikanmu dan aku memukulmu saat kau hampir menyentuh seorang wanita malam disana. Tapi sialnya kau malah membalasku."

"Maaf hyung." Yoongi menyengir merasa bersalah dan kembali menyantap makanan.

"Yoongi, ada yang aneh."

"Hm?" Yoongi hanya bergumam karena sedang mengunyah dan menatap chanyeol yang terlihat memikirkan sesuatu.

"Aku berfikir kau sudah sembuh setelah lima tahun tidak kembali. Sejak dia pergi." Chanyeol kembali berfikir. "Apa ini firasat kalau dia sudah kembali?"

Uhuk! Uhuk!

Yoongi segera mengambil air putih yang ada di nakas dan meneguknya hingga habis. Setelah itu ia bersandar di ranjang dan chanyeol mengambil alih mangkuk di tangan yoongi.

"Tidak mungkin hyung."

.

Chanyeol menyuruhnya istirahat sebelum pergi untuk bekerja tapi yoongi terlalu suntuk di apartemennya dan malah berjalan-jalan di jalan setapak yang berada di sebuah taman dekat dengan apartemennya. Ia duduk di salah satu bangku dan mengeluarkan sebuah kalung yang dipakainya. Kalung yang sama sekali tidak pernah ia lepas sejak dipakaikan lima tahun yang lalu.

"Appa!"

.

"Kenapa menatapku seperti itu?"

Yoongi tergagap karena ketahuan memperhatikan wanita yang tengah duduk di sampingnya. Padahal ia hanya ingin memastikan kalau semua ini bukanlah mimpi. Lalu mereka sama-sama memerhatikan yeoja kecil yang tengah menikmati permainan yang tersedia disana.

"Aku benar-benar akan pergi kalau saja jungkook tidak ada disini."

"Taktikku berhasil ternyata."

"Dasar licik! Kau masih belum berubah rupanya." Yoongi berkata dengan tersenyum dan mereka sama-sama terkekeh pelan. "Kenapa kau kembali?"

"Hm...mungkin aku merindukan kota ini dan juga...dirimu."

"Aku saja sudah melupakanmu."

"Jahat! Padahal aku sering menunjukkan fotomu kepada jungkook. Aku juga sering mengirim foto perkembangan jungkook ke semua sosial mediamu dan email."

"Aku sudah mengganti semuanya."

"Kau benar-benar ingin melupakanku. Sepertinya aku tidak akan diterima."

"Maaf. Aku hanya- "

"Tidak ingin aku tersakiti bukan?" Jimin menatapnya dengan mata yang sedikit berkaca-kaca dan tersenyum tipis. "Aku sudah muak mengingatnya. Jungkook sudah mengenalimu sebagai ayah kandungnya. Apa kau tidak bisa memikirkan hal itu sedikit saja? Kau ingin anak kita menjadi iri dengan teman-temannya karena tidak memiliki ayah?" Jimin sedikit memiringkan duduknya dan menghadap yoongi yang kini sudah menatapnya dengan bingung. "Aku tidak akan menyerah yoongi. Apapun caranya aku akan membantumu keluar dari semua ini. Aku yakin kau akan sembuh dan kita akan menjadi keluarga kecil yang bahagia. Bersama jungkook. Jika kita ingin mencapai sesuatu, kita juga harus berjuang dan mengorbankan sesuatu juga bukan?"

Yoongi melemah melihat tatapan jimin yang begitu tulus memohon kepadanya. Ia pun tersenyum dan mengangguk.

"APPA!"

"Jungkook!" Ucap mereka bersamaan. Jimin segera menggendong jungkook dan memangkunya di bangku taman.

"Tunggu disini!"

Jimin yang terngah sibuk meniup luka di lutut jungkook tidak lagi menemukan keberadaan yoongi saat mengangkat kepalanya. Seulas senyum terpancar di wajah cantiknya.

"Sakit eomma...hiks..."

"Sabar ya sayang?" Jimin mengecup puncak kepala jungkook.

Yoongi kembali beberapa menit kemudian dengan nafas yang terengah-engah dan membaca kantong berisi obat luka juga sebotol air mineral. Tapi dia memberikan semua itu kepada jimin.

"Aku tidak bisa mengobatinya."

"Aku tidak mau obat! Itu sakit sekali!" Jungkook memberontak dalam pangkuan jimin dan ia sedikit kewalahan.

"Kenapa seperti ini?"

"Ini kedua kalinya dia luka. Saat pertama kalinya, aku tidak sengaja menekan lukanya karena gugup dan dia jadi takut." Jimin berkata dengan jungkook yang tidak berhenti memberontak.

Yoongi tidak mengerti mengapa ia berlutut menyamakan tingginya dengan jungkook yang masih meronta. Mengusap kepala jungkook dan yeoja kecil itu menoleh.

"Appa..."

"Jungkook merindukan appa tidak?"

Jungkook terlihat sedikit tenang dan mengangguk dengan bibir yang masih mengerucut. Wajahnya terlihat sembab.

"Benarkah? Kalau begitu pasti tidak akan sakit kalau appa mengobatinya.

"Appa tidak bohong?"

"Tidak. Appa juga akan memberikanmu hadiah setelah mengobatimu. Bagaimana?"

"Iya appa." Jungkook berkata dengan antusias.

Yoongi membersihkan luka jungkook dengan air mineral. Sedikit mengeringkannya dengan tissue dan meniupnya saat mendengar ringisan jungkook. Berlanjut dengan obat merah, perban, dan plaster.

"Selesai. Tidak sakit kan?"

"Sakit."

"Benarkah? Maaf ya?"

"Tidak appa. Tapi masih lebih sakit eomma yang mengobati."

"Jadi begitu? Baik. Eomma tidak akan mengobati kookie lagi."

Cup!

Jungkook tersenyum setelah mengecup bibir jimin yang mengerucut karena berpura-pura merajuk. Jimin kembali tersenyum dan mengecup seluruh wajah jungkook dengan gemas. Jungkook tertawa geli dan entah mengapa hal sederhana itu memberikan kehangatan dihati yoongi.

"Eomma, kita tidak akan pergi lagi kan? Kita tidak akan meninggalkan appa lagi kan?"

Jungkook sedikit mendongak melihat wajah jimin yang terlihat bingung dengan pernyataan polos jungkook. Yoongi terlihat salah tingkah.

"Jungkook, tadi appa sudah berjanji untuk membelikan jungkook hadiah. Ayo!" Yoongi langsung menggendong jungkook dan dia kalah cepat karena jungkook sudah lebih dulu mencium pipi kanannya. Tapi akhirnya dia menghadiahkan juga kecupan untuk putrinya.

"Aku sangat merindukan appa. Kookie janji tidak akan pergi. Kalau eomma mau pergi, kookie akan tetap bersama appa." Jungkook menyandarkan kepalanya kebahu yoongi dan mencari kenyamanan yang ia impi-impikan selama ini.

.

Saat malam tiba, mereka sudah sampai di rumah keluarga jimin yang ia kunjungi terakhir kali lima tahun yang lalu. Saat jimin akan pergi setelah tiga bulan lamanya melahirkan jungkook. Setidaknya jungkook yang tertidur damai di gendongannya membuat yoongi sedikit percaya diri untuk memasuki rumah em -sepertinya masih berstatus sebagai mertuanya- karena jimin sama sekali tidak menandatangani surat cerai mereka. Yoongi sendiri tidak tau lagi kemana dokumen itu sekarang.

"Yoongi?" Itu adalah suara lembut ibunya jimin.

"A-ah! Selamat malam tuan, nyonya." Yoongi sedikit menunduk dan berusaha menjaga jungkook dalam gendongannya. Suaranya tetap dijaga sepelan mungkin.

"Bawa jungkook ke kamarnya dulu. Setelah itu kita mengobrol." Kali ini ayahnya jimin angkat bicara.

"Eomma, appa, aku ke kamar jungkook dulu."

Setelah mendapat anggukan dari orangtuanya jimin, yoongi sedikit membungkuk dan mengikuti langsung langkah kaki jimin. Mereka menaiki tangga dan sampai di kamar yang bernuansa hitam dan biru langit. Salah satu dinding terdapat banyak sekali foto-foto tunggal jimin, yoongi, dan perkembangan jungkook. Yoongi sempat tertegun sejenak.

"Dua hari yang lalu aku baru sampai dan besoknya aku langsung melakukannya. Apakah itu bagus?" Jimin berkata sambil mengambil alih jungkook dari gendongan yoongi yang masih terpana.

"Ayo!"

Yoongi seketika tersadar dan melihat ke tempat tidur jungkook. Ia pun melangkahkan kakinya menuju yeoja mungil itu dan mengecup dahinya cukup lama. Sedikit menaikkan selimut yang membungkus tubuh jungkook.

"Appa mencintaimu."

.

Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat. Ini berarti sudah tiga jam lamanya yoongi menghabiskan waktu mengobrol dengan kedua orangtua jimin. Mereka hanya mengobrol biasa seakan-akan tidak ada peristiwa besar yang pernah terjadi dan yoongi mulai mengikuti keadaan. Jimin pun mengantarkan yoongi yang sudah meminta izin untuk pulang.

"Yoongi!"

"Iya?" Yoongi kembali menutup pintu mobilnya yang baru saja ia buka sedikit. "Ada apa?"

"Apa kau bisa meminta cuti untuk besok?"

.

Jimin menggenggam cup berisi kopi untuk sekedar menghangatkan tubuhnya dan matanya sibuk menatap danau dihadapannya yang memantulkan cahaya bulan yang begitu indah dengan duduk diatas rerumputan. Yoongi yang berada di sampingnya pun melakukan hal yang sama. Yang membedakan adalah hanya yoongi yang melamunkan sesuatu. Ia tersentak saat jimin bersandar dibahunya.

"Sudah lama sekali kita tidak pernah seperti ini. Aku tidak menyangka akan kembali kesini untuk kedua kalinya setelah lima tahun."

"Kenapa?"

"Hm?" Jimin bertanya dengan posisi yang sama. Ia cukup bingung dengan pertanyaan ambigu yoongi.

"Kenapa mencintaiku?"

"Aku tau sekarang darimana jungkook mendapatkan sifat selalu ingin taunya. Ternyata itu dari appanya."

Mereka masih sama-sama tetap menghadap ke depan dan sama-sama tersenyum.

"Menurutku cinta tidak perlu alasan." Jimin pun duduk dengan tegak dan menatap yoongi hingga tatapannya tertuju pada kalung miliknya. "Kau bilang kau sudah melupakanku. Tapi kau masih memakai kalung itu."

"Aku sudah melupakanmu dan aku juga lupa kalau masih memakai kalung ini."

"Alasanmu sangat tidak masuk akal. Tadi saja kau memandang kalung itu."

"Hanya kebetulan. Aku baru mengingatnya."

Mereka sama-sama terkekeh.

"Kau tidak penasaran aku mendapatkan kalung itu darimana?"

"Memangnya darimana?"

"Sebelum bercerita, aku ingin kau tau kalau aku sama sekali tidak mengerti. Percaya atau tidak, suga itu teman kecilku. Dia pindah ke busan menjadi tetanggaku. Kami selalu bermain bersama. Lalu saat umur kami sembilan tahun, aku pindah dan dia memberikanku kalung itu. Aku selalu memakainya agar saat kami bertemu, dia mengenaliku."

"Bagaimana mungkin? Aku tinggal di panti asuhan sejak aku bayi. Tidak mungkin kita bertemu di umur segitu sementara suga tinggal di tubuhku sejak lima belas tahun yang lalu. Bahkan aku tidak pernah mengenalmu sebelumnya sampai kau memaksaku menikahimu." Yoongi menghentikan pekataannya dan tampak memikirkan sesuatu. "Apa suga juga kasar kepadamu saat masih kecil?"

"Tidak. Sama sekali tidak. Sudah ku bilang kalau kami saling menyayangi dan menjaga satu sama lain. Suga baru menyakitiku dua kali. Pertama saat menghamiliku dan kejadian itu. Aku sendiri bingung kenapa suga menyakitiku."

"Y-ya... apa kau sesantai itu? Suga menyakitimu." Yoongi mendengus kesal dan tiba-tiba dia teringat sesuatu. "Kalian bertemu lagi sekitar enam tahun yang lalu bukan?"

Jimin hanya mengangguk polos.

"Kenapa kepribadianku bisa mengenalmu?"

"Entahlah. Tapi- "

"ARGH!" Yoongi memegangi kepalanya yang terasa sangat sakit.

"Yoongi!"

"Pergilah!"

"T-tapi- "

"PERGI!"

"Tidak! Aku akan menghadapinya!" Tekad jimin sudah sangat kuat dan seketika yoongi pingsan dipangkuannya. Jimin menepuk pelan pipi yoongi dan dalam keadaan mata yang terpejam, bibir yoongi menyunggingkan senyuman yang aneh. Saat yoongi membuka kedua matanya, seketika jimin terpaku. "S-suga?"

"Setelah lima tahun tidak muncul, yoongi masih lemah untuk menghalangiku."

"A-apa kau bilang? Jadi selama aku pergi- " Perkataan jimin terhenti karena kedua tangannya dicengkram erat dan dirinya ditatap dengan tajam. Seringaian menyeramkan tercetak di wajah yoongi. Detik selanjutnya tubuh jimin sudah terbaring sempurna dengan kedua tangannya yang masih ditahan di samping kepalanya. "Hentikan!"

"Hentikan katamu? Aku sudah menahannya jiminnie. Kau melanggar perjanjian kita." Suga mulai meraup habis bibir jimin dan membuat wanita dibawahnya kehilangan setengah kesadarannya.

.

"AARGH!"

Teriakan yoongi di kamar mandi sontak membuat jimin terbangun. Sesaat ia melihat keadaan kamar yoongi yang tidak banyak perubahan. Namun ia kembali teringat dengan yoongi yang berada di kamar mandi. Gerakan di tubuhnya menimbulkan rasa sakit pada bagian bawahnya. Ia juga tersadar kalau tubuhnya tidak tertutup sehelai benang pun selain selimut tebal. Butuh waktu lama baginya untuk mengenakan pakaian. Kemudian perlahan jimin mendekati kamar mandi dan mengetuk pintunya perlahan. Tidak ada jawaban hingga akhirnya pintu itu terbuka saat ia akan mengetuk kembali. Wajah yoongi terlihat segar namun tidak dengan matanya. Sepertinya dia habis mandi.

"Sudahlah. Aku tidak apa-apa. Kau masih menyimpan bajuku kan? Aku harus mandi dan masak untukmu."

"Apakah kau kesakitan?" Jimin menggenggam tangan yoongi yang menahannya.

Jimin mengecup singkat bibir yoongi dengan bibirnya yang sedikit terluka. Hanya sekedar untuk menghilangkan kekhawatiran lelaki yang masih berstatus suaminya itu.

"Aku sudah tersenyum dan ini berarti aku sudah baik-baik saja."

.

"Yoongi?"

Lamunan yoongi langsung buyar saat namjoon memanggilnya. Lalu segelas kopi sudah diletakkan dimejanya. Yoongi pun menggumamkan terima kasih.

"Bukannya kau ingin libur hari ini karena jimin? Lalu kenapa kau kerja? Wajahmu terlihat kusut sekali."

"Semalam aku menyentuh jimin."

"Lalu?" Namjoon bertanya dengan santai sambil menyeruput kopinya. Dia dan yoongi sudah terlalu dekat untuk menceritakan masalah pribadi masing-masing. Bahkan tentang penyakit yoongi dan hubungan paksaannya dengan jimin pun dia sudah tau.

"Masalahnya bukan aku yang melakukannya. Tapi suga."

"Apa? S-suga? Bukankah- "

"Aku dan chanyeol hyung juga berfikiran seperti itu. Tapi sejak jimin kembali kesini, suga muncul lagi dan menyakiti jimin. Karena itu aku memilih pergi kerja saja daripada menghadapi jimin. Walaupun dia bersikap biasa saja. Rasanya aku ingin membuang wajahku saja."

"Kau harus mencari orangtua kandungmu."

"Bagaimana mungkin? Tidak ada petunjuk sama sekali tentang orangtuaku. Entah mereka masih hidup atau tidak." Yoongi berkata dengan sangat pelan dikalimatnya yang terakhir. Kemudian ia menghela nagas. "Sudahlah. Lebih baik aku makan siang." Ia pun beranjak dari duduknya dan mengabaikan kopinya.

"Appa!"

Sontak mereka menoleh ke asal suara.

"Jimin? Bagaimana kabarmu? Sudah lama sekali. Ini jungkook?"

"Iya. Bukankah dia cantik sepertiku?" Jimin sedikit narsis. "Kookie, itu namjoon samcheon."

Namjoon merentangkan tangannya memberi isyarat agar jungkook mendekat dan jungkook mengerti kode tersebut. Kini ia sudah berada di gendongan namjoon.

"Eomma pernah cerita tentang samcheon yang baik."

"Ah! Tentu saja. Kookie sudah makan?"

Jungkook menggeleng dan namjoon mencubit hidungnya pelan. "Eomma bilang makan siang disini. Dengan appa!"

Yoongi hanya tersenyum tipis dan kini ia mulai fokus kepada jimin yang ternyata sudah berdiri di sampingnya.

"Kau tidak apa-apa?" Tanyanya dengan berbisik dan matanya memperhatikan jimin dari ujung mata sampai ujung kaki.

"Tapi- "

"Appa! Gendong!"

Yoongi hanya bisa menuruti permintaan jungkook. "Apa lukamu baik-baik saja?"

"Tidak sakit lagi appa. Terima kasih. Appa memang hebat!"

Jungkook mengecup pipi yoongi sebagai ucapan terima kasih. Hal itu membuat yoongi terpana sealigus ada perasaan hangat saat jungkook mengatakannya. Dia pun membalas dengan hujanan kecupan di wajah putrinya.

"Hihi...geli appa."

Yoongi memberikan kecupan terakhir di bibi jungkook.

"Appa suapin kookie ya?"

"Tapi ada syaratnya."

"Apa saja akan kookie lakukan."

"Kiss!" Yoongi sedikit memajukan bibirnya dan dengan senang hati jungkook melakukannya. Benar-benar seperti tidak ada perpisahan yang lama diantara mereka. Lalu yoongi duduk di sofa yang berada di tengah ruangan dan memangku jungkook. Membuka satu persatu kotak bekal yang baru saja diletakkan jimin.

"Kookie mau yang ini appa!"

.

Malam ini jimin memilih untuk berada di rumahnya sendiri. Menemani putrinya tidur. Ia pun menatap wajah malaikat kecil itu dengan begitu hangat. Sebuah senyum dan setetes airmata mengalir di pipinya. Perlahan tangannya mengusap helaian rambut-rambut halus rambut jungkook.

"Kau bahkan memanggil appamu saat terluka. Sekuat itukah hubungan kalian?" Jimin menghapus airmatanya yang kembali mengalir. Senyumannya semakin terkembang. "Terima kasih sudah hadir jungkookie. Kami sangat dan akan akan selalu menyayangimu." Terakhir ia mengecup dahi jungkook lama dan kemudian menyelimuti dirinya dan juga putrinya.

.

"Astaga! Kau masih disini?"

"Kau kenapa kembali?" Jawab yoongi dengan acuh karena tengah sibuk dengan lagu ciptaannya yang baru. Entah mengapa sejak kedatangan jimin idenya selalu mengalir berkali-kali lipat sejak kepergian jimin. Walaupun ia tau sekarang sudah lewat pukul sebelas malam.

Namjoon berdecak kesal dan mengambil ponselnya yang tertinggal di depan komputer miliknya yang bersebelahan dengan komputer milik yoongi.

"Sangat ceroboh!"

"Kau selalu menjawab pertanyaan dengan pertanyaan!" Namjoon menjawab tak kalah kesal.

.

Yoongi baru saja sampai diapartemennya saat waktu sudah menunjukkan pukul tiga dini hari. Tubuhnya sudah benar-benar lelah dan hanya satu tujuannya. Berendam di air hangat dan tertidur di bathup atau langsung tidur saja. Tentu seorang yoongi akan memilih opsi kedua bahkan dia tak perlu mengganti baju dan hanya membuka sepatunya.

Pukul tujuh lewat yoongi terbangun dan mendapati pesan masuk di ponsel yang ia letak di samping bantalnya. Hanya ada satu pesan dari jimin. Ia langsung tersadar dan duduk bersandar untuk membaca pesan tersebut walaupun menguap karena masih mengantuk.

Besok kau bisa bertemu denganku di cafe seberang apartemenmu pukul tujuh? Aku mengharapkan jawaban iya darimu.

"Pukul empat?"

Yoongi segera menghubungi jimin.

"Hallo?"

"Kau dimana sekarang?"

"Di cafe."

"Apa?" Yoongi beranjak dari kasurnya dengan ponsel yang masih menempel di telinganya. Melihat cuaca diluar dan ternyata sedang hujan sangat lebat. "Sekarang hujan lebat dan sejak kapan kau disana?"

"Baru sekitar tigapuluh menit yang lalu."

Yoongi memejamkan matanya dan menghela nafas karena sifat jimin yang satu ini. Kenapa masih bisa berkata dengan santai?

"Aku akan menjemputmu."

Tidak ada waktu untuk sekedar mandi. Yoongi hanya mengganti kaosnya dan mengambil hodie hitamnya yang membuat dirinya terlihat seperti anak muda yang belum mempunyai istri dan anak. Namun saat ia membuka pintu, jimin sudah ada di depan apartemennya dengan membawa dua cup yang sangat yoongi kenali dari baunya. Capuccino.

"K-kau..."

"Boleh aku masuk?"

Yoongi seketika tersadar dan mempersilahkan jimin masuk. Hanya terlihat beberapa titik air yang ada dibajunya. Jimin duduk di sofa dan yoongi menyusul di sebelahnya. Dia hanya menatap jimin bingung. Terbuat dari apa dia itu sampai-sampai keadaan seperti ini masih saja terlihat santai. Lamunan yoongi terbuyar saat ada rasa hangat ditangannya.

"A-ah...terima kasih." Yoongi mulai meneguk minumannya yang sudah menghangat begitu juga jimin.

"Yoongi!"

"Ya?"

"Sebenarnya aku tidak ingin pergi."

"Apa maksudmu? Aku memang menyuruhmu pergi bukan?"

Jimin menunduk dan menggeleng pelan.

.

"Jimin?"

"Ya yoongi? Ada apa?" Jimin masih fokus kepada jungkook yang hampir berusia tiga bulan yang masih berada di gendongannya. Peluh sudah membuat bajunya basah. Menidurkan bayi yang rewel menguras tenaga juga. Perlahan ia meletakkan putrinya di box bayi yang sengaja diletakkan dikamar mereka dan ia menghampiri yoongi yang sudah duduk di pingir ranjang menunggunya.

"Apa aku terlihat seperti yoongi?"

"K-kau suga?"

"Benar. Sebenarnya aku ingin mengatakan kepadamu untuk pergi dari kehidupan yoongi."

Jimin menahan emosinya dan menarik suga keluar dari kamar. Dia tidak ingin mengganggu jungkook yang tertidur.

"Apa maksudmu?"

"Aku tau kau ingin membantu yoongi untuk menghilangkanku. Tapi percuma. Kau tidak tau bagaimana pengecutnya dia itu."

"Kau mengatakan yoongi pengecut sementara kau menumpang padanya. Siapa yang pengecut sesungguhnya? ARGH!" Jimin menatap suga dengan marah karena seenaknya saja menggenggam tangannya begitu kuat. "L-lepas!"

"Sekarang kau pilih. Pergi dan aku tidak akan muncul. Atau kau tetap disini begitu juga denganku. Aku yakin kau tidak buta dengan perbuatanku." Suga melepaskan cengkramannya dan meninggalkan bekas kemerahan ditangan jimin.

"Apa kau benar-benar tidak akan muncul kalau aku pergi?"

"Tentu saja. Kau bisa pegang kata-kataku. Tapi jika kau masih kembali, aku akan berbuat lebih dari sekarang."

.

"Tapi selama ini, aku selalu merasa bersalah. Karena aku sudah meninggalkanmu sendirian dan aku juga tidak bisa mempercayai kata-kata suga. Setelah mengetahui kebenarannya, aku menyesal kembali ke sini. Maaf." Jimin hanya menunduk melihat yoongi yang tampak gusar. Perlahan bahunya bergetar dan airmatanya sudah mengenai roknya.

Yoongi masih saja memejamkan mata dan meremas rambutnya. Berkutat dengan pemikirannya sendiri. Saat mendengar isakan jimin yang sebelumnya ditahan, barulah ia kembali fokus kepada wanita itu. Kemudian ia menangkup wajah jimin dan mengusap airmatanya.

"Aku fikir kau akan bersikap santai juga."

"Kau terlihat frustasi. Aku takut." Ujarnya polos dan membuat senyuman yoongi makin terkembang.

"Tenanglah. Aku tidak apa-apa."

"Maaf." Jimin terus menggumamkan kata-kata itu berulang kali dalam pelukkan yoongi.

"Sudah. Aku memaafkanmu. Jangan menangis lagi."

Jimin melepas pelukan dan tersenyum menatap yoongi walaupun matanya yang sembab. "Benarkah?"

"Iya jiminnie. Kau sudah punya anak dan jangan malah bertingkah seperti anak-anak."

"Hehe..."

.

Sepanjang perjalanan menuju rumahnya, jimin hanya termenung melihat keluar mobil. Bayangan wajahnya terlihat oleh yoongi walaupun samar-samar saat ia sekilas melihatnya. Perlahan yoongi menggunakan tangan kanannya untuk menggenggam tangan jimin dan dibawa keatas pahanya. Hal itu membuat jimin tersentak.

"Apa kau sudah menceritakan semuanya padaku?" Tanya yoongi sambil tetap fokus mengemudi. Ia tersenyum pada jimin sekilas.

"Tidak ada hal yang penting." Tepat setelah jimin mengatakan hal itu, mereka pun sampai di rumah jimin. "Kau tidak menemui jungkook?"

"Tidak. Aku harus bekerja lagi."

Cukup! Aku tidak tahan lagi!

"JIMINIE! APA YANG KAU LAKUKAN? KAU MAU KITA MATI HAH? JIMIIINNN!"

Yoongi benar-benar tidak tau harus melakukan apa. Sungguh ia bingung karena jimin berusaha mengambil alih stir dan malah menyebabkan keadaan mobil yang tidak terkendali.

Ckiitt!

Nafas mereka sama-sama terengah setelah mobil itu berhenti di pinggir jalan. Jimin mengabaikan bunyi adu klakson yang berasal dari pengemudi yang kesal dengan perbuatan jimin.

"Ada apa denganmu? Sudah kukatakan kalau ada masalah ceritakan saja."

Perkataan yoongi membuat jimin menunduk dan terisak. Bahkan bahu sempitnya mulai bergetar dan yoongi pun memegang bahunya agar jimin menghadapnya. Namun tangan itu ditepis dengan kasar dan jimin malah meremas leher kaosnya dengan tatapan penuh emosi.

"Jimin kau- "

"SUGA! KELUAR KAU! KEMBALIKAN INGATAN YOONGI! KELUAR SEKARANG JUGA!"

"Kenapa?"

Perlahan cengkraman jimin di bajunya melemah. Ia kembali menunduk dan terisak. Kemudian yoongi menangkup kedua pipi jimin yang sudah basah oleh air mata.

"Ada apa denganmu?"

"Yoongi...kita sudah pernah bertemu. Lima belas tahun yang lalu."

.

.

.

.

.

.

.

Annyeong~~

Apa ada yang masih menunggu ff gaje ini?

Mian karena nggak ngasih keterangan jelas di chapter sebelumnya. Anggap aja yang kemarin itu sebagai prolog. Kenapa nggak ada keterangannya? Karena author lupa. Jadi author mau jelasin kalau ff ini dari awal cuma ada tingga bagian.

5 years ago

the mistery

ending

Jadi chapter selanjutnya adalah endingnya. Tetap tungguin dan jangan lupa review. Ok?

Maaf juga kalau ff ini nggak sesuai dengan ekspetasi kalian.

Annyeong~~