Seperti keindahan sang kupu-kupu yang terbang ke angkasa, sama seperti sulitnya untuk ku gapai sosoknya. Jika seindah ini, dan jika sesulit ini, aku akan berhenti mulai sekarang.

.

.

.

.

.

.

"Karena tanpa Kibum Hyung, sulit untukku mengingat siapa diriku."—Cho Kyuhyun.

"Masalah ini tidak akan berhenti sampai kau sendiri yang menghentikannya. Aku tidak akan melepas genggamanku. Aku tidak akan membiarkanmu kehilangan dirimu sendiri, Kyuhyun-ie."—Cho Siwon.

"Selalu ada sesuatu yang terjadi di keluarga ini, dan sesuatu itu tidak akan pernah berakhir. Aku tidak mengerti mengapa appa seringkali mengatakan itu padaku."—Cho Kibum.

.

.

.

.

.

.

.

.

Siwon memilih opsi terakhir untuk menghilangkan sesak didadanya. Malam dingin kemarin—ketika telinganya seolah-olah kemasukan pasir dan paru-parunya seakan-akan dipenuhi hidrogen—ia memilih untuk mengosongkan pikirannya dengan menikmati pemandangan sang langit hitam.

Malam dingin kemarin, cahaya bulan seakan-akan jatuh dan beterbangan. Langit hitam seperti kanvas kosong, pekat dan tertutup awan. Tidak ada bintang pada malam itu, namun ia dapat menyentuh cahaya.

Rerumputan tampak seperti aurora—cahaya langit timur—yang bersinar di gelapnya malam. Warnanya seakan luntur di udara, menciptakan bayangan kekuningan yang bergelombang tertiup angin. Kunang-kunang bagaikan cahaya yang memiliki jiwa, beterbangan dengan sayap yang berkepak-kepak di udara.

Malam kemarin lebih indah daripada malam yang ia habiskan untuk membaca teori perseids—hujan meteor—di buku jurnal ayahnya. Keindahan pada malam itu mampu menjadi obat untuk hatinya yang hanya bisa didapatkan setiap tahun. Ia bahkan masih mengingat bagaimana rasanya menjadi pinguin di malam hari, berjalan dengan satu tujuan untuk keluar dari tempat penuh manusia. Ia tidak terlalu suka dengan keramaian.

Namun, perjuangannya seakan terbayar. Siwon mencoba merekam semua ini untuk menceritakannya pada seseorang.

Kunang-kunang, Festival Muju, Sungai Namdaecheon, dan kereta bawah tanah.

Siwon menikmati semua keindahan malam itu sendirian. Seolah-olah semua masalahnya telah tenggelam di sungai Namdaecheon, kedua matanya tersenyum ketika memandang ke bawah. Sungai itu bagaikan sebongkah langit yang tergeletak di tanah.

Jika Kyuhyun bersamanya, melihat keindahan malam itu bersamanya, Kyuhyun mungkin akan bertanya, "apa Kibum Hyung bisa melihat semua ini dari jendela kamarnya?"

Untuk apa menjawab jika keajaiban bisa datang kapan saja. Namun, Siwon tahu bahwa keajaiban tidak pernah berpihak kepadanya. Percayalah! Jika pertanyaan itu terlontarkan, Siwon akan terdiam layaknya seorang pencuri yang tertangkap basah. Karena pertanyaan itu terdengar berbeda di telinganya. Semuanya terdengar aneh sehingga telinganya mendengar kalimat lain. Mungkin lebih tepatnya, Kyuhyun akan bertanya, "apa aku bisa melihat semua ini sebelum Kibum Hyung membutuhkan kehidupanku?"

Hanya dengan membayangkan Kyuhyun bertanya seperti itu, Siwon merasa seperti terdakwa yang dipaksa mengakui kesalahannya.

Malam kemarin terasa hampa karena tidak ada yang menggenggamnya ketika berada di kereta bawah tanah-mencoba menahan gravitasi dari getaran kecil yang ditimbulkan oleh transportasi itu. Tidak ada tatapan teduh milik seseorang yang menatapnya penuh harap. Lebih tepatnya, tidak ada Kyuhyun disampingnya.

Tahun ini masuk ke dalam daftar kegagalannya yang kesekian kali, seperti tahun-tahun sebelumnya. Siwon gagal untuk menarik tangan Kyuhyun dan mengajak anak itu pergi bersama melihat kunang-kunang di Muju. Sekali lagi, ia merasa tidak berguna.

"Kau melakukan ini karena siapa?"

Suara itu menyadarkannya dari bayangan dan perasaan sepi semalam. Siwon menggigit pipi dalamnya. Rahangnya mengeras ketika jawaban atas pertanyaan itu seperti duri yang tersangkut ditenggorokan.

Tanpa menjawab, Siwon hanya terus menyemprotkan udara berwarna ke setiap sudut mobil sedan dihadapannya, menyemprotkan asal dengan pikiran penuh. Mungkin kreatifitasnya kali ini akan menimbulkan berbagai pikiran absolut. Contohnya seperti ayahnya yang mungkin akan memukulinya sembari membuka kenangan lama, lalu menghubungkan kenangan-kenangan itu dengan alasan ia dilahirkan. Jika itu terjadi, Siwon lebih baik menghancurkan mobil ini sekalian.

"Aku hanya ingin mengingatkan saja, ini bukan balas dendam yang sesuai, Siwon-ah." Suara batu yang beradu di dalam botol pilox itu menjadi jawaban. Donghae menghela nafas melihat Siwon yang bergeming. Sahabatnya itu memang memiliki mental labil, seperti gelembung sabun yang mudah pecah. Siwon adalah tipe orang yang akan berbalik memukul jika ia dipukul, dan sebaliknya akan melunak jika ada seseorang yang rela berkorban untuk dirinya.

"Kalau maksudmu balas dendam yang sesuai, seharusnya aku menggunting bibirnya. Terlalu berlebihan memakai mulutmu, dapat mengakibatkan hal fatal. Kau sudah tahu itu, Donghae-ya." Siwon menghela nafas, mencoba untuk tetap tenang sebelum botol pilox ditangannya melayang untuk memecahkan kaca mobil ini. Mengingat setiap kalimat yang diucapkan pemilik mobil ini mengenai keluarganya, Siwon harus menghela nafas berkali-kali.

Donghae tertawa kecil. "Kalau kau tertangkap, kau akan jadi kriminal. Kau juga sudah tahu itu, Siwon-ah."

Siwon menoleh. Ia memandang Donghae dengan senyum miring, lalu kembali dengan kegiatan menyemprotkan badan mobil dengan pilox. "Setidaknya menjadi pendonor organ sukarelawan tidak harus memiliki surat pernyataan kelakuan baik."

Siwon terdiam sejenak, menghentikan kegiatannya menyemprotkan pilox berwarna terang mencolok. Ia memandang sejenak hasil karyanya. Merah darah dengan beberapa efek cipratan asal telah tercetak di badan mobil putih bersih itu. Warna abstrak tercampur setelah beberapa warna lain ia semprotkan ke sisi mobil. "Setidaknya aku akan berguna jika aku mati nanti."

Donghae mendecih kasar. Mendengar pengakuan itu, membuat ia ingin sekali tertawa. Sialnya, ia tidak bisa berkata-kata lagi. Siwon memang sudah gila. Terbukti dengan kelakuan pemuda itu saat ini—menggambar dengan asal di badan mobil milik seorang guru yang katanya menyindir keluarganya. Ia sempat mendengar tentang Anak yang Tak Dianggap dan Ayah yang Tak Punya Nurani di tengah percakapan mereka.

Donghae memandang sekitar. Sepi sekali karena jam pelajaran masih berlangsung. Ia tidak ingin membahas tentang Siwon yang mungkin sudah mempunyai kartu pendonor organ sukarelawan. Saat ini, kabur adalah hal yang harus dilakukan terlebih dahulu. "Kalau kau berniat mencari perhatian, aku rasa ini bukan pilihan yang bagus, Siwon-ah."

Siwon memandang Donghae, lalu tertawa kecil. "Aku punya caraku sendiri. Setidaknya aku tidak membuka bajuku di trotoar lalu mencucinya di genangan air."

Donghae mendadak merasa kesal. Ia tidak merasa tersindir walaupun ia pernah melakukan itu. Ya, setidaknya dengan bertelanjang di tengah kerumunan tidak akan merugikan orang lain. Mereka memang anak yang bermasalah dirumah, tapi ia tidak pernah melakukan hal yang merugikan orang lain dan berakhir dengan dirinya yang kesulitan.

"Sudah cukup yang kau lakukan. Kita harus pergi sekarang." Donghae segera mengambil botol-botol pilox kosong yang berserakan ditanah, kemudian kembali memasukkannya ke dalam tempatnya. Ia menggerutu ketika mendengar suara bel istirahat berbunyi. "Seharusnya kau pikirkan dulu akibatnya. Kalau kau memutuskan untuk melakukan ini, kau harus bertanggung jawab, bodoh!"

Siwon bergeming. Suara bel yang memekik tak membuat ia bergerak sedikitpun. Ia terdiam sejenak, menatap kosong jendela mobil yang menunjukkan bayangan wajahnya. Ia teringat akan sesuatu. Setiap peristiwa semalam terlalu membekas sehingga ia hampir terjatuh begitu dalam oleh ilusi optik yang terpampang di Sungai Namdaecheon.

Siwon bahkan menemukan sesuatu yang luar biasa kemarin. Tiga ekor kunang-kunang yang ia bawa bersamanya mampu menerangi kegelapan malam sehingga ia dapat melihat dengan jelas pijakannya di jalanan gelap penuh kebebasan. Hal itu membuat ia meyakini bahwa hal kecil juga penting agar hal besar dapat berjalan dengan baik. "Aku sedang melakukannya. Aku akan bertanggung jawab. Tuhan memang sedang menghukumku."

Donghae menghentikan kegiatannya. Ia menatap Siwon dengan kening berkerut. Sahabatnya itu menatapnya dengan pandangan penuh sekarang, menusuk kedua bola matanya dengan pandangan mata kelam. Itu tanda luka. Tatapan itu melempar tanda bahwa aku ingin berhenti melihat semua ini. Aku ingin mengakhirinya, tapi apa yang harus aku lakukan?

Donghae mencoba menerka-nerka dan membuka mulutnya hati-hati. Pertanyaan ini licin, tapi sempat tersendat di tenggorokannya. "Mereka melakukannya lagi?"

Siwon mengeraskan rahang. Genggamannya yang mengerat menimbulkan efek koyak terhadap botol pilox kosong ditangannya. Langit memang cerah hari ini. Tapi matanya berawan, seolah-olah bersiap untuk meneteskan air hujan. "Kejahatan medis. Kurasa tidak ada yang lebih buruk daripada itu.


.

.

.

.

.

.

Pertama kalinya ia melihat ibunya menangis adalah saat ia berumur lima tahun. Saat itu, ketika matahari baru saja membentuk uap dari embun di antara rerumputan, Eun Hee memandangnya dan memberikannya sebuah kecupan hangat di pipi.

Ketika Kyuhyun bertanya, "ada apa?," Eun Hee memeluknya erat sembari mengatakan, "langit sedang berduka, Kyu-nie akan membantunya, 'kan?"

Sesaat Kyuhyun tak bergerak, hingga pikiran-pikiran absolut mulai menggerayangi. Ketika pelukan itu terlepas dan matanya dipenuhi dengan wajah ibunya, Kyuhyun selalu percaya bahwa apa yang dikatakan wanita itu selalu benar, tanpa harus memeriksa apa yang dikatakannya itu kebohongan atau tidak.

Tatapan ibunya yang basah akan air mata, membuat Kyuhyun berpikir bahwa ia adalah satu-satunya yang bisa membantu. Orang-orang menyebut mereka superhero, karena orang lain tidak bisa melakukan satu-satunya hal yang bisa mereka lakukan.

Kadang-kadang ada hal yang kita lakukan demi kebaikan orang lain. Itu jauh lebih mudah Kyuhyun lakukan daripada mengatakan kebenaran pada diri kita sendiri.

Bahwa pada akhirnya, hari itu adalah pengorbanan pertama yang harus Kyuhyun lakukan seumur hidupnya.

Kyuhyun bahkan masih mengingat dengan jelas semalam, disaat Kibum mengeluarkan cairan merah dari mulutnya. Ia tidak dapat membayangkan seberapa sakit yang dirasakan Kibum jika di bandingkan dengan jarum yang memaksa masuk ke dalam pembuluh vena dan menghisap darahnya siang ini.

Bekasnya masih terlihat, dan mungkin tidak akan hilang hingga akhir hidupnya. Kyuhyun yang tengah demam malam itu, mengharuskannya melakukan transfusi dua kali tepat setelah keadaannya lebih baik. Semua itu ia lakukan bukan hanya sekedar untuk membantu kehidupan Kibum. Semua itu ia lakukan demi meyakini dirinya sendiri bahwa ia masih dibutuhkan. Bahwa ia masih menjadi superhero bagi keluarganya.

Pintu geser yang sedari tadi diam, akhirnya bergerak, bersamaan dengan Younghwan yang keluar dari sana. Kyuhyun mengangkat wajah, memerhatikan ayahnya yang terlihat frustasi dengan mata lelah.

Usapan lembut dan senyuman kecil Kyuhyun dapatkan. Hal itu begitu berharga sehingga senyuman bahagia ia perlihatkan.

Younghwan masih tak dapat melepas senyum ketika tangannya mengusap selai coklat yang mengotori pipi Kyuhyun. Mengingat segala hal rumit yang menimpa keluarganya tanpa henti, menyangkut dengan kebahagiaan dan pengorbanan, ia tak dapat bertahan lama untuk sekedar memandang putra terkecilnya yang masih terlalu dini untuk menjalani semua ini.

Setelah apa yang Kyuhyun dengar barusan, dimana dua puluh menit yang lalu dipenuhi dengan tangisan ibunya dan suara ayahnya yang semakin memberat, Kyuhyun dapat menyimpulkan bahwa perannya sangat dibutuhkan saat ini demi mengembalikan senyum mereka.

Tanpa berkata apapun lagi, ayahnya pergi dengan langkah cepat. Menghilang di belokan lorong dan meninggalkan Kyuhyun sendirian. Ibunya pun tanpa sepatah kata pergi entah kemana.

"Hati-hati, ice cream-mu bisa mencair."

Suara derit di samping kanannya membuat Kyuhyun menoleh. Senyuman simpul ia berikan disaat ia menemukan Siwon disampingnya, menemaninya yang sendirian di bangku ruang tunggu, tepat di depan ruang rawat Kibum.

Siwon memandang sesaat Kyuhyun yang tengah memakan ice cream dengan kaki yang sesekali diayunkan dengan riang. Anak itu seperti sebuah keajaiban. Dia adalah seseorang yang suka membagi senyum, seolah-olah tersenyum itu mudah seperti membagikan permen. Dia adalah seseorang yang layak mendapatkan tongkat ajaib dan mahkota sehingga semua orang akan tahu seberapa banyak keajaiban yang dapat dia ciptakan.

Hari ini total dua luka. Titik itu memang terlihat tidak seberapa. Tapi, keduanya membengkak kebiruan. Siwon dapat menyimpulkan bahwa Kyuhyun melakukan dua kali transfusi, terlihat dengan jelas rona pucat yang masih menghiasi wajah polos itu. "Kyu-nie, maukah pergi bersama Hyung?"

Young Hwan dan Eun Hee sudah menghilang dari pandangan Kyuhyun setelah pembicaraan dengan Dokter Park selesai dua puluh menit lalu. Entah apa yang mereka bicarakan waktu itu. Tapi, Kyuhyun tahu, bahwa kedua orang tuanya bertengkar hebat sehingga ia mendengar sesuatu tentang ginjal rusak dan hancurnya kebahagiaan. Kyuhyun tahu dengan sangat ginjal fiktif yang dimaksudkan kedua orangtuanya adalah ginjal miliknya.

"Kibum Hyung membutuhkanku." Kyuhyun memandang Siwon. "Aku tidak bisa ikut dengan Won-ie Hyung."

Siwon menyadari cahaya yang biasa terlihat berwarna, kini terlihat meredup dan abu-abu. Ia mendengar kalimat lain di nada skeptis itu, mungkin maksud Kyuhyun adalah "Kibum butuh ginjal Kyuhyun, secepatnya. Kyuhyun harus operasi dalam waktu dekat."

Siwon menelan ludahnya sudah payah. Sesaat ia merasa udara sulit untuk di hirup. Paru-parunya terasa panas seiring dengan emosi yang ingin sekali ia luapkan. Kedua tangannya yang terkepal kuat menimbulkan bekas kemerahan di telapak tangannya. Donghae memang selalu mengingatkannya untuk mengendalikan emosi sebisa mungkin dengan menghela nafas perlahan.

Tapi, Siwon tidak pernah tahu bahwa ia sangat membenci orang dewasa, yang mengakui bahwa mereka terlalu benar untuk disalahkan. Terlalu pengecut untuk membentengi masalah. Sehingga mereka diam melihat kesakitan akhirnya sembuh akibat penderitaan sang korban yang tidak tahu apapun.

Siwon dapat merasakan matanya memanas. Ia berjongkok, menyetarakan tatapannya pada mata bulat Kyuhyun. Ia ingin membawa Kyuhyun pergi dari keluarga ini. Ia akan mengorbankan segalanya, pendidikan, masa depannya yang tidak terlalu penting. Siwon hanya tidak ingin orang-orang dewasa egois itu menaruh luka lebih banyak di tubuh adik kecilnya. Siwon tidak ingin itu terjadi semakin jauh. "Sebelum itu terjadi, maukah Kyu-nie ikut dengan Hyung? Kemana saja yang Kyu-nie mau. Ya?"

Kyuhyun menatap penuh Siwon dengan pandangannya yang agak memburam. Entah karena rasa pusing di kepalanya atau embun di matanya yang mulai merangkak naik. Pandangannya memburam. Kyuhyun merasa dadanya sesak. Tanpa sadar menggenggam jari Siwon dengan tangan yang bergetar.

Perlahan bayangan menakutkan bergulir di dalam kepalanya. Kyuhyun memang dapat melewati transfusi pertamanya dengan baik walau ia harus menangis di pelukan Siwon sepanjang hari. Transfusi selanjutnya, ia dapat terbiasa karena keadaan Kibum membuat ia merasa tak pantas untuk menangis. Kyuhyun bisa melewati semuanya selama dua tahun ini.

Tapi, untuk kali ini, bisakah Kyuhyun melewatinya dengan baik tanpa menangis? Apa ia bisa melewati semuanya walau para dokter berencana untuk membuka perutnya?

"Kibum Hyung membutuhkanku. Karena tanpa Kibum Hyung, sulit untukku mengingat siapa diriku, Hyung." Suara tangisan itu berubah terisak. Kyuhyun takut. Sesungguhnya, Kyuhyun takut melewati ini semua.

Terlepas dengan apapun yang mereka lakukan pada Kyuhyun, tindakan mereka perlahan menanamkan kesimpulan tak masuk akal di dalam otak adik kecilnya. Pikiran absolute yang membuat siapapun yang mendengarnya ingin sekali menutup mata dan pura-pura tidak mendengar.

Tapi, Siwon tidak bisa seperti ayahnya yang terlalu pengecut, atau ibunya yang sangat egois. Siwon hanya melihat sisi mana yang menurutnya benar.

Bercak-bercak warna menempel di seragamnya. Bahkan Siwon tidak menyesal sama sekali pagi ini telah merusak mobil gurunya. Tindakan nekat itu ia lakukan untuk memperingati bahwa tidak semua orang bisa menerima apapun yang orang lain katakan.

Bahkan Siwon tidak menyesal walaupun ia harus menerima surat skors selama satu minggu dan hukuman membersihkan sekolah selama sebulan. Ia tidak peduli jika Younghwan sudah mengetahuinya atau belum. Ia tidak peduli kalau ayahnya akan kembali memukulnya nanti. Selama perbuatan dari mulut yang merendahkan ia dan keluarganya terbalas dengan tindakannya sendiri, ia puas.

"Masalah ini tidak akan berhenti sampai kau sendiri yang menghentikannya. Aku tidak akan melepas genggamanku. Aku tidak akan membiarkanmu kehilangan dirimu sendiri, Kyuhyun-ie. Kau berhak untuk menolak mereka. Jadi, pergilah bersama Hyung."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Ujung malam yang semakin dingin dan gelap, membuat Eun Hee mengeratkan selimut yang tersibak karena tidur gelisah itu. Tangannya yang bergerak perlahan dan lembut mengusap keringat yang membasahi kening Kibum.

Demam di malam hari. Tentu hal ini sudah sangat terbiasa bagi Kibum. Tapi, tak pernah sekalipun Eun Hee terbiasa pada goresan kesakitan yang Tuhan berikan pada anaknya.

Kibum pun yang mengajarinya, bahwa tidak selamanya kita harus tersadar untuk menangis. Karena setiap kali demam itu menyiksa anaknya, rintikan embun air jatuh dari ujung mata Kibum kala terpejam.

Seharian ini Kibum tertidur. Tepatnya setelah pendarahan di mulutnya terjadi kemarin malam. Teriakan Kyuhyun bahkan masih terdengar jelas di telinganya, menyisakan kepanikan yang masih terasa hingga saat ini.

Malam ini mungkin Eun Hee tidak akan bisa tertidur. Karena kemungkinan Kibum akan bangun sebentar lagi. Keheningan di kamar VIP ini seakan memiliki suara. Suara-suara di hatinya yang tengah bergejolak untuk menolak dan menyerah. Namun, gejolak dalam hatinya yang egois dan mempertahankan Kibum semakin bertumbuh seiring waktu.

Komitmen itu bukan main-main. Perjanjian. Pengorbanan. Juga rencana yang memang sudah sejak awal menjadikan benteng pertahanan keluarga ini agar tetap satu tujuan. Eun Hee tidak bisa menoleh kebelakang dan mundur lagi. Semua ini sudah selangkah maju hingga dapat menjadikan mereka keluarga yang utuh tanpa ada ikatan rumah sakit.

Kibum harus sembuh.

Tujuan itu adalah tujuan utamanya.

Perlahan telapak tangannya yang bebas merasakan kehangatan yang lembut. Eun Hee tersadar dari lamunannya ketika Kibum membuka mata dan menggenggam tangannya. Bola matanya yang berwarna hitam dengan bayangan coklat di tengahnya, membuat Eun Hee terkadang teringat akan seseorang yang pernah hidup di hatinya.

Usapan lembut Eun Hee berikan, seolah mengatakan bahwa ia ada disini, terus ada disampingnya. "Bum-ie butuh sesuatu?"

Gelengan kepala kecil membuatnya mengerutkan kening. Eun Hee mengecek suhu Kibum dengan termometer di meja nakas. Demam Kibum turun.

"Eomma." Kibum mengedarkan pandangan. Mencari sosok Kyuhyun yang mungkin ada di dekat pandangannya. Kibum merindukan adik kecilnya. Semalam ia sempat mengetahui bahwa Kyuhyun demam. Bahkan sebelum ia dapat melaporkan pada kedua orang tuanya, ia sudah pingsan duluan. "Dimana Kyu-nie, eomma?"

Eun Hee menyalakan lampu tidur dan mengupas apel dengan bantuan cahaya remang itu. "Kyuhyun pulang bersama Siwon tadi siang. Bum-ie bisa bertemu Kyuhyun besok siang, ya?"

Kibum mengangguk. Hingga hening sesaat. Kibum menggigit bibir bawahnya. Perut dan pinggangnya sedikit sakit. Ia mungkin sudah menelan cukup banyak obat untuk mengurangi rasa sakitnya, tapi masih tersisa rasa sakitnya walau sedikit.

"Bum-ie tahan sebentar lagi, ya? Sebentar lagi Bum-ie akan sembuh." Usapan hangat itu menenangkannya. Kibum percaya bahwa ibunya tidak akan menyerah padanya. Kibum hanya perlu bersabar. Eun Hee bilang bahwa ia sudah dapat pendonor. Tentu saja Kibum sangat senang sekali. Jika ia sudah sehat, ia bisa bermain leluasa dengan Kyuhyun, jalan-jalan bersama Kyuhyun, menghabiskan waktu dengan adik kecilnya.

Kibum tersenyum tanpa sadar hanya karena membayangkannya. Tapi, senyum di bibirnya seketika hilang mengingat suatu hal. Ayahnya dan juga Siwon. Entah kenapa mereka masih belum bisa menatapnya dengan tatapan kasih sayang. Hal itu selalu membuat Kibum merasa sangat sedih dan berbeda.

"Eomma." Kibum memandang ibunya. Pantulan mata yang sedikit sipit itu sangat mirip dengannya. "Selalu ada sesuatu yang terjadi di keluarga ini, dan sesuatu itu tidak akan pernah berakhir. Aku tidak mengerti mengapa appa seringkali mengatakan itu padaku. Apa maksudnya, eomma? Apa yang tidak akan pernah berakhir?"

Eun Hee meletakkan garpu yang ia genggam dengan sedikit ceroboh. Tangannya yang tiba-tiba licin membuat garpu itu jatuh. Menimbulkan suara detingan keras di malam sunyi ini. Fakta mengenai Kibum yang tidak tahu apapun, perihal masalah yang berakar di keluarganya, dibalik pendonor Kibum, hingga komitmen yang di bangun antara Younghwan dan dirinya. Kibum tidak tahu apapun. "Ayahmu hanya sedang sibuk dengan perusahaannya. Tidak ada yang perlu di khawatirkan."

Eun Hee tidak akan mengatakan yang sebenarnya pada Kibum sebelum semua ini berakhir. Ada dua alasan mengapa ia tidak bicara jujur—karena kebohongan akan membuatnya mendapatkan apa yang ia mau, dan kebohongan akan membuat Kibum tidak terluka.

.

.

.

.

.

.

Hehe. Maap ya