Jimin terbangun ketika ia mendengar pintu yang dibuka mengeluarkan geritan samar, Jungkook masuk sembari menggerakkan kepalanya kiri-kanan. Kalau saja Jimin tidak merasa Jungkook menekan pundaknya pelan, mungkin ia sudah segera bangkit.

Meski tidak bangkit dari duduknya, kepalanya berkunang-kunang. Ia kaget sekali ketika melihat Jungkook masuk dan ia dalam posisi tertidur.

"Konserku sudah selesai."

Satu kalimat Jungkook membuat Jimin mengigit bibir, ia yakin Jungkook akan mencacinya, "Maaf aku tertidur. Aku lalai. Kau boleh potong gajiku." Ucapnya penuh sesal.

Jimin ingin sekali bertanya mengapa tidak seorang pun membangunkannya namun ia urung, takut Jungkook akan meledak di saat ia sedang tidak ingin seorang pun memarahinya. Tubuhnya sungguh sedang tidak enak, orang-orang terdekatnya mungkin tahu ia jadi manusia paling manja saat sedang tidak enak badan, namun mungkin Jungkook tidak. Jadi Jimin memilih untuk diam.

"Aku yang sengaja membiarkanmu tidur." Ucap Jungkook dingin.

Ucapan Jungkook membuat Jimin terheran.

Namun sejurus kemudian ketika ia hendak bangkit dan membenahi peralatan make upnya yang berantakan, Jungkook menahan bahunya lagi, "Kau diam saja. Biar yang lain yang bereskan, kita sedang berpesta di backstage sembari menunggu seluruh fans pulang jadi kau bisa tidur sebentar lagi."

Jimin membuang napas keras, "Maafkan aku."

Jungkook mengeratkan sebelah tangannya yang memegang sekantung plastik di balik punggung, "Berhenti minta maaf," ia menyodorkan plastik itu, "ini." Sambungnya.

Jimin menautkan alis melihat Jungkook menyodorkan plastik berisi susu rasa pisang dengan beberapa tangkai anggur dan roti bertabur abon sapi, "Makan. Sepertinya kau belum makan sampai pucat begitu."

Jimin mengakui ia belum makan apapun karena mual yang menyerangnya, "Aku bisa muntah." Desau Jimin.

"Ada beberapa obat. Kau minum saja mana yang kau butuhkan." Ucap Jungkook sembari membalik kantung berisi rotinya, mempertontonkan plastik bening lain yang berisi berbagai macam obat.

Jungkook yang meminta salah seorang staff untuk membeli berbagai macam obat ke apotik tadi, ia juga yang memintanya membeli roti dan susu juga buah kesukaannya. Jungkook tidak peduli susu apa yang Jimin suka, buah apa yang paling digemarinya atau roti yang selalu dimakannya. Awalnya ia tidak berpikir sampai sejauh itu, namun melihat Jimin terdiam dan menatap makanan yang dibawanya tanpa minat membuat Jungkook merasa kesal. Bukan salahnya bukan kalau ia tidak tahu?

Sudah bagus ia mau repot-repot meminta staff membelikan semua itu untuk Jimin di tengah konser yang harus lebih dipikirkannya, namun reaksi Jimin malah datar seperti itu. Membuat Jungkook semakin kesal saja.

Tidak kunjung mendapat respon, Jungkook meletakan semua plastik itu di sisi Jimin dengan terburu, "Makan saja walau kau tidak suka. Aku mau pesta."

Jimin mengangguk, "Terima kasih banyak." Ucapnya. Sungguh bukan ia tidak suka dan bersikap tidak sopan, hanya saja mual memangkas habis nafsu makannya.

Pintu ditutup dan sosok Jungkook menghilang di baliknya. Jimin melirik obat yang dibawa oleh Jungkook, bahkan tanpa membuka plastiknya ia bisa melihat ada banyak sekali obat di sana. Obat sakit kepala, diare, bahkan hingga obat tetes mata. Jimin terkikik kecil, sadar bahwa Jungkook pasti meminta seseorang untuk membeli obat tanpa memberitahu obat apa yang harus dibelinya.

Tunggu, mengapa Jimin bisa berpikir Jungkook yang meminta siapapun itu untuk membeli obat? Bisa jadi itu Seokjin yang memang bertanggung jawab pada timnya atau juga Luhan yang lebih perhatian pada orang lain.

Benar, tidak mungkin orang seperti Jungkook melakukan hal seperti itu.

Park Jimin, apa kau yakin?

x

x

I'M NOT HIM

Chapter 8: Sick

(BTS Fict, AU, OOC, JiKook/KookMin, VKook, VMin friendship, BxB, typos)

(Tokoh bukan milikku. Aku hanya mengklaim plot dan cerita ini saja. Aku memakai Bangtan sebagai tokoh karena kekagumanku pada mereka. Oh iya, buat yang menunggu moment JiKook/KookMin, bersiaplah untuk gemay saat membaca ch ini. Aku aja ngetik sambil gigit jari, astaga gemaaaay angedh/alay!)

Happy reading!

x

x

Tidak ada 10 menit sejak pintu ditutup, Jimin terperanjat karena Jungkook masuk dengan terburu―lagi. Menatap Jimin tajam dan mendesis, "Belum dimakan juga?"

Jimin menggeleng, matanya merah dan basah. Jungkook jadi merasa bersalah. Mungkin tidak seharusnya ia menatap Jimin setajam tadi.

"Tidak mau makan yang itu?" Tanyanya kemudian. Lebih halus.

Jimin membuka plastiknya dan memetik dua buah anggur untuk dimakan, "Mau."

Jungkook mengamatinya, "Kau harus minum obatmu. Aku tidak mau kau makan gaji buta di fan meetingku lusa."

Jimin mendecak, bahkan di saat ia sakit pun Jungkook tidak bisa bersikap baik. Benar-benar menyebalkan, "Aku mengerti." Balasnya enggan.

Jungkook mendekat ke arah Jimin, membuka plastik berisi obat dan mengamatinya satu persatu, "Apa yang kau rasakan sekarang?"

"Pusing, mual dan panas."

Jungkook ingin memaki staff yang tadi dimintai tolong olehnya, bagaimana bisa orang itu lupa membeli obat penurun panas untuk Jimin?

"Kau minum saja ini," Jungkook menyerahkan sebutir obat sakit kepala, "dan tidur. Pesta masih berlangsung."

Jimin manggut-manggut saja. Jungkook membantunya membuka botol tutup air mineral karena Jimin yang kepayahan melakukannya, tenaganya seolah menguap begitu saja. Dan fakta bahwa Jungkook lah yang membantunya membuat Jimin sebal, sungguh ia masih teringat pada kejadian tempo lalu. Kejadian yang membuka luka lamanya yang belum pernah sembuh itu.

Setelah meminumnya Jimin menyamankan posisinya di sofa, "Nanti bangunkan aku kalau kalian mau pulang."

"Tidak mau, biar saja kau di sini sampai besok."

Jimin mengerang sebal dan Jungkook tertawa kecil, suara tawanya membuat Jimin berpikir bahwa Jungkook seperti adik yang manis. Andai saja Jimin tidak melihat wajah menyebalkannya atau mendengar suara yang keluar dari mulutnya selain suara tawa karena sungguh, Jungkook itu sinonim dari kata menyebalkan, sungguh Jimin tidak bohong.

Namun apa yang Jungkook lakukan membuat Jimin sedikit terenyuh, Jungkook membuka jaket yang dikenakannya dan menutupi tubuh depan Jimin menggunakan jaket itu. Seolah tahu Jimin merasa seperti nyaris mati kedinginan.

Jungkook tersenyum separuh, Jimin sudah hampir mengucap terima kasih andai saja ia tidak menahan diri dan mendengar Jungkook berujar tanpa beban, "Agar kau semakin tidur dengan nyenyak dan kami bisa meninggalkanmu tanpa takut ketahuan." Ia mengakhiri ucapannya dengan tawa gemas yang begitu lepas.

Dia menyebalkan bukan?

Lalu Jungkook pergi.

Dan tidak ada 10 menit sejak ia menutup pintu, ia kembali membukanya. Membuat Jimin yang sudah hampir terlelap tersadar kembali. Ia mengerang sebal. Tidak bisakah Jungkook berhenti mengganggunya?

Jadi ia memutuskan untuk berpura-pura tidur.

"Jimin?" Panggil Jungkook.

Jimin mendengar suara langkah kaki yang mendekat dan napas yang terengah. Entah mengapa semua itu membuat jantungnya berdebar terpicu adrenalinnya sendiri.

"Hei, Jimin? Kau sudah tidur ya?"

Ingin rasanya Jimin bangun dan berteriak, Tentu saja aku sudah tidur, Bodoh! Kalau tidak aku pasti sudah menjawab panggilanmu.

Dan beberapa detik setelah pemikiran itu menghampiri otaknya, Jimin sadar yang bodoh itu dia. Untuk apa ia pura-pura tidur segala?

"Jimin?" Kali ini Jimin merasa Jungkook memegang pipinya, lalu tangannya naik ke kening dan turun ke lehernya.

Berkali-kali menempelkan punggung tangannnya ke bagian tubuh Jimin sebelum ia berbisik lirik, "Ya Tuhan, dia panas sekali."

Jimin mendengar suara seperti suara kertas yang dirobek, lalu ia merasa sesuatu menyingkirkan poninya yang sudah memanjang dan untungnya ia sudah mengecat warna silver memalukan dengan warna cokelat madu sekarang.

Ia merasa ada benda dingin yang ditempelkan di keningnya. Tanpa membuka mata, Jimin tahu itu adalah plester penurun panas. Dingin dan aroma mint samar yang membuat Jimin yakin.

"Dia sudah tidur, ya? Sial. Padahal aku sudah berlari secepat mungkin." Ucap Jungkook pada dirinya sendiri.

Jimin merasa ucapan Jungkook sedikit menohoknya. Apakah Jungkook memang peduli pada keadaannya? Mungkinkah suara napas terengah itu karena Jungkook berlari untuk membeli plester penurun panas untuknya? Rasanya Jimin jadi ingin berterima kasih.

"Cepat sembuh, Jim. Dasar merepotkan." Jungkook terkikik di akhir kalimat.

Tolong tarik ucapan Jimin, ia tidak mau berterima kasih. Jungkook tetap saja Jungkook, kapan sih pria itu tidak menyebalkan?

Satu sentuhan Jungkook daratkan di atas plester penurun panas, ditekan lembut dan Jimin merasa wajahnya semakin panas saat mendengar bunyi memalukan itu. Tepat ketika sentuhan itu hilang dan deru napas Jungkook terdengar dua kali lebih cepat.

Jungkook mengecupnya.

Meski terbatas plester penurun panas, meski terbatas poninya yang menjuntai menutupi kening. Meski begitu, Jimin mampu merasakan sentuhan itu teramat jelas. Seolah Jungkook mengecupnya dengan segenap kesungguhannya.

Suara pintu yang ditutup membuat Jimin membuka mata dan meraba keningnya. Ada plester yang tertempel di sana. Ada kertas pembungkus plester tercecer di lantai. Ada jaket Jungkook yang masih menutupi tubuhnya dan Jimin merasa ada yang tidak benar di sini.

Aroma parfum Jungkook yang tercampur bersama keringat yang tertinggal di jaket milik Jungkook membuat kepala Jimin semakin terasa pening dan entah mengapa jantungnya berdebar kencang. Obat dan plester penurun panas sepertinya tidak membantu banyak, Jimin pikir.

Atau barangkali semua itu karena sesuatu yang lain.

x

x

x

Luhan berjalan sembari menyeret beauty case yang seharusnya Jimin bawa sementara Jimin nampak tertidur nyenyak dalam gendongan Jungkook yang membopongnya ala pengantin.

"Dia tadi memintaku menemaninya berlari ke apotik di dekat jalan raya hanya untuk membeli plester penurun panas untuk Jimin padahal setengah jam lagi kan kita pulang." Gerutu Namjoon.

Seokjin mengelus bahu Namjoon, ia tahu Namjoon tidak suka berlari, "Dia terlalu khawatir sakit Jimin akan bertambah parah."

Luhan setuju, "Yeah, dia bilang tidak mau membuat Jimin makan gaji buta."

Mereka berjalan seperti kawanan bebek, seorang petugas keamanan merangkap sopir pribadi di depan, Namjoon dan Seokjin di belakangnya berjalan bersisian. Luhan di tengah. Jungkook yang menggendong Jimin di belakang dan di akhiri oleh satu petugas keamanan lainnya. Sedangkan Seokjin, Luhan dan Namjoon dari tadi berbicara berbisik-bisik seolah takut Jungkook mendengarnya.

Padahal Jungkook memang mendengarnya.

Demi Tuhan, jarak mereka tidak sampai satu meter dan mereka berbicara dengan bisikan yang bisa didengar 3 meter ke belakang. Jungkook pikir mungkin Hyung-hyungnya sengaja atau bisa jadi mereka semua memiliki gangguan pendengaran kembar tiga. Tidak ada yang bisa menjamin bukan?

Jungkook menunduk melihat Jimin yang tertidur pulas seolah obrolan mereka atau gerakan langkah Jungkook tidak menganggu tidurnya. Jungkook pikir, mungkin Jimin tidur nyenyak karena obat yang diminumnya mengingat sebelumnya anak itu tertidur dengan raut tidak tenang dan kening berkerut-kerut.

"Dasar kejam." Komentar Namjoon.

"Kau seperti tidak tahu Jungkook saja, kapan sih dia tidak kejam?" Balas Seokjin.

"Yeah, tapi sekarang dia menggendong Jimin dengan alasan tidak mau membangunkan tidurnya. Kurasa itu tindakan yang cukup terpuji, setidaknya dia tidak seratus persen tega pada orang yang sedang sakit." Luhan mencoba membela.

Jungkook tidak tahan lagi mendengarnya.

Ia mengeratkan tangannya pada bahu dan paha Jimin, menyangganya lebih kuat dan mempercepat langkahnya―nyaris berlari, "Aku tidak kuat lagi, anak ini berat sekali." Dustanya.

Dan meninggalkan Hyung-hyungnya yang menatapnya dengan pandangan heran, sopir pribadinya mengikuti gerakan Jungkook yang setengah berlari hingga membuat Jimin terguncang-guncang dalam gendongannya. Tengkuk dan telinga Jungkook merah padam, Seokjin pikir, mungkin Jungkook tertular demam.

"Kasihan sekali Jimin," bisik Luhan, "kalau aku jadi dia pasti aku sudah terbangun sejak tadi. Mungkin dia tidak seratus persen kejam, tapi mungkin sembilan puluh tujuh persen, yeah. Setidaknya masih ada tiga persen tersisa."

Dalam hati, Namjoon menyetujui.

x

x

x

Entah mengapa Jungkook membawa Jimin ke kamar hotelnya. Seharusnya ia tidur sendiri dan kamar Jimin dan Luhan tepat ada di kamar sebelum kamarnya dan Seokjin dengan Namjoon tepat setelahnya.

Katakanlah ia bodoh dengan beralasan tidak ingin membuat Luhan tertular Jimin dan akhirnya 2 orang staff terpentingnya sakit, dan mungkin Luhan juga bodoh dengan mengiyakan. Atau barangkali Jungkook yang tidak sadar Luhan mengiyakan sambil mengulum senyum. Entah siapa yang bodoh di sini.

Pada akhirnya Jungkook hanya mengamati Jimin yang tertidur di kasurnya. Ia terlalu berdebar untuk tidur atau sekedar duduk di kasurnya karena ada Jimin di sana. Dan Jungkook yakin debaran anomali itu pasti karena ia merasa jijik atau takut tertular Jimin yang tengah menjelma menjadi makhluk panas berwajah merah dengan ingus mengumpul di hidungnya, plus menggemaskan. Tunggu. Apa yang baru saja dipikirkannya?

Jungkook menggeleng.

Segera ia mengambil kain setengah kering yang ada di kening Jimin, memasukkannya pada mangkuk besar berisi air hangat dan minyak esensial. Memerasnya kuat-kuat sebelum meletakannya di kening Jimin.

Ia tersenyum kecil, tanpa sadar ia menuruti hatinya untuk duduk di lantai dengan sebelah tangan mengelusi alis mata Jimin. Berharap dengan begitu tidur Jimin akan lebih pulas dan demam sialan itu berhenti menganggu Jimin.

Ah, Jungkook merasa seperti ia sungguh manusia sekarang ini.

Ia melakukan kegiatan itu berulang-ulang hingga tanpa sadar ia tertidur.

Entah pukul berapa Jimin akhirnya terbangun dan berpikir untuk apa ada Jungkook di kamarnya, namun ketika ia mengedarkan pandangan ke sekeliling dan melihat tidak ada ranjang lain di ruangan itu, ia sadar ini bukan kamar hotel di mana ia seharusnya tidur bersama Luhan.

Ia melihat Jungkook tertidur dengan posisi badan terduduk di lantai sementara dadanya melekat ke pinggiran kasur dan tubuhnya melengkung seolah mencari kehangatan.

"Kenapa kau menjagaku?" Bisik Jimin dengan jemari mencoba menyingkirkan poni Jungkook yang menutupi keningnya. Ia melihat wajah itu lelah, Jimin tahu benar Jungkook pasti lelah dengan kegiatannya.

Ia punya waktu satu hari untuk beristirahat sebelum mengadakan jumpa fans dan malam harinya justru ia habiskan dengan menjaga Jimin, Jimin merasa tidak enak hati. Ia menyingkirkan kain putih yang ada di atas keningnya.

Badannya terlalu lemas untuk bisa membawa Jungkook ke atas ranjang meski ia sendiri tahu ia mampu melakukannya jika keadaannya sedang sehat-sehat saja. Maka ia membawa membawa selimut yang menutupi tubuhnya dan ketika itu pula ia sadar ia mengenakan pakaian hangat Jungkook sebagai pakaian luar dari kaus yang dipakainya.

Dengan perlahan ia turun dari ranjang, membawa selimut itu untuk menutupi tubuh Jungkook yang kedinginan sebelum ia menyelusup masuk ke dalam selimut yang sama. Duduk di lantai yang sama, ia berjengit karena lantai yang dingin mengenai kaki telanjangnya. Sebelum ia akhirnya mencoba menyamankan diri, duduk nyaris memeluk lutut seperti Jungkook dengan arah tubuh berlawanan, saling memunggungi.

"Aku tahu diri, kau tidur di lantai, aku juga. Mana bisa aku tidur di atas kasur kalau kau kedinginan di bawah sini, dasar penyanyi gila. Harusnya kau tidur di atas saja jadi aku bisa nyaman tidur di atas kasur bukan menemanimu tidur di lantai begini." Gerutu Jimin sembari mencoba memejamkan matanya.

Halus dengkuran Jungkook menjadi lagu pengiring lelapnya.

x

x

x

Seokjin menekal bel pintu kamar Jungkook berulang-ulang, namun Jungkook tidak kunjung membuka pintu. Seokjin sungguh semakin khawatir, bagaimana kalau terjadi sesuatu hal buruk di dalam sana?

"Hyung, berisik sekali."

Seokjin menoleh, mendapati Namjoon masih mengenakan piamanya dengan mata separuh terpejam berdiri di depan pintu kamarnya.

"Jungkook tidak mau buka pintu." Ujar Seokjin gusar.

"Astaga, Hyung, biarkan saja mereka sedang bersenang-senang."

Ucapan Namjoon membuat telinga Seokjin berkedut, "Apa maksudmu?"

Namjoon menutup mulut. Ia lupa bahwa Seokjin sudah seperti induk ayam dan Jungkook adalah anak ayam itu, ia galak sekali menyangkut tentang apapun kemungkinan yang bisa membuat Jungkook terluka.

"Tidak, aku tidak bermaksud apa-apa."

"Namjoon!" Pekik Namjoon ketika Namjoon bergegas masuk dan menutup pintu, membuat Seokjin semakin kesal saja.

"Anak itu, apa ia benar assistant manager? Yang benar saja." Gerutu Seokjin sembari bersiap menekan bel pintu sebelum ia mendengar suara pintu kamar Luhan terbuka dan Luhan dengan wajah 'tak jauh berbeda dengan Namjoon mengacungkan sebuah kartu.

"Jungkook menipitkan passcardnya padaku," ia menguap lebar, "jaga-jaga kalau ia sulit dibangunkan."

Seokjin mengambil kartu itu, nyaris merampasnya sambil mendengus, "Kenapa tidak bilang dari tadi?"

Pintu kamar hotel ini memang memiliki sistem keamanan pintu menggunakan kartu, jika kau berada di dalam kau bisa membuka pintu tanpa kesulitan sedangkan jika berada di luar kau harus mengetap kartu itu di tempat yang sudah disediakan di sisi kiri pintu. Kuncinya pun bersifat otomatis, setiap pintu tertutup, pintu itu akan langsung mengunci sehingga orang dari luar tidak bisa membukanya tanpa bantuan kartu pass itu.

"Seperti yang Namjoon bilang, biarkan mereka bersenang-senang."

"Apa maksud―"

"Bye, Hyung. Jangan bangunkan aku sebelum jam makan siang ya."

Belum sempat Seokjin menanyakan apa maksud dari ucapannya, tubuh Luhan sudah masuk ke dalam pintu.

"Apa-apaan mereka itu?" Gerutunya sembari mengetap kartunya.

Ketika bunya peep terdengar dua kali, ia mendorong pintu dan mendapati pemandangan yang tidak biasa.

Di bawah sana, dengan selimut yang menggulung di ujung kaki, Jungkook tidur sembari memeluk tubuh Jimin erat di dadanya.

"Jeon Jungkook!" Teriaknya nyaring.

x

x

x

"Dia kenapa sih?" Tanya Luhan sembari menyenggol bahu Jimin melihat Seokjin yang terlihat selalu membuang muka.

Jimin diam menunduk sembari menggaruk tengkuk.

"Sedikit salah paham kurasa." Bisik Namjoon meski ia tidak ditanya.

Makan siang mereka terkesan canggung, Seokjin membuang muka ke arah samping sedangkan Jungkook terlihat sibuk dengan ponselnya. Jimin lebih senang menghitung jumlah debu atau mungkin bakteri di lantai dan Namjoon juga Luhan dibuat terheran-heran.

Seokjin masih kaget, sungguh. Tidak menyangka Jungkook yang kejam itu berakhir tidur memeluk Jimin di lantai. Bukan karena pakaian Jungkook yang dikenakan Jimin yang membuatnya bespekulasi macam-macam, namun justru ―Jungkook yang memelototinya sembari mengerucutkan bibir seolah menyuruhnya diam melihat Jimin bergerak tidak nyaman di dalam pelukan Jungkook―lah yang membuatnya kaget.

Seokjin bersumpah ia melihat Jungkook yang terkaget namun melepaskan pelukannya pada Jimin perlahan dan segera berdiri sebelum berteriak memarahi Jimin yang tertidur dan akhirnya terbangun dengan wajah tanpa dosa. Tidak mengerti mengapa pagi harinya ia mendapati Jungkook marah-marah dan Seokjin menatapnya dengan mata membulat.

Jimin sempat menduga, apakah air liurnya mengenai pakaian Jungkook ataukah ia tertidur dengan kaki berada di atas kepala Jungkook sehingga Jungkook berteriak marah padanya.

"Sial, aku pusing sekali." Erang Jimin.

Namun erangannya sampai ke telinga Jungkook, "Kau masih pusing? Seokjin Hyung akan mengantarmu ke rumah sakit."

Jimin semakin ingin membenturkan kepalanya ke dinding. Sungguh ia tidak mengerti apa yang ada di kepala Jungkook, tanpa sebab memarahinya, membuatnya sebal, membuatnya sedih lalu tanpa sebab pula ia bersikap baik, mengkhawatirkannya, bahkan menjaganya.

Apa Jungkook punya kepribadian ganda?

Sial, bahkan Jungkook yang menatap Jimin dengan sorot khawatir itu membuat kepalanya makin pusing. Ada apa dengan anak itu? Kenapa bahkan ia tidak sadar ialah salah satu penyebab pusing yang dirasakan Jimin semakin menjadi-jadi.

"Jimin?" Panggil Jungkook.

"Panggil aku, Hyung, bocah," desis Jimin, "aku lebih tua darimu."

"Persetan," Jungkook menjawab dengan desisan pula, "aku bertanya apa kau masih pusing?"

Luhan mengelus pundak Jimin, "Kook, jangan terlalu keras pada Jimin." Katanya membela.

"Nanti dia jadi lembek kalau tidak dikerasi." Jungkook menjawab cepat.

Luhan menimpali 'tak kalah sengit, keduanya terlibat perdebatan yang membuat Namjoon berusaha memperingatkan bahwa mereka tengah berada di tempat umum sedangkan Seokjin memijat pelipisnya sendiri.

"Aku baik-baik saja, oke? Hanya butuh tidur sedikit lagi." Jimin berucap sembari bangkit dari duduknya dan segera berjalan menuju lift.

"Haaah, kenapa malah jadi begini?" Desah Namjoon frustasi.

Seokjin masih mencoba mengerti jalan pikiran Jungkook.

x

x

x

Mini konser dan fanmeeting Jungkook terus berlanjut. Hingga akhirnya mereka sampai pada konser terakhir di Seoul.

Jimin sudah membaik, demamnya sembuh dengan cepat karena pada malam harinya Namjoon dan Luhan menyeretnya ke rumah sakit.

"Haaah, lega sekali rasanya." Erang Luhan sembari menyandarkan tubuhnya di kursi, "ini mini konser terakhir. Satu bulan yang melelahkan."

Beberapa staff yang berada di bawah komandonya terlihat tengah menyiapkan kostum Jungkook untuk penampilan selanjutnya, beberapa staff tata rias yang ada di bawah komando Jimin terlihat merapikan peralatan make up mereka.

Namun di mana Jimin?

Jungkook sudah mulai dengan konsernya, Namjoon turut menemaninya di atas panggung sementara Seokjin 'tak hentinya mengawasi dari belakang panggung. Jimin pun sama, ia bersiaga di backstage dengan holder brush di pinggangnya dan beauty case kecil di tangannya.

Kurang dari satu minggu lagi 3 bulan pertamanya dengan Jungkook akan berakhir yang artinya ia bisa mendapatkan gaji pertamanya, tunai selama 3 bulan. Jimin senang karena artinya ia bisa mengganti tabungannya yang terpakai dan membeli beberapa gaun untuk ibunya di Busan atau juga kemeja kerena untuk Taemin, kakaknya. Hanya saja ia pun sedikit bimbang. 3 bulan pertama habis artinya ia bisa mempertimbangkan kontrak kerjanya bersama Jungkook setelah melewati masa adendumnya.

Satu sisi ia ingin berhenti. Cukuplah uang yang diterimanya dari Jungkook nanti, ia bisa memutuskan untuk segera hengkang dan mencari perkantoran lain yang membutuhkan keahliannya di bidang akuntansi.

Hanya saja ia bimbang. Sangat.

Bisa dibilang ia terlalu nyaman dengan keadaannya yang sekarang, dikelilingi oleh orang-orang baik―minus Jungkook tentunya― dan juga bekerja dengan benda yang biasa dipegang wanita yang awalnya justru dibenci wanita namun kini berhasil dinikmatinya.

Lamunannya terhenti ketika Jungkook turun, beberapa MV diputar di layar LCD besar sementara beberapa staff Luhan mulai melepas pakaian yang melekat di tubuhnya. Jungkook basah sekali, keringat di sekujur tubuhnya.

Jimin selaku MUA Jungkook segera menempelkan tisu di kening, leher serta tengkuk Jungkook. Jemarinya yang lain menempelkan tisu di pipi dan wajah Jungkook yang dipulas make up natural.

"Lelah, eh?" Goda Jimin mendengar napas Jungkook yang memburu.

Seokjin menyodorkan air mineral yang segera Jungkook minum dalam hitungan detik saja, "Sudah tahu banyak tanya."

Jimin melipat wajahnya sebal dan Jungkook terkikik, ia selalu suka wajah Jimin yang telihat kesal seperti itu. Ia jadi begitu menggemaskan di mata Jungkook.

Beberapa staff mengipasi Jungkook yang kegerahan sementara Jimin mengganti tisu-tisunya. Padahal air mineral dingin yang diberikan Seokjin akan terasa begitu nikmat jika digunakan untuk mengguyur wajah, hanya saja Jungkook masih sayang nyawa. Kalau hal itu dilakukannya, sudah tentulah Jimin dan Luhan akan mengamuk berang.

Setelah Jungkook berhenti berkeringat, Luhan datang membawa kostum Jungkook yang berikutnya. Namjoon yang telah menyelesaikan penampilannya bersama Jungkook kini terlihat tengah mengipasi dirinya sendiri, Jungkook mendengus geli. Tolong ingatkan Jungkook untuk mengganti assistant manager untuk Seokjin minggu depan karena Seokjin terlihat begitu kepayahan mengomando ini dan itu bersama coordinator penyelenggara acara sementara Namjoon masih kepayahan mengambil napas.

"Jangan senyum-senyum terus, BB creammu nanti terlihat berkerut, walau sudah kublending, itu belum kering benar." Ujar Jimin sembari merapikan riasan Jungkook yang luntur karena keringat di beberapa sisi. Oil control film yang digunakannya untuk memblot minyak di wajah Jungkook terlihat berjejalan bersama tisu kotor di brush holder kosong di sisi kiri tubuhnya.

"MUA-ku cerewet sekali, eh?" Desis Jungkook.

Entah mengapa kata kepemilikan yang diucapkan Jungkook membuat Jimin berdebar, Sialan bocah itu menggangguku.

Dan Jungkook mengulum senyum menyadari Jimin yang terlihat kikuk. Separuh batinnya terheran melihat ada orang yang begitu mudah digoda sekaligus begitu jujur seperti Jimin. Meski sebenarnya ia pun tidak sengaja mengucapkannya.

"Tuntutan pekerjaan, Keparat." Ujar Jimin mencoba menutupi debarannya dengan makian yang ia lontarkan dengan suara bergetar.

Itu manis sekali, pikir Jungkook. Namun alih-alih mengeluarkan pemikirannya, ia justru mengeluarkan kalimat dengan nada dibuat-buat, "Wo-wow, aku baru saja dikatai oleh MUAku. Aku akan mempertimbangkan untuk mempending gajimu minggu depan."

Jimin merasa seperti ia sudah tidak menganggap Jungkook seperti bossnya seperti yang dilakukannya setelah Jungkook mengajaknya battle dance, meski sebenarnya kekesalannya saat itu menguap karena Jungkook yang menjaganya ketika sakit.

Maka ia adalah Jimin yang dulu, yang suka membangkakang pada Jungkook, yang tidak ramah padanya, yang tidak menyukainya―yeah Jimin pikir ia sudah menjadi seperti itu, seperti dulu.

"Kau berani?" Jimin mengacungkan kuas eyelinernya, "kutusuk matamu sekarang."

Lalu Jungkook tergelak keras yang entah mengapa membuat Jimin ikut tergelak bersamanya. Mungkin baik Jungkook maupun Jimin tidak menyadari senyuman mengerti dari Namjoon atau tatapan menyadari dari Luhan dan Seokjin ketika Jimin menggesekkan poninya ke pucuk kepala Jungkook sembari tertawa bersama dengan mata yang sama-sama menyipit dan pipi yang merona.

"Kurasa harus ada yang jujur di antara mereka." Gumam Namjoon sembari mengirim satu pesan singkat pada Yoongi.

x

x

x

Taehyung mengenakan masker hitam dengan topi hitam dan kemeja Gucci favoritnya. Hoseok pikir Taehyung sedang menyamar namun apa-apaan dengan kemeja dan clutch bermerek yang dipakainya itu? Bukankah itu terlalu mengundang perhatian?

Menyadari beberapa gadis yang melirik ke arah mereka membuat Hoseok menyenggol bahu Taehyung, "Kau sungguh sedang menyamar tidak sih?"

"Huh?" Taehyung mengerjap, tidak mendengar apa yang Hoseok katakan dengan jelas.

"Kau. Serius. Menyamar?" Ulang Hoseok sembari mengulang kata perkatanya dengan penekanan.

"Ya. Tentu saja." Jawab Taehyung sembari melonjak karena melihat Jungkook keluar dari backstage dengan kaus dan sepatu converse berwarna merah. Jungkook menyapa sekilas dan Taehyung menjerit seperti gadis.

Konyol, Hoseok pikir. Lebih konyolnya lagi karena ia mau saja diseret Taehyung menonton konser seseorang yang bahkan bisa mereka temui setiap hari kalau mereka mau. Bahkan Taehyung bisa mendengar Jungkook bernyanyi empat mata saja secara live tanpa gangguan.

"Tidak ada fanboy yang mengenakan Gucci ke konser, Tae." Bisik Hoseok di telinga Taehyung.

Merasa terusik, Taehyung berbalik menatap Hoseok dan menunjuk sekeliling, "Mereka fans Jungkook, tidak peduli pada apapun selain Jungkook. Sudahlah, Hyung. Tenang saja, tidak ada yang menyadari ada aku di sini."

"Terserah kau saja." Ucap Hoseok di tengah teriakan yang riuh rendah dan alunan musik yang mulai terdengar.

Tidak peduli ia sudah mendengarkan lagu ini puluhan kali baik secara langsung maupun dari kaset CDnya, Taehyung tetap turut bernyanyi bersama dengan Jungkook yang sedang memegang microphone di atas panggung dan mengeluarkan suara emasnya.

Taehyung merasa, ia kembali terpesona oleh suara Jungkook yang indah.

x

x

x

Hoseok tahu Taehyung aktor gila.

Orang gila mana yang selepas konser menghubungi manager dari artis yang tadi ditontonnya saat konser dan meminta untuk dijemput.

"Hyung," rengek Taehyung, "petugas keamanan ini tidak memperbolehkanku masuk padahal aku sudah membuka identitasku." Adunya pada Seokjin yang menemui mereka di pintu keluar venue yang tengah dikosongkan.

"Ish kau ini, merepotkan sekali." Ujar Seokjin setelah berbicara sebentar dengan petugas keamanan dan menyatakan bahwa Taehyung memang bukan orang asing dan ia kenal Jungkook dan memang Jungkook yang memintanya datang.

Sebenarnya yang terakhir itu kebohongan yang Seokjin ucapkan pada petugas keamanan, mana ia tahu Taehyung akan menonton konser Jungkook padahal sebenarnya ia bisa saja masuk ke backstage semudah semut masuk ke sela pintu.

"Kau sungguh menonton?" Tanya Seokjin sembari menggiring Taehyung dan Hoseok ke arah belakang panggung.

"Yep!"

"Dia orang gila, Hyung." Erang Hoseok.

Taehyung menggeram, "Hyung."

Seokjin tertawa saja melihat Hoseok yang seolah menjadi kakak laki-laki Taehyung alih-alih managernya, "Jadi kau mau memberi Jungkook kejutan begitu?"

Taehyung mengangguk cepat, menunjukkan bunga dan kotak kado berpita biru langit yang dibawanya, "Aku fanboy Jungkook nomor satu di Korea."

Hoseok mencibir dan saat itulah Seokjin membuka ruangan artis. Di dalamnya ada banyak orang termasuk Jimin dan Luhan, namun Taehyung tidak melihat Jungkook ada di sana.

"Taeee." Pekik Jimin girang sebelum berlari menuju Taehyung dan meraih bahu yang lebih tinggi dalam rangkulan, "Lama sekali tidak bertemu."

"Aku agak sibuk di Tiongkok dan ketika kembali kalian sudah melakukan konser keliling Korea Selatan, jahat sekali tidak mengajakku." Taehyung mencubit pipi Jimin gemas sembari menggerakkan kepalanya kiri-kanan.

Mereka terlibat banyak obrolan. Namun Hoseok menyadari kegelisahan Taehyung karena Jungkook 'tak kunjung kembali. Ia pun melirik Luhan dan berinisiatif menggantikan pertanyaan Taehyung yang mungkin sedang disembunyikannya dengan tawa lebar dan lontaran canda-canda itu.

Taehyung memang aktor hebat.

"Lulu Hyung, Jungkook kemana?" Tanya Hoseok.

Taehyung memekik, "Ah iya sampai lupa, Jungkook ke mana? Aku sudah bawakan oleh-oleh dari Tiongkok dan bunga kesukaannya."

Mendegar ucapan Taehyung membuat Jimin sadar pada sebutket bunga aster yang dirangkai cantik bersama kuncup bunga mawar dan bakung.

"Bunga?" Jimin bertanya dengan memainkan intonasinya.

"Yeah, Taehyung itu suka sekali memberi Jungkook bunga aster putih. Katanya sih dia merasa jadi seorang kakak yang menjemput adiknya di hari kelulusan," Seokjin yang menimpali, "Taehyung itu anak tunggal." Lanjutnya kemudian.

Luhan mencubit dagunya, "Aku tidak tahu dia kemana. Tadi sih aku lihat Namjoon menggeretnya ke luar."

Taehyung segera bangkit, membawa buket bunga dan kadonya, "Thanks, Hyung. Biar aku cari dia saja."

Taehyung segera pergi, membuka pintu dan menutupnya diiringi lambaian.

"Kakak yang merindukan adiknya," Luhan membisik, "manis sekali."

Hoseok tahu itu tidak benar.

x

x

x

Taehyung berlari melewati beberapa lorong, mencari hingga ke toilet dan bertanya pada setiap staff yang ia temui bahkan hingga pada orang-orang yang tengah sibuk membongkar tatanan panggung.

"Permisi, apa kau lihat Jungkook?" Tanyanya untuk kesekian kali, berharap pria yang tengah membersihkan sisa-sisa konser baik itu kertas atau tisu yang bercecer.

"Jungkook?"

Taehyung mengangguk cepat dengan padangan penuh harap.

"Ya."

"Yang tadi konser itu 'kan?" Pria itu kembali mengkonfirmasi dan Taehyung menjawab dengan anggukan serta senyum yang 'tak kenal kata luntur, "dia tadi ke sana," pria itu menunjuk sisi kanan panggung, "bersama pria tinggi."

Taehyung mengangguk, membungkuk sekilas sembari mengucap terima kasih dan berlari menuju arah yang tadi ditunjuk pria itu. Namun begitu ia melihat Namjoon yang mengusap wajah keras dan suara Jungkook yang lirih terdengar sayup, ia memelankan langkah.

Ia melihat di sana, air muka Jungkook 'tak jauh berbeda dengan Namjoon.

"Hyung bilang aku tertarik? Benar, aku tertarik pada Jimin. Tapi aku sadar lebih dari itu, aku mencintainya, Hyung. Aku mencintainya." Erang Jungkook sembari menutup wajah. Terlihat bingung dan kacau.

Mendengar penuturan Jungkook membuat Taehyung terpaku di tempat. Buket bunga dan kado yang dibawanya jatuh. Membuat bunyi pecahan kaca karena isi dari bungkusan kado itu adalah hiasan meja berbahan kaca yang dibelinya di Tiongkok. Menjadi pecahan kaca menyedihkan di bawah kakinya, di sisi buket bunga yang rusak.

"Taehyung?"

"Hyungie?"

Namjoon dan Jungkook menoleh bersama mendengar suara gaduh itu. Melihat wajah Taehyung yang pucat. Jungkook hendak melangkahkan kakinya namun Taehyung sudah terlanjur berlari menjauh.

Hatinya sehancur buket bunga dan hiasan kaca yang dibawanya.

Air matanya menetes.

x

to be continue

x

A/N: (Warn: bahasa non-naku, curhat di sana-sini)

Senang tidak sama moment JiKook/KookMinnya? Hampir full satu ch loh moment mereka hohoho XD (Asli aku sayang banget sama mereka huhu TT)

Dan soal ending ch ini, yah akhirnya satu konflik muncul lagi. Ini konflik utamanya? Hm, kasih tahu nggak ya?/dibuang! Tapi percayalah, meski ff ini nyantai kayak di pantai, konfliknya sudah mateng aku buat sampai ke endingnya. Plottingnya bahkan udah aku bagi-bagi tiap ch dan hasilnya ff ini bakal jadi 20/21 ch, tapi belum fix. Aku bakal coba buat gabung beberapa ch karena yeah, cape banget gitu ngetik sampai 20 ch baru ending juga takutnya makin berasa alurnya yang lambat (walaupun aku justru menikmati alur seperti ini, bikin makin cinta sama karakter huhuks TT) Juga takutnya nanti readernya keburu kabur karena ga tamat-tamat atau kabur karena bosen haha XD

Sampai jumpa di ch berikutnya. Terima kasih sudah membaca, mereview, memfollow juga melike ff abal-abal ini.

Yours,

December D.