"Jungkook, aku tidak siap. Kurasa kita harus membatalkan rencana ini. Aku benar-benar tidak bisa." gumam seorang pria bersurai hitam. Ia melirik dari balik pintu, menatap sesosok balita yang memakai kaos berwarna kuning yang dibalut jaket coklat. Sepasang celana pendek hitam terpasang di kakinya, lengkap dengan ikat pinggang mungil yang lucu. Ia terlihat bertepuk tangan saat pria berkulit pucat yang bersamanya berhasil meniup balon dengan ukuran besar.

Kim Taehyung menahan nafasnya untuk beberapa saat, takut kalau benda itu meledak dan mengagetkan si bocah.

"Hyung… kau pasti bisa. Katamu tidak ada yang tidak bisa dilakukan seorang Kim Taehyung." gumam pemuda bersurai madu di sebelahnya. Ia tengah mengulum senyum, menahan tawanya kala pria Kim terlihat semakin gusar. "Tenanglah… percaya padaku."

Bukannya tenang, Taehyung malah terlihat cemas. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, membuat Jungkook dengan telaten merapikan rambutnya yang jadi berantakan.

"Kau ini." gumam yang lebih muda. Tangan kirinya masih merapikan helaian sewarna malam Kim Taehyung, sementara yang kanan membawa seloyang kue coklat yang telah dihias cantik menggunakan krim dan buah cherry. "Menghadapi puluhan boss perusahaan besar saja berani. Giliran bicara dengan setan kecil-mu, kau malah ketar-ketir seperti bayi."

"Jaga ucapanmu, Jeon." Taehyung mendelik, terlihat sangat marah. "Jangan mengatai putraku."

Bukannya ketakutan, yang diajak bicara hanya terkikik geli. "Nah, kau tahu dia putramu. Tunggu apa lagi? Ajak dia bicara. Katamu mau memberinya kejutan…"

Pria yang lebih tua mengerang. Ia seakan tak rela saat ditinggal sendirian di ambang pintu, sementara pemuda bersurai madu telah masuk dan menyapa dua orang yang sudah terlebih dahulu berada di dalam ruang keluarga rumah Jungkook.

"Tebak, momma bawa apa?" tanyanya ceria. Ia tersenyum lebar saat meletakkan kuenya di meja pendek.

Si balita bersorak riuh. "Kue coklat! Kue ulang tahunku coklat! Kwonnie suka suka coklat kue!"

"Aku hampir kehabisan nafas gara-gara dia menyuruhku meniup balon." keluh pria bersurai pirang, padahal ia hanya meniup satu balon. Disandarkan punggungnya lelah pada sofa, lalu menatap ruangan yang telah didekorasi dengan beberapa balon dan pita berwarna biru, serta guntingan-guntingan kertas berbentuk abstrak yang ditempelkan pada sebuah benang dan digantung melintasi ruangan.

Kwonnie yang membuatnya tadi siang, bersama Paman Tae dan Paman Yoon Yoon. Ia begitu bersemangat untuk merayakan ulang tahunnya yang terlambat selama beberapa hari, sekaligus mengadakan pesta kecil untuk kesembuhannya. Sementara itu, sang ibu membuat kue dan memasak.

"Mana si pecundang itu?"

Jungkook mendelik mendengar ucapan Min Yoongi, bagaimanapun yang barusan itu bukan kata-kata yang baik.

"Jaga ucapanmu, hyung. Jangan sampai put -ehem!" Taehyung yang tiba-tiba datang, memotong ucapannya sendiri. Untung tidak keceplosan. "Ucapkan yang baik-baik."

Yoongi mendengus. Sementara Kwonnie bergerak heboh usai ibunya memakaikan balon panjang berwarna biru yang telah dibentuk hingga menyerupai topi di kepalanya.

"Aku terlihat seperti prajurit! Lihat, paman, lihat!" tangan mungilnya menarik lengan Taehyung, lalu menunjukkan senyum lebar. "Balon di kepalaku seperti topi prajurit. Tapi aku mau jadi jendralnya, Paman Tae dan Paman Yoon Yoon jadi anak bauhku."

Pria Kim tersenyum simpul, melepas jaket abu-abunya dan meletakkannya di sandaran sofa, menyisakan kaos lengan pendek berwarna hitam yang melekat sempurna pada tubuhnya.

Kalau boleh jujur, di sudut terdalam hatinya, ia merasa teriris. Bagaimana tidak? Bocah di hadapannya hanya merayakan ulang tahun bersama ibu dan kedua pamannya, ditambah dekorasi sederhana dan kue beserta masakan rumahan yang tersaji di hadapan mereka. Semua serba sederhana, tapi senyumnya begitu lebar seolah ia adalah anak paling bahagia di dunia.

"Ayo mulai ulang tahunnya! Aku mau tiup lilin… sama-sama ya? Ya? Momma dan paman ikut ya?"

Jungkook tersenyum, ia segera menyalakan sebuah lilin yang ada di atas kue buatannya.

"Itu angka berapa?" dahi mungil Kwonnie mengeryit saat melihat benda yang menyala itu. Ia ingat pernah belajar angka, tapi lupa namanya.

"Yang bentuknya seperti kursi tapi terbalik. Berapa, hm?" Taehyung mendudukkan dirinya di lantai bersama Kwonnie, sebelah tangannya meraih tas berwarna hitam yang ia letakkan di sudut sofa, mengambil kamera.

Sementara itu, Taekwon tampak berpikir.

"Em..?" sang ibu memancing, ia tersenyum lebar lalu berpindah ke sisi kiri putranya, sementara pria Kim sudah terlebih dahulu berada di sebelah kanan si balita.

"Empat! Aku tahu! Umurku kan empat." Taekwon mengacungkan kelima jarinya, lalu melipat ibu jari perlahan. "Lihat! Aku berhitungnya benar sekarang."

"Sini, aku yang ambil gambar." gumam Yoongi santai. Ia menyambar kamera di tangan sepupunya, lalu berpindah ke seberang meja. Sebelum itu, ia sempat meletakkan ponsel pintarnya, merekam kegiatan mereka dalam bentuk video. "Nah, sekarang ayo tiup lilinnnya."

"Aku mau nyanyi, semua harus ikut bernyanyi!"

Setelahnya, mereka bernyanyi bersama. Kim Taehyung menjadi yang paling canggung. Ia tidak pernah bernyanyi utnuk siapapun, dan menyanyikan Selamat Ulang Tahun benar-benar menjadi mental breakdown untuknya. Apalagi sedari tadi bocah kesayangannya menarik-narik tangannya, memaksa agar ia bernyanyi lebih keras.

Yoongi yang melihat itu hanya terkekeh ringan, mengabadikan sebanyak-banyaknya foto dengan kamera dalam mode auto. Ia terlalu malas membidik dan mengatur ini-itu.

Putra semata wayang Jungkook bertepuk tangan riuh usai mereka menyelesaikan lagunya, ia lalu memaksa ketiga orang dewasa lainnya untuk ikut meniup lilin bersamanya.

"Paman Yoon dari sini saja. Kalau dekat-dekat nanti paman tidak bisa memfotomu. Tiup lilinnya dengan momma dan Taetae, tapi jangan sampai liurmu muncrat."

Si balita cemberut, pamannya yang satu itu memang selalu mengejeknya, memperlakukannya seperti bayi padahal Taekwon sudah besar. Itu menututnya sendiri.

"Berdoalah dulu sebelum meniupnya." pemuda Jeon mengusap kepala putranya, sebelum menggulung lengan sweater-nya, lalu diam-diam menggenggam tangan Taehyung. Ia menatapnya sesaat sambil tersenyum, berucap tanpa suara.

'Kau bisa melakukannya.' gumam sang Tuan Muda dalam hati membaca gerak bibir pemuda pujaannya. Ia mengambil nafas dalam-dalam, mempersiapkan diri. Setelahnya, ia balas tersenyum canggung.

"Sudah!" pekik Kwonnie sambil kembali bertepuk tangan. Ia menarik masing-masing lengan kanan ibunya, dan lengan kiri Taehyung, mengingatkan bahwa mereka harus meniup lilin bersama.

Setelahnya, Kwonnie benar-benar terlihat senang. Ia tertawa renyah saat sang ibu mencium pipinya gemas. Pria Kim secara natural melakukan hal yang sama, sementara Yoongi memilih mengacungkan jempolnya dari seberang meja.

Taekwon tidak mengerti dengan ritual irisan pertama untuk orang yang paling berharga, jadi dia memakannya sendiri. Ketiga orang dewasa di sana hanya tertawa. Taehyung yang memang tidak terlalu suka makanan manis memilih untuk menyantap sosis panggang yang pemuda Jeon siapkan.

"Aku suka sepedanya, terima kasih Paman Yoon Yoon." Kwonnie tersenyum lebar, menunggangi sebuah sepeda kecil berwarna putih dengan dua roda bantu. Di masing-masing stang masih terpasang pita berwarna biru. Hadiah dari Min Yoongi.

"Kau harus mencium paman." gumam penyandang marga Min santai. Ia menyodorkan kameranya kepada Taehyung, lalu memasang pipinya, menunggu si balita menciumnya.

Biasanya, mereka akan bertengkar terlabih dahulu sebelum Taekwon memberikan sebuah kecupan ringan, tapi hari ini adalah pesta ulang tahunnya. Lagipula Paman Yoon Yoon sudah memberinya hadiah sepeda keren, maka ia langsung turun dari sepedanya, lalu memberikan ciuman dalam di pipi, mengusekkan bibirnya hingga krim tadi berada di sana berpindah ke pipi Yoongi.

Ajaibnya, pria bersurai pirang itu tidak protes sama sekali. Ia malah tertawa dan mencium gemas keponakannya.

Jungkook memberikan sebuah bungkusan berisi sepasang sepatu model boots berwarna khaki. Kwonnie menyukainya. Menurutnya, sepatu boots sangat keren.

Lalu terakhir, Taehyung. Ia memberikan sebuah bungkusan besar berisi robot-robotan berwarna kuning.

"Bumble Bee! Pasukannya kapten Optimus!" mata bocah itu berbinar senang. Ia mengucapkan terima kasih, lalu berlari ke kamarnya untuk mengambil Optimus Prime yang terlebih dahulu dimilikinya. Tangan-tangan mungil itu menjajarkan keduanya, lalu ia berjongkok di sebelah robot berwarna merah-biru. "Paman, foto aku! Aku sedang bersama pasukanku! Cepat cepat foto yang banyak."

Yoongi, yang kebetulan kembali memegang kamera, langsung mengambil foto keponakan kesayangannya. Ia bahkan sempat mengerjainya beberapa kali. Menyuruhnya berbalik, sehingga di dalam foto, hanya punggung Kwonnie yang terlihat.

Melihat itu, Taehyung hanya menunjukkan senyum simpul. Biasanya, ia akan ikut nimbrung, menggoda Kwonnie dan ikut-ikutan mengerjainya hingga bocah itu berteriak protes, dan Jungkook akan memarahinya sambil mendelik. Lalu Taekwon yang terbaring di ranjang rumah sakit akan menjulurkan lidahnya, tanda kemenangan.

Tentu ia ikut-ikutan Paman Tae untuk urusan ini.

"Kau bisa melakukannya. Percayalah." Jungkook tersenyum, mengusap punggung tangan pria Kim. Ia terlihat sangat dewasa, dan Taehyung menyukainya.

"Entahlah, Kook. Aku tidak yakin." gumam yang lebih tua.

"Tapi, hyung. Kau bilang ini akan menjadi hadiah kejutanmu untuknya."

Pria Kim memilih diam. Sebelah tangannya menyisir surai sekelam malamnya sebelum memijit pelipisnya. Ia telihat sangat lelah.

Dan senyum di bibir Jeon Jungkook perlahan memudar. "Ya sudah, kau tidak harus melakukannya."

Taehyung bersumpah, ada kilatan luka dari binar matanya. Bibir mungil pemuda itu masih tersenyum, senyum yang berbeda.

"Maaf sudah memaksamu." gumamnya sebelum memberikan senyum lebar, lalu beranjak mendekati putranya. Dipeluknya tubuh berisi Kwonnie, lalu dipangkunya gemas.

"Sekarang, makan. Kwonnie belum makan malam kan?"

Si balita mengerang protes.

"Tapi aku sudah makan kue… kenyang."

"Jangan begitu, nanti kau kelaparan tengah malam lagi." Jungkook membujuk, ia mencoba menyuap nasi dengan lauk ayam asam manis ke mulut putra semata wayangnya. "Kalau kelaparan seperti waktu itu, momma tidak akan membuatkanmu susu."

"Momma!" pekiknya tidak terima. Akhirnya ia terpaksa memakan apa yang disodorkan ibunya. Sejujurnya ia memang belum kenyang, hanya lebih tertarik bermain dengan hadiah-hadiahnyaketimbang mengunyah makanan.

Taehyung melihat itu, kekecewaan di mata Jungkook-nya. Ia tahu beberapa hari terakhir, bahkan sejak sebelum putraya keluar dari rumah sakit, ia sudah menggembar-gemborkan rencana kejutan untuk Kwonnie, tentang pemberitahuan bahwa ia adalah ayah dari bocah itu.

Jungkook berbianar penuh harap, ia tahu.

Tapi kini nyalinya benar-benar ciut.

Kim Taehyung, sang pewaris perusahaan besar itu, merasa begitu takut berhadapan dengan seorang anak kecil, putranya sendiri.

Ia takut.

Bagaimanapun, Taehyung adalah sosok yang meninggalkan si balita dan sang ibu. Apa yang akan ia lakukan jika Taekwon malah membencinya?

Taehyung menggeleng ringan, menepis pikiran pengecutnya, mencoba mencari-cari keberanian di sudut terdalam hatinya.

Bagaimanapun, ia telah memberikan terlalu banyak harapan untuk Jeon Jungkook. Ia bahkan telah melamarnya, berjanji bahwa dirinya akan menjadi laki-laki yang lebih baik untuk pemuda Jeon dan satu-satunya putra mereka.

Mengambil nafas dalam-dalam, pewaris Kim Enterprise beranjak dari duduknya, menghampiri Kwonnie yang tengah dipangku sang bunda. Mengetahui apa yang akan dilakukan sepupunya, Yoongi memilih untuk menjauh beberapa langkah, duduk di sisi lain sofa.

Setelahnya, pria bersurai kelam mengambil jagoan kecilnya dari pangkuan Jungkook, lalu mendudukkannya di pangkuannya sendiri.

"Aku punya satu hadiah lagi. Kau mau?"

Kwonnie mengangguk bersemangat.

Ia suka mendapat banyak hadiah. Ia suka berulang tahun. Mungkin setelah ini, ia akan meminta momma-nya untuk memberikan ulang tahun Kwonnie setiap hari.

Taehyung tersenyum simpul, mengusap noda saus manis dari bibir Taekwon, lalu menatap sepasang mata bulat itu.

"Kwonnie ingin bertemu poppa?"

Yang ditanya diam, tidak mengucapkan sepatah katapun. Ia hanya menoleh ke arah sang ibu, lalu saat matanya menangkap senyum tulus dari ibunya, bocah berjaket coklat kembali memusatkan perhatiannya kepada pria tinggi yang selama beberapa minggu terakhir menjadi temannya.

Jeon Taekwon menggeleng ringan.

Dan Kim Taehyung seolah lupa caranya bernafas. Kwonnie bahkan tidak ingin bertemu dengannya. Bibirnya terangkat setengah, tersenyum miris.

"Aku tidak mau Jimin…" gumamnya lirih. Ia memilin ujung kaos Paman Tae, kepalanya menunduk lemah. "Aku tidak mau poppa seperti Jimin. Aku sudah punya momma, Paman Tae dan Paman Yoon Yoon. Aku tidak mau punya keluarga yang lain."

Rasanya, ada ribuan jarum yang menghujam ulu hati Taehyung. Perih sekali.

Ia tersenyum getir, dan saat itulah Jungkook mengusap lengannya lembut, memberikan senyum tulusnya walau sudut matanya mulai memerah. Mungkin, karena ia mengingat Jimin dan segala perlakuannya. Mungkin juga, karena putranya seolah tak tertarik lagi pada sosok sang ayah.

"Bukan Jimin sialan itu." Taehyung tahu, ia tidak seharusnya mengumpat. Tapi persetan. Hatinya benar-benar panas setelah mendengar nama itu terlontar dari bibir mungil putranya. "Maksudku, ayahmu. Poppa yang bekerja jauh-jauh untukmu..."

Ada luka yang Taehyung goreskan di dalam hatinya sendiri. Ia berbohong, membohongi putra semata wayangnya hanya agar bocah itu tidak membencinya sekarang. Jungkook dan Yoongi bersekongkol dengannya. Mereka sepakat, untuk saat ini, kebahagiaan Kwonnie bersama keluarganya yang lengkap menjadi prioritas utama.

Urusan bagaimana bajingannya sang ayah, Taehyung bersikeras untuk membeberkannya sendiri ketika putranya beranjak dewasa dan sudah mulai mengerti. Ia bahkan telah bersiap dari sekarang jika Taekwon nantinya akan benar-benar membencinya.

Awalnya, ia benar-benar siap.

Tapi sekarang, semua keberaniannya menguap entah kemana.

"Poppaku akan pulang? Poppa pulang untuk ulang tahunku?" sepasang mata polos itu berbinar, lagi-lagi menoleh ke arah sang ibu untuk memastikan. Setelah mendapatkan anggukan ringan dan seulas senyuman, ia kembali bertanya. "Paman kenal poppa? Poppa datang untuk ulang tahunku?"

Taehyung tersenyum, mengangguk singkat. Lalu detik setelahnya, ia bisa merasakan Kwonnie yang berjingkrak saking bahagianya karena akan bertemu dengan sang ayah. Ayah kandungnya.

Ayah yang bekerja jauh-jauh untuknya.

Pikirnya, jika sang ayah pulang, momma kesayangannya tidak akan sedih lagi. Tidak akan diam-diam menangis saat Kwonnie bertanya kapan ayah pulang. Momma akan menjawabnya dengan senyuman, lalu keluarga mereka akan makan malam bersama.

"Aku mau bertemu poppa!" ia terdengar anusias, kelewat antusias.

Taehyung tersenyum simpul. "Tutup matamu, poppa akan datang."

"Sungguh?" pekiknya tak percaya. "Poppa sudah di dekat rumahku? Poppa pulang? Yeaayyyy!"

Bocah itu kembali bersorak heboh.

Kim muda hanya melihatnya. Mengabaikan sesak di dada, ia menunggu Kwonnie kembali tenang agar mereka siap bicara.

Lebih tepatnya, agar dirinya siap mengatakan sebuah kejujuran, dengan beberapa kebohongan setelahnya.

Ia bahkan tak peduli dengan reaksi Jungkook yang ada di sampingnya, atau Yoongi yang tengah menatap mereka.

Hanya ada Jeon Taekwon untuknya saat ini.

Bukan… tapi Kim Taekwon.

"Mana poppa?" tanya yang paling muda dengan senyum lebar di bibir begitu ia mulai tenang.

Taehyung tersenyum singkat. "Tutup matamu, lalu hitung sampai tiga. Kau sudah bisa berhitung sampai tiga kan, Jagoan?"

Yang ditanya buru-buru memejamkan matanya, meletakkan kedua tangan mungilnya untuk menutup mata, lalu mulai berhitung.

"Satu…"

Ia terdengar bersemangat. Sungguh. Dan hati pria Kim rasanya sakit sekali. Perlahan tangannya terulur untuk menyentuh pipi Kwonnie. Bocah itu tersenyum lebar.

"Dua."

Bibirnya ikut menyunggingkan senyum, dan entah bagaimana, matanya terasa panas. Rasa takut itu kembali datang.

Kim Taehyung takut dibenci putranya.

"Tiga!" pekik Kwonnie pada akhirnya. Masih tersenyum lebar, ia menyingkirkan kedua tangan dari wajahnya, lalu menatap lekat pria di hadapannya.

Ada Paman Tae di sana.

Lalu ia mengedarkan pandangan. Hanya ada sang momma yang lagi-lagi tersenyum, dan Paman Yoon Yoon yang juga ikut-ikutan tersenyum. Bahkan pria blonde itu kembali mengacungkan jempol padanya.

"Paman." tanya si balita pada akhirnya. Ia mengerucutkan bibirnya kesal saat menatap Taehyung. "Mana poppa? Tidak ada yang datang~"

Bocah itu merengak, membuat Kim Taehyung terkekeh ringan. Ia mengambil kedua tangan putranya, lalu meletakkan di masing-masing pipinya.

"Poppa di sini." gumamnya mencoba ceria. "Selamat ulang tahun, Jagoannya poppa. Maaf poppa baru pulang. Poppa banyak pekerjaan."

Taekwon memasang ekspresi blank-nya, mirip sekali dengan Taehyung.

"Harusnya, ini menjadi kejutan di hari ulang tahunmu, tapi karena waktu itu kau sakit, poppa baru sempat bilang sekarang."

Dan kecupan hangat di puncak kepalanya seolah menyadarkan Taekwon atas apa yang terjadi. Ia melepaskan tangannya dari pipi sang paman.

"Momma…" gumamnya dengan suara bergetar.

Jungkook yang merasa khawatir mencoba menggendong Kwonnie, tapi bocah itu malah menggeleng kuat.

"Poppaku…" gumamnya lirih. "Poppaku… poppa…"

Ia terus merapalkan kata itu berulang-ulang. Matanya yang memerah mulai berkaca-kaca. Dan tanpa aba-aba, bocah itu menangis keras.

"Huwaaaaaaa! Pooppppaaaaa poppaaaaakuu, mommaaaaa…" Taekwon menjerit. Air mata meleleh menuruni pipinya, kedua tangannya bergerak kasar memukul wajah pria yang mengaku sebagai ayahnya.

Nafasnya tersengal, namun Kwonnie baik-baik saja.

Air mata membanjiri wajahnya, dan yang ia lakukan hanya berteriak melontarkan panggilan untuk ayahnya, dengan isakan-isakan keras.

Nyeri di hati pria Kim kembali terasa saat Jungkook mulai menyentuh putranya lembut, mencoba menenangkannya.

Sejauh yang ia tahu, Taekwon adalah anak yang manis. Ia tidak pernah memukul siapapun, dan sekarang… tangan-tangan kecilnya bahkan tidak mau berhenti hanya untuk sekedar mendengarkan ibunya

Kim Taehyung yakin, dirinya yang bajingan lah yang telah mengubah kepribadian putranya.

Bocah itu pasti kecewa kepada ornag yang telah dianggapnya sebagai sosok teman baiknya.

Yoongi menggapai tangan si bocah, namun Kwonnie seolah tak peduli. Ia hanya memukul, dan memukul sekuat yang ia bisa, bahkan menarik kaos yang dikenakan Taehyung tanpa terkendali.

Pemuda Jeon mengelus kepala putranya, ia membelai tangan-tangan kecilnya penuh kehati-hatian, mencoba menghentikan tindakan Taekwon tanpa memaksanya. Min Yoongi melakukan hal yang sama.

Tapi Kim Taehyung diam saja.

Ia hanya menatap Jeon Taekwon dengan sorot terluka.

"Sayang… hei. Ayo ikut momma." Jungkook mencoba mengambil putranya. Bocah itu memukuli Taehyung dan berteriak di depan wajahnya. Mata Jungkook sudah berkaca-kaca.

"Jahat! Poppa jahat sekali! Poppaaaa jahaaattt!"

Pria Kim memejamkan mata kirinya yang baru saja terkena hantaman sekuat tenaga dari kepalan mungil sang putra.

"Jungkook-ah, biarkan saja." sudut bibir Taehyung terluka. Putranya masih mengamuk dan memukulinya, tapi ia seolah tak mempermasalahkan itu semua. Matanya terasa panas, tapi ia tidak ingin menangis. "Aku pantas mendapatkannya. Putraku, pantas membenciku."

Kim Taehyung tidak pernah menangis. Setidaknya, itu menurut yang Jungkook yakini. Tapi pria yang tersenyum ke arahnya kini benar-benar terlihat remuk. Nampak ringkih dan putus as dengan air mata yang meleleh di pipinya tanpa aba-aba.

Kenapa senyum itu terlihat begitu menyakitkan di matanya?

Apa Taehyung benar-benar hanya sampai di sini saja? Tidak akan berjuang untuk putra mereka?

Untuk dirinya?

Ia pikir, putranya akan menerima kehadiran Kim Taehyung sebagai ayah kandungnya.

Ia pikir, keluarga kecil mereka akan berkumpul selayaknya keluarga bahagia pada umumnya.

Ia pikir, ia akan bisa kembali bersama dengan pria yang ia cinta sejak lama.

Ia pikir, semua akan berjalan seperti apa yang ia harapkan…

.

.

A fanfiction, the continuation of "Puzzled"

Disclaimer: I own nothing except the story line and unrequited-love feelings toward Kim Taehyung

Genre: Romance, Family, Hurt/ Comfort, Humor, dll

Pair : Kim Taehyung x Jeon Jungkook

Rated: M for the language and theme, and yeah

Warning: OC for the Taekwon.

Ambigu, typo tak tertahankan, m-preg (?)

.

.

"Painted"

Part I -Prolog

.

.

.

TBC

.

.

Dear myself, I'm sorry.

Dan tanpa berkata-kata,

Review please…

Tertanda, Tiger

Dengan segenap cinta dan asa