Aku menatap kearah cincin yang dikenakan Sakura dan tersenyum tipis.

Akhirnya.

Akhirnya.


"When your patience finally grow back on you, it felt like all the burden on your shoulder just flied away."

.

.

.

NIGHTSHADES


Saat makan siang, aku buru-buru menculik Sakura yang tengah berada di kantin rumah sakit. Posisinya, lagi-lagi dengan Yamanaka dan Uzumaki yang menemaninya, kalau tidak salah kedua pirang tersebut baru saja selesai jaga tadi pagi dan mereka sudah kembali lagi ke rumah sakit siang ini, poor Dek Koass.

"Sakura." Aku mendekatinya dan ia tersenyum tipis kepadaku. Dadaku rasanya hangat sekali mengingat kemarin kami bertengkar cukup hebat. Untungnya gadis yang kukencani hanya keras kepala, bukan orang yang susah dikendalikan, jadi permintaan maafku diterima.

Oh, jangan bayangkan apa yang akan kulakukan jika aku ditolaknya kemarin. Aku tipe orang yang jika sudah menginginkan sesuatu, maka akan kukejar sampai ujung dunia. Aku sangat territorial dan intens, dan aku mengakuinya.

"Oh, Uchiha-sensei sudah baikan dengan Sakura-chan?" Tanya Naruto. Aku menengok kearahnya dan mengangguk.

"Maaf Sensei, Sakura memang seperti ini. Kumohon untuk sabar-sabar menghadapinya, ya!" saat Ino mengatakan itu, aku bisa mendengar Sakura yang sedang duduk di depannya berteriak 'Hei!' jadi aku sedikit terkekeh.

"Sepertinya aku akan membutuhkan banyak timun dalam jangka panjang." Ujarku rancu, mereka menatapku. "Aku tidak mau terkena hipertensi karena seumur hidup menghadapi Sakura."

Yamanaka sedikit memerah. "Apakah itu lamaran?! Oh Tuhan aku baru saja mendengar lamaran!" ia memekik sambil mengayunkan kakinya.

Sakura menghela napas. "Ia telah melakukannya tadi pagi. Ah iya, aku ingin ke toko cincin sekarang. Aku menitip uang makanannya di kalian, ya." Ujarnya sambil mengeluarkan uang dan ditaruh di meja.

"HA?!"

Oh, tentu saja itu merupakan pekikan kaget dari duo pirang heboh yang selalu menghidupkan suasana kaku rumah sakit Konoha. Aku terkekeh pelan. "Maka dari itu, kami permisi." Tuturku.

Sakura kemudian bangun dari tempat duduknya dan kami berjalan keluar dari kantin. Samar-samar bisa kudengar suara Ino yang lumayan menggelegar.

"Demi nama Persephone! Sakura baru saja menjadi tunangan seseorang. Lihat saja, aku akan membuatnya membongkar semuanya saat ia kembali."

Apa-apaan dengan kumpulan Sakura yang suka menyumpah serapah pada dewa Yunani? Yah, well. Kalau mereka sumpah dengan mengucapkan 'Demi nama Izanami-no-mikoto'* sepertinya kepanjangan juga, sih.

.

Sakura terkikik pelan saat memasuki mobilku. "Pasti Ino akan membunuhku sehabis ini karena aku tidak memberitahunya."

Aku menjalankan mobil sambil sedikit membenarkan letak dudukku. "Ya. Kau pantas mendapatkannya setelah merajuk padaku dan membuatku kepalang."

"Hei! Memangnya Sasuke-san mau menikah dengan siapa kalau aku sudah keburu dibunuh Ino?" Ia mengerucutkan bibirnya, imut sekali. Kulihat sekilas sepertinya ia memang menyukai atasan yang terkesan 'dewasa' karena sering kali kulihat ia menggunakan kemeja dan semi-kemeja.

Aku hanya tertawa pelan. Tak lama kemudian setelah sekitaran dua puluh menit dan sedikit diselingi dengan obrolan 'Bagaimana harimu?' kami sampai pada suatu toko yang menjadi langganan keluargaku untuk membuatkan cincin.

Aku sudah menelpon Ibu untuk membuat reservasi hari ini, padahal seharusnya kami harus masuk ke daftar waiting list hanya untuk memesan cincin. Aku tidak mau tahu bagaimana Ibuku selalu dapat koneksi seperti itu, meskipun sedikit membuatku terkesan 'privileged' tak ada salahnya dengan membuat Ibumu membantu dirimu yang ingin membawa gadismu ke tempat bagus untuk membeli cincin pertunangan.

Yah, Ibu sangat senang sih. Aku masih ingat ucapannya saat melakukan panggilan;

"Oh Tuhan! Ini terjadi! Akhirnya akan ada seorang wanita di keluarga ini! Aku akan segera menghubungi kolegaku dan Ayahmu, kita akan mengadakan pesta pertunangan besar-besaran!"

Aku sedikit meringis mengingat hal itu. Lalu Sakura yang berada di sampingku menaikkan alisnya. "Ada apa, Sasuke-san?" tanyanya lembut sambil memegang tanganku.

Kami berjalan dari parkiran menuju toko sambil berpegangan tangan. Rasanya aku sangat bahagia. "Bagaimana menurutmu dengan pesta pertunangan yang besar-besaran?" sedetik setelah aku mengatakannya ekspresi Sakura langsung tertekuk dan ia meringis.

Tuh, 'kan.

Untungnya aku bilang pada Ibu untuk menunda dulu dan menyerahkan planning acara pada kami berdua.

"Bukannya aku tidak mau, aku sadar kalau aku berada di keluargamu, aku harus terbiasa pada hal-hal yang menjadikan diriku sebagai pusat perhatian, tapi …" ia menggantung sedikit kalimatnya sembari membenarkan letak anak rambutnya. "… Kalau kita menikah, kita tidak mungkin melaksanakannya secara private bukan? Setidaknya aku ingin melakukan pertunangan dengan kerabat terdekat saja … Maksudku dengan keluarga besarmu, keluarga besarku, beberapa temanmu dan temanku. Bagi keluargamu itu sudah termasuk 'private', 'kan? Keluargaku menganggapnya sebagai acara pertunangan normal."

Aku terkekeh. "Baiklah akan kusampaikan pada Ibu. Jangan memberatkan dirimu, Sayang. Aku tidak mau kau malah merasa merepotkan saat terjun ke dalam keluargaku."

Kulihat Sakura memerah. Akhirnya kami sampai di toko cincin, saat masuk ke dalam kami disambut dengan sales wanita berbaju rapih yang menyapa kami dengan senyum lalu menggiring kami menuju kursi untuk memilih cincin.

Aku tidak mau bertanya tentang bagaimana sales tersebut tidak bertanya tentang identitasku.

Semua sales sama saja, mereka mengincar pelanggan kaya dengan menunjukkan barang yang mahal pula. Mengapa aku berkata seperti itu? Karena aku dan Sakura baru saja mengalaminya. Pegawai yang dari nametag-nya bernama Ruri itu menyodorkan pada Sakura cincin berornamen heboh yang langsung membuat Sakura melotot dan mengerucutkan bibirnya ketika melihat tag harga. Dari yang kulirik harganya lima belas juta yen, tak masalah sebenarnya jika Sakura menginginkan cincin itu.

"Aku merasa ini terlalu heboh, dan terlalu mahal untukku. Aku ingin yang biasa saja, bagaimana pendapatmu, Sasuke-san?" Sakura menengok kearahku yang berada di kanannya sambil memperlihatkan cincin itu.

"Anything you want." Jawabku. "Ruri-san, apapun yang dikatakan gadis ini, turuti saja."

Pegawai itu tersenyum dan mengangguk kemudian menyodorkan cincin yang lain lebih sederhana dengan batu ruby sedang yang berada di tengah cincin perak berbentuk twist. Sakura tersenyum puas, tapi saat ia melihat tag harganya lagi-lagi gadis itu mengerucutkan bibirnya. Aku melirik, dua juta yen. Dan sedikit tertawa dalam hatiku bahwa aku sadar kalau aku mengencani wanita yang tepat.

"Apa kau menyukainya?" tanyaku.

"Y-Ya … Tapi—"

"Kami akan ambil yang itu. Dan cincin yang sederhana untukku, maksudku benar-benar sederhana." Ujarku. Sakura melotot saat aku sedang mencoba cincin perak polos yang ditengahnya ada kubangan kotak kecil berisi permata ruby yang tak mencolok. "Kenapa?" tanyaku.

Sakura menghela napas saat aku memutuskan bahwa cincin itu yang aku ambil. "Aku rasa aku harus terbiasa denganmu yang berbelanja tanpa melihat tag." Ujarnya saat Ruri-san pergi sebentar dengan membawa kartuku untuk membayar kedua cincin. "Ah iya, kapan kau akan ke rumah orang tuaku?"

Shit.

Setelah menjadi dokter dan berumur hampir kepala tiga, aku jadi sedikit mulai melupakan hal-hal yang seharusnya kuanggap penting.

Hari ini hari sabtu.

Sudah tiga minggu sejak kami resmi—uhm, belum—bertunangan. Kebetulan kemarin pagi kami berdua mendapat jatah libur lima hari, sebetulnya aku yang meminta izin kepada konsulen dengan alasan 'Aku dan Sakura akan menikah, kami akan kerumah orang tuanya.' Untungnya, para konsulen berbaik hati dengan alasan 'Baiklah, kau boleh izin sebagai permintaan maaf karena kami kira dulunya kau gay.' Aku sedikit kesal, but it all ends well anyway.

Oh, apa kalian ingin tahu reaksi Sakura saat aku memberitahu para konsulen kami akan menikah?

Ia hanya menggelengkan kepalanya sambil bergumam pelan—namun tidak cukup pelan untuk tidak kudengar; "Oh Tuhan, kalau seperti ini koass ku tidak akan berakhir." Aku terkekeh ketika mengingatnya.

Tok, tok.

Aku menolehkan kepalaku ke kaca sebelah ketika kulihat Sakura tersenyum kearahku, aku turun dari kemudi kemudian membantunya yang membawa cukup banyak barang. Setelah selesai, kami kemudian masuk kembali ke mobil. Posisi kami saat ini sedang berada di parkiran apartemen Sakura, ketika aku bersikeras untuk menjemputnya dari atas, ia bilang bahwa ia akan gugup dan melupakan sesuatu jika ada diriku.

"Ah! Sebelum kita berangkat ke Akita, lebih baik kita sarapan dulu, aku sudah membawa bekal yang cukup untuk pagi, siang, dan malam, lho." Ujarnya sambil tersenyum puas. Jadi begitu, tak heran jika kulihat adanya lingkaran hitam di bawah mata Sakura. Maksudku, ini baru jam empat pagi, dari pukul berapa ia menyiapkan makanan kami? Bahkan Sakura baru saja pulang dari jaga pukul delapan malam kemarin.

"Apa kau bercanda? Sarapan pukul empat pagi?" aku terkekeh. Ia mengerucutkan bibirnya. "Baiklah, aku akan makan. Tapi berjanji padaku kau akan tidur nanti, oke?"

Sakura menghela napas. Ia kemudian membulatkan jemari telunjuk dan jempolnya mengisyaratkan bentuk persetujuan. Aku tersenyum kemudian membiarkan Sakura menata makanan kami.

"Hngggh …"

Aku tersenyum bahagia ketika melihat Sakura menggeliatkan tubuhnya untuk kemudian mengusap kedua matanya. "Jam berapa?" ujarnya dengan suara yang serak. Aku kemudian menyodorkan sebotol air padanya.

"Jam delapan pagi." Ujarku, aku melihatnya meregangkan badannya setelah menutup botol air kemudian menaruhnya kembali di tengah kami. "Kau lelah, 'kan? Bukannya lebih baik untuk tidur lagi?"

"Tak apa. Aku sudah tidak terlalu lelah." Ujarnya sambil mengedarkan pandangannya ke sekitar kami yang dikelilingi tol. "Bagaimana denganmu, Sasuke-san? Kau tidak lelah? Percayalah aku bisa membawa mobil ini jika kau lelah."

"Tidak, aku sudah tidur cukup." Jawabku. "Ini sedikit out of topic, tapi kau lahir di Akita? Atau keluargamu pindah ke Akita?"

"Keluargaku asli Akita, di sana Kakek dari Ayahku punya pabrik dan perkebunan beras. Kalau orang tua Ibu punya pabrik sake disana. Jadi sebetulnya, hanya generasiku saja yang baru keluar dari daerah kami tinggal." Jawabnya.

"Oh, berarti kau peminum yang kuat?" Sakura tersenyum padaku puas dengan bangga sebagai jawaban. "Aku tidak sabar menantikan Sake-nya, Akita-bijin-san*." Lanjutku.

Ia terkekeh geli, "Kau bisa memikirkan sake nanti ketika Ayah dan Kakak menerimamu." Ia melihat kearahku. "Dibentak habis-habisan atau diajak minum sampai pingsan ketika kau diterima merupakan tradisi keluarga kami, lho."

Deg. Deg.

.

Aku meneguk ludah ketika berhadapan dengan sekeluarga dengan kulit bersih dan putih, khas Akita. Berbeda dengan warna kulit mereka yang seputih beras andalan daerah, tatapan dua pria di dalam keluarga Haruno sangatlah gelap.

Jam telah menunjukkan pukul sembilan malam, ini sudah lima belas menit saat kami sampai di rumah Sakura yang bergaya Jepang, aku sedikit heran ketika mengingat Sakura yang kaget ketika pergi ke rumahku, Hell! Rumahnya besar, namun bergaya Jepang dengan dua tingkat.

Kami disambut Ibu Sakura yang mengenakan kimono. Beliau sangat baik dan berbicara terus padaku sambil menggiring kami ke ruang keluarganya, dari pembicaraan singkat tersebut Ibu Sakura yang bernama Mebuki (tetapi ia menyuruhku untuk memanggilnya Ibu) itu sudah dua tahun pensiun dari pekerjaannya dan mengeluh ketika Sakura bahkan jarang mengunjunginya walau ia sudah selalu di rumah. Aku tersenyum ketika menyadari bahwa kecantikan Sakura diturunkan oleh Ibunya yang walau sudah berumur namun masih berkulit bersih tanpa cela.

Namun, suasana tenang yang aku rasakan ketika berbicara dengan Ibu Sakura berubah seketika saat ia menggeser shoji* dan memperlihatkan dua lelaki berpakaian kimono dengan wajah muram. Sial.

"Ayo, masuk Sasuke-san, Sakura." Ujar Ibu Sakura, beliau kemudian pamit permisi untuk membuatkan kami semua teh. Sakura kemudian mengangguk dan membungkuk hormat sebentar yang diikuti olehku lalu masuk dan duduk di hadapan dua Haruno.

"Dua hari yang lalu Sasori mendapat telepon bahwa Sakura akan pulang hari ini untuk memperkenalkan calon suaminya …" seorang lelaki paruh baya berkumis yang kuyakin Ayah Sakura membuka pembicaraan dengan suara beratnya sambil melihat kearahku tajam. "… Bisa dijelaskan apa maksudnya? Sakura, kau bahkan tidak menghubungi Ayah."

Suara shishi-odoshi* yang menenangkan bahkan tak mampu meredakan debaman jantungku yang perlahan semakin kencang. "Perkenalkan, saya Uchiha Sasuke. Saya ingin menikah dengan anak anda, bisakah anda memberi puteri anda kepada saya?" ujarku sambil menunduk sopan.

"Hmm … Uchiha. Kau mau mengambil adikku, ya? Sayangnya, walau keturunan konglomerat pun tak mendapat perlakuan spesial di keluarga ini, jadi—" perkataan lelaki berambut merah yang mengingatkanku pada Gaara (bedanya lelaki ini berwajah lebih imut dengan badan langsing tinggi dan mirip Sakura) dipotong karena adiknya sudah keburu kesal bukan kepalang.

"Otou-san! Onii-san! Bisakah kalian bersikap dewasa?! Inilah kenapa aku tidak menghubungi Ayah karena aku tahu kau akan lebih histeris dari Sasori-niisan!" ujar Sakura cepat dengan wajah menahan emosi. "Aku telah menuruti kalian untuk tidak berpacaran saat aku muda, sekarang aku ingin menikah, bisa kupastikan keluarganya baik-baik saja …. Kau tahu itu, 'kan, Sasori-niisan?" lanjutnya dengan tatapan memicing kearah Sasori.

Ayah Sakura berdeham. "Kenapa kau mau menikah dengan puteri kami? Kami tahu Sakura kami cantik dan menawan, tapi untuk seorang Uchiha, bukankah kriteria seperti itu mudah didapatkan?"

Aku menelan ludahku. "Paman, anda pasti tahu kalau dulu Sakura-san pernah punya kenangan buruk dengan lelaki. Sakura-san yang pertama kulihat pun juga seperti itu, ia muram dan dingin. Tak cocok dengan wajah, seperti yang kau bilang, ia menawan. Ia pintar, dan punya kepribadian yang surprisingly hangat. Saya nyaman bersamanya." Sebenarnya, akupun tak pandai dalam mendeskripsikan orang, tapi demi kami aku akan melakukannya.

"Hoo … bagus juga alasanmu. Kau memangnya bisa berjanji apa agar kami dapat memberikan Sakura kepadamu?" ujar Kakak Sakura, Sasori, mengangguk menyetujui ucapanku, Thank God.

"Saya tidak bisa berjanji bahwa saya tidak akan membuat Sakura menangis," Aku bisa merasakan tatapan Ayah Sakura yang menajam ketika aku mengatakannya, "Itu sangat tidak bertanggung jawab. Maksudku, aku tidak ingin berjanji pada hal yang aku tidak bisa pastikan. Tetapi, setengah dari kenangan buruk Sakura-san, kesedihannya, dan kesepiannya … aku bisa membantu untuk menopangnya."

Hening.

Dua puluh detik berlalu, tidak ada reaksi yang pasti kecuali Sakura yang sedikit berkaca-kaca.

Ayah Sakura berdeham. "Mebuki, panggil seluruh laki-laki keluarga kita, panggil juga keluarga cabang. Kita akan pesta malam ini!"

Setelah Ayah Sakura mengatakannya, beban dipundakku rasanya berkurang dan aku bisa bernapas dengan lega. Kakak Sakura menghela napas kemudian menyodorkan lengannya kepadaku. "Jaga adikku baik-baik, aku tidak segan menjadi kriminal jika kau menyakitinya." Pesannya. Aku terkekeh lalu mengangguk hormat.

Sakura tersenyum kearahku dan menangis bahagia. Ia kemudian memelukku erat, tak peduli kedua orang tuanya yang berada di depan. Tak lama setelah itu, setelah aku membantu Sakura membereskan bawaan kami dan menentukan tanggal kapan kedua orang tua kami akan bertemu, aku diajak pergi oleh Ayah Sakura dan Kakaknya.

Uh-oh. Apa aku akan kuat dengan tabiat minum keluarga Sakura yang dikelilingi sake?

Pandanganku sedikit kabur ketika aku berjalan menuju kamar yang berada di lantai dua, Ibu Sakura berkata sebaiknya aku tidur dengan Sakura daripada harus tidur di kamar tamu, aku sudah menjadi bagian keluarga, katanya.

Aku membuka shoji, kemudian disuguhi pemandangan Sakura yang sedang duduk menyisir rambutnya di depan meja rias. Ia mengenakan gaun malam satin berwarna putih yang semakin menampilkan lekuk tubuhnya. Aku meneguk ludah pelan.

"Sasuke-san. Ini sudah jam tiga pagi … bukankah kau lelah?"

Aku tidak menjawabnya tetapi mendekat kearah Sakura untuk kemudian mengalungkan lenganku padanya.

"Sasuke-san, kau bau Sake." Ia terkekeh. "Apa kau mau mandi dulu? Aku bisa menyiapkan air hangat untukmu."

"Hmmm … nanti." Ujarku. Aku menciumi pipinya, ia terkekeh geli.

"Apa kau mabuk?"

"… Sedikit." Jawabku, kemudian melepaskan pelukanku padanya. "Paman dari Ibumu, uhm, Paman Arui, ia membawa banyak sekali sake yang kuat. Aku sampai pusing, padahal biasanya aku cukup kuat kalau soal minum."

Sakura tersenyum. "Maaf, itu sudah tradisi keluarga kami, para pria akan membawa calon menantu pria minum, kalau calon menantunya perempuan mereka akan diajak membuat mie beras. Ah, Ibu dan aku akan membuat sup jahe untuk meredakan hangover kalian nanti, apa kau mau kuambilkan air dingin untuk sekarang? Aku bisa sekalian menghangatkan ofuro* di kamar ini untukmu."

"Mhm, boleh." Ujarku sambil duduk di futon yang berukuran cukup untuk dua orang. Ia kemudian bergegas keluar untuk segera melakukan tugasnya.

Saat Sakura keluar, tiba-tiba suara dari dalam diriku berteriak; "Sasuke, kau pasti telah menyelamatkan negara di kehidupan lampaumu untuk lahir di keluarga yang indah serta mendapat calon istri yang bukan hanya cantik dan pintar tapi juga cekatan."

Oh, Jangan lupakan bahwa aku sangat bersyukur pada keluarga besar Sakura yang membuatku mabuk setengah mampus, jika aku sadar dan melihat Sakura dengan gaun satin putihnya ...

Percayalah, kulit Sakura yang tanpa cela akan penuh dengan tanda esoknya.

TBC


Halo, semuanya. Balik lagi sama saya, sudah lama ya, nggak update? Maaf ya. Saya sibuk banget kemarin banyak ujian terus baru sekarang saya bisa punya waktu untuk mengetik... dan apa readers tahu? Saya mesti ngganti laptop dulu untuk nulis chapter ini karena partner saya selama 7 tahun, lepi, sudah angkat bendera putih. Chapter selanjutnya, insya allah, sebentar lagi (Jangan marah kalau sebentarnya saya 3 mingguan, hehe). Btw, Happy Ied Al-Fitr everyone. Di bulan-bulan yang halal ini, Sakura juga bakal dihalalin. Maaf saya nggak sempat membalas review kalian, tapi percayalah, saya selalu membaca dan senang ketika kalian mereview karya saya yang abal ini. Maaf juga kalau ada typo, percayalah saya ngetik ini hanya dua jam orz. Tadinya saya itu mau update dari awal puasa, cuma akun saya ada masalah, hiks.

Shoji: Pintu geser yang biasa ada di rumah Jepang.

Shishi-odoshi: Saluran air dari bambu yang biasanya ada di rumah bergaya Jepang. Biasanya berbunyi 'Don'

Ofuro: Bath-tub.

Akita-Bijin: Di Akita, terkenal sama wanita-wanitanya yang cantik. Karena orang Akita itu biasanya berkulit bersih dan putih. Di survey Jepang, daerah yang terkenal sama orang yang cantik-cantik itu jawabannya di Akita, why? Iklim mereka, dari yang saya baca, dingin. Karena daerah pegunungan, jadi ngaruh katanya sama kulit orangnya yang bagus-bagus.

Izanami-no-mikoto: Dewi di Jepang, Ibu dari seluruh pulau Jepang ... they said. Seperti Adam & Hawa/Adam & Eve, kalau ini Izanami dan Izanagi. (CMIIW)

Sekian dari saya, harap reviewnya, ya!

With sincerity,

Kobayakawa Matsuri.