Definisi cinta memang tidak akan pernah bisa dijelaskan secara pasti.

Dia tidak seperti ilmu eksakta yang memiliki hitungan pasti. Kau tidak akan bisa mendefinisikan cinta seperti kau menghitung angka dalam matematika.

Bahkan ilmu fisika yang terkenal rumit sekalipun masih bisa didefinisikan secara pasti, karena dia masih memiliki suatu hitungan yang pasti.

Mereka bilang angka adalah sesuatu yang absolut, angka tidak akan berbohong.

Tapi huruf dan kata-kata mampu berbohong.

Lantas seperti apakah cinta dikenal sejauh ini? Sebuah kata.

Cinta dikenal sebagai sebuah kata yang memiliki banyak arti. Seseorang akan menafsirkan kata itu sesuai dengan apa yang dia alami.

Jika dia jatuh cinta pada seseorang yang berbahaya, maka dia akan mengatakan jika cinta itu buta.

Jika dia jatuh cinta pada seseorang yang jelek, maka dia akan mengatakan bahwa cinta itu gila.

Tapi hanya ada satu cinta di dunia ini yang terbentuk begitu saja tanpa pamrih.

Yaitu cinta seorang orangtua kepada anaknya.

Seokjin adalah salah satu pemberi cinta paling absolut dan tanpa pamrih kepada Jungkook.

Karena dia menghidupi Jungkook dengan segenap jiwa dan raganya. Seokjin yang dulu pernah bersumpah bahwa dia akan menjaga Jungkook, apapun yang terjadi.

Ya, apapun.

Karena Seokjin memang rela menjual jiwanya kepada iblis jika Jungkook memintanya.

Jika cinta itu buta. Maka cinta Seokjin kepada bayinya jelas lebih buta daripada apapun, karena dia tidak sanggup melihat jalan keluar dan jawaban dari setiap pertanyaan serta tindakannya adalah pernyataan bahwa dia melakukan semua itu untuk Jungkook.

Jika cinta itu gila. Maka cinta Seokjin kepada bayinya jelas lebih gila, karena dia akan membenarkan semua tindakan yang terjadi, jika itu berarti bayinya bisa hidup dengan baik.

Seokjin mencintai Jungkook karena Jungkook adalah satu-satunya darah dagingnya.

Darahnya mengalir dalam tubuh Jungkook.

Lantas apa yang akan Seokjin lakukan jika ada sosok lain yang mewarisi darahnya?


Heaven and Hell


.

.

.


a BTS fanfiction

by

Black Lunalite


.

.

.

.


Warn!

Mafia!AU, BL, contains some abuse and abusive relationship.

This story is pure fiction.

Read at your own risk.


.

.

.

.


Part 14: Conclusion


Seokjin tersenyum memperhatikan Jungkook yang sedang sibuk belajar menulis dengan begitu serius. Tangan gempal bayinya terlihat meremas pensil dengan begitu kuat, dahinya berkerut dalam dan Jungkook menatap tajam pada lembaran kertas di hadapannya.

Jungkook yang sedang serius selalu membuahkan senyum di wajah Seokjin.

Seokjin mengintip dan tertawa kecil melihat garis-garis melengkung yang Jungkook buat di kertas. Tangan Seokjin bergerak secara otomatis untuk mengelus rambut halus Jungkook dan membuat Jungkook mendongak ke arah Seokjin.

"Mama! Jangan menggangguku!" Jungkook meraung dengan kesal dan Seokjin tertawa lagi.

"Tapi ini sudah waktunya Kookie tidur siang. Apa Kookie tidak mau tidur siang?"

Ya, sejak mereka tinggal di rumah Namjoon, Seokjin menetapkan jadwal tidur Jungkook menjadi lebih teratur dari sebelumnya. Sebelumnya Jungkook tidak pernah tidur siang karena dia harus menunggu Seokjin bekerja, tapi sekarang, Seokjin menetapkan bahwa Jungkook harus tidur siang karena itu bagus untuk perkembangannya.

Jungkook memasang wajah cemberutnya yang lucu tapi dia tetap menurut dan naik ke pangkuan Seokjin. Seokjin tersenyum, dia menyambut Jungkook dalam pelukannya dan mulai menimang Jungkook, Jungkook bergerak dalam pelukan Seokjin dan tidak sengaja membentur perut Seokjin dengan kepalan tangannya.

Seokjin terbatuk keras dan mendadak perutnya diserang rasa kram dan nyeri. Seokjin meringis pelan sementara Jungkook mendongak menatap ibunya.

"Mama? Kenapa?" tanya Jungkook dengan wajah polos.

Seokjin menarik napas dalam-dalam dan menggeleng pelan, dia menimang Jungkook lagi seraya bersenandung pelan. Jungkook masih mengerjap bingung tapi akhirnya dia memejamkan matanya dan mulai menggumam nyaman di dada Seokjin.

Seokjin menggigit bibirnya, Jungkook dalam pelukannya memang agak membebani tubuhnya, tapi biasanya Seokjin tidak keberatan, Jungkook tidak pernah terasa berat di antara lengannya.

Namun kali ini, Seokjin merasa sedikit nyeri di perutnya karena tertekan oleh Jungkook. Dia bergerak tidak nyaman seraya bersandar di sofa, mencoba memberi sedikit jarak di antara Jungkook dan perutnya.

Helaan napas pelan keluar dari sela bibir Seokjin kemudian dia mendongak menatap pelayan pribadi Jungkook yang sejak tadi menemani mereka. "Bisa kau ambilkan ponselku di sana?"

Ya, sejak kasus Jaehwan tiga minggu lalu, Namjoon membelikan sebuah ponsel untuk Seokjin agar Seokjin tidak perlu lagi meminjam ponsel orang lain untuk menghubunginya.

Seokjin sendiri tidak terlalu banyak berkomentar, dia hanya menerima ponsel yang disodorkan Namjoon dan menyimpannya baik-baik serta menggunakannya ketika dia memang butuh, bahkan nomor kontak yang tersimpan di ponsel Seokjin hanyalah kontak anggota keluarga ini beserta sekolah Jungkook.

Dan yang rajin menghubungi Seokjin pun hanya Taehyung. Ketika Seokjin sedang keluar untuk mengurus urusannya atau ketika dia memiliki jadwal pesta dengan Namjoon, Taehyung akan menghubunginya dan mengirimkan foto Jungkook saat itu.

Dan hasilnya, galeri di ponsel Seokjin hanya penuh dengan foto-foto Jungkook yang dikirimkan Taehyung ataupun foto yang Seokjin ambil sendiri.

Tapi entah kenapa, Seokjin masih bisa merasakan perasaan hangat dari hari ketika Namjoon memberikannya ponsel.

Seokjin tertegun saat mengingat kejadian itu. Itu terjadi di hari yang sama dia membunuh Jaehwan dan itu berarti tiga minggu sudah berlalu sejak itu, dan sebelum hari itu, Seokjin juga ingat dia dan Namjoon melakukan hubungan badan untuk pertama kalinya.

Dia menerima ponsel yang disodorkan oleh pelayan tadi dan membuka deretan kontak yang ada di sana, Seokjin menggigit bibirnya sendiri sebelum kemudian dia menghubungi Hoseok.

"Hei, Seokjin. Apa kabar?" sapa Hoseok ceria.

Seokjin menggigit bibirnya sendiri, "Hoseok,"

"Ya?"

"A-aku.. aku ingin memeriksakan diriku."

"Kenapa? Kau sakit?"

Seokjin menggigit bibirnya, "Perutku terasa nyeri, dan.. kurasa dia lebih keras daripada sebelumnya."

Terdapat jeda yang cukup lama di sana sampai akhirnya suara Hoseok terdengar lagi, "Kapan terakhir kalinya kau dan Namjoon berada dalam situasi yang intim?"

"T-tiga minggu lalu."

"Berapa kali?"

"Dua kali."

"Aku akan ke sana sore ini. Sudahkah kau menghubungi Namjoon?"

"Belum, aku.. aku tidak yakin aku harus menghubunginya."

"Kau jelas harus menghubunginya, ini adalah sesuatu yang ditunggu olehnya."

Seokjin mengangguk walaupun Hoseok tidak bisa melihatnya, "Aku akan menghubunginya sekarang."

Setelah sambungan telepon diputus oleh Hoseok, Seokjin menghela napas pelan, jika dia memang benar hamil lagi, maka itu berarti akan ada jiwa lain yang harus Seokjin lindungi.

Pandangan mata Seokjin turun untuk menatap Jungkook yang berbaring damai di pelukannya. Seokjin menunduk untuk memberikan sebuah kecupan di dahi Jungkook kemudian dia meraih kembali ponselnya untuk menghubungi Namjoon.

"Ya?"Namjoon menjawab sambungan telepon itu dalam deringan kedua.

Seokjin menarik napas dalam, "Kurasa aku hamil."


.

.

.


Ketika Namjoon mendapat telepon seperti itu dari Seokjin, dia segera menghubungi Hoseok dan meminta dokter itu untuk datang ke rumahnya malam ini juga untuk memeriksa Seokjin. Hoseok jelas saja menyetujui permintaan Namjoon karena sebelumnya Seokjin sudah menghubunginya dan seperti dugaan Seokjin, dia sedang mengandung. Hoseok memberitahukan kabar itu pada Namjoon namun pria dominan itu tidak memberikan banyak reaksi, Hoseok memutuskan untuk pasrah dan memberi pesan pada Namjoon untuk memperlakukan Seokjin dengan baik dan Namjoon mengiyakan tanpa banyak bicara.

Hoseok hanya tidak tahu apa yang sedang berada dalam pikiran Namjoon.

Namjoon berjalan memasuki kamarnya setelah pembicaraan singkatnya bersama Hoseok dan dia melihat Seokjin masih berbaring dengan damai. Tertidur pulas. Bahkan Namjoon bisa mendengar hembusan napas teratur Seokjin seiring dengan langkahnya yang semakin mendekati Seokjin.

Namjoon berhenti dan memutuskan untuk duduk di pinggir tempat tidur mereka. Dia memperhatikan wajah Seokjin yang terlelap dan entah kenapa Namjoon merasa damai. Dia tidak lagi merasa bahwa ini adalah semacam permainan dengan Seokjin disaat Seokjin membisikkan kalimat bahwa dia percaya pada Namjoon.

Dan senyum Namjoon akan selalu muncul ketika Seokjin mengatakan bahwa dia sudah terbiasa dengan kehadiran Namjoon di sekitarnya. Hal ini juga membuat Namjoon sedikit bersyukur karena setidaknya calon pewarisnya nanti tidak lahir dari hasil pemaksaan Namjoon terhadap Seokjin.

Tangan Namjoon terulur untuk membuka selimut Seokjin dengan perlahan dan hati-hati, ketika selimut itu sudah terbuka, Namjoon meletakkan telapak tangannya yang besar di atas abdomen Seokjin, mengelusnya pelan dan bisa merasakan bagian itu terasa keras, berbeda dengan bagian tubuh Seokjin yang lain yang terasa lembut dan empuk di bawah jemarinya.

Namjoon tersenyum, dia menekan sedikit tangannya. "Hey baby," bisiknya.

Sudah sejak lama Namjoon menginginkan keluarganya sendiri dan saat ini Seokjin sedang mengandung keturunannya. Darah daging Namjoon, seseorang yang nantinya akan benar-benar mewarisi apapun yang Namjoon miliki dan perjuangkan sejak awal.

Namjoon memejamkan matanya, sudah lama sekali sejak terakhir kalinya dia merasakan perasaan nyaman dan hangat seperti ini. Sudah lama sekali sejak terakhir kalinya dia merasa bahagia dan sekarang dia bisa merasa bahagia hanya karena merasakan calon anaknya yang berada di dalam perut Seokjin.

Namjoon mendesah pelan, dia membungkuk dan memberikan sebuah kecupan di perut Seokjin. "Aku akan menjagamu, kau adalah calon anggota keluargaku yang berharga."

Senyuman Namjoon kembali muncul dan setelahnya dia tertegun, Namjoon menyadari bahwa dia begitu terikat dengan calon anaknya karena memang dia mendambakan sebuah keluarga untuk dirinya sendiri sejak dulu.

Tapi jika itu benar, maka dia akan merasa terikat dan bergantung pada Seokjin karena Seokjin adalah seseorang yang mengandung calon anaknya.

Dan itu berarti, Namjoon telah kalah dalam permainan ini.

Dia sudah jatuh.

Pandangan Namjoon naik menuju Seokjin yang masih tertidur pulas kemudian turun ke tangannya yang masih berada di atas perut Seokjin. Namjoon mendesah pelan, "Kalian akan menjadi penyebab kematianku."


.

.

.


Hari ini adalah hari libur untuk Namjoon, dan biasanya dia akan tetap bekerja, mengurus dunia bawahnya saat akhir pekan tiba, tapi hari ini Namjoon bangun bukan untuk bersiap-siap untuk pergi, dia bangun untuk diam memandangi sosok Seokjin yang berbaring dengan damai di sebelahnya.

Namjoon tidak mengerti, dia akui sejak awal dia merasa tertarik pada Seokjin karena Seokjin memiliki jiwa yang kurang lebih sama dengannya. Seokjin berjuang untuk hidupnya, Namjoon berjuang untuk mengembalikan kehidupan dalam hatinya.

Terdengar sederhana, tapi kedua belah pihak akan rela membunuh untuk mendapatkannya.

Namjoon menarik napas, bibirnya membentuk sebuah senyum tipis saat melihat wajah tidur Seokjin yang anehnya tetap terlihat anggun dan mempesona.

Astaga, bagaimana mungkin seseorang yang sedang tidur bisa terlihat mengagumkan?

Tangan Namjoon terulur, jarak yang terbentang diantara mereka begitu besar dan didukung dengan ukuran tempat tidur mereka yang luas. Jemari Namjoon berhenti tepat di atas poni Seokjin, telunjuknya bergerak samar untuk menyentuh rambut Seokjin dengan ujung jarinya.

Rambut Seokjin sangat halus, mengingatkan Namjoon akan sensasi saat dia mengelus kepala Jungkook.

Seokjin menggeliat dan Namjoon menarik tangannya, dia bergerak bangun seraya menyibak selimutnya. Ketika Namjoon melirik lagi ke arah Seokjin, dia melihat pria itu sedang meregangkan tangannya seraya menguap dan akhirnya membuka matanya.

Namjoon masih ingat Taehyung pernah memuji mata Jungkook yang terlihat cantik.

Dan sialnya, Jungkook mendapatkan mata itu dari ibunya.

Mereka berdua benar-benar memiliki mata yang cantik luar biasa.

"Namjoon?" Seokjin menyapa dengan suara serak karena baru saja bangun tidur. Dia menggosok matanya dan menguap lagi.

"Aku mau mandi," Namjoon menyahut singkat dan berjalan menuju kamar mandi, dia menutup pintu di belakang tubuhnya dengan keras kemudian menarik napas dalam.

Sesuatu terasa menghangat karena gumaman malas Seokjin.

Namjoon tidak sadar sejak kapan dia menganggap suara Seokjin terdengar menyenangkan.

Yah, tapi setidaknya itu bukanlah sesuatu yang buruk. Benar, kan?

Sementara Namjoon berada dalam kamar mandi, Seokjin masih berada di tempat tidur, duduk di sana seraya merapikan rambutnya dengan jari, setelah selesai tangannya turun ke perutnya dan memberikan gerakan mengelus di sana.

Seokjin bukanlah seseorang yang akan mengalami kesulitan saat hamil, kehamilan pertamanya berlangsung dengan cukup baik, Jungkook tidak pernah menyusahkannya, dia bahkan tidak pernah membuat Seokjin mengalami morning sickness yang menyiksa. Jungkook hanya akan mengganggunya sesekali dengan permasalahan hormonal yang ringan.

Dan kelihatannya, calon bayinya yang kedua juga memiliki pemikiran yang sama seperti kakaknya.

Seokjin mendesah pelan, senyumnya muncul begitu saja saat mengelus-elus perutnya, kehamilan pertamanya diawali dengan penolakan Seokjin tapi Seokjin sangat menerima kehamilan keduanya ini. Dia tidak lagi merasa ketakutan karena dia yakin Namjoon akan menjaga calon bayi ini dengan baik.

Gerakan tangan Seokjin mengelus perutnya terhenti saat dia mengingat Namjoon.

Kenapa dia begitu yakin Namjoon akan menjaganya dan bayinya?

Pria itu tidak terlihat berbeda dari Jaehwan. Ya, Namjoon juga kejam, bahkan mungkin jauh lebih kejam dari Jaehwan.

Jadi, kenapa?

Kenapa Seokjin menganggap bahwa ini berbeda?

Seokjin masih tertegun dengan kepala yang penuh spekulasi ketika Namjoon keluar dari kamar mandi dengan kondisi segar. Namjoon mengerutkan dahinya melihat Seokjin terpaku dengan pandangan kosong, dan mau tidak mau membuat Namjoon gatal untuk bertanya.

"Kau oke?" tanya Namjoon.

Seokjin tersentak, dia menatap Namjoon kemudian menggeleng pelan.

"Mual? Kudengar orang yang hamil sering mual dipagi hari."

Seokjin menggeleng lagi, "Tidak," Seokjin tersenyum tipis, "Kurasa aku hanya tidak terbiasa dengan kehadirannya."

Namjoon menaikkan sebelah alisnya, pandangannya memperhatikan tangan Seokjin yang menempel di atas perutnya. "Ya, tapi pada kenyataannya, dia ada di dalam sana, berkembang dalam tubuhmu."

Seokjin mengangguk, kemudian dia menatap Namjoon. "Haruskah aku memberitahu Jungkook?"

Namjoon mengangguk, "Ya, karena anak itu suka melompat ke pangkuanmu."

Seokjin mendesah pelan, sebentar lagi dia tidak akan bisa terlalu sering memeluk dan meminang Jungkooknya karena dia membawa nyawa baru di dalam dirinya.

"Malam ini kita harus menghadiri fashion show yang akan diadakan oleh Jessica." Namjoon menoleh ke arah Seokjin, "Dia bilang dia sudah mengundangmu."

Seokjin terdiam, mencoba mengingat-ingat dan akhirnya dia mengangguk. "Ya, kurasa Jessica pernah mengatakan itu."

"Kau mau datang?"

"Jessica sudah mengundangku, kurasa aku harus datang."

Namjoon mengangguk, "Baiklah, tapi karena ini fashion shownya, dia tidak akan datang ke sini untuk meriasmu. Berdandanlah yang bagus, jangan membuatku dan Jessica malu."

Seokjin mengangguk seraya meringis pelan saat pinggulnya terasa sedikit kram.

Namjoon melihat bagaimana Seokjin mengelus pinggulnya dengan hati-hati dan itu membuat piyamanya tersibak secara tidak sengaja. Dan disanalah Namjoon melihatnya, memar di pinggul Seokjin akibat cengkramannya yang kuat.

Dahi Namjoon berkerut, kelihatannya dia harus mengingatkan dirinya sendiri untuk tidak mencoba menghancurkan pinggul Seokjin karena saat ini pria itu membawa anaknya dalam tubuhnya.


.

.

.


Acara fashion show Jessica diadakan di sebuah ballroom hotel mewah dan karena Jessica adalah desainer terkenal, media yang meliput acara ini benar-benar luar biasa. Dan Seokjin masih membenci kamera seperti biasanya.

Seokjin mengeluh pelan seraya menempelkan telapak tangannya ke perutnya yang terbalut kemeja dan jas, sementara Namjoon berjalan di sebelahnya dengan langkah tegas.

"Aku masih membenci kamera," Seokjin mengeluh lagi dengan lancarnya.

Namjoon melirik Seokjin, "Perbaiki ekspresimu, jangan membuatku malu."

Seokjin mengangguk perlahan dan memasang senyuman tipis profesionalnya. Sial, jika saja bisa, Seokjin ingin segera berlari melintasi red carpet dan duduk di kursinya yang berada di depan panggung runway.

Namjoon meraih pinggul Seokjin dan membawanya lebih dekat ke arahnya kemudian dia memasang senyuman tegasnya pada kamera para wartawan yang memotretnya. Seokjin tersenyum, mencoba membuat senyumnya terlihat manis sementara janin kecil di dalam perutnya kembali berulah dan membuat Seokjin kembali dilanda kram perut.

Seokjin mengaduh pelan dan ini membuat perhatian Namjoon tertuju padanya.

"Kau kenapa?" Namjoon bertanya dengan nada datar, tapi dari kerutan di dahinya, Seokjin bisa menduga Namjoon sedikit khawatir padanya.

"Perutku kram lagi," Seokjin mengeluh, tangannya mengusap perutnya dengan perlahan.

Tangan Namjoon bergerak secara refleks dan ikut menekan perut Seokjin yang terasa keras dan tindakan itu jelas tidak akan luput dari kamera wartawan yang segera menghujani mereka dengan blitz.

"Tuan Namjoon Kim! Apakah pasangan anda sedang mengandung?!"

Namjoon menoleh dengan dahi berkerut tidak suka saat mendengar suara melengking wartawan itu diantara yang lainnya. Namun wartawan lainnya mendadak menyerukan pertanyaan yang sama sehingga membuat Namjoon jengah dan menghela napas keras.

"Sebenarnya aku tidak suka mengumumkan ini di sini karena aku akan mencuri spotlight untuk Jessica, tapi karena kelihatannya kalian sangat penasaran, maka aku akan menjawabnya." Namjoon menatap kamera para wartawan dengan tajam. "Ya, Seokjin sedang mengandung."

Jawaban singkat itu membuat wartawan menggila, mereka menyerukan pertanyaan lainnya tapi Namjoon hanya mengangguk dan menggandeng Seokjin pergi dari red carpet dengan langkah lebar.

"Mereka akan benar-benar membuatku gila," Namjoon menggerutu dengan lancarnya dan Seokjin tersenyum tipis.


.

.

.


Selepas acara fashion show, Namjoon meminta mereka untuk menghadiri after party dan Seokjin benar-benar tidak tahan. Sebenarnya dia hanya ingin pulang dan tidur atau mungkin berbaring dan mengkompres perutnya dengan sesuatu yang hangat karena sumpah demi Tuhan, kram perutnya terasa seperti dia bisa membunuh Seokjin kapan saja.

Terlebih lagi berita kehamilan Seokjin menyebar dengan begitu cepat dan sejak tadi mereka selalu dikerumuni orang yang ingin mengucapkan selamat dan juga menjilat sedikit perhatian dari Namjoon. Seokjin merasa semakin mual dan dia benar-benar tidak tahan, Seokjin butuh udara segar dan untungnya Namjoon mengerti kondisi Seokjin, dia meminta Seokjin menunggunya di pinggir ruangan sementara Namjoon mengurus mereka yang ingin mengucapkan selamat pada Seokjin.

Seokjin berdiri di sudut ruangan seraya menahan perutnya yang kram, tangannya meremas gelas berisi squash di tangannya dengan keras. Seokjin ingin pulang, dia benar-benar ingin pulang dan tidur karena kelihatannya bayi dalam perutnya sedang melaksanakan aksi marah pada Seokjin.

Desahan pelan kembali keluar dari sela bibir Seokjin dan tangannya kembali bergerak untuk mengelus perutnya. Seokjin memperhatikan Namjoon yang sibuk berbicara dengan beberapa orang yang disebutnya sebagai 'kolega'. Namjoon terlihat biasa saja, dan di antara sekian banyaknya 'kolega' itu, Seokjin mengenali salah satunya sebagai cinta pertama Namjoon yang mereka temui sebelum acara fashion show dimulai.

Seokjin tidak tahu harus bereaksi seperti apa, tapi karena Namjoon sendiri terlihat tidak peduli dan juga tidak tertarik untuk membahas masalah cinta pertamanya lebih jauh, Seokjin pun tidak bisa mengatakan apapun. Walaupun sesungguhnya Seokjin merasa sangat marah dan entah kenapa dia benar-benar ingin Namjoon hanya melihatnya, bukan yang lain.

Ini salah, Seokjin tahu itu. Ini adalah sesuatu yang sangat salah dan seharusnya Seokjin menghentikan sikap posesifnya pada Namjoon. Dia tidak berhak melakukan ini, dia dan Namjoon terlibat dalam sebuah perjanjian yang menguntungkan kedua belah pihak dan seharusnya Seokjin mempertahankan status itu.

Seokjin tahu itu, dia sangat paham situasinya.

Akan tetapi dia juga tidak bisa mengontrol dirinya sendiri, entah kenapa Seokjin tidak bisa menghentikan dirinya untuk berhenti memikirkan keposesifan dirinya atas Namjoon.

Apakah mungkin ini karena bayinya?

Memikirkan semua ini membuat Seokjin pusing, dia mengeluh sakit lagi kemudian akhirnya meletakkan gelasnya ke meja, dia melambaikan tangan ke arah salah satu pengawal pribadinya yang menemani dirinya. "Tolong ambilkan aku air mineral." Seokjin berbisik dengan suara parau.

Pengawalnya mengangguk patuh dan segera pergi mengambilkan air untuk Seokjin sementara pengawalnya yang satu lagi bergerak mendekati Seokjin.

"Tuan, apa anda baik-baik saja? Apa anda ingin duduk?" ujar pengawalnya dengan nada khawatir.

Seokjin mengangguk, pesta ini memang hanya standing party sehingga Seokjin tidak melihat satu kursi pun di sekitar mereka. Seokjin mengusap pinggulnya yang mulai terasa kaku, "Ya, tolong carikan aku kursi."

Pengawalnya terlihat agak ragu, jelas saja karena jika dia pergi, maka itu akan membuat Seokjin berada di sini tanpa penjagaan apapun di sekitarnya karena Namjoon masih sibuk meladeni beberapa koleganya.

Seokjin menarik napas dalam dan menatap ke arah pengawalnya, berusaha menampilkan ekspresi yang meyakinkan. "Pergilah, kurasa tidak akan terjadi apa-apa hanya karena kau pergi mencarikanku kursi." Seokjin meringis, "Cepatlah, kurasa tulang pinggulku bisa patah kapan saja."

Pengawal Seokjin mengangguk dan bergegas pergi untuk mencarikan Seokjin kursi sementara Seokjin bersandar di dinding dengan ekspresi penuh derita seraya memejamkan matanya. Rasa sakit itu terasa semakin menyiksa dan Seokjin merasa dia bisa kehilangan kesadaran kapan saja.

Sakit. Sakit sekali.

Namjoon.. tolong..

"Seokjin? Kau baik-baik saja?"

Seokjin mendongak dengan gerakan cepat dan dia melihat Namjoon berjalan menghampirinya dengan dahi berkerut dalam. Namjoon mendekatinya dan menyentuh lengan atas Seokjin.

"Kau sakit? Tubuhmu gemetar." Namjoon mengusap dahi Seokjin yang berlapis keringat dingin.

Seokjin meraih lengan Namjoon dan meremasnya kuat, "Sakit.." rintihnya tanpa sadar.

Perutnya terasa semakin sakit seperti diremas dengan kuat dari dalam, Seokjin mengerang pelan dengan penuh penderitaan seraya mencakar lengan Namjoon yang berada dalam genggamannya. Seokjin tidak akan mungkin membiarkan Namjoon meninggalkannya disaat dirinya merasakan rasa sakit yang teramat sangat seperti ini.

Tidak, Namjoon adalah miliknya. Seokjin tidak akan membiarkannya pergi, Seokjin tidak akan membiarkan Namjoon melirik gadis cinta pertamanya itu.

Tidak, Seokjin tidak mau.

Seokjin mendongak menatap Namjoon, "K-kau sudah berjanji.. a-akan membantuku.." Seokjin terisak, rasa sakit di perutnya terlampau hebat hingga Seokjin menangis, kakinya terasa semakin lemas.

"J-jangan pergi... kau.. kau sudah berjanji.. jangan.." Seokjin menggigit bibirnya, tangannya menyentuh perutnya dan meremasnya. "J-jangan kembali padanya.."

"Seokjin, kau bicara apa?" Namjoon menopang pinggul Seokjin dengan sebelah tangannya, "Kondisimu mengerikan, kita harus menemui Hoseok."

Seokjin menahan Namjoon saat pria itu bergerak untuk membawanya pergi, airmata mengalir semakin deras dari mata Seokjin dan dia merasakan kepalanya berdenyut mengerikan.

"J-jangan pergi.. k-kau sudah berjanji.." Seokjin menggerakkan telapak tangannya yang bergetar untuk menangkup wajah Namjoon. "K-kau sudah b-berjanji akan.. m-membantuku, ja-jadi lihat aku.. h-hanya aku.."

Seokjin merasakan sebuah rasa sakit hebat seolah perutnya baru saja ditinju dengan keras, dia mengerang kesakitan dengan penuh derita dan setelahnya Seokjin merasa tubuhnya melayang dan Namjoon menangkapnya tepat sebelum tubuhnya merosot menghantam lantai.

Seokjin memaksakan matanya untuk tetap terbuka sementara Namjoon memeluknya dan berulang kali memanggil namanya.

"Seokjin? Hei, Seokjin!" Namjoon menangkup rahang Seokjin dengan hati-hati, mata Seokjin perlahan tertutup dan Namjoon merasakan ketakutan luar biasa yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. "Sial, cari Hoseok! Cari dia!" Namjoon membentak dengan marah sementara dia memeluk Seokjin diantara lengannya.

Pengawal Namjoon bergegas pergi mencari Hoseok sementara Namjoon memeluk Seokjin erat-erat. "Seokjin? Seokjin, tetap bersamaku. Seokjin? Oh Tuhan.." Namjoon memeluk Seokjin seraya membisikkan nama Seokjin berulang kali di telinganya.

"Namjoon!"

Namjoon mengangkat kepalanya saat melihat Hoseok berdiri tak jauh dari mereka, "Hoseok! Seokjin.. dia.."

"Cepat bawa dia ke rumah." Hoseok memberi kode agar para pengawal Namjoon membantu untuk membuka jalan sementara Namjoon menggendong Seokjin dan membawanya pergi menuju mobil.

Hoseok masuk ke salah satu mobil dan menyalakan mesin sementara Namjoon masuk ke kursi belakang bersama Seokjin. Namjoon mengusap wajah Seokjin yang basah karena keringat dingin dan wajah Seokjin bertambah pucat.

"Sial, Hoseok cepatlah!" teriak Namjoon panik.

Hoseok menginjak pedal gas lebih dalam sementara dia menatap ke belakang, ke arah Namjoon yang terlihat luar biasa khawatir.

Itu adalah pertama kalinya Hoseok melihat Namjoon sangat panik dan khawatir karena orang lain setelah bertahun-tahun hidup Namjoon yang menyeramkan.

Hoseok tidak bodoh, dia bisa menyimpulkan apa yang terjadi di antara mereka.

Dan Hoseok merasa sangat bersyukur karenanya.


.

.


Menurutmu, apa yang terjadi ketika Hades jatuh cinta?

Dia ragu.

.

.

Kenapa?

Karena dia yakin dia membawa Persephone bukan karena cinta.

.

.

Menurutmu, apa yang terjadi ketika Persephone jatuh cinta?

Dia ragu.

.

.

Kenapa?

Karena dia yakin Hades bukanlah sosok yang tepat untuk dicintai.

.

.

Lantas kenapa akhirnya mereka menerima cinta itu?

Karena mereka sadar, mereka akan mati jika kehilangan satu sama lain.


The End


.

.

Jangan kecewa, ada sedikit Epilog untuk kalian. Hehe

Akhir cerita Heaven and Hell dan epilog di sini berbeda dengan apa yang ada di fanbook jadi bagi yang sudah membaca fanbook sangat diperbolehkan untuk membaca chapter terakhir ini lagi. Hehe

Aku sengaja membuat akhir ceritanya berbeda agar para pembaca di Wattpad tidak kecewa dengan endingnya yang cliffhanger sekali, karena itu aku rubah versi asli dari Heaven and Hell versi Wattpad dan FFN yang sudah kurencanakan dan kuganti dengan ini.

Kuharap kalian tidak kecewa huhuhu T-T

.

.


Epilogue


"Jadi?"

Hoseok melirik Namjoon yang berdiri tak jauh darinya yang sedang memeriksa Seokjin. Hoseok menegakkan tubuhnya, "Seokjin stress, dan stress memang bisa menyebabkan kondisi itu, bayi kalian bergantung pada kondisi Seokjin. Tapi Seokjin sudah membaik, kau bisa tenang sekarang."

Namjoon menghembuskan napas lega dan duduk di sebelah Seokjin yang terlelap.

Hoseok mengerutkan dahinya, "Kau terlihat menyeramkan tadi, Namjoon. Tidak biasanya kau seperti itu."

"Yah, aku sedang panik."

Sebelah alis Hoseok terangkat, "Panik karena Seokjin?"

Namjoon menghela napas pelan, "Hoseok, kau mengenalku. Kau tahu seberapa inginnya aku memiliki keluarga dan saat ini Seokjin sedang membawa bagian dari diriku, keluargaku, satu-satunya keluargaku yang sesungguhnya."

Hoseok terdiam, sesungguhnya dia memang sudah mengerti mengenai kepribadian Namjoon. Dia mengenal Namjoon dengan baik dan Hoseok tahu soal ini.

Namjoon tidak seburuk itu.

Hoseok menghela napas pelan, "Aku mengerti." Hoseok membereskan barang-barangnya, "Hanya, perlakukan dia dengan baik setelah ini."

Namjoon terdiam cukup lama, "Aku tahu."

Hoseok tersenyum tipis kemudian dia berjalan keluar dari kamar Namjoon. Setelah Hoseok keluar, Namjoon membaringkan dirinya di sebelah Seokjin, tangannya terulur menyentuh perut Seokjin yang terasa agak keras.

Namjoon menghela napas pelan, "Aku tidak tahu apakah ini adalah keputusan yang tepat atau tidak, tapi aku serius ketika mengatakan kalian akan menjadi penyebab kematianku." Namjoon tersenyum tipis, "Tapi kurasa.. ini tidak buruk, bukan?" Namjoon menarik napas dalam kemudian memejamkan matanya dan perlahan tertidur.

Tak lama setelah Namjoon tertidur, Seokjin membuka matanya dan melirik Namjoon yang tertidur di sebelahnya dengan tangan di atas perutnya. "Ya, ini tidak buruk." bisiknya.


End of Epilogue


.

.

Terima kasih untuk semua dukungannya selama penulisan ff ini!

Sampai ketemu di chaptered fictku yang lainnya~