Seokjin tidak tahu apa yang salah darinya, tubuhnya ataukah nasibnya. Yang jelas sepertinya nasib baik tidak pernah berpihak padanya.

Usianya dua puluh satu tahun di tahun ini. Dia seorang carrier tanpa suami dengan seorang anak berusia empat tahun.

Ya, dia carrier, tanpa suami, dengan seorang anak.

Dan itu semua terjadi karena memang nasibnya yang jelek.

Jelek sekali.

Usianya masih tujuh belas tahun ketika dia diperkosa oleh teman sekelasnya dan orangtuanya yang murka akhirnya mengusirnya dari rumahnya sendiri saat tahu Seokjin hamil karena itu.

Yah, itu wajar saja, karena sejak awal orangtuanya memang membenci Seokjin yang seorang carrier, mereka lebih menyayangi adik Seokjin yang bahkan berbeda sepuluh tahun dengannya, yang seorang dominan.

Sebenarnya, bukan mau Seokjin dia menjadi carrier. Dia bisa apa jika Tuhan mentakdirkan dia menjadi carrier? Apakah orangtuanya berpikir bahwa mereka lah yang akan menentukan apa takdir dari anaknya? Apakah akan menjadi dominan atau carrier?

Setelah kasus pemerkosaan yang diterimanya, Seokjin memutuskan untuk berhenti sekolah dan berusaha keras menghidupi dirinya sendiri dan calon anaknya. Seokjin tidak peduli orang lain mencibirnya dan terus saja menghinanya sedemikian rupa, Seokjin mencoba menulikan telinganya, selama mereka tidak menghina bayinya, dia tidak akan keberatan.

Seokjin tidak masalah mereka memukuli dirinya, selama mereka tidak memukuli anaknya, Seokjin tidak akan keberatan.

Karena ketika di hari pertama Seokjin melihat bola mata bayinya yang sama persis dengan dirinya, Seokjin tahu kalau dia akan hidup untuk anaknya.

Bahwa dia akan terus hidup untuk bayi kecilnya, Jungkook. Selamanya.


Heaven and Hell

.

.

.

a BTS fanfiction

by

Black Lunalite

.

.

.

.

Warn!

Mafia!AU, BL, contains some abuse and abusive relationship.

This story is pure fiction.

Read at your own risk.


.

.

.

.


Part 1: Hell on Earth


"Mama, apakah kita bisa pergi membeli itu?"

Seokjin menunduk saat mendengar suara polos anaknya yang bertanya seraya menunjuk ke sebuah stall mungil yang menjual bakpau daging.

Hati Seokjin mengerut saat melihat anaknya menatap bakpau daging yang mengeluarkan uap hangat itu dengan pandangan memuja dan liur yang hampir menetes. Seokjin ingin sekali mengatakan kalau mereka bisa membeli itu, bahkan Seokjin ingin sekali membelikan bakpau yang kelihatannya sangat diidamkan oleh anaknya sebanyak yang bayi kecilnya inginkan.

Tapi sayangnya, realita tidak pernah sesuai dengan kenyataan.

Seokjin berlutut, berusaha menyamakan tingginya dengan tinggi anak laki-lakinya yang berusia empat tahun. "Kookie.." bisik Seokjin memulai.

Anaknya, Jungkook, menatapnya dengan pandangan polos dan Seokjin selalu ingin menangis saat menyadari putranya yang cantik dan polos harus hidup dengan keras bersama dengan ibunya yang bodoh dan miskin.

"Kita tidak bisa membeli itu.." Seokjin memulai dan Jungkook langsung melengkungkan bibirnya ke bawah, bola mata coklat gelapnya yang tadinya menatap penuh harap menjadi meredup penuh kesedihan.

"Jungkook ingin sekali memakan itu ya?" ujar Seokjin, dia sangat sedih jika melihat bayinya murung dan melihat anaknya menangis adalah hal terakhir yang dia inginkan di dunia ini.

Sayangnya, anaknya dan dia sudah terlampau sering menangis.

Karena kelaparan.

Karena ketakutan.

Karena kurangnya rasa aman untuk mereka.

Karena hidup mereka yang terasa seperti di neraka.

Jungkook mengangguk, "Tapi tidak apa, Mama. Kookie kan sudah makan roti lapis tadi pagi. Kookie masih kenyang."

Oh Tuhanku..

Seokjin nyaris menangis mendengar anaknya berbicara dengan begitu perhatian. Astaga, dia hanyalah bocah berusia empat tahun yang seharusnya mendapatkan apapun yang dia inginkan.

Tapi hidup bersama Seokjin jelas tidak akan menjamin itu.

Seokjin tersenyum, dia mengusap rambut tebal anaknya dengan hati-hati, "Nanti, kalau Mama mendapat uang tambahan saat bekerja, Mama akan membelikanmu bakpau daging."

Mata Jungkook berbinar, "Apakah Mama akan mendapat uang hari ini?"

Seokjin mengangguk, hari ini memang hari gajiannya. "Ayo, kita pergi mengambil uang Mama."

Jungkook mengangguk, dia meraih tangan ibunya dan menyelipkan tangannya di telapak tangan ibunya. Seokjin tersenyum dan menggandeng putranya berjalan menyusuri koridor, meninggalkan taman tempat mereka berada.


.

.

.


Musim gugur sudah hampir tiba, dan hawa dingin yang mulai menusuk membuat Seokjin harus memakaikan Jungkook pakaian yang berlapis agar putranya tidak kedinginan. Bahkan Seokjin memakaikan syal satu-satunya yang mereka punya ke leher Jungkook agar bayinya tidak kedinginan.

Seokjin tidak masalah jika dia akan terkena hipotermia, baginya, selama anaknya bisa nyaman dan aman dalam pakaian yang hangat, Seokjin tidak akan keberatan.

"Mama, apa Mama tidak dingin?" ujar Jungkook, mendongak menatap ibunya yang memakai jaket tipis yang sudah kumal. "Mama bisa pakai syal ini." Jungkook sudah bergerak hendak melepaskan syal yang membungkus lehernya tapi Seokjin menghentikannya.

"Jangan, Mama tidak kedinginan, kok." Seokjin merapikan kembali syal anaknya dan menggendongnya. "Kalau Mama sudah mendapat uang nanti, Jungkook mau makan apa?"

Jungkook terdiam, dahinya berkerut dengan telunjuk mungil yang diletakkan di dagunya, memasang pose berpikir yang mengundang senyuman di wajah Seokjin.

"Aku mau susu pisang. Apa kita bisa membeli itu, Mama?" tanya Jungkook.

Seokjin mengangguk, "Nanti Mama akan membelikan Kookie dua botol susu pisang."

Jungkook tersenyum lebar dan mengucapkan 'Terima kasih, Mama!' kemudian memeluk leher Seokjin erat-erat

Seokjin dan Jungkook terus berjalan hingga akhirnya mereka berhenti di sebuah toko serba ada yang mempekerjakan Seokjin sebagai pengantar susu.

"Permisi," sapa Seokjin dan seorang wanita paruh baya keluar dari balik pintu toko.

"Ah, Seokjinnie. Kau mau mengambil gajimu, ya?" ujar wanita itu ramah dengan senyuman lebar di wajahnya yang mulai dipenuhi kerutan karena usia.

Seokjin mengangguk pelan, "Maaf kalau aku menganggu."

Wanita itu tertawa pelan, "Ah tidak, bagaimana mungkin kau mengganggu. Ayo, masuklah, Kookie juga, masuklah." Wanita itu berbalik dengan tangan yang melambai-lambai ke arah Seokjin dan Jungkook, memberi gestur agar mereka cepat masuk ke dalam toko.

Seokjin masuk ke dalam toko masih dengan kondisi menggendong Jungkook yang menatap ke sekeliling toko dengan tatapan penasaran.

Wanita itu berjalan menuju meja kasir dan menarik keluar sebuah amplop dari salah satu laci kemudian berjalan menghampiri Seokjin. "Nah, ini gajimu."

Seokjin menerima amplop itu dan setelahnya membungkuk penuh rasa terima kasih, "Terima kasih banyak." Kemudian dia tersenyum menatap Jungkook, "Mama akan membelikan Kookie susu pisang nanti."

"Susu pisang? Aku punya." Wanita itu berjalan menuju sebuah lemari pendingin dan menarik keluar empat botol susu pisang kemudian memberikannya ke Seokjin.

Seokjin menerimanya dengan ragu-ragu, "I-ini terlalu banyak. Aku hanya ingin membeli dua saja."

Wanita itu mengibaskan tangannya, "Eiy, jangan begitu. Aku juga tidak mau kau membayarnya, ambilah itu. Anggap saja itu hadiah untuk Kookie yang manis."

"Tapi.."

"Aku tidak menerima penolakan, Seokjinnie."

Seokjin menggigit bibirnya kemudian menunduk untuk mengucapkan terima kasih, "Kookie, ucapkan terima kasih."

"Terima kasih, ahjumma." Jungkook berujar patuh seraya membungkuk sopan.

Wanita itu tersenyum dan tangannya terulur untuk mengusap-usap pipi gembil Jungkook yang kemerahan, "Aigoo, lucunya." Kemudian dia menatap ke arah Seokjin yang masih tersenyum penuh terima kasih, "Kookie ini dominan atau carrier?"

"Carrier, sama sepertiku." Seokjin menjawab pelan.

"Aigoo, dia pasti akan menjadi carrier yang cantik seperti ibunya." Wanita itu tersenyum lagi, sementara tangannya terus aktif mengusap-usap wajah Jungkook.

"T-terima kasih.." ujar Seokjin, "Nyonya, jika tidak ada yang membutuhkan bantuanku, aku ingin pamit. Aku masih ada pekerjaan."

Wanita itu berdecak, "Aish, sudah kubilang kau tidak perlu seformal itu padaku. Bahkan kau boleh memanggilku 'Ibu'. Dan pergilah, jangan sampai terlambat untuk bekerja."

Seokjin tersenyum dan pamit dari wanita pemilik toko itu, dia berjalan bersama Jungkook menyusuri trotoar menuju tempat kerja Seokjin yang berikutnya. Sebuah restoran.

Seokjin bekerja di sana sebagai tukang bersih-bersih dan pencuci piring karena dia memang tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk mendaftar sebagai pelayan. Walaupun pemilik restoran itu sering menyesali itu karena Seokjin yang cantik pasti akan menarik banyak pembeli, tapi tetap saja Seokjin tidak pernah berani mencoba bekerja sebagai pelayan karena dia memang tidak memiliki kemampuan untuk itu.

"Kookie, nanti sewaktu Mama bekerja kamu jangan nakal ya. Tunggu Mama di taman seperti biasanya, kalau dingin, Kookie pergi ke tempat bekerja Mama dan ketuk pintunya ya. Ingat, jangan memaksakan diri berdiri di luar kalau memang Kookie sudah merasa dingin.

Jungkook mengangguk pelan, "Mama, apakah Kookie boleh meminum susu pisang ini?"

Seokjin mengangguk dan dia membantu anaknya untuk membuka botol susu pisangnya. Jungkook menyedot susunya dengan semangat sementara tangannya yang digandeng oleh Seokjin terayun-ayun gembira.

"Hyung! Aish! Bagaimana mungkin kau meninggalkanku di tempat seperti itu?!"

Seokjin berhenti melangkah saat mendengar suara berat seseorang sedang berteriak-teriak marah seraya menelepon seseorang. Hidup sulit selama bertahun-tahun membuat Seokjin trauma terhadap suara bentakan atau teriakan, tiap kali dia mendengar suara itu, dia selalu merasa bentakan itu ditujukan padanya.

Seokjin mengangkat tubuh anaknya ke gendongannya dan memegangnya dengan tangan gemetar.

"Mama?" ujar Jungkook bingung.

Seokjin berdehem untuk menyembunyikan kegugupannya dan dia berjalan dengan hati-hati untuk melewati seorang pria muda yang masih saja marah-marah di telepon.

"Apanya yang bagus? Tempat itu penuh pelacur murahan! Aku nyaris saja melubangi otak kosong mereka!"

Seokjin bergidik ketakutan, dia sudah tidak asing dengan urusan geng di jalanan karena memang kota metropolitan tidak pernah lepas dari sesuatu bernama 'mafia', 'geng', dan sejenisnya. Seokjin berusaha berjalan dengan sehati-hati mungkin agar tidak menarik perhatian namun sayangnya, botol kecil susu pisang Jungkook yang sudah habis terjatuh tepat saat Seokjin berjalan melewati pria itu.

Pria itu menoleh dengan decakan kesal dan Seokjin buru-buru membungkuk untuk mengambil botol yang terjatuh, berusaha mengacuhkan rengekan Jungkook yang merasa pusing karena Mamanya tiba-tiba saja membungkuk.

"M-maaf.." Seokjin bergumam pelan dan bergegas menegakkan tubuhnya untuk melarikan diri.

"Hei!"

Suara panggilan itu membuat Seokjin terhenti, dia mendongak dan menatap pria yang berdiri di hadapannya dengan takut-takut, pelukannya di Jungkook menguat dengan sendirinya sebagai bentuk perlindungan untuk anaknya.

"Apa itu susu pisang?" tanya pria itu, mendadak saja terlihat cerah dan tidak marah-marah bahkan sampai berniat melubangi kepala orang lain seperti tadi.

Seokjin mengangguk ragu-ragu.

"Apa kau masih memilikinya? Boleh aku membelinya?" ujar pria itu. "Aku terlalu malas mencari toko di sekitar sini karena sebentar lagi mobil yang akan menjemputku datang."

Seokjin terdiam, terlihat luar biasa ragu tapi akhirnya dia mengangguk dan mengulurukan sebotol susu pisang pada pria itu.

Pria itu menerimanya dengan senyum cerah, "Terima kasih, berapa aku harus membayar?"

Seokjin terdiam, dia menggeleng pelan seraya menggigit bibirnya. Ketakutan seolah menelan suaranya dan Seokjin berdoa semoga saja pria itu tidak menganggap tindakan Seokjin sebagai tindakan tidak sopan.

"Kau tidak mau aku membayar untuk ini?" tanya pria itu lagi.

Seokjin mengangguk pendek.

"Benarkah? Apa tidak apa-apa? Aku yakin susu ini milik si kecil yang manis ini." Pria itu melangkah mendekati Jungkook dan Seokjin melangkah mundur dengan defensif.

Pria itu berhenti, dia memperhatikan wajah ketakutan Seokjin dan sadar kalau dia sudah melakukan kesalahan. "Maaf, aku hanya ingin meminta izin pada putramu karena kau memberikan susunya untukku." ujarnya kemudian dia mengangkat botol kecil di tangannya, "Apa kau tidak keberatan jika aku mengambil ini?" ujarnya pada Jungkook.

Jungkook berkedip lucu tapi dia menggeleng pelan, "Mama bilang kita harus saling berbagi."

Pria itu tersenyum lebar, "Ow, kau manis sekali. Mamamu mendidikmu dengan baik, terima kasih ya."

Jungkook mengangguk lucu dan pria itu tertawa kecil. Tangannya terulur untuk menyentuh Jungkook tapi Seokjin bergerak mundur lagi.

"K-kami harus pergi." Seokjin berujar cepat dan setelah dia segera berjalan cepat meninggalkan pria muda itu di trotoar.

"Ah, hei!" ujar pria itu mencoba menghentikan Seokjin tapi Seokjin justru berjalan semakin cepat. "Aneh sekali dia, aku kan hanya ingin berterima kasih."

"Taehyung,"

Pria itu menoleh dan dia segera berjalan menghampiri mobil yang terparkir di pinggir jalan, "Namjoon Hyung? Kau sedang apa?"

Pria yang duduk di dalam mobil itu berdecak, "Justru aku yang seharusnya menanyakan itu. Kau sedang apa?"

"Aku sedang menunggu Jinyoung menjemputku. Yoongi Hyung menipuku, dia bilang kau memberiku tugas untuk membunuh seseorang di sini tapi ternyata Yoongi Hyung justru melemparku ke sekumpulan pelacur mengerikan yang mengaku fansku." Taehyung bergidik.

Namjoon tersenyum miring, "Seharusnya kau nikmati saja mereka, kau sudah legal untuk urusan itu."

Taehyung berdecak, "Hyung, aku masih tujuh belas, dan tidak peduli berapapun usiaku, aku tetap tidak akan mau meletakkan tanganku di atas pelacur-pelacur murahan itu. Tanganku terlalu mahal."

Namjoon tertawa, kemudian pandangannya tertuju pada botol kecil di tangan Taehyung. "Apa itu?"

"Ini? Susu pisang. Seseorang yang baik hati memberikannya padaku, padahal aku sudah berniat membayar tapi dia menolak." Taehyung menjelaskan seraya membuka penutup botol susunya dan meneguk isinya.

Dahi Namjoon berkerut, "Siapa?"

"Entahlah, kurasa seorang pria carrier dengan anaknya. Anaknya manis sekali, kau pasti jatuh cinta kalau melihat matanya, matanya sangat cantik."

Namjoon mendengus tidak tertarik, "Ya, silahkan nikmati waktumu dan susu kekanakkanmu. Aku harus pergi."

Taehyung melempar botol susunya yang sudah kosong ke tempat sampah terdekat dan melakukan selebrasi ringan saat lemparannya tepat sasaran. "Kau tidak mau mengantarku pulang, Hyung?"

"Tidak, aku sibuk. Dan bukankah kau bilang Jinyoung sedang dalam perjalanan untuk menjemputmu?"

"Ah, oke. Pergilah, Hyung."

Namjoon menggeleng pelan, "Jangan lupa malam ini kita punya pekerjaan."

"Pekerjaan apa?"

Namjoon mendesah lelah, "Bang mengadakan pelelangan. Yoongi akan datang, tapi Jimin tidak, dan kau harus datang untuk melihat sistem pelelangan karena aku berencana menugaskanmu untuk mengurus bisnis itu."

"Kau tahu aku tidak pernah tertarik dengan bisnis pelelangan manusia, terutama carrier." Taehyung mendesis.

"Ya, aku tahu. Tapi ini pekerjaan."

Taehyung terdiam dengan wajah cemberut, "Oke, aku akan datang."

"Nikmati lelangnya karena aku dan Bang ada urusan bisnis." Namjoon menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, "Belilah sesuatu yang menurutmu menarik."

"Kurasa aku tidak akan membeli apapun." Taehyung berujar dengan hidung mengerut tidak suka.

"Ya, kita lihat saja nanti."


.

.

.


Seokjin baru saja menyelesaikan pekerjaan terakhirnya yaitu membersihkan sebuah galeri seni dan saat ini waktu sudah memasuki hampir tengah malam. Seokjin membereskan peralatannya kemudian menjemput Jungkook yang sudah tertidur dengan beralaskan mantel Seokjin.

Ya, Seokjin tidak pernah meninggalkan Jungkook jika dia pergi bekerja, di pagi buta saat dia bekerja sebagai pengantar susu, Seokjin akan mengajak anaknya ikut serta dan mendudukkan bayinya di boncengan sepeda. Kemudian ketika Seokjin pergi ke pekerjaan keduanya di restoran, Seokjin akan meminta anaknya menunggu di taman sampai dia selesai. Lalu ketika dia pergi ke pekerjaan keempatnya di sore hari di pom bensin, Seokjin akan meminta anaknya untuk menunggunya di sebelahnya.

Semua atasan di tempat kerja Seokjin sudah sangat terbiasa melihat Jungkook yang selalu ikut kemanapun Seokjin pergi, dan semuanya tidak keberatan untuk itu karena Jungkook adalah anak yang sangat penurut dan manis. Dia tidak pernah bertingkah laku nakal, dia hanya akan diam menunggu ibunya selesai bekerja dengan sabar dan kehadiran Jungkook justru membuat rekan kerjanya dan para pelanggan bahagia karena wajah anak itu yang memang terlalu manis.

Seokjin tersenyum kecil dan memutuskan untuk menggendong Jungkook, dia harus segera pulang agak anaknya bisa segera tidur di tempat tidur yang nyaman. Yah, walaupun kasur di rumah kecilnya tidak senyaman itu, tapi setidaknya di sana Jungkook akan tidur bersama Bon-Bon, boneka kelinci kesayangannya, satu-satunya boneka yang dimiliki Jungkook karena memang hanya itu yang sanggup Seokjin belikan untuknya.

Kaki Seokjin bergerak perlahan menyusuri trotoar dengan Jungkook dalam gendongannya. Suasana jalan sudah sangat sepi mengingat saat ini memang sudah lewat dari jam sepuluh malam dan Seokjin membutuhkan waktu sekitar 45 menit untuk berjalan kaki dari galeri seni tempatnya bekerja menuju rumah kecilnya yang terletak di kawasan kumuh di sudut kota.

Seokjin bersenandung pelan agar Jungkook tertidur semakin nyenyak dan mereka baru saja melewati sebuah persimpangan ketika tiba-tiba saja empat buah mobil SUV berhenti di hadapan mereka. Seokjin mengerutkan dahinya bingung tapi tiba-tiba saja segerombolan pria keluar dari sana dan menyergapnya, memisahkannya dari Jungkook dan menahannya di tanah saat Seokjin berteriak dan meronta.

"Wah, kita mendapat jackpot, seorang carrier dan anaknya." Salah satu diantara para pria itu tertawa keras dan Seokjin langsung menyadari situasi apa yang sedang dihadapinya.

Dia akan diculik oleh sekumpulan anggota geng.

Seokjin memberontak dan terus saja berteriak-teriak minta tolong dan keributan itu membuat Jungkook menangis histeris.

"Mama!" raung Jungkook dalam gendongan pria yang memeganginya.

Sementara itu si pria justru menempeleng Jungkook dengan keras karena telinganya berdenging akibat tangisan Jungkook.

"Jangan sentuh anakku! Lepaskan dia! Lepaskan!" Seokjin berteriak, berusaha sekuat mungkin melepaskan diri dari dua orang pria yang dia yakini dominan, yang sedang menahannya.

Jungkook menangis tersedu-sedu dan salah satu pria membentaknya agar Jungkook diam. Jungkook terlihat luar biasa ketakutan dan Seokjin yakin anaknya akan trauma.

"Lepaskan aku!" Seokjin berteriak lagi.

Salah satu pria yang sejak tadi memperhatikan mereka berdecak, "Bius saja anak itu dan pria carrier ini."

"Tapi suntikan bius yang tersisa tinggal satu, Bos."

"Aish, kalau begitu hajar saja pria carrier itu sampai pingsan. Merepotkan sekali. Ayo cepat, Bos Besar sudah menunggu kita."

Seokjin semakin panik, dia berusaha melepaskan dirinya ketika dia melihat salah satu pria mengeluarkan sebuah jarum suntik.

"Tidak! Tidak! Jungkook! Jangan sakiti dia! Jangan sakiti anakku!" Seokjin berteriak, suaranya pecah karena dia berteriak terlalu keras dan airmata mulai mengalir di pipinya karena ketakutan.

"Jungkook! JUNGKOOK!" teriak Seokjin.

"Aish, bungkam dia. Berisik sekali."

Dan setelahnya Seokjin merasakan pukulan keras di tengkuknya. Kepalanya berputar karena pukulan itu sangat keras, Seokjin bersyukur tulang lehernya tidak patah karena pukulan hebat itu. Dia mencoba membuka matanya hanya untuk melihat seseorang menyuntikkan sesuatu ke leher anaknya dan membawanya masuk ke dalam mobil dan setelahnya semuanya gelap untuk Seokjin.


.

.

.


"Aku benci acara semacam ini." keluh Taehyung seraya melipat tangannya di depan dada.

Yoongi yang duduk di sebelahnya terkekeh pelan, "Kau memang masih terlalu muda untuk menikmati acara semacam ini. Tapi acara ini menyenangkan, kau tahu?"

"Apanya yang menyenangkan sih, Hyung? Mereka menjual para wanita dan pria carrier di acara ini!"

"Itu karena pria carrier sangat jarang, Tae. Dan mereka biasanya kuat melahirkan banyak anak, karena itulah mereka dijual."

Taehyung mendecih, "Bisnis kotor yang dilaknat Tuhan."

Yoongi tertawa, dia meraih gelasnya dan menyesap cocktailnya dengan gerakan pelan, "Ah, gimlet di tempat ini lumayan juga."

"Sialan, kenapa Namjoon Hyung menyuruhku datang ke acara semacam ini, sih?"

Yoongi mengecap bibirnya dengan suara agak keras, "Karena undangan yang diterima Namjoon dari Bang adalah untuk dua orang. Dan Jimin, Jiminku tidak akan mau melihat sesama pria carrier seperti dirinya dijual di depan matanya." Yoongi menuding Taehyung dengan gelasnya, "Karena itulah dia memintamu datang."

"Ya, aku sendiri juga tidak akan pernah mengizinkan Jiminnie Hyung yang manis itu datang ke acara laknat ini."

"Hei," ujar Yoongi memperingatkan. "Jimin milikku."

Taehyung memutar bola matanya, "Kau pikir aku peduli?"

Yoongi menggeram dan nyaris saja melempar gelas cocktailnya ke Taehyung namun dia terhenti saat mendengar suara membahana dari MC di acara pelelangan malam ini.

Mereka berdua membenarkan posisi duduk mereka dan mulai memperhatikan perkenalan basa-basi dari si MC yang berdiri di panggung.

"Nah, barang pertama yang akan dilelang malam ini adalah.." ujar MC itu dengan begitu bersemangat yang disambut dengan sorakan dari para penonton acara.

"Acara ini benar-benar membosankan, Tuhan.." keluh Taehyung.


.

.

.


Namjoon berjalan menyusuri bagian belakang rumah pelelangan ini bersama sekitar selusin pengawal pribadinya. Mata Namjoon menyipit saat melihat beberapa wanita dan pria yang terlihat menangis di pojok sel, bahkan ada beberapa diantara mereka yang memiliki bekas luka.

"Mr. Kim! Senang melihatmu bersedia datang ke tempat ini!"

Namjoon mengangkat pandangannya dan dia melihat Bang Yongguk, tuan rumah tempat ini, sedang berjalan menghampirinya bersama dua orang jalang wanita di antara lengannya.

Namjoon mengangguk singkat, "Aku hanya datang untuk bisnis kita."

Yongguk terkekeh, "Masih serius seperti biasanya." Yongguk melepaskan dua jalang di lengannya dan mendorongnya dengan santai untuk menjauh darinya, "Bagaimana kalau kau melihat-lihat barang yang ditawarkan malam ini? Mungkin kau akan tertarik?"

Namjoon tersenyum tipis, "Mungkin.. aku sudah menempatkan orangku di acaramu. Aku yakin mereka akan membeli sesuatu yang menarik."

Yongguk tersenyum, "Bagus sekali."

"TIDAK! LEPASKAN AKU! LEPASKAN!"

Dahi Namjoon berkerut saat mendengar teriakan itu, dia menoleh ke arah asal suara dan melihat seorang pria sedang diseret oleh dua orang pria lainnya.

Yongguk tersenyum gugup, "Maaf, orangku akan mengurusnya."

"Dia tidak berasal dari dalam sel?" ujar Namjoon.

Yongguk menjilat bibirnya pelan, "Well, beberapa dari mereka memang tidak berasal dari sel karena sejak awal diperdagangkan."

Dahi Namjoon berkerut, "Maksudmu kau menculik warga biasa?"

Yongguk menggeleng cepat, dia mengibaskan tangannya dengan panik, "Kami hanya menculik para tunawisma. Sesuai perjanjian kami denganmu, kami tidak pernah dan tidak akan menculik dan menjual warga biasa."

"Dan anak-anak, kurasa aku sudah mengingatkanmu untuk tidak menjual anak-anak." Namjoon mengingatkan dengan suara tegas dan itu membuat Yongguk mengangguk gugup.

"LEPASKAN AKU! BERIKAN ANAKKU PADAKU! DIMANA JUNGKOOK?! DIMANA BAYIKU?! BERIKAN DIA PADAKU!"

Teriakan itu terdengar lagi dan Namjoon mulai terlihat kesal, "Apa anak buahmu tidak sanggup membungkam mulut jalang sialan itu? Aku pusing mendengar jeritannya."

Yongguk mengangguk cepat, dia membisikkan sesuatu ke anak buahnya dan setelahnya anak buahnya itu berlari cepat ke arah asal suara kemudian Namjoon mendengar suara benturan keras.

Dan teriakan itu tidak terdengar lagi.

"Bagus," gumam Namjoon kemudian melanjutkan langkahnya menuju ke ruang pertemuan tempat dia dan Yongguk akan membahas bisnis.

Namun baru sekitar sepuluh langkah Namjoon berjalan, dia kembali dihentikan oleh teriakan seseorang yang memanggil namanya. Namjoon menoleh dan dia melihat Taehyung sedang berlari membawa sesuatu yang terlihat seperti.. anak-anak?

"Hyung! Mereka melelang anak-anak!" Taehyung melapor seraya mengangkat anak dalam gendongannya, "Namanya Jungkook, dia carrier."

Mata Namjoon berkilat marah, dia menoleh cepat ke arah Yongguk yang tergagap dengan gugup. "Sudah kukatakan padamu.. jangan pernah menjual anak-anak."

Yongguk berdehem dan mencoba menjelaskan situasinya dengan terbata-bata, "T-tapi dia carrier, dia akan menjadi objek pontensial dan kurasa tidak ada salahnya memelihara carrier dari awal."

Taehyung meringis saat mendengar kata 'memelihara carrier', jika Jimin ada di sini, dia pasti tidak akan segan-segan menghajar Yongguk.

Namjoon menggeram marah, "Perjanjian kita batal. Besok, semua perlindunganku padamu akan kutarik."

Yongguk langsung berlutut di hadapan Namjoon untuk meminta maaf namun sebelum suaranya keluar, suara teriakan melengking khas anak-anak sudah membungkamnya.

"MAMA!"

Namjoon menoleh ke arah anak dalam gendongan Taehyung yang menangis meraung-raung seraya menatap ke satu arah, Namjoon mengikuti arah pandangannya dan melihat seorang pria, pastinya carrier karena anak kecil itu memanggilnya 'Mama', sedang tersungkur di lantai dengan kepala yang mengalirkan darah.

Dia adalah orang yang tadi Namjoon lihat sedang diseret.

"Astaga! Ternyata dia memang orang yang siang tadi memberiku susu!" seru Taehyung.

Dan entah kenapa, suatu amarah merasuk ke dalam diri Namjoon, dia memukul Yongguk hingga pria itu tersungkur dan meludahkan darah. "Taehyung, kita pulang."

"Eh?"

"Dan bawa anak itu beserta ibunya."


.

.

.


"Luka di kepalanya cukup parah. Dan selain itu aku juga menemukan bekas-bekas luka lain di tubuhnya serta bukti pelecehan seksual yang kelihatannya terjadi belum lama ini."

Namjoon duduk diam mendengarkan penjelasan dari dokter pribadi di rumahnya sekaligus teman baiknya, Jung Hoseok.

Hoseok berdecak pelan dan duduk di depan Namjoon, "Dan untuk anak itu, lukanya tidak banyak. Hanya sedikit memar, selebihnya dia sehat. Sangat sehat, berbeda jauh dengan ibunya." Hoseok mendesah pelan, "Dunia ini memang sudah gila."

Namjoon menggumam acuh tak acuh.

"Kenapa kau membawa mereka ke sini?" tanya Hoseok.

"Taehyung membeli anak kecil itu."

"Ya, aku tahu. Tapi kurasa kau tidak perlu membawa ibunya, kan?"

"Hanya pria carrier dan para wanita yang bisa mengurus bayi. Dan jika tidak ada yang mengurus anak itu, maka aku yakin aku akan tuli karena tangisannya."

"Jimin seorang carrier, dan Taehyung, walaupun dia dominan, kau tahu dia sangat mencintai anak-anak. Aku sangat yakin mereka mampu mengurus anak itu."

"Tidak ada alasan khusus. Aku akan menendang ibunya keluar dari sini setelah dia sadarkan diri."

"Lalu anaknya?"

"Taehyung sudah membelinya cukup mahal, aku tidak akan membiarkan uang itu terbuang sia-sia."

Hoseok berdecak, "Jadi pada akhirnya kau akan memisahkan mereka berdua?"

Namjoon diam, dia bahkan tidak bergerak sedikitpun untuk merespon.

Hoseok mendesah pelan, "Sudah kuduga, aku memang sebaiknya tidak mempercayai instingku yang mengatakan kalau kau sedang baik hati."

"Aku memiliki banyak sikap, dan baik hati tidak pernah ada di salah satu listnya."

"Aku tahu. Tidak perlu kau jelaskan." Hoseok berdiri dari posisi duduknya dan berjalan keluar dari ruangan Namjoon. Namun sebelum dia keluar, dokter itu menoleh ke arah Namjoon, "Kau tidak ingin keluar dan menyambut tamumu?"

"Mereka bukan tamuku." Namjoon berujar tegas tapi dia tetap berdiri dan berjalan keluar dari ruangannya bersama Hoseok.

Dan ketika mereka tiba di ruang tengah, Namjoon melihat si anak kecil yang dibeli Taehyung sedang duduk di pangkuan pria carrier yang merupakan ibunya. Di kepala pria carrier itu terdapat perban yang membebat kepalanya, sedangkan di depan mereka berdua ada Jimin yang sedang menatap mereka penuh senyum dan Taehyung yang duduk di sebelah Jimin.

"Kau sudah sadar?"

Suara Namjoon membuat seluruh penghuni ruangan itu menoleh dan Hoseok berjalan menghampiri si pria carrier dengan senyuman lembut.

"Seharusnya kau berbaring, kepalamu terluka cukup parah." Hoseok berujar seraya mengusap rambut si pria carrier penuh sayang.

"Karena kau sudah sadar, sebaiknya kau pergi." Namjoon berujar lagi, membuat si pria carrier terlonjak, dia bergerak untuk berdiri dengan membawa anaknya dalam gendongannya.

"Tinggalkan anak itu." dan ucapan Namjoon membuat gerakan si pria carrier terhenti, dia menatap Namjoon dan ini adalah pertama kalinya Namjoon melihat matanya, dan sialnya, mata pria itu secantik mata anaknya.

"K-kenapa?" tanyanya, suaranya terdengar begitu lirih dan gemetar.

"Karena Taehyung sudah membelinya, anak itu hak miliknya sekarang."

Si pria carrier bergerak-gerak gelisah, "T-tidak bisakah aku membawanya pergi j-juga?"

"Tentu, jika kau membayar sejumlah yang dikeluarkan Taehyung." Namjoon menatap Taehyung, "Berapa?"

Taehyung terlihat tidak suka, tapi karena Namjoon menatapnya dengan tajam, Taehyung akhirnya menjawab. "Sepuluh juta dollar."

Mata Seokjin membulat saat mendengar nominal itu, dia tahu barang yang biasanya dijual di pelelangan memang mahal, tapi dia tidak menyangka harga anaknya akan semahal itu.

"Nah, kau sudah mendengarnya. Jadi?"

Seokjin tersentak gugup, dia menatap pria berambut abu-abu itu dengan pandangan ragu. Dia tidak memiliki uang sebanyak itu, tapi dia tidak bisa, tidak akan pernah bisa meninggalkan anaknya di sini.

"A-aku akan berusaha mengumpulkan uang.." bisik Seokjin. Dia mendongak dengan gerakan perlahan untuk menatap tuan rumah di tempat ini. "A-aku berjanji."

Namjoon terdiam, dia menatap si pria carrier dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.

Dan akhirnya keheningan yang mencekam itu dipecahkan oleh erangan kesal dari Jimin. "Oke, cukup. Kita bahas ini besok."

Namjoon mendelik pada Jimin, tapi kekasih Yoongi itu justru melotot padanya.

"Kita punya anak kecil yang membutuhkan tidur dan seseorang dengan luka hebat di kepalanya." Jimin berujar, "Sebaiknya kita bahas ini besok pagi karena demi Tuhan, aku benar-benar tidak tahan lagi."

Seokjin melayangkan pandangan penuh rasa terima kasih pada pria berambut coklat gelap itu. Namun setelahnya dia kembali menatap si tuan rumah yang masih diam.

"Baiklah, terserahmu saja." Namjoon berujar dan dia berbalik untuk pergi.


.

.

.


"Kau butuh pewaris." Yoongi berujar santai pada Namjoon yang sedang duduk seraya mencengkram rambutnya.

Dia dan Namjoon baru saja mendapat kabar soal ayah Namjoon yang lagi-lagi berusaha merebut kekuasaan Namjoon dengan cara kotor yang tidak pernah gagal membuat Namjoon sakit kepala.

Namjoon mendengus, "Aku tidak."

Yoongi mendesah pelan, "Ya, kau butuh." Yoongi menegakkan posisi duduknya, "Dengar, aku hanya tangan kananmu, anakku dan Jimin tidak akan membantu banyak karena kerajaan ini milikmu. Kau butuh pewaris, darah dagingmu sendiri."

Yoongi mengetuk-etuk meja kerja Namjoon, "Umumkan pewarismu pada dunia dan semua orang yang berusaha menggerogoti kekuasaan di kerajaanmu terutama ayahmu itu akan berhenti."

"Kau tahu aku tidak tertarik untuk memiliki istri."

"Oke, kalau begitu bagaimana dengan pria carrier? Kau bisa membeli satu." Tepat setelah Yoongi mengucapkan itu, dia berdehem. "Jangan katakan apa yang baru saja kukatan pada Jimin. Atau Taehyung akan benar-benar merebut Jimin dariku."

"Aku tidak tertarik untuk itu juga. Satu-satunya pria carrier yang kuanggap dan bersedia kutampung di rumah ini adalah Jimin."

Yoongi memiringkan kepalanya, "Oh? Tapi semalam kau baru saja membawa satu pria carrier ke rumah ini."

Namjoon terdiam, dia mendongak menatap Yoongi seolah Yoongi baru saja menghina Namjoon dengan hinaan paling kejam.

"A-apa?" ujar Yoongi.

"Panggilkan pria carrier itu ke ruanganku. Sekarang."

"Hei, dia baru tidur tiga jam lalu." Yoongi berujar mengingatkan, dia melirik jam dinding. "Ini bahkan masih jam enam pagi."

"Dan kau pikir aku peduli?"

Yoongi mendesah lelah, "Oke, tunggu sebentar."


.

.


Seokjin melangkah ragu-ragu menuju ruangan tempat si tuan rumah yang akhirnya dia ketahui bernama Kim Namjoon menunggunya.

Tadi, salah satu pemilik rumah ini yang mengaku bernama Yoongi mengatakan kalau Namjoon ingin menenuinya. Sekarang.

Dan Seokjin yang ketakutan bahkan memutuskan untuk mengabaikan rasa sakit di kepalanya untuk segera pergi menemui si tuan rumah. Dia berdoa semoga saja dia tidak akan diusir tanpa Jungkook.

Seokjin butuh Jungkook untuk hidupnya.

Seokjin mengetuk pintu kayu tebal ruangan itu dengan hati-hati dan setelahnya pintu itu terbuka sendiri, membuat Seokjin nyaris melompat kaget.

"Masuk," ujar suara dari dalam setelah pintu itu terbuka.

Seokjin melangkah masuk dan melihat Kim Namjoon sedang duduk di balik sebuah meja, pria itu memakai kemeja berwarna hitam dengan rambut abu-abunya yang terlihat berantakan.

Sebenarnya, pria bernama Kim Namjoon ini tampan sekali. Tapi Seokjin bahkan terlalu ketakutan untuk sekedar menatap matanya lebih dari tiga detik.

"Aku ingin membahas sesuatu denganmu." Namjoon memulai.

Seokjin mengangguk gugup, "S-silahkan, Tuan.."

"Kau tahu hutangmu padaku, kan?"

Seokjin mengangguk, ini pasti soal Jungkook yang sudah dibeli olehnya.

"Aku menawarkan sebuah solusi mudah untuk melunasi hutangmu."

"A-apa itu?"

"Berikan aku pewaris. Dominan. Dan kau akan kubebaskan bersama anakmu."

"M-maaf?" ujar Seokjin, dia masih tidak yakin. Apakah ini sama seperti apa yang dipikirkannya?

"Ya, aku butuh anak, anak kandungku. Dan aku ingin kau memberikannya padaku."

Apa? "T-tunggu dulu, Tuan.." Seokjin menggerakkan jari-jarinya gugup, "A-apakah i-itu berarti.. a-anda akan.."

"Ya, aku akan membuatmu hamil anakku."

To Be Continued


.

.

.


Ini apa sih, Lun? Ini apa? hah?

Udah tau hutang banyak, tapi malah bikin ff baru… T^T

.

.

Ya, aku tahu hutangku banyak.

Ya, aku tahu ini panjang banget buat satu part ((ini nyaris 5k astaga))

Ya, aku tahu aku emang gini orangnya. Maafkan

Dan ya, aku udah terlanjur post, jadi aku akan selalu menanti tanggapan kalian. Tolong berikan aku tanggapan ya, para kesayanganku :* /ditabok

.

Oya, carrier itu uke, yang bisa hamil gitu.

Nah dominan itu seme.

Takutnya kalian bingung (?) hehehe

.

.

.

Btw, sebelum aku didemo (?) ehehe

Di sini aku bikinnya YoonMin ya, bukan MinYoon kaya biasanya.

Kenapa?

Untuk kepentingan cerita, beb. Hint-hintnya udah aku tunjukkin nih di sini. hehehe

Dan aku emang dari sananya fleksibel untuk urusan otp gaes :'), jangan bully aku T^T

Lagian mereka cuma selingan aja kok. Inti permasalahannya mah teteup NamJin. Hehe

.

.

.

Oke, itu saja dariku.

Ditunggu tanggapannya ya beb :* /ditabok lagi.


Hallo, ini Luna.

Iya mau ngasih notes tambahan lagi, gapapa lah ya.

Jadi gini, lagi-lagi ff saya dibilang mirip sama ff author EXO dan ChanBaek lagi.

Dulu Imprint juga gini, dan sekarang ini begini lagi.

Jujur aja, dibilang kesel, iya. Dibilang ngedown, iya. Aku sampe takut buka email karena takut kejadiannya sama kaya pas jaman Imprint dulu.

Jadi, di notes tambahan ini aku cuma mau bilang bahwa walaupun udah dua kali ffku dibilang mirip (yang Imprint sama yang ini) aku dengan tegas menyatakan aku nggak plagiat, nyontek, terinspirasi, atau apapun itu namanya dari ff yang dimaksudkan.

Aku, biarpun begini, masih sangat menghargai urusan karya. Aku gak mau plagiat. Aku gak mau. Terinspirasi sih lain cerita, tapi jika aku terinspirasi, aku pasti bilang. Pasti aku cantumin. Ini aku cantumin nggak? Nggak. Berarti terinspirasi gak? Nggak juga. Plagiat gak? Nggak. Jelas nggak.

Tolong. Ini bahkan baru chapter satu, kamu bisa bilang ini mirip (definisi mirip itu jika kesamaan lebih dari 50%) kalo kamu udah baca beberapa chapter berikutnya. Ini baru sechapter udah dibilang mirip. Kesannya tuh kaya baru mau kenalan tapi gak jadi karena cara ngomongnya mirip sama mantan /eh.


Aku benar-benar berterima kasih untuk readerku, jinseoknam. Karena dia adalah reader pertama yang jelas-jelas ngomong ff ini beda sama ff yang dimaksudkan.

Terima kasih, review panjang dari kamu bikin aku semangat lagi.

Intinya, aku cuma mau bilang aku gak plagiat, nyontek, atau terinspirasi dari ff yang dimaksudkan. Aku minta maaf kalo pada akhirnya secara tidak sengaja ff ini mirip sama ffnya dia. Ffnya dia luar biasa sekali, ffku mah gak ada apa-apanya. Aku tau kok.