LITTLE FLOWER

Inspirated by a great film, STOKER

Dengan beberapa perubahan

BTS fanfiction

Characters belongs to God, BTS belongs to Bighit

Minyoon

.

.

.

Kakak iparku baru saja dimakamkan kemarin. Istrinya (kakakku sendiri) mengundang teman-temannya untuk datang ke rumah, pada acara belasungkawa yang entah mengapa terasa seperti sebuah pesta. Ada banyak orang. Semua mengenakan pakaian hitam tanda berkabung, tapi sebagian tertawa seperti kakakku. Wanita itu menating segelas wine, seolah kematian suaminya hanya hal sepele. Dia mungkin tak mencintai lelaki itu. Tapi, bukan urusanku. Tidak seharusnya aku peduli.

Aku memandangi mereka dari puncak tangga di lantai dua. Aku tak pernah berniat untuk bergabung. Sebab dari wajah-wajah itu tidak ada satu pun yang kukenal. Lagipula aku tak suka berjumpa dengan orang yang kemudian akan menyebut aku dan kakakku seperti sepasang anak kembar.

"Yoongi-ah! Turunlah! Kau tidak mau bertemu Jimin?"

Kakakku sedikit berteriak. Siapa Jimin? Aku membungkuk untuk melihat ke bawah.

"Halo, Yoongi."

Dia laki-laki bergaris rahang tegas dengan mata yang tajam. Yang menarik perhatianku bukan wajahnya, melainkan pakaiannya. Warnanya putih. Bukan hitam.

"Kau mungkin belum pernah bertemu dengannya, tapi ini adik Namjoon yang sering ku ceritakan itu, yang sering keliling dunia!"

Dia adik dari kakak iparku. Dia adik Namjoon-hyung. Aku sering mendengar ceritanya dari kakakku dan suaminya. Mereka bilang orang ini hobi berkelana. Terakhir sebelum Namjoon-hyung meninggal, dia sempat mengatakan padaku kalau adiknya akan segera pulang dari Australia.

Jadi ini dia. Jimin.

"Kau sangat mirip dengan Yoonji, ya." dia tersenyum dan matanya tenggelam. Kakakku tertawa di bahunya. Aku tak suka itu, ketika di mataku mereka terlihat begitu akrab dan senang. Aku yakin air mata kakakku di pemakaman itu hanyalah dusta, dan laki-laki ini pastilah tak menangis untuk kakaknya yang mati.

"Ayo turun Yoongi-ah!"

Kakakku berseru lagi. Mereka menungguku. Tapi aku tahu kakakku tak benar-benar menunggu. Dia tak pernah peduli padaku. Seharusnya dia biarkan saja aku menyendiri di tangga seperti ini. Mungkin karena lelaki di sampingnya itu gelagatnya berubah manis.

Akhirnya aku turun dengan setengah hati. Aku menyeret kakiku menapaki tangga berlapis karpet biru tua suram ini. Berhentilah aku tepat di depan mereka, ketika salah satunya memandang sepasang sepatuku yang sedikit lusuh.

Dia hanya tersenyum tanpa bicara apa-apa. Kakakku mengait lengannya dan membawanya kembali ke keramaian. Sementara aku dilupakan sebagamana mestinya. Hanya saja, tatapan lelaki itu sempat membuatku bingung. Ada sesuatu dalam matanya yang teduh...

.

.

.

Little Flower

.

.

.

"Jadi... Jimin akan tinggal selama beberapa waktu di sini." ucap kakakku.

"Sementara, hanya sampai aku mendapat apartemen yang bagus di kota." tambah Jimin, sedikit meralat.

Kami berada di meja makan, menyantap makan malam. Semua keramaian itu telah berakhir sore tadi dan menyisakan keheningan khas rumah ini; yang penghuninya sekarang hanya aku, kakakku, dan beberapa pelayan. Suram memang, mengingat kami masih dalam suasana berkabung. Tapi, eksistensi lelaki itu membuat kakakku banyak tertawa.

"Kenapa kau cemberut begitu, sayang?" aku tak suka panggilan itu. Aku melayangkan tatapan risihku padanya, pada kakakku yang kemudian berdecak satu kali sebelum melanjutkan makannya. "Ini sangat enak, Jiminie. Tak kusangka masakanmu sama enaknya dengan masakan Namjoon."

"Oh, tentu. Kalau tidak enak mana mungkin Yoongi menghabiskannya, bukan?" dan aku yang tak tahu menahu soal siapa chef malam ini hanya bisa terdiam dengan potongan terakhir daging sapi di mulutku. Di piringku hanya tersisa selada dan bawang.

Aku menelan daging itu dengan batuan air dari gelasku.

"Kalau kau suka, besok-besok aku akan memasakkan bistik lagi untukmu." ucapnya.

Aku tak melihat apa reaksi kakakku karena aku segera melenggang pergi meninggalkan mereka. Tepatnya meninggalkan lelaki bernama Jimin itu. Aku tak bisa bilang aku membencinya. Hanya, aku ingin menghindarinya. Menghindari tatapan teduh dan seulas senyum itu.

"Maaf untuk Yoongi. Mungkin dia seperti itu karena dia sedang bersedih. Yoongi sangat dekat dengan Namjoon."

"Tidak apa, dia butuh waktu."

Kakakku tak pernah tahu telingaku sangat peka terhadap suara. Ya, aku mendengar percakapan mereka meski ruangan itu telah cukup jauh kutinggalkan.

"Dia sangat cantik."

Terakhir, ku dengar suara lelaki itu dengan bisiknya yang lebih lembut dari yang tadi.

.

Aku merebahkan diri di ranjang bersama kotak-kotak sepatu pemberian Namjoon-hyung. Semua modelnya sama, hanya berbeda ukuran setiap kali ia memberinya sebagai hadiah ulangtahunku. Mulai dari sepatu yang paling kecil, hadiah ulangtahunku yang ke-15 (dan di tahun itu pula pernikahan Namjoon-hyung dan Yoonji-noona masuk tahun pertama); hingga yang paling besar, yang selalu kupakai setiap hari sampai bagian luarnya sedikit lusuh.

Tahun ini tidak akan ada sepatu baru darinya. Dia pergi menjelang ulangtahunku yang ke-20.

"Hyung... aku merindukanmu..."

Dia adalah lelaki baik yang sudah kuanggap seperti ayahku sendiri. Dia.. lelaki baik yang sempat tidur di kasurku beberapa hari lalu.

"Yoongi-ah?"

Aku hampir terlelap saat suara itu tedengar seiringan dengan bunyi derit pintu tanpa ketukan. Laki-laki itu, dia mendobrak privasiku tanpa izin. Aku, kamarku, dan sepatu-sepatu ksayanganku tak boleh dilihat begitu saja oleh orang asing. Aku sungguh merasa terganggu. Dia lancang sekali.

"Mau apa?"

Dia terkekeh di ambang pintu. Aku melayangkan pertanyaan itu untuk menahannya di sana. Tapi dia malah tertawa.

"Hanya mau melihatmu. Kau dingin sekali padaku. Kita ini keluarga, 'lho."

Dia orang asing. Satu-satunya penghubung antara aku dan dia telah mati. Dengan tidak adanya Namjoon-hyung, aku dan dia bukanlah apa-apa. Asing. Tak kenal.

Aku memilih diam tanpa tanggapan. Dia masih berdiri di sana, memandangku. Aku merebahkan diriku lagi, berpura-pura lelah untuk bicara. Aku berharap dengan caraku mengabaikanya, dia akan segera pergi.

Kudengar helaan napas darinya.

"Aku terlalu lama berkelana hingga tak punya rumah untuk kutinggali. Namjoon-hyung pergi dan hanya kalianlah keluargaku yang tersisa. Ku harap kita bisa lebih akrab, sebagaimana kakakmu menerimaku di rumah ini."

Untuk apa dia membawa-bawa nama kakakku?

"Itu saja yang ingin kukatakan. Kau sudah tidur, ya?"

Aku masih berpura-pura. Posisi meringkukku tidak berubah sejak tadi.

"Kalau begitu selamat malam."

Pintu itu ditutupnya.

"Have a nice dream, love."

Ku dengar bisiknya di balik pintu, dan langkah itu menjauh.

Lancang.

Sungguh lancang dia.

Sekarang aku bersumpah untuk mengunci pintuku dan tak membiarkan siapapun masuk dengan sembarang ke kamarku ini.

.

.

.

Little Flower

.

.

.

Ini pagi pertama penghuni rumahku bertambah satu. Aku datang ke dapur hanya untuk sarapan sereal seperti biasa. Tapi di dapur ada kakakku dan lelaki itu, tengah brcengkrama dengan begitu akrabnya hingga sesekali mereka saling melempar lelucon.

"Oh, Yoongi-ah. Kau sudah bangun?"

Malah Jimin yang menyapaku. Kakakku hanya tersenyum kikuk, menjauhi lelaki itu ketika dia menyadari keberadaanku. Wanita itu mengambil kunci mobilnya kemudian.

"Karena kau sudah bangun, aku titip rumah, ya?"

"Noona mau ke mana?" biasanya aku tak peduli jika aku ditinggal di rumah olehnya. Tapi entah mengapa aku tak ingin kakakku pergi ke mana pun barang sebentar saat itu.

"Jamuan kemarin sudah menghabiskan seluruh persediaan makanan kita. Aku akan pergi berbelanja."

"Kita. Kita akan pergi berbelanja. Kau 'kan memintaku menyetir untukmu."

"Ah, iya benar."

Mereka tertawa seperti sepasang kekasih yang tengah kasmaran. Secara tersirat aku bisa melihat itu dari mata Yoonji-noona. Hampir tidak ada Namjoon-hyung di sana. Hampir, tapi dari sedikit sembab di matanya ku tebak mungkin dia habis menangisi rasa kosong tanpa mendiang suaminya itu. Sementara, dari mata lelaki itu, aku tak bisa membaca apa-apa. Jernih, tapi dalam seperti samudera.

"Kakakmu butuh sedikit penghiburan." ujarnya padaku untuk memberitahu. "Dia butuh jalan-jalan."

Lantas bagaimana denganku? Atau juga kau, Jimin?

Hatiku bertanya.

Kakakku memng pantas bersedih, jadi pihak yang paling diprihatinkan karena ia baru saja kehilangan sosok yang selama ini mendampingi hidupnya. Tapi bagaimana denganku? Aku juga kehilangan. Sangat. Sebab hari-hari Namjoon-hyung lebih banyak dihabiskannya denganku, bukan dengan kakakku yang kadang lupa pulang karena terlalu menikmati bisnis dan pergaulan glamornya.

Aku bahkan yang mengurus Namjoon-hyung ketika dia sakit, aku yang menemaninya berburu di hutan, aku yang mengucap selamat malam ketika ia hendak tidur.

Dan, bagaimana dengan Jimin? Yang sedekat apa dia dengan Namjoon-hyung pun aku tak tahu, tapi sebagai adik kandungnya, tidakkah ia juga bersedih dan kehilangan? Aku ingin tahu bagaimana ia bersedih. Aku ingin melihat tangis rindu seperti yang keluar dari mataku semalam. Tapi dia hanya tersenyum, teduh, dan menutupi semuanya hingga aku benar-benar tak tahu apapun.

"Hoseok akan datang kemari untuk menemanimu. Aku sudah menghubunginya dan mungkin dia akan tiba menjelang siang."

Kakakku mengikat rambutnya. Melihat dia kesulitan, Jimin kemudian membantunya mengikat rambut hitam itu. Yoonji-noona tertawa malu-malu, sementara Jimin mengaitkan tali itu dengan telaten. Tapi... matanya mengarah padaku.

Aku berpaling darinya dengan mencari pengalihan. Ku buka lemari penyimpanan dan ku ambil kotak serealku.

"Sudah?"

"Sudah. Rambutmu tebal ya, dan lembut."

Mereka mulai lagi. Aku tak ingin peduli pada mereka, aku lebih peduli pada serealku yang hampir habis.

"Noona, aku titip beli sereal." aku tak sengaja menginterupsi. Ini hanya karena urusan serealku.

"Akan kubelikan untukmu, sayang." Yoonji-noona mendekatiku, menangup wajahku dan membuatku sedikit menunduk untuk menerima kecupan singkatnya di keningku. "Kami pergi, ya."

Aku menyingkirkan sehelai bulu mata yang jatuh di pipi kakakku.

"Kalian benar-benar serupa." komentar Jimin. Dia melipat tangan di depan dada sambil memandang kami.

"Aku sudah bosan mendengar itu dari semua orang." kakakku menimpalinya dengan tertawa. Dia memandang Jimin ketika bicara, sementara aku memandangnya. Ketika aku melirik, Jimin tengah memandangku.

"Yoongi-ah, aku ingin membeli es krim, kau suka rasa apa?" tanyanya.

"Jimin ingin membelikanmu es krim, kau mau rasa apa?" kakakku mengulang pertanyaan lelaki itu seakan aku tak mendengarnya tadi. Aku memandang lelaki itu bukan berarti aku jatuh dalam lamunan. Aku dengar. "Yoongs?"

Aku kembali menatap kakakku yang tengah menyibak rambuku ke belakang telinga. Panggilan itu, dari Namjoon-hyung untukku. Bukan darinya. Dia tak pernah memanggilku begitu.

"Vanilla dan cokelat."

"Ok. I got it." ucap Jimin.

"Ya sudah, ayo pergi."

Kakakku berjalan duluan menuju garasi. Bunyi tak-tak dari hak sepatu wanita itu terdegar jelas. Yang aneh, Jimin bukannya mengikuti Yoonji-noona. Dia malah masih saja berdiri di sana. Melempar setatap mata dan seulas senyum padaku.

Aku menatapnya balik tapi tak ikut membalas senyum itu. Aku hanya ingin menemukan jawaban atas keingintahuanku terhadap sesuatu yang misterius dari laki-laki itu. Sesuatu di matanya...

Sesuatu yang dia sembunyikan di sana...

Aku ingin tahu.

.

.

.

Little Flower

.

.

.

CONTINUED

Ini cerita udah lama nyangkut di flashdisk saya, tapi nggak pernah kena beta. Akhirnya saya putuskan buat ngebeta dan publish heheheheh. Soal film STOKER itu, saya kebetulan begadang dan nonton jam 2 pagi. Bener deh, film yang tayang lewat tengah malem itu entah kenapa selalu seru, jadi betah begadang. Sekalian review film STOKER, itu film ceritanya bikin bingung. Rumit, meski alurnya sebetulnya maju terus tapi misteri di dalemnya bener-bener bisa disembunyiin, Unexpected. Serius, saya suka film ini. Ini makanan favorit saya heheheheheh. Jadi saya bikin cerita ini berdasar plot asli film STOKER. Bagi yang sudah nonton, selamat... kamu sudah tahu bagaimana cerita ini berjalan. Buat yang belum, silakan follow terus ceritanya ya.