[Aku yang Bahagia]

Ketika salah satu di antara kita pergi, takkan ada yang menangis nantinya.

Itu adalah kesepakatan mereka ketika mengukuhkan hubungan mereka ke jalan yang lebih serius 7 tahun yang lalu. Tidak boleh ada isak tangis ketika salah satunya pergi. Entah mereka yang bosan atau Tuhan yang bosan. Pokoknya tidak boleh.

Janji itulah yang membuat senyuman terpampang dengan sangat jelas pada wajah Jeno sekarang. Umurnya yang sudah 27 itu tentu sudah sering memberinya pelajaran agar untuk selalu menepati janji. Kalau boleh jujur, dia merasa janjinya itu tidak harus dipenuhi dengan buru-buru, karena dia dengan cara pikirnya yang percaya diri itu bisa dibilang yakin kalau tak ada yang namanya bosan dalam hubungannya dengan orang itu. Tapi apa daya? Dia tidak pernah menyangka Tuhan rupanya secepat itu bosan melihat mereka memupuk perasaan di rumah nyaman mereka.

Huang Renjun sudah pergi.

Entah kenapa, tidak ada rasa-rasa terkejut ketika Jeno mendapat telepon dari Jaemin yang memberitahunya kalau Renjun pingsan setelah sempat kejang-kejang di tempat kerjanya. Renjun memang bertubuh lemah. Mengingat jelas fakta itu, termasuk dalam syarat-syarat yang diberikan Renjun sebelum mereka mulai memutuskan hidup bersama untuk ke depannya.

Ketimbang terkejut, Jeno justru lebih merasakan kalau tapakkan kakinya sudah tidak bisa menolongnya lagi. Dengan bermodal sejumlah uang, Jeno yang merasa tidak cukup kuat untuk berkendara sendiri itu akhirnya ke rumah sakit dengan taksi. Setibanya di rumah sakit, Jaemin hanya menangis karena kabar yang dimilikinya hanyalah bahwa Renjun tidak menunggu Jeno untuk sampai terlebih dahulu sebelum pergi. Tidak ada kata pamit di antara mereka.

Jeno duduk termangu di samping ranjang rumah sakit, yang ada Renjun di atasnya. Wajahnya sudah ditutupi dengan selembar kain. Disingkapnya kain itu perlahan untuk melihat wajah dari sosok yang terbaring tak bertenaga itu.

Cantik. Satu kata itulah yang muncul dalam benaknya ketika dia lihat wajahnya yang memancarkan keteduhan. Dia tidak percaya sosok cantik ini begitu tidak sabaran sampai tidak ingin menunggunya yang sempat terjebak macet di jalan.

Disentuhkan tangannya pada tangan orang yang dia rasakan cinta itu. Sudah mulai kaku. Tangan yang sudah dirasanya susah digerakkan untuk saling bergenggaman tangan itu adalah tangan yang sama dengan tangan yang setiap pagi ia kecup sayang.

Dia perhatikan lagi wajahnya. Bibirnya pucat. Darah tidak memerahkan lagi bibirnya, tapi dia masih merasakan keinginan untuk menciumnya. Tidak, dia tidak menciumnya. Orang itu sering memprotes ketika Jeno ketahuan mencuri cium ketika dia tidur.

Tapi apakah dia sedang tidur?

Tidak. Dia sudah mati. Jeno mengerti itu.

Tangannya terangkat perlahan, menyingkirkan surai-surai yang menutupi kening orang itu. Dikecupnya pelan di sana. Menghayati ciumannya seakan itu akan menghidupkannya kembali. Mengingat dengan sangat jelas ciumannya yang terakhir, sebelum dia keluar ruangan untuk mempersiapkan pemakaman.

Prosesi pemakaman berlangsung lancar tanpa gangguan. Renjun adalah sosok yang dicintai banyak orang sehingga banyak kepala terlibat dalam kelancaran acara. Tidak ingin sosok yang sangat mereka sayang itu diperlakukan sembarangan.

Sekarang, di sinilah Jeno, di depan sebuah lemari besar. Itu adalah tempat mereka menaruh barang-barang, entah penting entah tidak.

Dia diberitahu Mark kalau sebaiknya dia membereskan barang-barang Renjun. Dikumpulkan jadi satu dan dia putuskan sendiri nantinya mau diapakan.

Jeno tidak terlalu terbayang apa yang harus dia lakukan dengan barang-barang Renjun, tapi cepat atau lambat, dia memang harus merapikan barang-barangnya. Dan itulah yang akan dia lakukan sekarang.

Dia buka lemari itu. Ada sedikit bau debu di sana, tapi tidak seberapa. Tidak cukup kuat untuk bisa membatalkan niatnya.

Dia menemukan beberapa lukisan di sana. Dia ingat beberapa lukisan yang cara buatnya dia lihat dari awal sampai akhir ada di sana.

Kenapa disimpannya di sana ya? Padahal dia biasanya memajang lukisan-lukisannya. Jeno memandang sekeliling rumahnya. Masih banyak space untuknya memajang beberapa lukisan lagi.

Tak butuh waktu lebih lama lagi untuk Jeno teringat kalau lukisan-lukisan itu dicap Renjun sebagai produk gagal. Dia ingat dengan rentetan keluhannya ketika sudah menyelesaikan lukisannya. Jeno bukan orang yang mengerti seni rupa jadi tidak ada satu kata pun keluhan Renjun yang dia ingat. Tapi dia benar-benar terlihat frustrasi.

Jeno melanjutkan kegiatannya. Dia memilah-milah barang kecil dan besar, yang butuh disimpan dan yang butuh dibuang, yang berharga dan tidak. Oh, semua barang di dalam lemari ini berharga, kalau mau tahu. Apapun yang disimpan Renjun di dalamnya, pasti ada niatan tersembunyi di sana.

Dia tidak menyangka ada banyak sekali barang milik Renjun ketimbang miliknya. Jeno memang tidak begitu sering menyimpan barang di sana karena dia lebih memilih meletakkan barang-barangnya di tempat yang lebih terjangkau.

Dia mulai bisa melihat dasar dari lemari. Tangannya meraba-raba isi lemari dengan perasaan sedikit jijik dengan debu-debu yang menempel. Ketika tangannya mulai merasakan sesuatu yang seperti tekstur kertas, Jeno langsung menariknya.

"...surat?" gumam Jeno ketika melihat kertas macam apa itu.

Ya, itu adalah surat. Tepatnya, beberapa lembar amplop yang diikat dengan benang serat agar tidak terpisah-pisah.

Jeno mengernyitkan alis. Bukan keberadaan surat itu yang dia pertanyakan, tapi apa yang tertulis di bagian luar amplopnya lah yang mengganggunya.

[Untuk Renjun (10 tahun)!]

Renjun 10 tahun? Maksudnya apa? Siapa yang mengirim surat pada Renjun?

Dia membolak-balikkan tumpukan surat itu. Kalau dia perhatikan, amplop-amplop itu sudah dibuka.

Demi memuaskan rasa penasarannya, Jeno akhirnya membuka ikatan tali itu agar dapat membaca apa yang tertulis di bagian luar surat yang lain. Alisnya makin menukik ketika menjejerkannya dan membacanya.

[Untuk Renjun, umur 14]

[Untuk Renjun, 20 tahun]

[Untuk Renjun yang berumur 30 tahun]

Hanya sedikit waktu yang dibutuhkan Jeno untuk sedikit menangkap maksud dari surat-surat itu. Renjun yang menulisnya sendiri untuk dia baca beberapa tahun setelah itu.

Renjun juga berumur 27, sama dengannya. Dia belum menginjak usia 30 tahun jadi Jeno langsung mengerti ketika membandingkan ternyata hanya surat satu itu yang masih tertutup rapat.

Jeno menarik napas berat. Pantaskah dia untuk membacanya lantaran orangnya sudah tidak di sana lagi untuk itu melakukannya sendiri?

Rasa penasarannya begitu kuat sampai dia akhirnya memutuskan untuk mengeluarkan kertas dari dalam surat yang ditujukan pada Renjun yang berumur 10 tahun. Memulai dari umur yang paling belia.

Dengan perasaan yang warnanya tidak bisa dideskripsikan, mata Jeno mulai membaca satu persatu kata di sana.

[Dari Renjun yang berumur 8 tahun]

TBC

A/n. Mau lanjut tidaksss. Ini kepikiran pas lagi simulasi UNBK. Baru bisa ditulis sekarang.

Ini pokoknya chapter-chapter depan isinya cuma Jeno bacain surat-surat itu. Jadi bisa dibilang ini pov-nya Renjun gitu.

Tapi kayaknya walaupun gak ada yang minta lanjut w tetep bakal nulis sih ha. W suka yang beginian soalnya hw. Ngapain nanya ya.

(Lagi seneng bimbel pagi libur heeheehhe tapi bimbel siang tetep ada jadi puas2in dulu hhh)

Pst. Ini genrenya apa ya.