.
Disclaimer : Masashi Kishimoto
Pairing : SasuSaku
.
Sepotong Cinta yang Tertinggal
.
7
.
Happy reading
Bagiku, pemandangan terindah adalah saat melihat Sakura di dapur dengan apron bunga-bunga yang dikenakannya saat memasak. Suara pisau yang beradu dengan talenan dipagi hari bagaikan pengganti jam weaker. Dan satu hal yang aku inginkan di dunia ini adalah melihat senyum dan tawanya.
"Ohayou." Sapaku seperti biasanya, dan seperti biasanya pula ia tak menjawab sapaanku. "Apa yang kau buat untuk sarapan kita hari ini?"
Aku duduk di atas marmer kitchen set seraya menopang dagu, menatap dirinya yang masih enggan untuk menjawab pertanyaanku. "Kaa-chan... pagi ini masak apa?" bocah itu berlari memasuki dapur seraya mengulangi pertanyaan yang aku lontarkan.
"Ayam kari tomat," jawabnya seraya tersenyum. Ah... rupanya keberadaanku masih belum diterima olehnya.
"Aku juga suka ayam kari tomat," kataku memberi tahu. Tapi, sepertinya dia tak akan membuatkannya untukku. Aku pergi kembali ke kamar untuk mengambil jas dan juga tas kantorku. Gezzz... Pagi ini aku akan sarapan dikantor lagi seperti biasanya mengingat Sakura yang masih apatis padaku seperti tadi, dia hanya mau bicara pada putranya saja.
"Kau sudah selesai, buddy? Ayo, nanti kau bisa terlambat ke sekolah." Kulihat Sakura sedang menata sesuatu, tapi entah apa itu. Daiki sudah siap dengan tasnya, juga telah memasukkan bekal makan dan minumnya ke dalam tas.
"Paman, hari sabtu besok apa Paman bekerja?"
Kedua alis lebatku bertautan dengan tatapan menyipit pada bocah laki-laki itu. "Kurasa tidak, memangnya kenapa?"
"Disekolah akan mengadakan acara tamasnya ke tempat pemancingan, dan semua anak diwajibkan untuk mengajak Ayah mereka. Tapi... Daiki kan tidak punya Ayah, jadi-"
Aku tahu rasanya ketika semua orang pergi dengan ditemani orang tua laki-laki mereka, sedangkan aku hanya ditemani salah satu pengasuh saja. Sakit, iri dan kesepian bercampur menjadi satu. "Baiklah, kita akan ikut dalam karya wisata sabtu besok dan memenangkan lomba memancing di sana, buddy!"
Wajah murungnya berubah dalam waktu sepersekian detik setelah mendengar jawabanku. "Benarkah paman mau datang?" ia bertanya dengan binar pengharapan yang begitu besar.
Tanganku tiba-tiba saja terangkat dan mendarat di atas kepala anak laki-laki ini, mengacak rambut rapihnya gemas. "Tentu saja." ujarku lagi dengan yakin. Sekarang tatapanku kembali pada sosok Sakura yang terlihat sendu memandang putra kecilnya di dekatku. "Sakura, kami berdua pamit, jaga dirimu baik-baik. Err.. kalau kau merasa bosan kau bisa keluar untuk jalan-jalan atau belanja."
Kuambil sebuah kartu dari dalam dompetku kemudian aku masukkan disaku depan apron yang masih dikenakan olehnya.
"Tunggu," sial, degup jantungku berhenti seperkian detik hanya karena tangan ringkih Sakura menarik ujung jas yang kupakai seiring dengan suara kecilnya yang seperti hembusan angin.
"Hn? Ada apa? Kau membutuhkan sesuatu?" Ekhm, apa suaraku sudah terdengar biasa saja? Tidak begitu kentara kalau aku ini sedang bahagia, kan? Kau benar-benar terlihat bodoh, Sasuke.
Ingatkan aku untuk mencari ketampananku di tempat sampah terdekat setelah ini karena... ya Tuhan, pasti terlihat sangat konyol dengan hiasan senyum totol hanya karena melihat Sakura menyodorkan kotak bento untukku. "Kau bisa memakannya saat sampai di kantor nanti." suara lirih itu kembali menghantam pendengaran ku, mengirim euforia yang begitu memabukkan.
"Paman, ayo, nanti Daiki bisa telat ke sekolah."
Aku hampir lupa daratan. Untung saja Daiki cepat-cepat menyadarkanku, kalau tidak, mungkin aku sudah mati tenggelam dalam kebahagiaan yang kubuat sendiri saat ini. Tangan kecil ini, terasa pas dalam genggamanku. Sebelum kami benar-benar pergi, kusempatkan menatap Sakura yang juga sedang menatap kami dengan tatapan sendu miliknya. Sakura, bagaimana kalau dia kutinggal sendiri di sini? Apa dia akan baik-baik saja?
"Sampai jumpa," aku berucap sebelum benar-benar menutup pintu.
-o0o-
Jarum pendek pada jam di atas meja kerjaku menunjukkan angka 02 p.m. masih 1 jam lagi, dan lagipula dokumen-dokumen sialan ini masih menggunung di mejaku minta dibelai mesrah dan diberi sentuhan khusus dari pena mahalku yang kudapat dari Kaa-san sebagai hadiah ulang tahunku yang ke-29 tahun lalu.
Perasaan ini? rasa yang begitu menggebu untuk melihat wajah seseorang, mendengar tawa kecilnya, melihat tatapan sayunya, apakah ini yang orang-orang sebut dengan kata rindu?
Sakura...
Nama itu bagaikan mantra yang membuat semangatku kembali berkobar untuk menghabisi segunung dokumen ini dengan secepatnya. Agar aku bisa pulang dengan cepat pula, agar aku bisa makan malam dengan wanita itu. Dan... keberadaan Daiki menambah kesan plus, seolah kami adalah keluarga kecil yang bahagia.
Kadang aku memiliki pikiran konyol bahwa Sakura akan menungguku cemas di ruang tengah, serta Daiki yang akan berlari ke arahku ketika aku membuka pintu dan menyerukan 'Selamat datang Tou-san...' lalu Sakura ikut menyambut kedatanganku dengan mengatakan, 'Selamat datang, Anata.' Sebuah harapan bodoh yang tak mungkin pernah terjadi seumur hidupku, mungkin.
BRAK!
Debuman pintu membuatku cepat-cepat mengemasi khayalan tentang sebuah keluarga bahagia. Kini atensiku terfokus pada sosok wanita yang sudah berdiri dengan wajah murkanya di ambang pintu.
"Kenapa kau tidak mengangkat telponku? Kemana saja kau selama 3 hari ini?" ia mulai melemparkan pertanyaan untuk menyudutkanku.
Aku masih enggan untuk mengeluarkan suara, hanya saja tatapanku masih mengikuti geraknya yang mulai mendekat ke arahku.
CLAK!
Diriku terkesiap saat melihat liquid mulai turun dari kedua sudut matanya. Sial, kenapa aku selalu lemah setiap kali melihat air mata perempuan. Membuatku teringat bagaimana histerisnya Kaa-san dulu saat tahu Tou-san berselingkuh di atas ranjangnya, teringat bagaimana air mata malaikatku itu tak bisa mengering sampai beberapa bulan setiap kali mengingat kejadian nista itu.
"Karin, apa yang-"
"Aku mohon Sasuke, jangan tinggalkan aku. Aku janji tidak akan lagi meminta ataupun merengek tentang hal-hal yang tidak begitu penting, tapi aku mohon jangan tinggalkan aku. Aku sangat mencintaimu-"
Tenggorokanku mengering, aku bahkan tidak tahu harus bereaksi seperti apa untuk saat ini, "Karin, maaf, aku memiliki tanggung jawab yang sangat besar atas diri seseorang. Aku ingin menebus kesalahan yang telah kuperbuat di masa lalu hingga membuatnya hancur dan menderita."
"Mantan istrimu?"
"Hn," aku bangkit dari kursiku dan berjalan ke arahnya yang sudah ambruk setelah mendengar jawabanku barusan. "Maafkan aku," bisikku setelah berhasil membawa tubuh Karin dalam dekapanku.
Tubuh wanita ini bergetar seirama dengan isakannya yang semakin kencang. "Kau tidak bisa melakukan ini Sasuke, kau hanya sedang merasa bingung, kau merasa bersalah padanya, kau hanya merasa kasihan dan itu bukan cinta."
Entahlah, aku tak tahu. Dulu, kupikir juga begitu. Rasa cinta yang ada dalam diriku sudah mati sejak lama, tepatnya sejak mengetahui Ayah yang menghianati cinta tulus Kaa-san.
Tapi rasa yang kucecap kali ini, rasa nyaman ketika bersamanya, rasa senang saat melihat senyum kecilnya, dan rasa bangga karena dibutuhkan oleh anak lelakinya. Apakah itu bukan cinta?
-o0o-
Pemandangan seperti ini, dulu aku juga pernah mengalaminya saat usiaku seusia Daiki. Masa itu bagiku adalah masa-masa paling bahagia karena aku belum mengetahui apa itu rasa sakit dan penghianatan. Semua yang ada di mataku hanyalah sebuah kebahagiaan, berlibur bersama dengan saling bergandeng tangan, melakukan hal-hal menyenangkan bersama seperti yang aku lakukan saat ini dengan Daiki. Namun, saat aku semakin tumbuh besar, kemanisan dalam keluargaku juga semakin terasa memudar. Tou-san tak lagi ada untuk keluarga, bahkan diakhir pekan pun dia selalu sibuk di luar dengan alasan pekerjaan.
"Tou-san, besok aku ada pertandingan sepak bola. Tou-san bisa menonton penampilan pertamaku di lapangan, kan?"
"Maaf Sasuke, besok Tou-san ada pekerjaan di luar kota."
Begitu pula dengan hari-hari berikutnya, semakin aku meminta waktunya maka dia semakin banyak mencari alasan untuk menghindar. Seperti saat aku meminta waktu luangnya di hari minggu. "Tou-san, hari minggu nanti kita main ke tempat paman Obito yah, aku mau belajar naik kuda."
"Nanti Tou-san bilang pada supir untuk mengantarmu ke sana, karena hari minggu nanti Tou-san sudah ada janji dengan teman kerja untuk makan siang bersama."
Saat itu aku berpikir, mungkin Tou-san memang benar-benar sedang sibuk semenjak perusahaan kami mulai meroket ke udara. Mungkin banyak pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan, mungkin banyak pertemuan yang tidak bisa dibatalkan. Sejak saat itu juga aku mulai belajar tak merengek lagi meminta waktunya karena kupikir masih ada Kaa-san dan Itachi-nii yang masih bisa diandalkan.
Namun lagi-lagi kepercayaanku salah, Itachi-nii selalu sibuk dengan dunianya sendiri, sedangkan Kaa-san mulai menutup diri. Terkadang saat aku terbangun di tengah malam, aku mendengar suara tangisannya. Diriku yang berusia 11 tahun mulai bertanya-tanya, ada apa dengan keluargaku? Apa yang membuat Kaa-san selalu menangis di tengah malam? Kenapa semuanya tiba-tiba terasa jauh dan asing?
Hari itu Kaa-san pergi untuk menemani Itachi-nii berwisata pada acara yang diselenggarakan oleh sekolahnya. Jadilah aku tinggal di rumah hanya ditemani oleh beberapa pelayan. Saat malam tiba aku terbangun karena dikagetkan oleh suara petir.
Kupikir Tou-san sudah pulang menilik jam di dinding menunjukkan pukul 10 malam, aku mulai beranjak dari tempat tidur dan melangkah pergi menuju kamar Tou-san dan Kaa-san.
"Tuan muda, kenapa tuan terbangun? Apa tuan membutuhkan sesuatu? Minum?" seorang pelayan menegurku saat aku membuka pintu kamar.
"Tidak. Erm... apa Tou-san sudah pulang?" Aku bertanya padanya dan pelayan tersebut mengangguk, mungkin dia juga yang sudah membukakan pintu untuk Tou-san. "Apa Tou-san ada di kamarnya?"
"Tidak, tuan besar masih ada di ruang kerjanya-"
Tanpa menunggu kalimat sang pelayan selesai aku lekas berlari ke lantai bawah. Langkahku semakin cepat saat mendengar suara tawa seorang wanita dari ruang kerjanya, mungkinkah Kaa-san juga pulang karena mencemaskanku? Apa mereka sudah berbaikan? Sasuke kecil yang begitu naif semakin melebarkan senyum bahagianya sampai saat pintu ruangan itu kubuka, saat itulah semuanya memudar.
Suara tawa riang yang kudengar dari luar bukanlah suara milik Kaa-san, dan wanita di dalam sana juga bukan Kaa-san. Pertanyaan yang paling mendasar dalam diriku pada saat itu adalah "Apa yang dilakukan Tou-san dan perempuan itu? Apa mereka sedang bermain berebut permen dalam mulut mereka?"
"Paman, pamaaan tangkap bolanya!"
BUGH! Aku terperanjat dari lamunanku karena sebuah bola baru saja menghantam keras tepat mengenai wajah tampanku.
"Brengsek!" anak itu berjengit kaget karena mulutku baru saja mengumpat dengan suara yang cukup tinggi dan mata yang melotot.
Bocah di depanku menunduk dalam-dalam, tak berani menatap wajahku yang mungkin masih terlihat menyeramkan. "Daiki minta maaf, paman. Daiki tidak bermaksud melakukan itu. Tadi Daiki sudah memanggil paman tapi paman diam saja seperti patung-"
Kami-sama, aku harus banyak belajar untuk menurunkan emosiku mulai sekarang. Kebiasaan burukku yang selalu marah-marah di kantor tidak boleh kubawa saat sedang bersamanya. Kuacak rambut hitam lebat bocah itu gemas, "Hn, tak apa. Maafkan paman, tadi paman sedang banyak pikiran."
"Paman tidak marah pada Daiki, kan? Paman masih mau pergi menemani Daiki ke tempat tamasnya besok, kan?"
"Tentu saja, buddy."
sudah hampir gelap, aku lekas mengemasi barang-barangku dan mengajaknya pulang.
T
B
C
A/N: Saya kembalii minna-san hehe #dilempargolok. Jangan banyak berharap sama cerita yang satu ini karena saya nggak tau kapan bisa lanjut. Tiba-tiba aja plot yang udah disusun menghilang gitu aja dan feel-nya udah nggak berasa hiks... Tapi aku tetep berusaha buat menyelesaikan apa yang udah aku mulai.
Arigatou buat kalian yang udah review dan masih nunggu.
Keep in touch okay... ^^
Btw, aku ganti username, soalnya yg kemaren kurang kece aja gitu hahaha #hampura
Spice07, 26 OCT '17