"Yak Sanha kenapa kau tidak bilang kalau Haechan ini anak dari pengusaha Lee?"

Kira-kira itulah kalimat yang terus terlontar dari mulut Koeun. Rambutnya sudah acak-acakan, matanya memerah menahan tangis, dan badannya yang gemetaran menunjukan betapa takutnya gadis itu. Masa depannya seakan hancur seketika karna tindakan bodoh yang baru saja ia lakukan. Lee Youngho ㅡatau biasa dikenal sebagai Johnny, merupakan pengusaha yang cukup terkenal di Korea. Bisnisnya sudah berada dimana-mana, bahkan sudah beberapa tahun belakangan ini beliau sibuk di luar negeri untuk memperlebar bisnisnya tersebut. Kabar terakhir yang Koeun tahu, Tuan Lee memperistri seorang janda beranak satu yang ia temui di Kanada. Koeun bahkan tahu bahwa anak tiri Tuan Lee adalah Na Jaemin. Bagaimana ia bisa tidak tahu kalau salah satu anak kandungnya adalah Lee Haechan? Koeun kira Tuan Lee hanya memiliki satu anak perempuan yang kini melanjutkan studinya di Jepang.

"Diamlah, Koeun. Kau pikir aku sudah tahu hal ini sejak lama? Aku merasa gagal menjadi sahabatnya sejak awal masuk kuliah dulu." Sanha hanya dapat terduduk lemas di atas sofa. Matanya menatap Haechan yang kini masih belum sadarkan diri. Sanha berjanji, saat Haechan sadar nanti, ia akan memborbardir Haechan dengan 1001 pertanyaan.

"Bagaimana kalau ia tidak sadar? Huaaa hancur sudah masa depanku." Koeun mulai menangis. Air mata yang sedari ditahannya mulai membasahi pipi tirus gadis itu.

"Yak! Ini kan salahmu sendiri. Bisa kau diam? Kurasa Haechan makin enggan untuk bangun karena mendengar suara teriakanmu itu."

Koeun akhirnya berhenti berbicara dan fokus untuk menenangkan dirinya. Sanha yang berada di sampingnya hanya dapat menepuk-nepuk punggung gadis itu pelan. Dalam hati senang juga sih, karena bisa melihat Koeun yang menderita karena ketakutan seperti sekarang ini. Anggap saja balasan karena telah melukai sahabatnya.

"Lebih baik sekarang kau pulang, okay? Tenangkan dirimu. Kalau ada kabar terbaru darinya, aku berjanji akan memberitahumu." Ucap Sanha. Nadanya memang terdengar perhatian, namun sesungguhnya lelaki itu sudah sangat muak dengan keberadaan Koeun di ruangan tersebut. Apalagi dengan semua rengekan dan teriakan yang terus keluar dari mulut si gadis. Sanha tidak ingin telinganya menjadi tuli.

Koeun mengangguk dan mulai memberesi isi tasnya yang sempat terhambur. Setelah membenarkan sedikit penampilannya di kamar mandi, gadis itu akhirnya pamit.

Baru saja Sanha menutup pintu kamar inap, dirinya dikagetkan dengan suara tawa Haechan yang mengalun memenuhi setiap sudut kamar.

"Gosh! Kau tahu? Dokter bilang kau bisa saja cacat, atau bahkan mati! Tapi baru saja sadar sudah bisa tertawa seperti orang gila." Sanha mengusap-usap dadanya, ia tidak bisa menyembunyikan rasa kaget yang mendera.

"Aku sudah sadar sejak sepuluh menit yang lalu, ngomong-ngomong."

"Lalu kenapa kau tidak membuka matamu? Kau tahu betapa khawatirnya Koeun tadi, haha! Lucu sekali saat melihatnya ketakutan seperti itu." Sanha mencolek dagu Haechan, dengan maksud menggoda. Tatapannya mengerling nakal, seolah mengatakan cie-kau-baru-saja-dikhawatirkan-si-penyihir-gila. Satu tangannya bergerak memencet tombol darurat, hendak memberitahu dokter bahwa kini pasiennya telah sadar.

"Aku tahu. Makanya aku tidak segera membuka mata, biar gadis itu semakin ketakutan?"

Sanha hanya dapat menggeleng melihat tingkah laku Haechan. Sahabatnya itu memang sangat jahil, bahkan di kondisinya yang seperti ini pun masih sempat-sempatnya untuk menjahili orang. Tapi tak apa, Sanha menyukai itu. Toh ia tidak bisa mengelak bahwa tingkah jahil Haechan seringkali membuatnya tertawa.

"Heh kau! Kau berutang 1001 cerita kepadaku ya! Apa-apaan kau tidak pernah cerita kalau kau ini anak pengusaha Lee! Lalu si Koeun itu bagaimanaㅡ"

"Kau tak lihat? Mulutku robek, San. Nanti saja ya ceritanya, rasanya mulutku sakit sekali." Haechan buru-buru memotong ucapan Sanha ㅡya, sebelum temannya itu bertanya lebih jauh. Dirinya memasang muka semenyedihkan mungkin. Andaikan saja ia tahu, bahwa Sanha sudah kebal dengan ekspresi tersebut.

"Mulutmu sakit tapi bisa tertawa kencang seperti tadi? Ya ya lanjutkan saja aktingmu, Chan-ah."

Haechan tersenyum tulus. Beruntung sekali dirinya mempunyai sahabat seperti Sanha. Tanpa diberitahu secara langsung, Sanha sudah dapat mengerti bahwa dirinya belum siap untuk menceritakan itu semua. Ah Haehan berjanji akan menraktir Sanha makanan enak setelah ia keluar dari rumah sakit nanti.

Tak lama, dokter yang tadi dipanggil Sanha masuk. Setelah mengecek kondisi Haechan, dokter tersebut dapat tersenyum lega. Haechan tidak memiliki keluhan yang berarti, ia masih bisa bernafas dengan normal walau kepalanya masih sedikit pening. Dokter sempat panik karena pukulan di tengkuk bisa saja berakibat fatal, yang dapat berujung pada cacat atau bahkan kematian.

"Jangan membuka mulutmu terlalu lebar, dan gips di kakimu mungkin baru dibuka tiga sampai empat hari ke depan. Beruntung tulangnya hanya retak sedikit dan tidak mengalami dislokasi." Ucap dokter tersebut sebelum berpamitan.

"Dengar tuh! Jangan banyak bicara dulu, nanti lukamu tidak kering-kering. Kalau kau ingin ke kamar mandi bisa minta tolong kepadaku, okay?"

Sanha mengusap rambut Haechan lembut. Tingkah Sanha mengingatkan Haechan pada mendiang ibunya, yang gemar sekali mengusap rambut Haechan, apalagi ketika dirinya sakit.

Pintu kembali terbuka, kali ini bukan dokter yang masuk, melainkan empat orang yang berhasil membuat tubuh Haechan dan Sanha menegang. Sesungguhnya, hanya Tuan Lee yang membuat suasana menjadi mencekam. Bagaimana tidak, tatapan lelaki berusia 40-an itu seakan siap membunuh Haechan kapan saja. Begitu tajam dan dingin, bagai sebilah pisau runcing.

"Aku mengajarimu bela diri bukan untuk berkelahi, Lee Donghyuck." Geram Tuan Lee.

Haechan ingin memberikan pembelaan, namun mulutnya terasa kelu. Donghyuck, sudah cukup lama nama itu tidak masuk ke dalam indra pendengarannya. Haechan sendiri tidak ingat kapan terakhir ayahnya memanggil namanya, jujur Haechan rindu dipanggil Donghyuck.

"Tapi ayah, Dongㅡ ah maksudku Haechan tidakㅡ"

Jaemin juga sama-sama tidak dapat memberikan pembelaan. Karena Tuan Lee malah menatapnya ㅡmasih dengan tatapannya yang mengerikan, secara tidak langsung menyuruh anak itu bungkam. Jaemin tahu bahwa kini ayahnya sedang tidak ingin dibantah.

Haechan mengulum senyumnya, walau ia tahu bahwa tidak seharusnya ia tersenyum sekarang. Dalam hati ia memang merasa sakit, namun perasaan bahagia yang membuncah seakan mengubur rasa sakit itu dalam-dalam. Ia rela sakit terus menerus asalkan diperhatikan. Namun sayang, cara itu tidaklah mempan. Ayahnya sudah mewanti-wanti dirinya sejak usianya masih 12 tahun. Ia ingat, saat itu ia berkelahi hingga akhirnya sang ayah harus dipanggil ke sekolah. Haechan hanya berharap diperhatikan, luka yang di dapatnya saat itu cukup serius. Atau setidaknya Haechan berharap dimarahi, karena itu salah satu bentuk perhatian, bukan? Namun yang Haechan dapat saat itu hanyalah satu kalimat yang menohok.

'Donghyuck, ini bukan cara yang tepat jika kau ingin mendapatkan perhatian dariku.'

Dan kini, apakah ayahnya baru saja memarahinya? Oh persetan dengan kesalahpahaman yang terjadi, Haechan rasa ia harus berterimakasih kepada Koeun.

"Sudah, John. Tenangkan dirimu, kurasa Haechan punya alasan sendiri mengapa ia bisa jadi seperti ini." Evelin ㅡibu tiri Haechan, yang berada di sebelah Johnny mengelus pundak suaminya itu pelan.

Sedangkan Jaemin yang berada di sebelah ibunya jadi sedikit merasa bersalah. Ia belum sempat menceritakan kejadian yang menimpa Haechan secara keseluruhan. Dirinya terlalu panik tadi. Yang keluar dari mulut Jaemin hanyalah ocehan tidak jelas, tidak heran mengapa ayahnya mengira bahwa Haechan baru saja berkelahi.

"Sudah lama kau tidak memanggil namaku, ayah." Ucapan Haechan sukses membuat suasana menjadi semakin menegangkan. Karena kini Johnny sudah menggertakan giginya dan mengepalkan tangannya dengan kuat. Berbeda sekali dengan Haechan yang tampak tenang.

"Bukankah dulu aku sudah memberitahumu untuk tidak berkelahi? Kukira kau akan berubah."

"Aku tersanjung kau masih mengingatnya. Kukira kau bahkan sudah lupa bahwa aku ini anakmu?"

"Lee Donghyuck!"

"John, tenangkan dirimu." Evelin akhirnya mengajak Johnny keluar, meminimalisir pertengkaran antara ayah dan anak yang mungkin saja terjadi. Jujur, tiga bulan menjadi istri Johnny tidak lantas membuatnya mengerti hubungan antara Haechan dan suaminya. Setahunya, Haechan anak yang baik. Anak itu tidak pernah bertingkah buruk padanya dan Jaemin, dan tidak terkesan menolak pernikahan kedua ayahnya. Evelin pikir semuanya baik-baik saja, sampai akhir-akhir ini ia menyadari bahwa Johnny cenderung menghindari anaknya yang satu itu.

"Haechan-ah, akuㅡ"

"Maafkan aku, Jaem. Tapi aku lelah, bisakah kalian tinggalkan aku sendiri? Aku butuh istirahat." Secara tak langsung Haechan mengusir orang-orang yang berada di ruangannya. "Pak Kim! Tunggu sebentar."

"Ya? Kau mau aku apakan gadis itu, tuan?" Pak Kim yang baru saja hendak keluar kembali masuk ke ruangan tersebut. Hingga kini hanya tersisa dirinya dan Haechan di dalam.

"Tck! Panggil saja Haechan seperti biasa, sih." Haechan berkata dengan nada merajuk. Pak Kim ini asisten pribadi Haechan yang sudah menemaninya sejak ibunya tiada. Bisa dibilang orang terdekat yang mengetahui segala seluk-beluk kehidupan dirinya, dan sudah mengenal dirinya dengan baik. Contohnya sekarang, tanpa diberitahu pun Pak Kim sudah dapat menebak isi pikiran Haechan.

"Apa saja asal gadis itu tidak muncul lagi di hadapanku."

Haechan memang anti menyakiti wanita secara fisik. Namun bukankah masih ada cara lain untuk balas dendam? Bagi Haechan, siapa pun yang sudah berani berurusan dengannya ㅡatau bahkan orang terdekatnya, tidak akan lolos begitu saja.

ㅡㅡㅡ

Sudah seminggu sejak kejadian itu berlangsung, berarti sudah dua hari Haechan berada di rumah megah miliknya. Alasan sakit di kakinya membuatnya menjadi seorang yang manja ㅡbahkan makan saja harus dilayani di tempat tidur, membuat Pak Kim geleng-geleng kepala. Beruntung Haechan tidak minta dimandikan juga.

Sudah seminggu juga Haechan menutup dirinya dari dunia luar. Ia tidak bertemu Mark, bahkan Jaemin yang tinggal satu rumah dengannya pun tidak dapat bertemu dengannya. Pokoknya hanya Pak Kim yang dapat masuk ke dalam kamarnya. Untung Jaemin merupakan sosok yang pengertian. Lelaki itu dapat mengerti alasan Haechan menutup diri, saudara tirinya itu belum siap bercerita lebih lanjut tentang kejadian di rumah sakit.

Seperti hari ini, Haechan hanya tiduran di kasurnya sambil mendengarkan lagu dari iPod kesayangannya. Namun ketenangannya tiba-tiba terusik saat pintu kamarnya terbuka lebar, menampilkan sosok gadis yang berusia tidak jauh darinya.

"Hyuckieee aku rindu padamu!" Tanpa dipersilahkan masuk, gadis itu sudah menghampiri Haechan dan memeluknya erat. Membuat yang dipeluk terkejut, sebelum kehangatan melingkupi hatinya. Ini Hina, kakaknya. Pelukan Hina persis seperti pelukan ibunya, yang sudah lama sekali tidak pernah ia rasakan.

"Ugh! Adikku semakin gendut. Kau ini kerjaannya makan terus ya? Masakan ibu pasti enak-enak!" Ucap Hina sambil mencubit pipi Haechan gemas.

"Kapan kau datang?" Tanya Haechan seraya menjauhkan tangan Hina dari pipinya.

"Baru saja. Aku pulang bersama ayah dan ibu."

"Oh kau bersama ayah dan ibu juga? Mereka ke Jepang?"

"Sejak seminggu yang lalu, kau tidak tahu?"

Haechan menghela napasnya. Mengapa Hina tidak pernah mengerti hubungan antara dirinya dengan sang ayah? Oh Haechan lupa, bahwa hubungan Hina dan ayahnya masih baik-baik saja. Dirinya merasa bahwa sang ayah pilih kasih, namun memang itu yang terjadi, bukan? Ayahnya hanya berlaku aneh kepadanya, seolah tidak menganggapnya anak. Dan semua itu harus terjadi setelah ibu kandungnya meninggal. Haechan merasa bahwa ayahnya seakan turut pergi bersama ibunya.

"Oh Jaemin? Kemari!" Hina memanggil Jaemin yang kebetulan lewat di depan pintu kamar Haechan yang terbuka. Jaemin hendak menolak, karena ia takut Haechan tidak mengizikannya masuk. Namun Haechan tampaknya tidak peduli, lelaki itu tetap diam saja di pelukan Hina dengan mata yang tertutup. Jaemin kira ia tidur, sebelum haechan menggumam. "Masuk saja, Jaem."

Merasa mendapatkan lampu hijau, Jaemin memasuki kamar tersebut dan duduk di pinggir kasur, dekat Hina. Dirinya terkejut saat sang kakak tiba-tiba menariknya ke dalam pelukannya, sehingga kini mereka bertiga berpelukan di atas kasur.

"Jaemin, kau kurus sekali. Cobalah berisi sedikit seperti Haechan, jadi enak dipeluk kan."

"Noona, aku sudah besar mengapa masih suka kau peluk-peluk, sih?"

"Kau tidak pernah menolak pelukanku, dan kau tampak menyukainya juga. Jangan tsundere seperti itu, Hyuckie."

Haechan mendecak. Ia memutuskan untuk bangun namun Hina kembali menahannya. "Makan malamlah bersama, ibu sudah membuatkan nasi goreng kimchi kesukaanmu."

"Kau tahu waktu makanku adalah tengah malam, jadi maaf aku tidak bisa ikut makan malam bersama kalian."

"Kau pikir aku tidak tahu tipu muslihatmu? Ikutlah Hyuck, ibu sudah berusaha memasakanmu. Sampai kapan kau akan terus seperti ini?"

Haechan menggigit bibirnya. Ragu. Sebelum akhirnya bergumam. "Baiklah."

Haechan sadar bahwa ia baru saja mengambil keputusan yang akan membuat luka di hatinya semakin mengaga lebar.

TBC

ㅡㅡㅡ

Hallo! Chapter 1 UP! Masih bingung ya? Marknya mana ini belum nongol? Aku lebih fokus ke hubungan antara Haechan sama ayahnya dulu, baru nanti di chapter depan aku masukin Marknya hehe.

Aku emang sengaja bikin kalian bingung di awal, tapi tenang nanti kebingungan-kebingungan itu akan terjawab di chapter-chapter selanjutnya. Jadi mohon bersabar wkwk.

Tapi kok aku jadi ngerasa pengen ngedelete ff ini aja ya rasanya jelek banget TT