Bittersweet Love

Jaehyun x Taeyong

NCT © SM Entertainment

Warning! Alternate Universe, OOC, Typo(s), YAOI, NC, Affair, Eksplisit Lemon, etc


"Serius, daddy, paman Yongie tidak akan menolakmu. Percaya padaku." Minhyung, yang kini lima belas tahun, tertawa sambil ikut melihat ke luar jendela. Ayahnya yang bolak-balik gelisah di hadapannya ketika menunggu seseorang seperti ini cukup menghiburnya. "Tenang sedikit."

"Bagaimana jika iya?" erang Jaehyun.

Bagaimana jika Taeyong menolak lamarannya?

Jaehyun benar-benar tidak tahu kenapa dia bisa setakut ini. Dia hanya tidak bisa tidak membayangkan skenario terburuk di pikirannya. Lima tahun terakhirnya bersama Taeyong benar-benar menjadi saat-saat paling membahagiakan. Jaehyun seolah-olah bisa melewati apapun dengan keberadaan sosok itu di sampingnya. Ya, mungkin ada saat tertentu di mana mereka akan berselisih dan adu argumen, seperti pasangan lain, tapi itu tak banyak berpengaruh. Justru, cinta mereka sudah menjadi jauh lebih kuat dengan berjalannya waktu.

Taeyong adalah dunianya. Jaehyun sudah memutuskan untuk membuat hubungan mereka legal secara hukum. Meskipun perasaan yang terjalin diantara mereka sangat kuat, tapi dengan adanya pernikahan, Jaehyun baru benar-benar akan merasa memiliki Taeyong sepenuhnya, sebagai miliknya. Bertahun-tahun, dan akhirnya dia siap untuk mengambil keputusan ini beserta apapunresikonya.

Tapi… dia masih takut.

Bukan karena dia pikir jika dia melakukan hal yang salah, seperti apa yang mengganggunya di awal hubungan mereka. Tidak! Masalahnya, Jaehyun hanya takut jika Taeyong akan menolaknya. Minhyung, Lami, ibunya, Yuta, dan orang tua Taeyong, bahkan Wendy dan Hansol, juga pekerja lain di rumah ini tahu apa yang berencana Jaehyun lakukan dan sudah mencoba meyakinkan dan menenangkannya. Tapi tetap saja.

Aku sudah cukup senang dengan hubungan kita sekarang, Jaehyunie. Kenapa harus merubahnya?

Jaehyun entah bagaimana bisa membayangkan Taeyong mengatakan sesuatu seperti itu.

"Aku bisa gila!" erang Jaehyun, menghempaskan tubuh di sofa. Dia lelah berjalan bulak-balik di tempat sejak setengah jam lalu.

Taeyong sudah pergi ke luar negeri hampir selama dua minggu penuh karena pekerjaannya dan akan kembali ke rumah sore itu.

Setelah melihat bagaimana paniknya Jaehyun, Yuta bersikeras menjemput Taeyong dari bandara sendiri, memberikan sedikit waktu lebih banyak untuk Jaehyun menenangkan diri. Tapi itu tidak berhasil. Jaehyun tidak pernah berpikir mengajukan pertanyaan sederhana seperti ini bisa sebegini menakutkan.

Dulu, dia tidak harus melamar Irene karena keduanya entah bagaimana sudah yakin akan menikah cepat atau lambat. Mereka bahkan merencanakannya langsung saat mengobrol santai dengan para orang tua, melakukannya sebulan kemudian tanpa ada formalitas lain. Tapi kali ini… terasa berbeda. Ini terasa sangat penting dan menakutkan! Jaehyun benar-benar cemas.

"Daddy! Minhyung-oppa! Itu! Itu!" Lami, yang kini sembilan tahun, berteriak senang saat melihat mobil Yuta melewati pintu gerbang dari jendela.

Jaehyun dan anak-anak sangat merindukan Taeyong. Ini memang kali pertama Taeyong pergi dari rumah selama itu, karena biasanya tidak sampai satu minggu. Mereka bahkan berniat untuk menyusulnya ke Hongkong jika dia tidak kembali hari ini, dan juga tidak dicegah oleh pihak yang bersangkutan. Sebenarnya itu hanya salah satu alasan lain, selain Jaehyun yang khawatir saat mendapati kabar dari Yuta jika Taeyong akan bekerja dengan salah satu mantan kekasihnya saat di sekolah menengah, Park Minjun.

"Hati-hati, princess," peringat Jaehyun. Tapi Lami tidak memperlambat langkahnya sama sekali ataupun menunggu mereka untuk berlari ke depan, ke tempat Yuta memarkir mobilnya.

Mata Minhyung melebar karena terkejut. Dia tertawa kecil melihat kondisi ayahnya. "Daddy pasti gugup sekali sampai berkeringat banyak begitu," godanya.

"Diam, Minhyung," geram Jaehyun.

Keduanya memandang ke luar pintu dimana Lami langsung menubrukkan tubuh kecilnya pada Taeyong yang baru saja turun dari mobil. Bisa dia lihat bagaimana cara Taeyong balas memeluk putri kecilnya itu dengan sayang hingga dia terseyum manis dan merangkul sebelah tangannya. Minhyung juga langsung berjalan mendekat, membantu Hansol yang mengangkut barang dari bagasi dengan membawakan satu tas besar setelah mendapat usakkan sayang di rambut blondenya. Mereka membicarakan sesuatu, tertawa-tawa saat berjalan masuk mendekati Jaehyun yang masih diam saja di dekat pintu.

Jaehyun tersenyum bahagia melihat pemandangan itu, sebelum kembali gugup karena melihat mereka semakin dekat. " Baiklah… tenang, dan lakukan ini dengan baik, Jung Jaehyun," bisiknya pada diri sendiri sambil memaksakan senyum.

Ketika Taeyong memasuki mansion, matanya langsung tertuju pada Jaehyun yang berdiri kaku, dengan begitu saja bisa menyadari betapa tegangnya sosok itu meski dari kejauhan. Dalam hati Taeyong memuji betapa tampan dan seksinya sang dokter meski hanya dengan pakaian kasual berupa celana pendek dan t-shirt. Badannya bagus dan terlihat pantas memakai apapun, sudah seperti model-model yang menghiasi majalah. Satu hal yang tidak berubah meski sudah berlalu bertahun-tahun.

"Welcome home, paman Yongie," kata Minhyung manis sambil membuat gerakan mempersilahkan tamu kehormatan.

"Terimakasih. Aku merasa tersanjung atas sambutannya," kekehnya. Dia mengerling pada Minhyung dengan geli. "Tapi itu tidak akan merubah apapun tentang taruhan kita."

Taeyong tertawa ketika Minhyung mengerang.

Anak pertama Jaehyun itu sudah berkata dengan begitu percaya diri akan bisa menyelesaikan game dari Taeyong sebelum dia kembali dari Hongkong saat dia akan pergi. Tapi melihat Minhyung yang tidak menelponnya untuk memberi kabar dan menyombongkan apapun, Taeyong berasumsi jika Minhyung belum menyelesaikannya sampai sekarang.

"Beri aku waktu sampai besok pagi. Aku akan mengalahkan bos di level terakhir itu dan menyelesaikan gamenya," kata Minhyung penuh keyakinan. Dia tersenyum lebar kemudian dan berkata, "Aku merindukanmu, paman Yongie."

"Lami juga!" teriaknya tidak mau kalah.

Taeyong tersenyum. "Kalian berdua tidak tahu betapa aku merindukan kalian." Taeyong membawa Minhyung dan Lami sekaligus ke dalam pelukannya. Dia melepaskan keduanya kemudian bertanya dengan alis terangkat, "Kalian menjadi anak baik selama aku pergi kan?"

"Tentu saja!" Minhyung menyeringai. "Jadi seperti janji, hadiah-hadiah ini boleh untuk kami, kan?" katanya sambil mengangkat sebuah tas besar yang dibawanya, yangmemang berisi oleh-oleh dari Taeyong. Lami yang baru menyadari itu langsung melonjak senang melepas pelukannya dan berusaha merebut itu dari tangan oppanya, tapi Minhyung sudah lebih dulu sengaja mengangkat tas itu tinggi-tinggi ke atas hingga tak terjangkau olehnya. Lami memprotes dan Minhyung malah mengejeknya.

"Makanya jangan malas minum susu agar tidak pendek, Sungkyungie~"

"Oppa! Aku tidak pendek!"

"Minhyung..." tegur Taeyong, tapi kemudian dia hanya bisa tersenyum melihat kedua anak itu saling berkejar-kejaran hingga menaiki tangga. Taeyong memang menjanjikan banyak oleh-oleh untuk mereka, dan mengatakan sudah menyiapkan satu tas besar untuk itu begitu menelpon sebelum lepas landas dari Hongkong International Airport sehari sebelumnya.

Taeyong berbalik pada sosok lain di belakangnya. "Hansol-hyung, bisa tolong bawakan tasku yang lainnya ke kamar?" pintanya.

Hansol mengangguk, tersenyum kecil. "Tentu."

"Terima kasih."

Dan dia pergi setelahnya untuk meninggalkan Taeyong, hanya berdua dengan Jaehyun yang hanya diam, hampir terlihat seperti patung beku di tengah-tengah ruangan luas itu.

Taeyong sangat, sangat, sangat merindukannya. Dua minggu penuh pergi dari rumah, dari cinta dalam hidupnya, dari Minhyung dan Lami. Lain kali Taeyong akan memilih pergi dengan Jaehyun atau bulak-balik melalui perjalanan jauh dibanding harus melalui penyiksaan seperti itu lagi.

Taeyong berjalan menuju Jaehyun. "Hei," bisiknya ketika dia sampai di hadapan pria itu. Sebelah tangannya bergerak untuk menyentuh pipi Jaehyun.

"Hei," balas Jaehyun, mengecup telapak tangan Taeyong.

"Bagaimana kabarmu, Jaehyunie? Kau baik-baik saja?" Taeyong bertanya lembut. Dia tersenyum saat mendapati anggukan dari Jaehyun. "Aku sangat merindukanmu."

Mengerang, Jaehyun memeluk pinggang sosok yang lebih kecil posesif, memajukan wajahnya untuk mengambil bibir Taeyong dengan miliknya. Memberinya ciuman lembut yang bisa membuat Taeyong meleleh. Dia membalas ciuman itu dengan segala yang dia bisa, membuat ciuman itu semakin dalam dengan gerakan cepat lidah-lidah mereka. Bagaimana bisa aku bertahan selama dua minggu tanpa ini, pikir Taeyong. Dia sudah kehilangan dirinya hanya karena satu ciuman luar biasa dari Jaehyun. Yang sayangnya harus dihentikan karena kebutuhan mereka akan bernapas.

"Lain kali aku akan ikut denganmu. Tidak ada penolakan," kata Jaehyun tepat di bibir Taeyong yang bagian bawahnya baru dia gigit pelan. "Kau tidak tahu betapa menderitanya aku selama dua minggu ini."

"Aku tahu, Jaehyunie," gumam Taeyong terengah-engah, memberikan ciuman-ciuman kecil di seluruh wajah Jaehyun. "Aku juga tidak tahan berpisah darimu selama itu." Pelukan kedua tangannya di leher Jaehyun mengerat. Dahi mereka bersentuhan. "Aku merindukanmu, sangat."

Jangan tanya tentang tubuhnya. Taeyong sepenuhnya rindu merasakan sentuhan Jaehyun lagi, atau bahkan sekedar berada sedekat ini dan menatapi wajah tampannya hingga puas. Cekungan kecil di kedua pipi pria itu juga, Taeyong merindukannya.

"Phone sex saja tidak cukup, aku ingin kau di tempat tidur," gumam Taeyong, membuat Jaehyun tertawa pelan.

"Kau tidak tahu bagaimana aku―"

Taeyong mengisap bibir bawah Jaehyun sesual. "Ya, aku tahu. Kau itu pervert, Jaehyunnie."

"Jangan salahkan aku. Apapun dalam dirimu bisi membuat Jaehyun junior, sayang." Jaehyun tertawa hingga bahunya bergetar. "I'm so horny for you right now," bisiknya di telinga Taeyong. Dia tidak repot-repot menutupi maksud dari perkataannya. "Jadi kita bisa―"

"Fuck!" umpatnya.

Taeyong mengambil napas, melangkah mundur dari pelukan Jaehyun ketika melihat seseorang melangkah masuk ke dalam. Itu Yuta.

"Maaf, tadi aku tertahan di depan karena telpon dari istriku."

"Terima kasih, Yuta," kata Jaehyun saat sosok itu ada di depan mereka.

"Yeah, sama-sama, dokter. Aku kan hanya menjemput sahabatku," Yuta menyeringai, melihat mereka. "Welcome back, Taeyongie. Rumah ini tidak sama tanpamu."

Taeyong tertawa. "Senang mendengar ketidakhadiranku terasa."

"Kau tidak tahu saja," gerutu Yuta. "Aku hanya di sini sejak kemarin, tapi bisa melihat betapa kacaunya dokter kita ini saat ditinggal olehmu. Aku jadi kasihan pada Hansol-hyung dan Wendy-nuna yang harus menghadapi mood swing atasan mereka ini tiap hari."

Jaehyun menggeram malu dan Taeyong tertawa.

"Aku mau ke kamar, kalian lanjutkan saja," kata Yuta. Mereka bahkan masih bisa mendengar tawanya saat dia naik ke lantai atas.

"Aku juga kacau tanpamu, Jaehyunie, jika itu membuatmu lebih baik," kata Taeyong dengan lembut, matanya berbinar bahagia. Jaehyun memeluknya lagi. Mata Taeyong melihat sekeliling, merasakan kehilangan sosok seseorang yang harusnya ada di tempat itu. "Aku tidak lihat Wendy-nuna. Kemana dia?"

"Wendy diculik ibuku untuk menemaninya belanja," kata Jaehyun tepat di leher Taeyong. Dia tidak bisa menahan diri untuk mengecupi leher kekasihnya ini setelah sekian lama.

Taeyong mengangguk mengerti, bergerak sedikit menjauh dari Jaehyun. "Eum, jika kau tak keberatan, aku ingin ke dapur sebentar sebelum kita melanjutkan. Apa ada makanan? Aku tidak makan di pesawat tadi jadi merasa sedikit lapar."

"Aku juga sangat lapar," kata Jaehyun, namun dengan konteks berbeda. Ada maksud tersembunyi dari perkataannya yang membuat darah Taeyong berdesir.

"Sayangnya kau harus menunggu sampai malam," Taeyong menggeleng pada Jaehyun yang mencoba membujuknya dengan tatapan, meski tidak rela. "Aku lebih ingin mengisi perutku dan menghabiskan waktu dengan anak-anak sekarang. Aku merindukan mereka."

Taeyong sudah akan berbalik pergi. Berniat membuat pasta sendiri karena Wendy sedang tidak ada. Tapi Jaehyun menahan kepergiannya dengan memegang pergelangan tangannya.

"Tunggu sebentar. Aku ingin membicarakan sesuatu yang penting denganmu, Yongie." Suara Jaehyun tetap stabil, tapi dia sama sekali tidak tenang.

"Bicara saja." Taeyong melipat tangan di dada dan menatap langsung pada Jaehyun, yang hanya menatapnya balik dalam diam seolah dia sudah lupa apa yang dia ingin bicarakan.

Setelah beberapa saat, setelah Jaehyun selesai berperang dengan batinnya, dia mengulurkan tangan untuk memegang salah satu tangan Taeyong. Satu tangannya lagi masuk ke dalam saku celana meski dengan keras kepala tak juga mengeluarkan apa yang tergenggam erat di sana. Apa harus dikatakannya sekarang? Atau dia harus menyiapkan sesuatu yang lebih istimewa untuk ini? Mungkin dia bisa menyuruh Hansol menyiapkan makan malam romantis di taman belakang. Tapi itu butuh waktu lama! Taeyong sudah menatapnya ingin tahu sekarang dan takkan membiarkannya pergi begitu saja.

Jaehyun mulai gemetar, tubuhnya yang sedari tegang perlahan dibuat lebih santai. Dia kesulitan bahkan untuk menelan ludahnya sendiri saat mulai bicara dengan gugup. "Taeyong, tolong jangan katakan tidak. Apa kau―"

"Ya, tentu saja aku mau menikah denganmu, Jaehyunie."

"Apa?" Jaehyun tersentak, menatap blank setelah mendengar perkataan bernada datar Taeyong yang memotongnya. "Bagaimana kau... Sungguh? Kau menerimanya? Tapi bagaimana... siapa yang mengatakan padamu? Yuta?" bingungnya.

Taeyong menyerigai.

Jaehyun menatap bingung. Tangannya yang memegang tangan Taeyong sudah jatuh di sisi tubuhnya. "H-huh?"

Taeyong seketika mengganti seringainya dengan tawa lepas. Dia mencubit pipi Jaehyun dan berjinjit untuk mencium bibirnya sekali. "Jaehyunie, kau terlihat menggemaskan saat bingung!" Dengan geli Taeyong mengeluarkan tangan Jaehyun yang masih ada di dalam saku, mengambil alih benda yang ada di sana yang rupanya berupa kotak kecil beludru berwarna hitam. Mata Taeyong berbinar-binar saat melihat isinya, cincin perak tanpa hiasan apapun. Sederhana tapi indah sekali. Dia langsung memakai itu di jari tangannya tanpa menunggu lagi. "Yuta tidak mengatakan apapun, hanya menatapku dengan seringai konyol menyebalkannya sepanjang jalan. Tapi sepertinya aku lupa belum bilang jika ibuku benar-benar buruk dalam menjaga rahasia."

"Oh fuck," erang Jaehyun. Akhirnya mengerti.

"Tadinya aku ingin pura-pura tidak tahu. Tapi kau sudah sepucat mayat dan berkeringat begitu banyak, membuatku tak tega. Aku takut kau pingsan, Jaehyunie." Taeyong menyeringai. "Sekarang aku tahu satu hal lagi yang tidak bisa dilakukan dokter Jung Jaehyun yang sempurna dengan benar, selain mengakui perasaannya. Dan itu adalah melamar seseorang."

"Oh, diamlah." Taeyong tertawa ketika Jaehyun menariknya dalam pelukan. "Kau tidak tahu betapa bahagia dan leganya aku sekarang. Terima kasih." Jaehyun berkata dengan lembut, tersenyum bahagia.

Taeyong mengangkat bahu. "Aku tidak bisa membayangkan bagaima aku bisa mengahabiskan hidupku tanpamu, Jaehyunie. Jadi terimakasih sudah mau melamarku. Yah, meski butuh waktu selama ini."

Tangan Taeyong dengan nakal meremas sesuatu yang ada di balik kain, tepat di pusat tubuh Jaehyun membuat pemiliknya melenguh pelan. "Oh, fuck! Taeyongie!"

Taeyong terkekeh. "Harusnya aku pergi dan membiarkan Jaehyun junior kesepian untuk waktu lama sejak dulu. Supaya kau bisa melamarku lebih cepat, Jaehyunie."

Jaehyun memegang bahu Taeyong, membawanya sedikit menjauh dengan mata berkilat-kilat. "Kau nakal sekali, sayang. Aku pastikan kau―"

"Apa jawabannya, Daddy?" Minhyung bertanya penuh semangat saat dia menuruni tangga. Dia dan adiknya berlari mendekat pada Jahyun dan Taeyong setelah sedari tadi mengintip dari atas bersama Yuta. Pemuda Jepang itu bertugas menutup mata polos kedua anak itu saat adegan di depan sana mulai tidak senonoh.

Jaehyun cepat-cepat berdiri di belakang Taeyong untuk menghadapi anak-anak, menggunakan sebagai perisai demi menutupi bagian bawah tubuhnya yang terangsang. "Ya, Minhyung." Jaehyun menjawab dengan tawa. Jaehyun merangkul Taeyong, mengusap bahunya. "Paman Yongie kalian menjawab iya."

"Yeah, dia―Astaga!" Taeyong baru akan bicara tapi tersentak ketika Minhyung dan Lami menubruknya tiba-tiba, memeluknya erat dari dua sisi. Taeyong tertawa tapi mendengus, "Daddy kalian bahkan tidak sempat bertanya."

"Diam, Taeyongie." Jaehyun ikut tertawa sambil memeluk keluarganya dari belakang. Dia merasa menjadi orang paling beruntung di dunia. "Terima kasih," ucapnya lagi. "Aku sangat takut kau akan menjawab tidak."

"Kau dan pikiran burukmu yang konyol itu." Taeyong tertawa, membungkuk untuk mencium puncak kepala Minhyung dan Lami yang terkikik senang. "Jadi anak-anak, kalian―"

"Akan ikut dengan paman Yuta dan menginap di rumahnya malam ini." Jaehyun memotong cepat saat melihat Yuta turun dari tangga dan mendekati mereka perlahan. Yuta mengangguk saja karena mengerti maksud tatapan Jaehyun. "Lami sudah lama ingin melihat baby Haeun dan Haechan-oppa yang sudah sangat merindukannya. Minhyung pasti tidak sabar untuk bermain bersama mereka, lagipula Yuta juga sudah berjanji akan membantu Minhyung menyelesaikan gamenya. Aku dengar kalian bertaruh sesuatu."

Taeyong memberikan Jaehyun tatapan curiga singkat dan kemudian berbalik menatap tajam ke arah sahabat baiknya, Yuta. "Kau―"

"Jangan tatap aku begitu. Aku tidak tahan jika sudah disogok makanan," katanya dengan seringai geli. "Harusnya kau berterimakasih padaku karena akhirnya punya waktu berduaan dengan Jaehyun. Satu drones untuk Minhyung karena kalah taruhan harga yang sepantasnya."

"Yes! Aku pasti bisa mendapatkan itu! Paman Yongie, siap-siap saja!" Minhyung berkata penuh semangat.

Taeyong mengerang, merasa kalah. Terpaksa dia harus mengambil sedikit uang tabungannya untuk itu.

"Nikmati saja waktu kalian, mate." Yuta menyeringai, menepuk bahunya pura-pura prihatin, kemudian beralih pada anak-anak sebelum Taeyong atau Jaehyun bisa merespon. "Kita pergi sekarang?"

"Yaaaaa!" Mereka berdua menjerit dan meraih ransel mereka masing-masing dari tangan Hansol yang rupanya sudah menunggu di dekat pintu entah sejak kapan sambil mengucapkan terimakasih. Yuta berkata jika Hansol juga akan ikut dengan mereka karena tidak ingin mengganggu. Anak perempuan manis itu melambai-lambai, berjalan sambil melonjak-lonjak senang, tidak sabar bertemu baby Haeun, saat digandeng Hansol keluar.

Sialan sekali. Mereka semua pasti sudah merencanakan ini, pikir Taeyong.

"Sampai jumpa Daddy, paman Yongie!" tambah Minhyung. Dia berlari bergegas menyusul adiknya menuju pintu.

"Minhyung, jaga adikmu!" teriak Taeyong.

Minhyung hanya melambai sekali sambil lalu.

Taeyong menghela napas. Melihat melalui jendela jika kini mereka sudah masuk ke dalam salah satu mobil Jaehyun bersama Hansol dan bersiap pergi. "Aku masih merindukan mereka," erangnya, melingkar kedua lengan di leher Jaehyun. "Aku ingin menghabiskan waktu dengan mereka."

"Kau bisa melakukannya lain kali, Taeyongie," decak Yuta jengah. Pemuda Jepang itu melempar-lemparkan kunci di tangannya sambil bersiul. Meregangkan tubuhnya sebelum berkata, "Mansion luas ini milik kalian malam ini. Aku bergidik memikirkan apa yang mungkin kalian lakukan di sini. Menurut pengamatanku, Jaehyun adalah tipe petualang, benar?" Jaehyun hanya menanggapi itu dengan terseyum manis. Yuta menggelengkan kepala prihatin pada sahabatnya. "Aku harap kau tidak lupa minum pilnya, Yongie. Jika belum siap punya anak."

"Ya, Yuta! Aku laki-laki, sialan!"

Yuta mengangkat bahu dan berlalu sambil melambai malas. "Aku pergi," katanya acuh.

Taeyong akan memprotes tapi kemudian menjerit seperti seorang gadis ketika Jaehyun tiba-tiba saja sudah mengangkatnya dengan bridal style dan membawanya menaiki tangga.

"Besok hari Minggu, kita berempat akan menghabiskan waktu bersama-sama," gumam Jaehyun, menekan ciuman terhadap mulut Taeyong setelah sampai di lantai atas. Dia berseringai seksi. "Tapi malam ini, aku hanya ingin bersama calon suamiku." Jaehyun menendang pintu kamar tidur mereka hingga terbuka. "Itu bukan permintaan besar, kan?"

Taeyong tersenyum. "Aku rasa bukan." Dia tertawa saat Jaehyun menurunkannya dengan lembut hingga kakinya kembali menyentuh tanah. Lengan Taeyong masih ada di leher Jaehyun, dengan mata yang memandang penuh cinta pada Jaehyun yang sedang tersenyum padanya. "Tapi satu ronde saja. Aku baru pulang dan kelelahan, ingat?"

"Kita lihat nanti apa kau bisa mengatakan hal yang sama jika kita sudah mulai."

"YAAA!"

Jaehyun tertawa.

"Tuhan, aku mencintaimu." Jaehyun mencumi leher sosok yang lebih kecil sambil membukakan satu persatu kancing kemejanya. "…Taeyong," bisiknya lembut dengan penuh perasaan. Napasnya menderu tepat di tenggorokan sosok di depannya.

"Fuck, Jaehyun. Aku selalu suka cara kau menyebut namaku." Taeyong mengerang dengan kepala terdongak saat Jaehyun mendorongnya mundur perlahan ke arah tempat tidur besar. Jaehyun adalah tipe pria yang bisa membuat Taeyong merasa sangat spesial hanya dengan menyebutkan namanya seperti itu. "Katakan lagi," bisiknya.

"Taeyong..."

Bagian belakang kaki Taeyong sudah menyentuh sisi tempat tidur. Jaehyun mendudukkannya di sana. Dia tersenyum memandangi Jaehyun yang perlahan mulai melepas sepatu dan kaos kakinya. Dalam waktu singkat, Jaehyun telah menanggalkan seluruh kain di atas tubuh Taeyong, memamerkan tubuh polos dan juga miliknya pada udara dingin dalam ruangan itu.

Taeyong berpindah, mundur hingga berada di tengah tempat tidur, menyeringai saat melihat Jaehyun yang masih dengan pakaian lengkap merangkak naik ke atas tubuhnya sambil membaringkannya perlahan. Jaehyun berlutut, dengan kedua kaki yang terlipat di sisi pinggul sosok di bawahnya. Kemudian hanya terdiam menatap.

"Apa yang kau lakukan?" bisik Taeyong.

"Aku hanya ingin memandangi malaikatku," balas Jaehyun berbisik dengan suara seksinya. "Beberapa tahun lalu aku sudah cukup senang hanya dengan memandang dari jauh. Mencium bibirmu sama sekali tak pernah terpikir akan kulakukan." Dia membungkuk, menahan tubuh dengan sikunya saat menekan ciuman lembut bibir Taeyong. Memiringkan kepalanya untuk ciuman yang lebih dalam saat ibu jari dan telunjuk tangan kanannya bergerak bermain pada tonjolan di dada Taeyong. "Malam ini, ciuman saja tidak akan cukup untukku."

"Aku berharap kau akan mengatakan itu, Jaehyunnie." Taeyong mengerang. "Tapi jika aku ingat, tidak sepertiku, kau sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan seksual dan pandangan bernafsu padaku sebelum ciuman pertama kita malam itu."

"Kau salah." Jaehyun melepas kaosnya. "Ketertarikan itu ada di sana, sejak awal, tapi aku hanya terlalu keras kepala untuk mengakuinya. Bahkan sebelum ciuman itu, saat kau meraih tanganku dan menatapku, benar-benar menatapku untuk pertama kalinya, aku sudah berpikir jika aku menginginkanmu dalam hidupku. Terkadang, aku merasa segala sesuatu yang telah terjadi, sejak saat itu memang... tak terelakkan." Jaehyun mengangkat bahu, membelai pipi Taeyong sayang. "Kau adalah hal terbaik yang pernah terjadi padaku, Taeyongie."

Taeyong mengerang saat dia mengingat saat itu. "Aku sangat, sangat, sangat ingin menciummu tapi aku tidak bisa. Aku mencoba menahan diriku begitu keras," erangnya pada Jaehyun. Taeyong menciumnya dengan lembut. "Kau straight dan sudah menikah, ingat?"

Jaehyun tersenyum sedih, mengingat masa lalu mereka. Mengingat Irene, mengingat kebodohannya, mengingat tiap hal menyakitkan yang dia sebabkan untuk Taeyong. "Ya, kau benar. Tapi di sinilah kita sekarang."

"Aku mencintaimu, Jung Jaehyun. Kehidupanku adalah untukmu. Hatiku juga untukmu. Aku tidak akan pernah bisa berhenti mencintaimu. Selalu dan selamanya."

"Selalu dan selamanya?"

Taeyong mengangguk. "Tapi bisa kita tunda pembicaraannya? Karen aku sangat menginginkanmu sekarang. Nnn," erangnya. Tubuhnya melengkung dan bergerak-gerak menggoda di bawah Jaehyun.

Jaehyun tertawa, mencubit hidung kekasihnya gemas. Taeyong sudah seperti kucing in heat dan bisa menjadi tidak tahu malu saat itu. "Aku memang berniat melakukannya, sayang. Aku akan melakukannya sampai aku puas dan itu bukan kabar baik untukmu."

Kepala Jaehyun bergerak ke bawah, mengatupkan giginya di sekitar tonjolan kecil di dada Taeyong dan menggigiginya pelan.

Taeyong tersentak menutup matanya sambil melenguh.

Jaehyun melepas bibirnya dan berpindah pada bagian tubuh Taeyong yang lain. Menghujaminya dengan ciuman-ciuman dan merasakannya dengan lidahnya. "Kita punya waktu sepanjang malam. Aku berencana menggunakannya sebaik mungkin," katanya sebelum membuka mulut dan membuai Taeyong dalam kenikmatan yang sudah lama tak dirasakannya. Jaehyun menyukai reaksi Taeyong yang langsung mendesah dan berteriak erotis.

"Kita baru saja memulai."

Dan sepasag kekasih itu melanjutkan kegiatan mereka tanpa henti, sepanjang malam. Menunjukkan seberapa dalam cinta mereka satu sama lain dengan gerakan tubuh dan lenguhan nama juga kata-kata kotor.


Mungkin mereka memang jatuh cinta di saat tidak seharusnya. Mungkin mereka memang harus menghadapi berbagai hal dalam upaya bersama. Tapi, tidak ada yang menyesal karena telah jatuh begitu dalam. Karena setelah bertahun-tahun, cinta mereka yang semakin kuat menjawab segalanya.

Untuk Jaehyun dan Taeyong, cinta adalah kecanduan, kerinduan abadi, keinginan kuat untuk terus bersama yang takkan pernah terpuaskan―

Aku mencintaimu selalu dan selamanya.

―dan terucap dalam janji.


"Bagaimana dengan pernikahannya?"

"Hm… seminggu lagi? Canada?"

"Kenapa buru-buru sekali?"

"Aku tidak melihat adanya alasan untuk menunda yang satu itu, sayang."

"Baiklah. Terserah padamu saja, Tuan Jung."

"Tenang, aku yang akan mengurus semuanya, Nyonya Jung."

"Ya, ya, ya. Cepat kemari, aku ingin lagi!"

"Katanya hanya mau satu ronde?"

"Jaehyun!"

"Dengan senang hati, sayang."

"Nnhh, Jaehyun―"

"Taeyongie, baby, you're so good to me."

Seperti yang Yuta bilang, Jaehyun jelas tipe pria petualang. Taeyong tidak keberatan dengan itu karena dia juga menikmatinya. Cara membereskan kekacauan yang mereka sebabkan ini? Itu bisa dipikirkan nanti.


Selesai


Satu chapter terakhir sebagai tambahan, seperti permintaan. Maaf sekali jika mengecewakan. Terimakasih dukungannya selama ini. Berkenan meninggalkan kata-kata terakhir, kesan, ataupun kritik dalam review?