'Aku melihatmu dihari mana aku pertama tiba di desa, berdiri dipekarangan milikmu dengan raut wajah penuh tanya.' – Jongin (2013).


Jongin POV.

"Jongin kita harus bergegas."

Aku menolehkan kepala ku saat suara setengah berteriak ayahku menyapa gendang telinga ku, saat ini aku memang sedang berada dikamar milik ku, sedang memandangi sekeliling kamar mencoba untuk mengingat setiap sudut ruangan yang sedari berumur 5 tahun sudah ku tempati.

Aku menghela nafas, bangkit lalu melangkah mendekati ransel besar ku yang berwarna jingga diatas sofa dekat jendela, aku terdiam sejenak menatapi sofa usang yang selalu menemaniku dikala aku sedang merasa sedih atau bosan.

"Jong-"

"Aku siap, tolong tunggu sebentar." Tanpa menoleh pun aku tahu siapa yang masuk ke dalam kamar ku dan mengganggu ku, dia istri ayah ku, Ibu tiri ku.

"Maaf, ini berat untukmu." Wanita berusia setengah baya itu mendekati ku, aku bisa mendengar langkah kaki beralaskan sandal rumahan miliknya diatas lantai kayu jati pilihan dikamar ku ini.

Aku menatapnya dengan pancaran kosong dimata ku, aku tahu dia mengerti apa yang aku rasa tapi ku yakin dia pun tidak akan mau membela ku. "Ini memang berat untuk ku dan aku sadar aku tidak punya satu cara pun untuk menolaknya."

"Jongin, percayalah ini demi dirimu."

"Apakah hanya satu alasan itu yang kamu punya, Bu?" Tatapan mata ibu tiriku mengatakan kalau dia terkejut akan pertanyaan ku, tapi aku masa bodo karena saat ini aku yang dipojok kan. "Kalian mengatakan ini yang terbaik untuk ku, terima kasih."

Dia menggelengkan kepalanya berkali-kali, berarti tidak untuk menjawab perkataan ku.

"Tolong, kamu harus mengerti Jongin." Ucapnya lembut, itu bukan ucapan itu permintaan cuma hanya saja seperti ucapan.

"Aku selalu mengerti bagaimana tingkah semua orang dikeluarga ini, jadi mari turun aku sudah siap." Ujarku mantap, melewati dirinya yang menatap kepergian ku keluar kamar.

Aku turun kebawah setelah sebelum nya aku melakukan hal gila dengan meciumi kusen pintu kamar ku, aku menganggap itu adalah salam perpisahan ku dengan kamar kesayangan ku.

Dibawah aku disambut oleh tatapan penuh penyesalan sekaligus tegas milik ayah ku dan ada pula peliharaan ku sejenis anjing siberian husky berwarna gelap yang ku dapat saat aku berulang tahun 7 tahun, dia kuberi nama Buno dan itu terinspirasi dari penyanyi favorit ku saat ini Bruno mars, anjing setia ku melihat ku dengan tatapan sedih dan gonggongan lirih.

"Jangan bersedih, dua atau tiga tahun nanti aku akan membawamu bersama ku." Aku mengelus bulu indahnya yang selalu orang-orang rumah ini rawat dengan baik.

Aku mendongkak melihat Ayahku yang sudah mengulurkan tangan nya, meminta ransel ku untuk dimasukkan kedalam mobil mewah miliknya yang terparkir di halaman depan.

"Aku rasa kamu sudah siap, kita bisa bergegas." Kata Ayahku, membuat aku berdecih tak suka.

Ayahku adalah seorang yang memiliki jiwa kebapakkan yang sangat baik dan perlu di acungi jempol, tapi semua orang tahu bahwa tidak ada yang sempurna dan itu terbukti pada sosok ayah ku karena disamping sifat kebapakkan nya yang baik dia juga memiliki sifat keras kepala dan tukang pembuat keputusan sendiri yang bisa membuat orang disekitarnya akan mengelus dada.

"Aku pergi, Buno. Baik-baiklah, jangan susahkan orang-orang rumah ini."

Aku meninggalkan Buno yang ku yakin sedang bersedih, aku ingin membawanya tapi Ayah ku yang keras kepala itu tidak mengijinkan nya dengan alasan aku mungkin tak akan bisa merawatnya dengan baik, Konyol.


.

"Apa kau akan terus berdiam diri tanpa mau mengajak Ayah berbicara?"

Aku menghela nafas, hari ini aku merasa selalu menghela nafas dan aku tahu itu tidak baik.

"Menurutmu apa yang harus aku bahas, Ayah?" Tanya ku, aku merasa tidak nyaman berada didalam satu mobil bersama Ayahku karena beberapa hari lalu kami sempat bertengkar dan baru tadi pagi lah kami mulai berbicara lagi.

"Aku merasa tidak ada yang perlu dibahas." Jawabku sendiri tanpa menunggu jawaban keluar dari mulut Ayahku.

"Ada, mungkin membahas seberapa jauh dari Oxford menuju Bibury, apa kamu tidak penasaran?"

Ayah ku mencoba mencairkan suasana didalam mobil ini tapi sayang itu tidak berhasil karena nyatanya aku tidak tertarik sama sekali.

"Aku sudah tahu, beberapa jam yang lalu aku sempat mencari tahu lewat internet." Jawabku acuh, mata ku menatap kearah jejeran toko-toko yang kami lewati, kami melewati Petshop dan itu membuatku teringat kembali kepada Buno dirumah.


.

Aku membuka kedua mataku saat aku merasa mobil yang dikendarai oleh Ayahku tidak bergerak, aku menatap sekeliling dengan tatapan bingung tapi itu hanya sementara karena setelahnya aku paham dan sadar dimana aku berada sekarang.

Ternyata kami sudah tiba, aku ingat ini adalah Desa Bibury yang dikatakan Ayahku, Desa kelahiran nya. Aku terakhir kemari saat usia ku 4 tahun dan aku terkagum pada ingatan ku yang ternyata masih mengingat Desa ini hingga kini.

Aku terlelap saat setelah melewati Petshop dan aku berpikir mungkin aku terlelap selama 2 atau 3 jam lamanya.

Aku menoleh saat mendengar suara dua orang sedang berbincang yang ternyata adalah Ayahku dan Nenekku, Ah sudah lama tidak bertemu dirinya.

Nenek ku mengenakan sweater rajut tebal berwarna peach yang cantik dipasangkan dengan rok panjang berbahan kain yang terlihat nyaman, dirinya masih terlihat sehat dan bugar di usia nya yang sudah 70 tahun, itu karena dia rajin berkebun.

Aku keluar dari mobil dan terdiam sejenak didekat mobil, hingga Nenekku menyapa ku dan menyuruhku mendekat.

"Apa kabar, nenek?" Tanya ku basa-basi, tersenyum manis menanggapi senyum manis nenek ku juga. "Kau terlihat sangat sehat dari terakhir kita bertemu."

"Cucu ku yang manis, tentu saja." Nenek ku mencubit kedua pipi ku gemas, pipi ku memang gemuk itu yang sering dikatakan Ibu tiri dan Kakak laki-laki pertama ku.

Aku tersenyum bahagia, aku mengitari pandangan ku ke sekeliling menikmati suasana didesa ini.

Sangat asri dan sejuk, keadaan nya juga tidak seperti desa sekali, masih terlihat kota-kota nya walau sedikit.

Mataku berhenti didepan pekarangan rumah di depan ku, dipisahkan oleh sebuah gerbang berwarna putih gading yang bercelah-celah dapat ku lihat sesosok laki-laki tinggi, berkulit pucat sedang menatap kearah kami.

"Nenek, dia siapa?" Tanya ku pada nenek, jemari jempol ku menunjuk kearah sosok laki-laki itu.

"Dia Sehun, anak Tuan Oh." Jawab nenek ku dan kubalas anggukan tanda mengerti. "Dia sangat pendiam dan sering dijuluki orang aneh oleh anak-anak sebaya nya di desa ini, padahal menurut Nenek dia tampan dan baik karena walau kata orang-orang dirinya aneh dia masih memiliki sopan santun yang tinggi dan terkadang tersenyum kepada Nenek. Tidak seperti anak-anak yang lain." Jelas Nenek ku lagi.

Aku tersenyum jenaka, lalu kembali menatap kearah Sosok laki-laki yang katanya bernama Sehun itu, dia masih disana dan saat aku ingin menghampiri nya dia malah berbalik pergi kedalam rumahnya.

Ku pandangi rumah nya dan terhenti lah pandangan ku pada sebuah Jendela dilantai atas rumah nya yang terlihat berembun dan Tua, aku mengeryit aneh saat menatap jendela itu karena saat kulihat lagi rumah milik Sehun, semua nya terlihat baik dan tidak tua tapi mengapa jendela itu saja yang terlihat tua.

"Nek, kenapa jendela itu tua?" Tanya ku lagi pada Nenek ku, lalu Nenek ku tersenyum lembut dan mendekat padaku.

Dia merengkuh bahu ku dan berkata. "Aku tidak tahu pasti mengapa, Nak. Tapi yang pasti itu adalah salah satu alasan dari kesekian alasan anak-anak didesa ini yang membetulkan Sehun aneh."

"Itu kamar nya?"

Tanya ku lagi, entah kenapa setelah sampai di desa ini aku jadi banyak bertanya, aku sempat melirik Ayah ku yang tersenyum lembut melihat tingkah ku yang sedikit berubah.

"Itu kamarnya, Sehun sangat mencintai jendela itu entah mengapa Nenek juga tidak tahu."

Aku melihat Jendela tua yang berwarna putih pudar dan usang juga berembun itu dengan penuh selidik.

Aku bertekad akan bertanya padanya.

.

.

TBC.

Halo, bawa ff baru lagi ^^

Cuma beberapa Chapter ^^

RnR ya ^^