Kalimat favorit Wonwoo memang sangat sederhana. Tidak mewah dan tidak spesial sama sekali. Hanya…

"Nona, Tuan Besar dan Nyonya Besar sudah pulang."

Ya. Hanya itu. Tidak lebih.

Hanya kalimat sesingkat dan sesederhana itu.

.


.

.:oo::oo::oOo::oo::oo:.

Fine

Chapter 4

FreakinGyu's Present

Kim Mingyu & Jeon Wonwoo

Warn! Genderswitch for all uke.

.:oo::oo::oOo::oo::oo:.

.


.

I'm sorry, Mom, Dad. I know I've messed up bad,

I should've done, should've done better.

I'm sorry, Mom, Dad for all the time I had to get my life,

To get my life together, but I didn't.

.


.

Wonwoo berlari keluar kamarnya. Cepat sekali karena terlalu bersemangat. Bahkan berkali-kali ia nyaris menabrak beberapa maid. Para maid itu berteriak, menyuruh Wonwoo untuk berhati-hati.

Namun Wonwoo terlalu bahagia untuk berjalan seperti biasa. Larinya terhenti ketika ia sampai di tepi tangga. Ia bisa melihat Ayah dan Ibunya dari atas. Orang tuanya sedang berbicara dengan kepala maid di rumahnya, Bibi Ahn.

Tuan Jeon mendongkak dan mendapati Wonwoo yang sedang melihat ke arahnya, "Wonwoo putriku, kemari, sayang," Ia merentangkan tangannya seolah bersiap untuk menerima pelukan dari gadis kecilnya.

Menurut Tuan Jeon, sebesar apapun Wonwoo, sedewasa apapun Wonwoo, berapapun umur Wonwoo, ia tetaplah gadis kecilnya yang selalu Tuan Jeon peluk setiap malam.

Wonwoo berlari menuruni tangga, tampak tergesa-gesa.

"Sayang, hati-hati."

Itu suara Ibunya. Terdengar cemas, ya, takut Wonwoo terjatuh dari tangga. Dan sungguh, Wonwoo sangat merindukan suara indah itu.

Wonwoo langsung memeluk Ayahnya erat. Bahkan sang Ayah tampak terdorong beberapa langkah ke belakang. Kemudian pria itu membalas pelukan putri tersayangnya, "Apa kau merindukan Ayah?"

Wonwoo mengangguk dalam pelukan Ayahnya, "Ya. Aku merindukan Ayah. Aku juga merindukan Ibu. Aku merindukan kalian, sangat."

Nyonya Jeon tersenyum. Tangannya mengelus surai panjang putrinya dengan lembut.

Keluarga bahagia yang mampu membuat para maid yang melihat tersenyum haru.

.


.

You hurt me.

And it's breaking my heart.

Deserted me.

All the love you just start.

You hurt me.

And you know I can feel the pain inside as if I had died.

.


.

Wonwoo melangkah cepat memasuki lift dan menekan tombol 17. Kedua tangannya saling meremas, gadis itu bahkan tak sadar ia tengah menggigiti bibirnya. Wonwoo terlalu cemas.

Mingyu mengiriminya pesan. Katanya pemuda itu sakit, sangat sakit sehingga tidak bisa bangkit dari ranjangnya. Sialnya, pesan itu baru terbaca oleh Wonwoo setelah empat jam lamanya.

"Ya Tuhan, tolong. Jangan terjadi apa-apa pada Mingyu."

Kedua tangan Wonwoo berkeringat dingin. Sungguh, ia benar-benar khawatir akan keadaan Mingyu. Wonwoo langsung melangkahkan kakinya dengan cepat begitu lift terbuka.

Wonwoo nyaris berlari di koridor itu. Pintu apartemen Mingyu berada di sudut koridor. Wonwoo menghela napas lega saat dirinya sudah berada di depan pintu apartemen Mingyu. Gadis itu memasukan kode dan pintu terbuka dengan otomatis.

Wonwoo memasuki apartemen Mingyu dan menutup pintu. Ia melangkahkan kakinya menuju kamar Mingyu, karena sebelumnya pemuda itu bilang ia tengah terbaring lemas di ranjangnya. Namun langkahnya terhenti saat mendengar suara aneh dari arah dapur apartemen Mingyu.

"Aaahhh~~"

"M-Mingyuuhh~"

Kedua mata Wonwoo membulat seketika. Itu suara wanita, jelas sekali. Jantung Wonwoo berdetak dua kali lebih cepat. Gadis itu melangkah ragu menuju dapur apartemen Mingyu. Karena bagaimanapun, ia harus memastikan apa yang tengah terjadi di dapur apartemen kekasihnya.

Tangan bergetarnya mendorong pintu kamar yang sebenarnya tidak tertutup sempurna. Dan kedua mata Wonwoo melebar seketika, "Mingyu…"

Di sana, seorang gadis yang telanjang bulat tampak duduk di atas meja makan dan bercumbu panas dengan Mingyu. Kaki sang gadis mengait erat di sekitar pinggang Mingyu. Mingyu sendiri tengah bertelanjang dada. Keduanya tengah saling menikmati bibir sebelum Mingyu menoleh karena mendengar lirihan Wonwoo.

"W-Wonwoo…"

Mingyu bisa melihat kedua tangan Wonwoo yang terkepal erat di samping tubuhnya. Kedua matanya memerah dan berkaca-kaca. Wonwoo tengah menahan tangisnya.

Mingyu menjauh dari tubuh wanita yang masih duduk tak tahu malu di atas meja makan. Pemuda itu melangkah menghampiri Wonwoo, namun gadis itu malah mundur dan menggelengkan kepalanya.

"Menjauh dariku."

Demi Tuhan, ini kali pertamanya Mingyu mendengar suara Wonwoo seperti ini. Walau bergetar, suaranya mengalun dingin dan penuh kebencian.

"Wonwoo, aku bisa jelaskan."

Wonwoo tersenyum miris, pandangannya semakin mengabur karena menahan air mata, "Seharusnya aku percaya pada Jihoon…" Ia menutup mulutnya dengan sebelah tangan, isakannya keluar begitu saja.

Mingyu mendengar itu. Ia mendengar isakan itu, ia mendengar suara bergetar Wonwoo, ia merasakan betapa sakit hatinya Wonwoo. Kim Mingyu memang bodoh.

"Woo, sayang, dengarkan aku."

"Tidak," Wonwoo menghapus air matanya yang sebenarnya tidak berhenti mengalir dari kedua matanya, "Seharusnya aku percaya pada Jihoon. Seharusnya aku percaya bahwa kau memang brengsek. Kau playboy. Kau… Kau penggila wanita."

"Woo, aku tidak seperti itu!" Mingyu kembali melangkah mendekati Wonwoo. Kini gadis itu tidak lagi menghindar. Mingyu memegangi bahu Wonwoo, memaksa gadisnya untuk mendengarkan semua penjelasannya, "Woo, aku bukan playboy… Demi Tuhan, ini tidak seperti yang kau lihat. Aku… Aku hanya mencintaimu."

Wonwoo terkekeh, masih dengan air mata yang mengalir dengar, "Lucu sekali, Mingyu. Cinta? Ya. Hanya mulutmu yang bilang seperti itu, namun hatimu tidak," Gadis itu menundukkan kepalanya. Tangan kanannya meremas dada sebelah kirinya, tepat dimana jantungnya bersarang, "Sakit sekali, Mingyu."

"Wonwoo…"

"Sebenarnya apa salahku, Mingyu? Mengapa kau menyakitiku?" Wonwoo mengangkat kepalanya dan menatap Mingyu dengan mata basahnya. Tajam dan menusuk penuh kesakitan. Kemudian aliran air mata Wonwoo terhenti. Gadis itu menghapus kasar jejak air mata di pipinya. Ia menarik napas dalam sebelum berujar, "Mingyu, kita selesai. Sekarang kau bisa melanjutkan kegiatanmu dengan wanita itu."

"Wonwoo!" Mingyu berteriak saat mendengar perkataan Wonwoo. Pegangannya kepada bahu Wonwoo semakin mengerat, "Tidak, Wonwoo. Aku tidak mau putus denganmu. Tidak. Tidak mau. Tidak akan. Dan tidak akan pernah."

"Mingyu…" Suara Wonwoo terdengar lelah, "Kau tidak bisa egois seperti ini. Kau menyakitiku dan sekarang kau menahanku? Kau pikir bagaimana perasaanku?"

Mingyu terdiam saat mendengar perkataan Wonwoo. Benar… Ia telah menyakiti gadisnya… Dan tanpa sadar, pegangannya pada bahu Wonwoo terlepas begitu saja.

Wonwoo tersenyum, "Aku pergi, Mingyu."

Dan itu menjadi kalimat terakhir yang Mingyu dengar dari kedua belah bibir Wonwoo.

.


.

Everything has changed.

All I know is a smiple name.

All I know since today is everything has changed.

.


.

Wonwoo merasa sangat dikhianati sekarang.

Bukan oleh orang lain, melainkan oleh dirinya sendiri. Ketika otaknya berteriak untuk melawan, hatinya malah terdiam rapuh. Ketika seharusnya ia berontak melepaskan pelukan Mingyu, namun kenyataannya, ia hanya terdiam membeku dengan air mata yang berlinangan.

Wonwoo tidak bisa berbohong. Ia tidak bisa menampik. Ia tidak bisa munafik bahwa…

…bahwa ia merindukan pelukan ini.

"Wonwoo…"

Mingyu mengeratkan pelukannya pada tubuh Wonwoo. Pemuda itu merasa oksigennya kembali. Ia merasa dunianya kembali.

Mereka berada dalam posisi itu selama beberapa saat sebelum Mingyu melepaskan pelukannya. Pemuda itu menangkup kedua pipi Wonwoo. Kedua matanya menatap wajah gadisnya lekat. Semuanya tampak sama. Mata, hidung, bibir, semuanya tetap sempurna. Gadisnya sempurna.

Ya.

Hingga Mingyu menyadari sesuatu.

Tatapan Wonwoo.

Wonwoo hanya menatap lurus sejak tadi. Menatap kosong, seperti melamun.

"Hey, Wonwoo?"

Namun Mingyu tidak mendapatkan respon apapun kecuali air mata yang kembali mengalir dari sudut mata Wonwoo.

Wonwoo tidak tahu. Suara Mingyu, tatapan Mingyu, segala tentang Mingyu hanya membuat hatinya sakit. Semua ingatan tentang Mingyu seakan kembali berputar di kepalanya. Semuanya, termasuk saat Mingyu mengkhianatinya. Merusak kepercayaannya. Menghancurkan hatinya.

Wonwoo ingin bersuara. Ia ingin berteriak kepada Mingyu, ia ingin memaki Mingyu. Namun suaranya seakan tertahan di tenggorokannya.

Wonwoo ingin berontak. Ia ingin mendorong tubuh Mingyu agar menjauh darinya. Namun lagi, ia tak bisa. Sendi-sendi tubuhnya seperti mati rasa, ia hanya bisa membeku seperti sekarang.

Hanya matanya yang mengungkapkan segalanya. Matanya dan air mata.

Dan barulah Mingyu menyadari bahwa Wonwoo berbeda, tidak sama seperti dulu.

"Woo…"

Berhasil.

Panggilan lirih Mingyu membuat Wonwoo mengalihkan tatapannya, begitu pula dengan air mata yang berhenti mengalir dari kedua matanya. Gadis itu kini beralih menatap Mingyu tepat di matanya, hanya saja tatapannya berbeda.

Ya, seperti yang Mingyu sadari tadi.

Jika dulu Wonwoo selalu menatapnya dengan lembut dan hangat, kini gadis itu menatapnya dengan datar dan dingin.

Wonwoo menyentuh tangan Mingyu yang masih bertengger di kedua sisi wajahnya. Mingyu bisa merasakan tangan Wonwoo yang dingin dan juga basah. Wonwoo menurunkan kedua tangan Mingyu dari wajahnya.

"Pergi," Bibir Wonwoo bergetar saat mengucapkan satu kata itu. Satu kata yang mampu membuat dua pasang manusia itu saling merasakan sakit, "Kumohon," Dan air mata kembali mengalir dari sudut mata kirinya.

Bibir Mingyu terbuka, namun tak ada suara yang keluar. Tenggorokannya terasa kering dan sakit. Perkataan Wonwoo menohok hatinya.

Selama enam tahun ini Mingyu selalu berusaha. Berusaha untuk menemukan Wonwoo yang seperti hilang ditelan bumi. Berusaha tegar di hadapan orang-orang. Berusaha menekan rasa sakit yang semakin menjadi tiap detiknya.

Dan ini balasan Wonwoo?

Namun… Ya. Mingyu menyadari bahwa ia memang menyakiti Wonwoo dengan amat sangat.

Mingyu sadar bahwa ia memang pantas mendapatkan perlakuan ini.

Keduanya kembali terdiam satu sama lain. Mingyu menundukkan kepalanya dengan kedua mata yang terpejam kuat, hatinya sakit sekali. Berbeda dengan Wonwoo yang masih menangis dalam diam, kedua matanya memandangi Mingyu.

"Mingyu?"

Itu suara Jongin.

Putra Sulung Keluarga Kim itu berdiri sekitar tiga meter dari tempat Mingyu dan Wonwoo berada. Ia menatap heran sang adik yang tengah berjongkok di hadapan seorang gadis.

Ah gadis itu… Jongin seperti pernah melihatnya…

"Kau… Adik Baekhyun?"

Wonwoo menundukkan kepalanya, menghapus aliran air mata di pipinya. Walau sebenarnya ia tidak bisa menutupi bahwa ia baru saja menangis tadi karena kedua matanya yang membengkak parah serta hidung yang memerah di ujungnya. Gadis itu bangkit dari duduknya, sedikit membungkuk ke arah Jongin sebelum melangkahkan kakinya dari sana, berlalu dari taman yang menjadi saksi bisu pertemuannya dengan sang mantan kekasih, Mingyu.

Jongin melangkahkan kakinya dengan ragu. Mingyu masih saja menundukkan kepalanya seraya berjongkok. Ada apa dengana adiknya ini?

"Gyu, kau baik?" Jongin menepuk punggung adiknya pelan, "Siapa gadis itu?"

"Hyung."

Dahi Jongin mengernyit heran. Suara Mingyu terdengar penuh keputus asaan. Juga panggilan itu… Mingyu jarang sekali memanggilnya 'hyung'. Adiknya hanya memanggilnya di saat-saat tertentu, biasanya Mingyu hanya memanggilnya dengan 'kau' atau bahkan namanya. Dan Jongin tahu, bahwa Mingyu sedang tidak baik-baik saja, "Ya, Gyu?"

"Dia… Dia gadisku."

.


.

I know can't nothing can't erase the pain I use you.

I'm sorry, sister.

Because I hide it.

.


.

Wonwoo menatap pantulan dirinya di cermin kamar. Gadis itu menghela napas berat sebelum memoles sedikit wajahnya dengan make up. Sebenarnya Wonwoo tidak suka memakai make up saat berada di rumah. Tapi lihatlah sekarang, mukanya membengkak, terutama kedua matanya yang nyaris tak terlihat karena menangis semalaman.

Wonwoo mengambil liptint dan mengoleskannya di permukaan bibir. Bibirnya pucat sekali, masih karena efek menangis semalaman.

Jujur saja, setelah pergi meninggalkan Mingyu di taman, Wonwoo tak bisa menghentikan aliran air matanya. Hatinya sakit. Dan ia benci, mengapa ia bisa terlihat begitu lemah di hadapan Mingyu, bahkan untuk menolak saja Wonwoo tak mampu. Ia hanya terdiam seperti raga tanpa nyawa.

Dan yang membuat Wonwoo semakin lemah adalah Mingyu sendiri. Mengapa Mingyu terlihat sangat… Menyesal? Bukankah pemuda itu tidak pernah mencintainya? Bukankah ia hanya mainan untuk Mingyu? Bukankah ia hanya satu dari sekian perempuan yang pernah Mingyu tiduri?

"Woo…"

Wonwoo tersentak saat melihat Baekhyun membuka pintu begitu saja. Kakak sepupunya itu menatapnya heran.

"Ada apa denganmu?" Baekhyun melangkah mendekati Wonwoo dan menatap adiknya dengan lekat, "Kau menangis semalaman," Tatapan Baekhyun berubah sendu.

Wonwoo tersenyum dan menggeleng, "Eonni, aku hanya tidur terlalu larut," Sangkalnya.

"Mengapa kau berbohong? Woo, aku bukan orang asing. Kita sudah hidup bersama sejak dulu. Kau adikku dan aku kakakmu. Aku mengerti dirimu, Woo."

Wonwoo terdiam. Ia menundukkan kepalanya dalam.

"Woo, aku tahu kau menyembunyikan sesuatu dariku," Baekhyun menekan setiap katanya. Entahlah. Rasanya Baekhyun tidak tahan lagi. Ia harus meluruskan hal ini. Ia harus mengetahui apa yang terjadi pada adiknya, "Kau… Pernah hamil. Aku benar, bukan?"

Wonwoo mengangkat kepalanya cepat dan menatap Baekhyun dengan kedua mata yang melebar. Terkejut. Bagaimana bisa Baekhyun mengetahui hal ini?

"E-Eonni…"

"Woo, mengapa kau menutupi hal sepenting ini?"

Kedua mata Wonwoo kembali berair. Hatinya mencelos saat merasakan kekecewaan dalam nada suara Baekhyun. Ia merasa berdosa karena telah menyembunyikan sesuatu dari kakak sepupunya itu.

Wonwoo hanya tidak mau Baekhyun balik membencinya setelah mengetahui segalanya. Wonwo hanya tidak mau Baekhyun ikut merasakan sakitnya. Wonwoo hanya tidak mau Baekhyun ikut menanggung malu karena perbuatan jalangnya di masa lalu. Wonwoo tidak mau. Baekhyun sudah terlalu baik padanya dan ia tak mau membalasnya dengan hal seperti itu.

"Eonni, maafkan aku…"

Baekhyun menggeleng, "Woo, kau lemah. Kau sering menangis sendirian di kamarmu saat tengah malam. Kau sakit, Woo," Nada suaranya terdengar getir, "Aku hanya ingin menyembuhkanmu. Tapi bagaimana bisa aku menyembuhkanmu jika tidak tahu apa yang membuatmu sakit."

Benar, bukan?

Baekhyun adalah kakak yang sempurna.

Bahkan saat Baekhyun mengetahui Wonwoo pernah mengandung, bukannya merasa jijik, Baekhyun malah bersikap seperti ini.

"Eonni, maafkan aku…"

Baekhyun mendesah lelah. Ia menundukkan kepalanya sesaat. Kemudian ia tersenyum tipis, "Sudahlah. Lupakan. Aku terlalu emosional," Baekhyun mengibaskan kedua tangannya dan terkekeh, "Oh ya, aku akan berangkat ke Hawaii untuk bulan madu nanti sore. Kau harus mengantarku, hm?" Gadis itu berlalu setelah menepuk bahu Wonwoo pelan.

Setelah kepergian Baekhyun, Wonwoo mendudukkan tubuh di sisi ranjang. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya.

Ya Tuhan…

Apakah ini saatnya untuk menceritakan semuanya?

.


.

Come back.

I want you back.

I miss the old of you.

.


.

Jadwal cuti Mingyu sudah selesai. Waktunya untuk kembali pada rutinitas padat yang membuat kepala seakan meledak. Sebenarnya Mingyu disambut dengan hangat oleh para karyawannya sejak langkah pertama memasuki gedung perusahaan.

Namun entahlah, rasanya lelah sekali. Padahal ia sudah mengambil cuti yang cukup lama. Ia tidak bersemangat sama sekali. Mingyu bahkan tidak membalas sapaan para karyawan.

"Bro, kau baik?"

Tidak, Seokmin. Aku tidak baik-baik saja.

Mingyu sungguh ingin mengatakan hal itu. Namun rasanya sulit sekali. Mingyu tidak baik-baik saja, apalagi sejak pertemuannya dengan Wonwoo kemarin malam.

Wonwoo.

Gadis itu sukses membuat Kim Mingyu tidak tidur semalaman. Mingyu tidak bisa memejamkan matanya karena semua pemikirannya tentang Wonwoo.

"Aku baik."

Nyatanya ia berbohong.

Seokmin berdecak. Ia menyandarkan tubuh di dinding ruangan Mingyu, "Kau kacau," Komentarnya dengan nada pedas, "Orang lain setelah cuti akan terlihat lebih segar, tapi kau? Lihat dirimu. Seperti pemuda patah hati. Menjijikan."

"Dan kau tahu? Jisoo marah padaku. Padahal aku hanya bertanya, 'bagaimana jika kita melakukannya agar bisa mendapat restu?'. Sebenarnya itu bukan ide yang buruk, bukan?" Seokmin mencebikkan bibirnya, "Semua ini karena orang tuanya Jisoo. Mereka tak pernah merestui kami."

Mingyu memutar kedua bola matanya. Ia kembali fokus pada dokumen di hadapannya. Seokmin dan segala ucapannya benar-benar tidak penting dan mengganggu.

Namun pergerakan Mingyu terhenti saat sebuah pemikiran melintas di kepalanya. Membicarakan tentang Wonwoo pada Seokmin. Seokmin tahu tentang masa lalunya dengan Wonwoo. Mungkin sahabatnya itu bisa ia manfaatkan untuk mencari informasi tentang mantan kekasihnya. Ya… Walaupun Seokmin menjengkelkan dan mengganggu, namun ia yakin sahabatnya itu bisa diandalkan.

"Seok…"

"Huh?"

"Aku bertemu dengan Wonwoo."

Kedua mata sipit Seokmin melebar dengan berlebihan. Pemuda itu langsung melangkah ke arah meja kerja Mingyu dan duduk di hadapan sahabatnya.

"Kemarin. Saat di acara pernikahan teman Jongin Hyung."

"Woah…" Seokmin menggeleng takjub, "Akhirnya kau bertemu dengannya. Lalu?"

Mingyu tersenyum miris, "Aku pikir dia baik-baik saja. Maksudku, tak heran jika dia membenciku. Namun ini berbeda…" Ia menghela napas berat, "Dia… Terlihat kosong, Seok. Seperti tidak bernyawa. Tatapannya benar-benar kosong. Aku tahu awalnya ia terkejut, namun lama kelamaan aku bisa melihat kesakitan dalam matanya."

Seokmin terdiam sesaat, "Tentu saja dia seperti itu. Kau menyakitinya terlalu dalam, bro."

"Aku tahu, Seok. Aku tahu," Mingyu berujar frustasi, "Tapi ini berbeda. Seperti ada kesakitan lain disana. Aku… Ah! Entahlah!"

Seokmin tidak tahu harus berkata apa. Ia tahu Mingyu salah, karena itu ia tidak bisa membantu apapun perihal hubungan sahabatnya dengan Wonwoo meski ia ingin.

"Seok, aku ingin minta tolong padamu."

"Apa?" Seokmin menatap Mingyu lekat, "Gyu, aku tidak bisa membuatmu menyatu kembali dengan Wonwoo."

"Aku tahu, Seok," Suara Mingyu terdengar lelah, "Dan aku tidak berharap, meski demi Tuhan aku ingin. Aku ingin Wonwoo kembali ke pelukanku. Aku mencintainya, sangat," Mingyu tersenyum getir, "Tapi aku juga sadar bahwa aku telah menyakitinya terlalu dalam," Ia menundukkan kepalanya, "Tapi aku hanya ingin kau mencari tahu tentang apa yang terjadi padanya sejak menghilang enam tahun lalu. Itu saja."

Seokmin terdiam sebelum mengangguk pasti, "Aku yakin aku bisa menemukan informasi tentangnya. Aku akan membantumu sebisaku, sobat."

Mingyu tersenyum. Ia beruntung memiliki sahabat seperti Seokmin.

.


.

I pain debt,

And now I think I understand regret.

.


.

Wanita itu melangkah ke sudut kamar dan berdiri tepat di depan meja nakas. Tangan bergetarnya bergerak meraih figura foto di sana. Ia menatap sosok yang berada dalam foto itu.

Seorang gadis yang tengah tersenyum manis dengan baju seragam Sekolah Menengah Atas.

Itu putrinya.

Air mata mengalir begitu saja dari sudut mata wanita itu. Tangannya membelai permukaan figura itu. Ia merindukan putrinya, sangat.

"Jaejoongie? Sedang apa kau disini?"

Wanita itu, Kim Jaejoong tersentak dan menghapus air matanya dengan cepat. Ia menyimpan kembali figura itu dan berbalik menatap suaminya. Bibirnya mengulas senyuman yang terkesan dipaksakan, "Kau sudah pulang, suamiku?"

Jeon Yunho tahu apa yang terjadi. Istrinya tak berhenti melakukan hal ini sejak enam tahun lalu. Pria itu memijat pelipisnya yang berdenyut, "Hentikan ini, Jae."

"Apa? Apa yang harus aku hentikan?"

Darah Yunho terasa mendidih. Ia baru saja pulang dari kantor setelah bekerja seharian, dan sekarang ia mendapati istrinya seperti ini. Kepala Yunho terasa akan meledak, "Berhenti seperti ini! Kau harus bangkit, Jaejoong!"

Jaejoong menatapnya nanar, "Bagaimana bisa kau setega ini?! Aku merindukan putri kita setiap saat, namun bagaimana bisa kau berkata seperti itu?!" Wanita itu menjerit kalap dengan air mata yang kembali membasahi pipinya.

Yunho mendesis, "Anak itu yang salah! Dia yang membuatku terpaksa melakukan ini semua!" Ia balas berteriak.

"Kau…" Jaejoong menatap suaminya tajam, "Kau berbicara seolah kau tidak pernah melakukan kesalahan. Hebat sekali, Jeon Yunho."

"Dengar, Jae," Yunho memegang kedua bahu istrinya, "Anak itu memalukan. Dia tak tahu posisinya. Dia putri kita, dia putri pengusaha ternama yang selalu disorot media. Namun bagaimana bisa dia melakukan itu? Dan lebih parahnya dia melakukan itu dengan putra dari rival bisnis kita," Yunho berujar datar, "Sudah sepantasnya dia mendapatkan semua ini."

Jaejoong tidak tahan lagi. Wanita itu menampar pipi kiri Yunho dengan keras hingga suaminya terhuyung dua langkah ke belakang, "Sialan kau! Sebagaimanapun buruknya, dia tetap putrimu!" Jaejoong berteriak penuh amarah, "Mengapa di otakmu hanya ada bisnis, bisnis, dan bisnis?! Itu yang membuat hatimu membeku seperti ini, Yunho!"

Yunho berdecih. Pria itu memilih untuk berlalu dari kamar dan menutup pintunya dengan keras, terlalu keras hingga tembok kamar itu bergetar hebat.

Jaejoong jatuh terduduk seraya menutup wajahnya. Menangis penuh penyesalan.

.


.

I found you.

I found you after six years.

Finally I find you.

.


.

Salah satu hobby Wonwoo adalah membaca buku. Sejak dulu, buku selalu menjadi temannya, buku selalu bisa membuat suasana hatinya membaik. Karena itu Wonwoo memilih untuk pergi ke perpustakaan sore ini.

Ya… Sekedar mengembalikan mood.

"Wonwoo?"

Wonwoo mendongkak dan menatap heran seorang pemuda yang tengah berdiri di hadapannya, "Ya?"

"Ah, aku Junhui. Aku teman satu angkatanmu saat Sekolah Menengah Atas dulu. Hm… Bolehkah aku duduk disini?"

Wonwoo mengangkat sebelah alisnya, namun ia tetap mengangguk, "Tentu," Dan setelah itu, Wonwoo kembali mengalihkan fokus pada novelnya.

Sementara Junhui tersenyum sambil sesekali mencuri pandang ke arah Wonwoo.

Keduanya tidak menyadari bahwa ada gadis lain yang melihat mereka dari kejauhan dengan tatapan penuh kebencian.

.


.

You hurting me.

Baby you hurting me.

I've been here rite here by your side.

But this isn't fair.

.


.

"Mengapa Gege melakukan ini padaku?!"

Junhui mendesis kesal, "Apa masalahmu, Xu Minghao?"

Minghao menangis hebat. Gadis itu menelungkupkan wajahnya di bantal sofa.

Sementara Junhui menatapnya jengah, "Sudah kubilang sebelumnya, Hao. Jangan pernah berharap kepadaku," Ujarnya sebelum berlalu dari sana.

Lagi, Junhui meninggalkan Minghao sendirian. Meninggalkan kesakitan untuk kesekian kalinya.

"AKU MEMBENCIMU, WEN JUNHUI! AKU MEMBENCIMU!"

.


.

TBC

.


.

Haiiii, ada yang kangen kah?

Ga ada?

Yaudah iya.

Maafkan atas keterlambatan updatenyaaaa T.T

Karena sekarang juga lagi persiapan masuk PTN nih, Alhamdulillah jalur SNMPTN hehe. /ga nanya.

Fyi aja sih, chapter depan itu chapter terakhir yang ada flashbacknya, dan setelah itu, bakal fokus ke masa sekarang muehe.

Mind to review?

Special thanks for:

Yongsy97, wonppa, seira minkyu, zizi'd, wortelnyasebong, kimnimgyu, Park RinHyun-Uchiha, dkwlsajin, KimHaelin29, caratcarat, Guest, fera95, WooMina, Zizisvt, Jeonna, 2hasmeanie, Jeonkimeanie, Jeononu, gbygl, bbysbrth, MoniqJen, Mrs. EvilGameGyu, Beanienim, wanny91, nikeagustina16, imdamr

Mohon maaf bila ada kesalahan dalam penulisan nama /.\