"Bagaimana kau bisa ada di sini?" Gempa bertanya lemah setelah Taufan akahrinya melepaskan rangkulannya. Ia memandang sang kakak dengan mata menyipit, seolah tak yakin apa yang dilihatnya ini benar-benar nyata.
"Kau tidak memberi kabar apa-apa selama tiga hari, jadi aku dan Halilintar khawatir dan menyusulmu ke sini," jelas Taufan. Ia memeriksa bekas darah dan luka memanjang yang mengering di kedua sisi wajah Gempa. "Kau terluka?" tanyanya khawatir.
"Ini bukan apa-apa," ujar Gempa cepat. Ia tiba-tiba saja mencengkeram bahu Taufan dan menatapnya dengan sorot ketakutan. "Kita harus segera pergi dari sini, Taufan. Aku sudah tidak mau lagi berada di hutan ini ..."
"Aku tau, aku tau ... tapi kita harus menemukan Halilintar dulu."
"Di-di mana Halilintar?" Gempa menoleh ke sekelilingnya, baru menyadari sang kakak sulung tak ada bersama mereka.
"Aku dan Hali terpisah ... saat sedang mencarimu," gumam Taufan. Ia kembali didera perasaan bersalah. Taufan tahu jelas bahwa ini kesalahannya. Harusnya saat itu ia menunggu Halilintar yang sedang tak bisa berlari cepat, jadi mereka tak perlu terpisah seperti ini.
Gempa terlihat ngeri. "Kita harus segera menemukannya," ucapnya panik.
"Benar, kita harus segera menemukan Hali dan keluar dari hutan sialan ini."
Raungan keras terdengar menggema di antara pepohonan, membuat Taufan meringis dan Gempa terlihat makin ketakutan.
"Kalau begitu ayo kita pergi mencari Halilintar," kata Gempa. Ia melirik sekelilingnya dengan waspada, berjaga-jaga jika ada yang menyerang mereka. "Apa kalian cuma datang berdua?"
"Ya, begitulah," kata Taufan. Ia melangkah bersisian dengan Gempa, berhati-hati agar tak ada dari mereka yang tertinggal di belakang. "Kami masuk ke hutan ini ditemani oleh seseorang. Katanya dia penjaga hutan."
"Penjaga hutan? Siapa?" tanya Gempa.
"Namanya Kaizo. Kau kenal dia? Dia mengaku sebagai kakaknya Fang."
Gempa menghentikan langkah dan memandang Taufan dengan mata membelalak. "Kau bilang siapa?"
"Kaizo. Dia kakaknya Fang, 'kan? Kalau tak salah Fang memang pernah cerita dia punya kakak ..."
"Tidak mungkin ... Kalian tidak mungkin bertemu Kaizo ..." kata Gempa dengan suara bergetar.
"Kenapa memangnya?" Taufan bertanya heran.
"Karena ... Kaizo sudah meninggal dua minggu yang lalu ..."
.
.
.
The Forest : Final Chapter
A BoBoiBoy Fanfiction by Fanlady
Disclaimer : BoBoiBoy © Monsta
Warnings : Warnings : AU, elemental!siblings, OOC, miss typo, terinspirasi dari sebuah film berjudul sama
Untuk #Siblingisasi
.
.
.
Halilintar meronta dari cengkeraman Kaizo di kakinya. Ia berteriak kesakitan saat terdengar bunyi derak dari kakinya yang terluka, menandakan tulang yang patah. Halilintar jatuh tersungkur sambil mengerang keras dengan tubuh bersimbah keringat.
"Kau membunuhku, Halilintar ..." suara Kaizo terdengar sarat kebencian sementara ia bangkit dan memandang Halilintar yang tengah berlutut kesakitan dengan ekspresi dingin.
"Aku—tidak—membunuhmu." Halilintar menggertakkan gigi keras untuk menahan diri agar tidak menjerit karena rasa sakit di kakinya. Ia tersengal-sengal dan menatap liar ke sekelilinganya untuk mencari jalan keluar. "Aku hanya ingin menyelamatkan adikku yang kau kurung di tempat ini!"
Napas Halilintar tertarik seluruhnya saat Kaizo menendang keras dadanya dan membuatnya terhempas menghantam dinding. Ia terbatuk-batuk, putus asa mencoba mengambil kembali pasokan oksigen untuk paru-parunya yang menjerit protes.
"Kau yakin adikmu memang ada di tempat ini?" tanya Kaizo dingin. Darah menetes-netes dari tubuhnya sementara ia melangkah mendekat ke arah Halilintar.
"Te—tentu saja ... Kau— kau yang mengurungnya di sini ..." ucap Halilintar lemah. Matanya berkunang-kunang dan kepalanya berputar cepat. Ia bisa pingsan kapan saja, tapi halilintar mati-matian bertahan untuk tetap sadar.
"Aku berusaha membantumu, kau tahu ..." ujar Kaizo serak. Ia kini berdiri tepat di depan Halilintar, membuat pemuda itu bisa mencium bau amis darah dan juga daging yang membusuk.
Kaizo membungkuk dan mencengkeram tenggorokan Halilintar, menariknya berdiri dengan paksa. Sepasang iris merah muda menatap Halilintar yang megap-megap kehabisan napas dengan sorot benci.
"Kalau kau begitu keras kepala, maka lebih baik kau membusuk saja di tempat ini, seperti kedua adikmu."
Kaizo melempar Halilintar seolah ia hanya tumpukan sampah tak berarti. Halilintar terguling menuruni tangga bawah tanah dan terhempas di lantai yang basah dan dingin. Ia tak bisa memikirkan apapun selain semua rasa sakit yang menghujam tubuhnya. Suara jeritannya tercekat di tenggorokan sementara ia berjuang agar matanya tetap terbuka.
Halilintar mendengar suara pintu terbanting menutup di atasnya, meninggalkannya dalam kegelapan total tak berujung. Ia berusaha mempertahankan kesadarannya beberapa saat, sampai telinganya menangkap langkah-langkah kaki yang mendekat dari arah kegelapan.
"Gempa ..." bisik Halilintar.
Yang membalasnya hanya suara-suara bisikan lirih, namun Halilintar tak bisa menangkap apa yang diucapkan suara itu. Tangan-tangan dingin meraihnya dari dalam kegelapan, dan Halilintar tak mampu berbuat apa pun untuk mencegah mereka menariknya pergi. Ia melihat wajah Gempa dan Taufan di depannya dan mengulurkan tangan untuk meraih mereka.
Kemudian tangannya terkulai lemas, saat Halilintar akhirnya menyerah dan membiarkan kegelapan menelannya seutuhnya.
.
.
.
"Apa maksudmu Kaizo sudah meninggal?" Taufan bisa mendengar nada histeris dalam suaranya, dan ia sama sekali tak mencoba menyembunyikannya. Jika Kaizo benar-benar sudah meninggal, apa itu artinya dirinya dan Halilintar kemarin seharian berjalan-jalan dengan hantu?
"Fang ... menghilang sejak tiga minggu yang lalu ..." ucap Gempa, suaranya terdengar bergetar. "Kaizo lalu mencarinya di hutan ini dan mengalami kecelakaan, lalu meninggal ..."
"Ke-kecelakaan?"
"Polisi yang menemukan mayatnya berkata seperti itu. Mereka menemukan Kaizo di bawah tebing, katanya dia mungkin tergelincir dari sana. Walau ... mereka juga menemukan bekas-bekas sayatan pisau di pergelangan tangannya."
Taufan menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Meski begitu, ia tak bisa mencegah dirinya merasa ketakutan dan juga panik.
"Ka-kalau begitu kita harus segera mencari Hali," ujarnya gemetar. "Kaizo bilang dia akan kembali, dan jika Hali bertemu dengannya ..."
"Tapi mungkin saja Kaizo tidak jahat ... Dia membantu kalian masuk ke hutan ini, 'kan?" ucap Gempa pelan.
"Ya, membantu kami masuk, lalu membuat kami —kita— terbunuh di sini, maksudmu? Dia jelas tidak baik, Gempa. Ayo, kita tidak boleh membiarkan Kaizo menemukan Hali lebih dulu."
Taufan menarik tangan Gempa dan menyeretnya pergi. Gempa hanya menurut saja karena ia sudah terlalu lelah untuk berdebat. Lagipula perkataan Taufan ada benarnya, tidak ada apapun yang baik di hutan ini.
"Taufan, aku ... menemukan Fang ..." ujar Gempa tiba-tiba.
Taufan menghentikan langkahnya dan berbalik. "Kau ... apa?" tanyanya dengan mata melebar terkejut.
"Aku menemukan Fang, mayatnya. Dia sudah ..." Gempa tak mampu meneruskan kata-katanya. Bayangan tentang tubuh Fang yang membusuk nyaris membuatnya ingin muntah. Tapi yang membuatnya hancur adalah fakta bahwa sahabatnya itu memang telah tiada.
"Kau— kau yakin itu benar-benar Fang?" tanya Taufan hati-hati. "Karena ... aku juga pernah melihat hal yang serupa. Aku melihat mayatmu yang—yang ..." Taufan juga tak sanggup melanjutkan ucapannya. Ia menggelengkan kepala untuk mengusir bayangan mengerikan itu dari benaknya.
"En-entahlah ... aku tidak begitu yakin, tapi aku punya firasat bahwa itu benar-benar Fang ..." gumam Gempa. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan secarik kertas. "Aku juga menemukan ini di dalam tas yang tergeletak di sebelah Fang dan ..."
Ucapan Gempa terhenti mendadak dan matanya melebar ketakutan menatap sesuatu di balik punggung Taufan.
"Ada apa?" Taufan yang penasaran kemudian menoleh dan wajahnya berubah pucat pai seperti Gempa.
Seorang laki-laki berdiri di hadapan mereka dan menatap keduanya dengan sorot dingin. Darah mengalir dari pergelangan tangannya yang terbuka, menetes ke sepatu bot penuh bercak lumpur.
Kaizo.
.
.
.
Halilintar membuka mata dan melihat cahaya terang di depannya. Ia tak yakin apa dirinya tengah bermimpi saat melihat pemandangan yang tak asing baginya. Halilintar mencoba bangkit pelan-pelan dan duduk mengawasi apa yang terjadi di hadapannya.
Lantunan lagu berirama lembut terdengar dari seorang wanita yang tengah menarik selimut menutupi ketiga putra kembarnya. Ia mengecup kening masing-masing putranya penuh kasih sayang. Dua di antaranya sudah terlelap, sementara yang terakhir terus memandangnya dengan sorot mengantuk.
"Ibu, kenapa Hali harus jadi kakak? Gimana caranya Hali bisa jadi kakak yang baik untuk Taufan dan Gempa?"
"Hali jadi kakak karena Hali yang paling bisa diandalkan. Hali cuma harus menjaga Gempa dan Taufan baik-baik kalau ibu tidak ada. Hali bisa melakukannya, 'kan?"
"Bisa, ibu."
"Bagus, Hali memang kakak yang baik. Ibu mengandalkanmu."
Wanita itu tersenyum dan mengelus rambut putra sulungnya. Ia kemudian mencium keningnya sekali lagi dan menyuruhnya segera memejamkan mata.
Halilintar tidak menyadari air mata yang telah mengalir di pipinya saat pemandangan di hadapannya tiba-tiba berubah. Kali ini ia melihat dirinya yang berusia sembilan tahun, menangis meraung-raung sementara sang ibu memeluknya dan berusaha menenangkannya.
"Ini salah Hali ... Taufan dan Gempa kecelakaan karena Hali ... Ha-Hali tidak menjaga mereka dengan baik... Maafkan Hali, ibu ..."
"Bukan, ini bukan salah Hali ... Hali tidak boleh menyalahkan diri seperti itu, sayang ..."
"Hali harusnya tidak membiarkan mereka pergi ... Kalau tidak, Taufan dan Gempa pasti tidak akan kecelakaan ... Hali tidak mau kehilangan Taufan dan Gempa, ibu ..."
Halilintar berlutut dan meremas dadanya yang terasa sesak. Ia terisak tanpa sadar, sementara gaung suara dari dirinya di masa lau terus bergema mengulang-ulang kata maaf.
"Maafkan aku ... maafkan aku ... Aku harusnya tidak membiarkan mereka pergi ..." Halilintar meratap, bercampur dengan suara isakan yang bergemuruh di dadanya.
"Kau memang kakak yang tidak berguna, Hali ..."
"Tidak ..."
"Kau bahkan tidak akan mengkhawatirkanku, jika saja Taufan tak memberitahu ..."
"Aku tidak bermaksud begitu ..."
Halilintar terus meratap sementara suara-suara di kepalanya tak henti meneriakkan berbagai tuduhan atasnya.
Salahnya ... semua ini memang salahnya ... ia harusnya melindungi kedua adiknya, bukannya membiarkan mereka terpencar di tempat seperti ini.
Bau busuk tiba-tiba saja menyengat penciuman Halilintar, membuatnya tersedak di antara isak tangis dan membuka mata dengan napas tersengal.
Sekelilingnya kembali gelap gulita. Halilintar tak bisa melihat apa pun, bahkan tangannya sendiri. Ia meraba saku dan menemukan ponselnya di sana. Saat Halilintar menyalakan cahaya, ia sama sekali tidak terkejut mendapati pemandangan mengerikan di hadapannya. Seolah sejak awal ia sudah mengira akan melihat hal itu.
"Gempa ..." bisik Halilintar lirih. Ia menyeret tubuhnya mendekati sosok dari mana bau busuk yang menyengat hidungnya berasal. "Gempa, tidak ..."
Halilintar menjatuhkan diri di atas tubuh Gempa yang berbaring tak bergerak. Ia tak peduli dengan bau busuknya yang begitu menyengat dan juga lendir yang entah berasal dari mana.
"Maafkan, aku ... Maafkan aku karena tidak menyelamatkanmu lebih cepat, Gempa ..."
Sesuatu berdengung pelan di telinga kirinya. Halilintar melambaikan tangan gusar untuk mengusirnya. Ia memekik tertahan saat benda itu menyelinap masuk ke dalam kupingnya dan membuat seisi kepalanya berdengung.
Halilintar panik. Ia berusaha mengeluarkan apa pun itu —yang sepertinya adalah lalat yang cukup besar, hika dilihat melalui suara dengungannya— dari telinganya. Halilintar berteriak kesakitan saat merasakan lalat itu terbang berputar-putar di bagian dalam telinganya, berusaha mencari jalan untuk masuk ke otaknya. Ia meraba-raba untuk mencari sesuatu yang bisa membantunya mengusir binatang itu, sampai tangannya menyentuh sebuah gagang dingin yang tergeletak di lantai. Pisau.
Halilintar tentu saja tak bisa berpikir jernih dengan makhluk yang terus berdengung menyakitkan di saluran pendengarannya. Ia menusuk sisi kiri wajahnya tanpa ragu. Jeritan kesakitannya menggema di ruangan gelap itu.
Saat dengungan itu akhirnya berhenti, Halilintar sudah terbaring tersengal dengan sebelah sisi wajah bersimbah darah. Ia mengulurkan tangannya yang bergetar hebat untuk meraih ponselnya yang tadi terlempar cukup jauh. Tapi ada tangan lain yang meraihnya lebih dulu. Tangan yang mengeriput dan membusuk serta mengeluarkan bau anyir. Tangan itu meraih pergelangan Halilintar dan mencengkeramnya erat.
"Kak Halilintar ... kenapa kau tidak datang menolongku?"
"Tidak ..." Halilintar merintih putus asa. "Tidak ... maafkan aku ... kumohon maafkan aku ..."
"Kau harusnya menyelamatkanku ... kau harusnya menepati janjimu untuk menjadi kakak yang baik ..."
Wajah penuh keropeng merangkak ke arah Halilintar dan menyeringai lebar padanya. Rongga matanya yang kosong seolah tengah menatap Halilintar dengan pandangan menuntut.
"Kau harus bertanggungjawab karena tak bisa menyelamatkanku, kak Halilintar ..."
"Tidak ... aku tidak bisa ... aku masih harus menyelamatkan Taufan ... aku tak bisa membiarkannya berkeliaran sendirian di hutan ini ..."
"Taufan sudah mati. Kau tidak lihat tadi dia melompat dari tebing?"
"Itu—itu tidak nyata ... Taufan masih hidup ... dia belum mati ..."
"Bagaimana kau bisa tahu dia belum mati? Kau bahkan tak tahu di mana dia berada sekarang ..."
Wajah itu sekarang berada tepat di hadapannya, terus menyeringai dengan rongga mata kosong menatap lurus ke arahnya. Halilintar bahkan nyaris bisa mencecap bau busuk itu di lidahnya. Ia terbatuk-batuk dan menyeret dirinya menjauh.
"Jangan ganggu aku ..." ratapnya. "Pergilah ..."
"Kau ingin aku pergi? Kau ingin aku pergi agar kau bisa terlepas dari rasa bersalah karena membiarkan adik-adikmu mati?"
Halilintar menangis tak berdaya. Ia benar-benar tak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Sebelah telinganya berdenyut menyakitkan, dan ia masih bisa mendengar suara dengung di dalam kepalanya. Ia tak bisa lagi menggerakkan sebelah kakinya, bagaimana dirinya bisa pergi dari tempat ini?
Jari-jari dingin dan berlendir menjepit dagunya dan memaksanya mendongak. Halilintar menatap kedua lubang kosong gelap di mana seharusnya kedua mata berada. Ia menahan napas dan tiba-tiba saja menusuk wajah itu sekuat tenaga dengan pisau di tangannya. Jari-jari itu melepaskannya dan Halilintar bergegas merangkak menjauh.
Ia meraba-raba untuk mencari anak tangga dan berhasil menemukannya setelah beberapa saat. Halilintar menyeret dirinya naik dengan susah payah. Rasa sakit di kakinya hampir membuat Halilintar ingin menyerah, namun ia terus memaksa dirinya untuk bergerak meloloskan diri.
Halilintar akhirnya berhasil tiba di atas tangga. Ia bersyukur saat pintu berderit membuka begitu ia mendorongnya dengan bahunya yang nyeri. Halilintar menggigit bibirnya hingga berdarah untuk menahan sakit saat ia berusaha memaksa sebelah kakinya yang tak terluka untuk berdiri.
Ia kemudian melangkah tertatih-tatih dengan tangan teracung ke depan memegang pisau. Matanya menoleh ke sekeliling dengan liar, bersiap menghadapi makhluk apa pun yang akan menyambutnya. Tapi tak ada siapa-siapa di sana selain dirinya.
Halilintar tak melihat Kaizo di mana pun. Bahkan tubuhnya yang tadi tergeletak di ruang depan dengan dada bersimbah darah, kini telah menghilang. Halilintar tak ingin tahu ke mana pria itu pergi, atau apakah dia benar-benar sudah mati atau masih hidup. Halilintar hanya ingin segera pergi dari tempat ini.
Udara petang yang sejuk menyambutnya begitu Halilintar melangkah kembali di tengah deretan pepohonan. Ia mendongak dan melihat matahari hampir terbenam. Hal terakhir yang diinginkannya adalah menghabiskan satu malam lagi di hutan terkutuk ini.
Maka meskipun ia merasa hampir pingsan —lagi—, Halilintar tetap memaksa kakinya untuk melangkah. Sebelah tangannya masih siaga dengan pisau, sementara tangan satunya lagi berusaha menutupi luka di telinganya yang masih terus mengucurkan darah. Halilintar yakin tak lama lagi ia akan ambruk karena kehabisan darah. Tapi untuk saat ini ia belum bisa menyerah.
Wajah-wajah tanpa tubuh mengiringinya dari kedua sisi, memanggil-manggil namanya dengan suara lirih. Halilintar hanya bisa mendengar suara mereka samar-samar, dan ia sama sekali tak memiliki tenaga untuk menoleh.
Kesadaran Halilintar sudah sangat menipis saat ia mendengar langkah-langkah kaki yang bergegas ke arahnya. Karena itu Halilintar tak yakin apa ia tengah berhalusinasi saat melihat dua sosok familiar muncul dari balik pepohonan. Mereka kelihatan terkejut saat melihat Halilintar, lalu bergegas menghampirinya.
Tubuh Halilintar merosot jatuh saat tekadnya, satu-satunya yang membuatnya sanggup bertahan sejauh ini, runtuh. Ia mendengar suara-suara yang begitu dikenalnya meneriakkan namanya berulang kali. Dan Halilintar berpikir mungkin ini memang bukan mimpi. Ia sudah mati, dan kedua adiknya datang untuk menjemputnya pergi bersama mereka. Lalu ia bisa meminta maaf karena tak bisa melindungi mereka berdua, karena telah gagal menjadi kakak yang bertanggungjawab.
Mata Halilintar perlahan terpejam, dan untuk kali ini, ia berharap tak akan pernah terbangun lagi.
.
.
.
Gempa berlari sekuat yang masih bisa dilakukan kedua kakinya yang goyah. Taufan yang berlari di belakangnya terus memburunya, menyuruhnya mempercepat langkah, namun Gempa benar-benar tak sanggup lagi. Bintik-bintik hitam muncul di depan matanya dan paru-parunya menjerit menuntut pasokan oksigen. Gempa mencoba menarik napas dan merasakan perih di dadanya. Ia lalu terhuyung dan tersandung sebuah dahan patah. Tubuhnya terhempas keras dengan wajah menghantam tanah lebih dulu.
"Aku tidak sanggup lagi," ujar Gempa terengah.
"Ayolah, Gempa ... kita tidak bisa diam di sini. Kau mau kita mati di tempat mengerikan seperti ini?" kata Taufan, berusaha menarik Gempa bangun.
"Biar saja aku mati di sini. Kau pergilah mencari Halilintar dan segera keluar dari hutan ini," gumam Gempa.
"Astaga, Gempa. Aku tidak akan keluar dari hutan ini tanpamu. Aku dan Halilintar aku dan Halilintar mempertaruhkan nyawa untuk masuk ke hutan ini dan menyelamatkanmu, oke? Jadi hargailah sedikit usaha kami," kata Taufan gusar. Ia tidak bermaksud berbicara sekasar itu, hanya saja ia sudah terlalu lelah dan yang diinginkannya hanya agar bisa segera pergi dari tempat ini, bersama ekdua saudaranya.
Gempa terdiam. Ia tidak mengucapkan apa-apa lagi, hanya berusaha mengumpulkan kembali oksigen sebanyak mungkin untuk masuk ke paru-parunya.
"Ayo, naiklah ke punggungku. Aku akan menggendongmu," kata Taufan. Walaupun ia sendiri udah merasa hampir pingsan, namun jika ia masih memiliki tenaga untuk membawa Gempa bersamanya, ia akan melakukannya.
"Aku bukan anak kecil lagi, Taufan," Gempa menggerutu pelan. Ia mencoba bangkit dan meringis saat merasakan perih di hidungnya.
"Ini. Pakai ini untukmembersihkan darah di hidungmu," kata Tayfan seraya meneyrahkan sebuah saputangan yang sedikit kotor. "Kita harus bergegas pergi dan—"
Sepasang lengan, yang jelas sekali bukan lengan manusia, terulur dari dahan pohon di atas mereka dan menarik Taufan ke atas. Ia berteriak panik dan meronta-ronta sementara jari-jari kurus mencekik lehernya kuat.
"Taufan!"
Gempa berhasil meraih tangan Taufan yang menggapai-gapai tak berdaya tepat waktu. Ia berusaha menariknya sekuat tenaga hingga tubuhnya sendiri nyaris terangkat.
Taufan mengerang tertahan sementara tubuhnya ditarik dari dua arah. Wajahnya nyaris membiru karena kuatnya cekikan di lehernya.
Susah payah Gempa menggapai sebuah dahan patah di bawah kakinya, sementara ia tetap menahan sebelah tangannya di jaket Taufan agar sang kakak tidak ditarik pergi. Gempa berhasil mendapatkan dahan itu dan mengayunkannya sekuat tenaga ke arah lengan panjang yang menarik Taufan. Lengan itu patah dengan bunyi berkeretak, menyebabkan Taufan terhempas jatuh ke tanah dari ketinggian dua meter.
Walau sudah terputus, jari-jari di leher Taufan masih tak melepaskan cengkeramannya. Cekikannya justru semakin kuat sementara Taufan meronta-ronta kehabisan napas.
Gempa putus asa mencoba menarik tangan-tangan itu lepas dari tenggorokan kakaknya. Ia memukul-mukulkan dahan di tangannya dengan liar, beberapa kali nyaris menghantam langsung wajah Taufan. Rontaan Taufan perlahan melemah saat tubuhnya mendadak kejang-kejang.
"Tidak, Taufan!"
Gempa berteriak keras saat ia melakukan usaha terakhirnya merenggut lepas tangan itu dari leher Taufan. Jari-jari itu akhirnya tertarik lepas dengan meninggalkan bekas kuku memanjang yang menyayat tenggorokan Taufan hingga ke dadanya.
Gempa melemparkan tangan keriput itu sejauh mungkin, kemudian melepaskan jaketnya dan menggunakannya untuk menutupi luka menganga di leher Taufan yang mulai mengalirkan darah.
"Taufan ... Taufan, kumohon ..." Gempa terisak sementara ia menekankan jaketnya kuat-kuat di leher Taufan untuk menghentikan pendarahan. "Kumohon jangan mati ..."
Kelopak mata Taufan yang terpejam perlahan bergetar, dan beberapa saat setelahnya ia terbatuk-batuk keras. Matanya kembali terbuka dengan sorot membelalak ketakutan. Pandangannya bergerak liar ke sana-kemari sebelum akhirnya jatuh pada Gempa yang kelihatan lega luar biasa.
"Taufan, syukurlah ..."
Taufan mengangkat satu tangannya yang bergetar untuk menahan Gempa yang ingin memeluknya. "Nanti saja acara pelukannya. Kita harus segera pergi dari sini sebelum ada yang lain muncul," ujarnya terengah.
Gempa mengangguk. Ia segera merobek kedua lengan bajunya dan menggunakannya untuk menutupi luka di leher Taufan agar tidak berdarah lagi. Ia kemudian memakai kembali jaketnya yang berlumuran darah Taufan dan membantu sang kakak berdiri.
"Menurutmu makhluk apa lagi yang akan muncul?" tanya Taufan, berusaha terdengar bercanda. Namun suaranya semakin melemah seiring tenaga yang terus terkuras habis.
"Entahlah, aku tidak ingin tahu," balas Gempa muram. Ia memapah Taufan dan berjalan tersaruk-saruk menyusuri hutan yang mulai menggelap. "Kita juga tidak tahu apa Kaizo masih mengejar ..." lanjutnya lagi. Ia menoleh ke belakang dengan was-was, takut ada sesuatu yang muncul dan menyerang mereka lagi.
"Yah ... dia memang kelihatan lebih berbahaya dari semua mahkluk lain di sini ..." gumam Taufan.
"Tapi dia cuma sendirian. Yang lain tetap lebih banyak dan lebih berbahaya."
"Yang jelas mereka sama-sama penghuni tempat ini, jadi tentu saja sama-sama berbahaya."
"Benar ..."
Keduanya tiba-tiba saja meringis bersamaan seraya menyentuh sisi kiri wajah mereka. Mereka lalu saling berpandangan dan nyaris serentak berbisik,
"Halilintar ..."
Gempa mempercepat langkah sambil menyeret Taufan bersamanya. Jantungnya berdegup keras sementara ia mati-matian berdoa dalam hati semoga Halilintar baik-baik saja. Tapi tentu saja tidak ada yang namanya baik-baik saja di hutan ini.
"Menurutmu Kaizo sudah menemukan Halilintar?" tanya Taufan pelan. Ia berjalan terseok-seok dengan menumpukan setengah beratnya pada Gempa, terlalu letih bahkan untuk merasa bersalah karena menyusahkan adiknya.
"Entahlah ... semoga saja tidak ..."
"Tapi mungkin saja tadi Kaizo berhenti mengejar kita karena dia sudah menemukan Hali. Dan mungkin sekarang dia sudah ..."
"Jangan bilang begitu, Taufan," tegur Gempa. Ia menghentikan langkah sejenak untuk menarik napas dan membenarkan letak lengan Taufan di bahunya, kemudian kembali menyeret sang kakak berjalan. "Berdoa saja semoga Halilintar tidak apa-apa," ujarnya.
Taufan meraba lehernya dan dengan hati-hati menyentuh kain yang kini basah oleh keringat bercampur darah. Pandangannya mulai mengabur saat ia menatap lekat telapak tangannya yang kini dipenuhi noda gelap.
"Gempa, aku—"
"Ssstt ..."
Gempa mendadak saja berhenti melangkah dan menyuruh Taufan diam. Ia menunjuk ke arah depan, di mana mereka bisa mendengar suara-suara langkah yang mendekat.
"Mungkin itu Halilintar," bisik Gempa.
"Mungkin saja bukan. Bagaimana kalau itu makhluk lain yang bersiap mencekik kita sampai mati seperti tadi?" balas Taufan, juga dengan suara berbisik.
"Tapi bisa saja itu benar-benar Halilintar. Kita harus memeriksanya."
Taufan tak bisa membantah. Lagipula ia juga tak bia melakukan apa-apa selain membiarkan Gempa menyeretnya pergi ke arah suara langkah tadi berasal. Mereka melangkah hati-hati dengan jantung berdebar, bersiap menghadapi apa saja yang mungkin akan menghadang mereka di depan sana. Dan dugaan Gempa ternyata benar.
"Halilintar!"
Mereka berseru bersamaan dan bergegas menghampiri sang kakak sulung. Tapi Halilintar hanya bergeming di tempatnya, memandang mereka dengan mata setengah terpejam.
"Ya Tuhan, Halilintar ..."
Taufan dan Gempa sama-sama terkesiap begitu melihat kondisi saudar kembar mereka lebih dekat. Pakaian Halilintar kotor dan penuh noda darah. Sebelah pergelangan kakinya tertekuk ke arah yang salah, sementara salah satu sisi wajahnya nyaris tertutup warna merah pekat. Wajah Halilintar benar-benar pucat pasi sehingga seolah terlihat bersinar di tengah kegelapan yang mulai turun.
Tubuh Halilintar terhuyung dan ia jatuh tersungkur tepat saat Taufan dan Gempa tiba di depannya. Mereka dengan panik berusaha memanggil nama Halilintar, namun matanya telah terpejam rapat.
"Dia masih bernapas," kata Taufan setelah meletakkan satu jarinya di bawah hidung Halilintar.
"Tapi denyut nadinya lemah sekali," ucap Gempa panik saat memeriksa pergelangan tangan sang kakak ulung.
"Kita harus segera membawanya ke rumah sakit," ucap Taufan. Ia menyampirkan sebelah lengan Halilintar di bahunya dan mengangkatnya bangun, mengabaikan matanya yang mulai berkunang-kunang dan kepalanya yang berdenyut menyakitkan.
Gempa bergegas membantu Taufan dengan meletakkan sebelah lengan Halilintar yang lain di bahunya dan ikut menariknya berdiri. Mereka mencoba melangkah bersama-sama, namun ambruk kembali tak lama kemudian karena kaki-kaki Taufan tak kuat lagi menopang tubuhnya.
Taufan berbaring meringkuk dengan tubuh menggigil dan napas tersengal-sengal. Ia memegangi luka di lehernya yang kini kembali mengalirkan darah setelah kain yang membebatnya tak mampu lagi menahan.
"Taufan ..."
Gempa hendak melepaskan kembali jaketnya untuk membantu menutupi luka Taufan, namun sang kakak melarangnya.
"Gempa, pergilah ..." ucap Taufan dengan suara bergetar. "Pergilah ... tinggalkan aku dan Hali di sini ..."
"Tidak! Aku tidak akan pergi tanpa kalian!" Gempa berseru histeris.
"Aku ... dan Hali ... datang ke sini untuk ... menyelamatkanmu ... jadi ... setidaknya kau harus bisa keluar dari sini hidup-hidup ..."
"Tidak ... jangan ... aku tidak mungkin pergi dan meninggalkan kalian di sini ..." Gempa berujar putus asa. Ia menarik sebelah lengan Halilintar dan menyampirkannya di bahu, kemudian ikut meletakkan sebelah tangan Taufan di bahu yang satunya lagi. "Ayo, aku pasti bisa membawa kalian berdua," katanya.
Tapi untuk bangkit berdiri dengan kedua beban di bahunya ternyata terlalu sulit bagi Gempa. Ia langsung roboh bahkan sebelum sempat berdiri.
Gempa meraung gusar. Padahal mereka sudah berhasil berkumpul kembali, namun kenapa harus berakhir seperti ini? Seharusnya sejak awal ia tidak pernah datang ke hutan ini. Jadi Hailintar dan Taufan tak perlu mengorbankan diri hanya untuk menyelamatkannya seorang.
"Maafkan aku ... ini semua salahku ..." ucap Gempa penuh penyesalan.
"Bukan ... ini bukan salahmu ... ini memang ... kewajibanku dan Hali ... sebagai kakak ..."
Suara Taufan melemah sebelum akhirnya menghilang. Tangannya yang sedari tadi berusaha sia-sia menghntikan pendarahan di lehernya terkulai lemas, seiring matanya yang perlahan menutup.
"TIDAK!"
Gempa menjerit histeris. Ia mengguncangkan tubuh kedua kakaknya dan berteriak memanggil-manggil nama mereka, namun Halilintar dan Taufan sama sekali tak merespon. Mereka terbaring tak bergerak di tanah, sementara malam mulai turun di sekitar mereka.
"Tolong ..." ratap Gempa di tengah kesendiriannya. "Kumohon siapapun, tolong ..."
Suara-suara yang membalasnya berbisik nyaris selirih angin. Sosok-sosok gelap muncul di sekelilingnya, saling berbisik seolah tengah bersiap menyambut anggota baru mereka. Tangan-tangan terulur dari kegelapan dan menarik Halilintar dan Taufan menjauh darinya.
"Jangan ..." bisik Gempa. Ia mengulurkan tangan untuk meraih mereka, namun lengan-lengan lain terjulur dan menariknya menjauh. Gempa hanya bisa pasrah. Jika ia memang tak bisa menyelamatkan kedua saudaranya, maka lebih baik jika ia juga ikut menyusul mereka.
Sepasang kaki terbalut sepat bot yang penuh bercak lumpur muncul begitu saja di hadapan Gempa. Ia mendongak dan melihat Kaizo tengah menunduk menatapnya dengan sorot dingin yang membekukan darah.
Gempa merasakan jari-jari Kaizo bergerak di lehernya, siap mencekiknya. Ia memejamkan mata dan menyiapkan diri, namun mendadak ia teringat sesuatu.
"Aku—aku menemukan Fang ..." ucap Gempa dengan suara lemah. Cengkeraman tangan Kaizo di tenggorokannya mengendur, dan Gempa memaksakan kepalanya untuk terangkat agar bisa memandang langsung ke sepasang manik merah muda Kaizo.
"Aku tahu kau mencari Fang ke mana-mana sejak dia menghilang, dan sebelum kau sempat menemukannya, kau sudah meninggal lebih dulu ..."
Kaizo menunduk ke arahnya dan memandangnya dengan sorot tak terbaca. Ia tidak mengucapkan apa-apa, jadi Gempa memberanikan diri untuk membuka suara lagi.
"Apa— apa kau benar-benar mati karena kecelakaan, atau kau bunuh diri setelah putus asa tak bisa menemukan Fang?" tanya Gempa dengan suara bergetar.
Kaizo menggeram. Gempa yakin sekali pria itu kali ini benar-benar akan mencekiknya, maka ia pun memejamkan mata erat-erat. Tapi tak ada apa pun yang terjadi. Gempa membuka kembali matanya dengan takut-takut dan melihat Kaizo masih berdiri bergeming di hadapannya.
"Aku tidak bunuh diri," ucap Kaizo tiba-tiba. Gempa sedikit terkejut karena Kaizo benar-benar menjawab pertanyaannya. "Aku tergelincir dari tebing saat berusaha keluar dari hutan ini."
"Tapi ... bekas luka sayatan di pergelangan tanganmu ..."
Kaizo mengangkat tangan kanannya dan memandang bekas luka yang masih tercetak jelas di sana. "Aku memang sempat putus asa dan hampir menyerah. Tapi aku adalah penjaga hutan. Aku sudah terbiasa dengan semua hal-hal aneh di tempat ini. Jadi aku berhasil melawannya sebelum ia mempengaruhiku terlalu jauh ..."
Gempa mengangguk. Ia merasa sedikit lega setelah mendengar penjelasan Kaizo. Setidaknya ia tahu kakak dari sahabatnya tidak mati karena bunuh diri, walau Fang sendiri memang ...
"Kau bilang kau menemukan Pang?" tanya Kaizo. Suaranya masih terdengar datar dan dingin, namun Gempa kini bisa melihat sorot putus asa di matanya.
"Y-ya ... dia sudah ..." Gempa tak bisa meneruskan kata-katanya, namuan sepertinya Kaizo mengerti. Gempa tak tahu ia harus merasa takut atau khawatir saat melihat ekspresi wajah Kaizo yang menggelap.
Sosok-sosok gelap kembali muncul dan menarik Gempa pergi. Ia meronta sekuat tenaga, berusaha melepaskan diri dari sekumpulan tangan yang mencengkeramnya dan menancapkan kuku-kuku mereka di kulitnya.
"Kaizo!" Gempa berteriak sementara ia mati-matian berusaha melepaskan diri dari jerat makhluk-makhluk yang ingin menyeretnya pergi. "Aku juga menemukan surat yang ditulis Fang sebelum kematiannya!"
Kepala Kaizo yang tertunduk dalam kembali mendongak. Ia mengangkat satu tangannya dan sosok-sook yang menarik Gempa tiba-tiba saja menghilang. Ia tergeletak terengah-engah di tempatnya, tak mampu bergerak karena seluruh tubuhnya yang gemetaran.
"Suratnya." Kaizo mendadak sudah kembali berdiri di depan Gempa dan mengulurkan tangannya. Gempa masih tersengal saat ia menarik sepucuk surat yang nyaris lecek dari dalam sakunya.
"Fang ... menyesal karena bertengkar hebat denganmu hari itu ..." ujar Gempa terbata-bata sebelum Kaizo sempat membaca suratnya. "Dia tidak pernah bermaksud untuk berkata bahwa dia membencimu ... Fang menyayangimu ... Dia selalu menyayangimu sejak dulu dan sampai kapan pun..."
Tangan Kaizo yang memegang surat itu bergetar. Ia kemudian mengeluarkan suara jeritan seperti hewan yang tengah terluka. Raungan pilunya menggetarkan pohon dan membuat daun-daunnya berguguran.
Gempa melangkah mundur ketakutan. Ia dengan panik mencari kedua saudaranya yang baru disadarinya telah menghilang. Tapi Gempa bahkan tak sempat pergi ke mana pun karena kedua kakinya dicengkeram erat dan perlahan dibenamkan ke dalam tanah. Ia berusaha melepaskan diri, namun rasanya seperti berada di dalam pasir hisap. Semakin banyak dirinya bergerak, semakin dalam kakinya tertanam.
"Tolong!"
Gempa berteriak putus asa walau tahu tak mungkin ada yang mendengarnya. Ia tak bisa melakukan apa-apa saat tubuhnya ditarik semakin dalam dan a melihat sosok-sosok bermunculan dan mengelilinginya, memandangnya dengan rongga mata tak berisi dan mulut menyeringai lebar.
Kaizo masih berdiri di sana, di balik kerumunan mayat-mayat busuk yang mengurungnya. Gempa menatapnya penuh permohonan untuk terakhir kalinya.
"Tolong ..." bisiknya lirih.
Lalu mendadak saja semuanya menghilang. Kaizo, dan sosok-sosok yang mengelilinginya tadi, menghilang dalam sekejap mata.
Gempa mengedipkan matanya beberapa kali, tak yakin apa ia tengah berhalusinasi. Ia menyadari tubuhnya tak lagi terbenam di tanah dan kini hanya terbaring di atas rumput-rumput kering di tengah hembusan angin malam yang menggigit. Gempa menoleh dan menghembuskan napas lega saat melihat Halilintar dan Taufan terbaring tak jauh darinya. Mereka masih tak sadarkan diri, namun Gempa berusaha menghibur dirinya sendiri dengan memaksa otaknya berpikir bahwa mereka masih hidup.
Belum sempat Gempa memikirkan apa pun untuk mencari cara agar bisa mengeluarkan dirinya dan kedua kakaknya dari sini, ia mendengar suara-suara tak jauh darinya. Jantung Gempa berdegup kencang, mengira hantu-hanti itu kembali untuk mengusiknya lagi. Tapi ia kemudian melihat beberapa cahaya senter yang disorotkan di antara pepohonan, sementara beberapa orang terdengar memanggil-manggil namanya dan kedua saudaranya.
Gempa tak lagi memiliki tenaga untuk memanggil mereka, jadi ia hanya berbaring diam menunggu mereka menemukannya. Sesaat kemudian ia melihat sekumpulan orang menyorotkan cahaya senter ke arahnya. Ia harus menggunakan kedua tangannya untuk melindungi matanya dari cahaya menyilaukan yang terasa asing setelah semua kegelapan yang dilaluinya beberapa hari ini.
"Gempa!" Seseorang menyerukan namanya dengan gembira dan bergegas menghampirinya.
"Gopal?" ucap Gempa ragu. Tubuhnya tiba-tiba saja ditubruk, kemudian orang itu merangkulnya erat, membuat Gempa sedikit kehabisan napas.
"Gempa, syukurlah kau masih hidup!"
Orang itu menariknya bangun dnegan sedikit kasar dan Gempa akhirnya bisa melihat wajahnya. Ternyata memang Gopal.
"Bagaimana kau bisa ada di sini?" Gempa memandang bingung orang-orang yang berdiri di belakang Gopal, dan menyadari mereka adalah polisi setempat.
"Halilintar dan Taufan memberitahuku mereka akan mencarimu ke hutan ini. Dan mereka memintaku untuk menghubungi polisi jika mereka tidak memberi kabar apa-apa lagi selama lebih dari dua puluh empat jam," jelas Gopal.
Gempa mengangguk-angguk paham. Ia terhuyung karena kelelahan dan Gopal buru-buru menahannya sebelum jatuh.
"Tolong ..." ujar Gempa lirih. "Halilintar ... Taufan ... tolong bawa mereka ke rumah sakit ..."
Gopal berbicara dengan beberapa polisi dalam Bahasa Jepang. Beberapa dari antara mereka kembali untuk mengambil tandu, kemudian mengangkut Halilintar dan Taufan pergi. Sementara Gempa berjalan menyusul mereka dengan dipapah Gopal.
"Kau tidak apa-apa, Gempa? Bagaimana kau bisa selamat setelah tersesat empat hari di tempat ini?" tanya Gopal takjub sekaligus ngeri.
"Kupikir aku tidak akan selamat ... lalu aku bertemu Taufan, dan kami harus mencari Halilintar yang menghilang ... dan ..."
Gempa tak sanggup lagi melanjutkan kata-katanya. Ia sudah terlalu letih untuk berjalan, apalagi berbicara. Gopal sepertinya mengerti karena ia tidak bertanya-tanya lebih jauh.
"Aku tak bisa membayangkan tersesat di hutan ini," kata Gopal. Ia melirik sekelilingnya dengan wajah ketakutan. "Pasti mengerikan sekali, ya?"
Gempa hanya mengangguk. Ia membiarkan Gopal terus mengoceh selama beberapa menit berikutnya tanpa berniat menanggapi selain dengan anggukan maupun gelengan kepala.
"Kau tahu, Gempa. Saat aku mendatangi pos polisi tadi, mereka bilang sudah ada orang lain yang menghubungi mereka dan meminta mencari kalian. Menurutmu siapa yang menghubungi mereka? Apa Halilintar dan Taufan?" tanya Gopal penasaran.
"Tidak mungkin. Halilintar dan Taufan ada di hutan ini sejak kemarin, dan di sini sinyal ponsel tak bisa digunakan. Kecuali jika mereka menghubungi polisi dengan radio atau semacamnya. Tapi Taufan tidak bilang apa-apa soal itu ..." gumam Gempa.
Ia tengah mencoba berpikir keras meski otaknya memprotes meminta istirahat, saat udara dingin yang menusuk tiba-tiba membuat bulu kuduknya meremang. Gempa berbalik, dan di antara pepohonan gelap ia bisa melihat seseorang tengah berdiri mengawasinya. Gempa akhirnya menyadari siapa orang yang telah menghubungi polisi untuk mencari mereka.
"Terima kasih ..." bisik Gempa, nyaris tak terdengar di antara desau angin malam.
Sosok itu mengangguk sebelum akhrinya melebur kembali dalam kegelapan. Gempa menyunggingkan senyum sedih sebelum kembali membalikkan tubuhnya ke depan.
"Kau sedang apa barusan, Gempa?" tanya Gopal. Suaranya terdengar bergetar ketakutan.
"Hanya mengucapkan salam perpisahan dan ucapan terima kasih ..." balas Gempa tenang.
"Pada siapa?"
Gopal menolehkan wajahnya ke belakang dengan ngeri, namun Gempa sama sekali tidak menoleh lagi. Dan ia memang tak akan pernah membalikkan tubuhnya ke arah hutan ini lagi.
.
.
.
A/N :
Aku udah sering banget bilang ini, tapi aku pengen bilang sekali lagi kalau aku beneran nggak bisa bikin ending yang bagus. Tapi sejak awal fanfik ini alurnya memang agak kacau, maaf kalau ada yang kebingungan saat membaca ini. Ini percobaan pertamaku bikin fic horor yang beneran horor(?) dan aku lumayan kapok kayaknya. Selain bikin pusing, aku juga jadi parno-an sendiri kalau begadang tengah malam karena kebayang terus horornya /plak/ Tapi mungkin kapan-kapan aku bakal coba bikin horor lagi, mudah-mudahan bisa lebih bagus x'D
Makasih banyak buat yang udah mengikuti fanfik ini sejak awal dan memberikan review. Maaf aku nggak bisa balas semua reviewnya, tapi aku benar-benar berterima kasih atas semua dukungannya.
Sekali lagi makasih buat yang udah menyempatkan diri membaca. Sampai bertemu di kesempatan berikutnya~!
p.s. di bawah masih ada epilog lho
.
.
.
Epilog
Taufan memasukkan pakaiannya secara asal-asalan ke dalam koper, kemudian melemparkan sisa-sisa barangnya dan menutup kopernya. Ia tersenyum puas dan menyeret koper biru muda itu dan meletakkannya di sebelah pintu keluar.
"Nah, sudah selesai semua, 'kan? Ada lagi yang ketinggalan?" tanyanya ceria. Ia mengawasi Gempa yang masih sibuk menyusun bajunya satu-persatu ke dalam koper miliknya.
"Halilintar masih belum kembali," kata Gempa tanpa mengangkat wajahnya.
"Eh, memangnya Hali pergi ke mana?"
"Katanya mau jalan-jalan sebentar."
"Ah! Hali pasti mau cuci mata melihat-lihat wanita Jepang yang cantik-cantik dan seksi, iya 'kan? Dasar, padahal sudah kubilang untuk mengajakku kalau mau cuci mata," gerutu Taufan dengan bibir dimanyunkan kesal.
"Halilintar bukan orang mesum sepertimu, Taufan," balas Gempa datar.
"Aku bukan orang mesum!"
"Ya, terserahlah," ujar Gempa tak acuh. Ia selesai mengepak barang-barangnya dan melirik koper Halilintar yang juga sudah selesai dibereskan sang kakak sejak semalam. "Tapi aku khawatir dengan Halilintar. Dia nyaris tidak bicara apa-apa lagi sejak kejadian itu," ucapnya seraya memandang keluar jendela cemas.
"Yah, Hali memang orangnya hemat bicara, 'kan ..." gumam Taufan. Ia mengetuk-ngetukkan sepatunya di lantai dan tanpa sadar menggaruk bekas luka di lehernya yang masih sedikit menganga. "Tapi kurasa ... dia mungkin masih memikirkan hal itu ..."
"Ya ... Halilintar masih berpikir bahwa dialah yang membunuh Kaizo. Padahal kita sudah berusaha meyakinkannya bahwa Kaizo memang telah lebih dulu meninggal."
"Tapi memang agak mengerikan jika membayangkan Halilintar membunuh seorang —atau sesosok?— hantu, sih. Mungkin akan lebih baik kalau dia benar-benar membunuh orang sungguhan saja."
"Taufan."
"Aku cuma bercanda ..."
Taufan cengengesan tanpa merasa bersalah, sementara Gempa hanya memutar bola matanya bosan. Ia kemudian mengambil ponselnya yang diletakkan di nakas di sebelah tempat tidur.
"Aku akan menelepon Halilintar. Kita bisa ketinggalan pesawat kalau dia tidak segera kembali," katanya.
"Ya. Suruh dia bawa pulang gadis Jepang yang seksi untukku satu."
"Taufan ..."
"Bercanda, Gempa ..."
.
.
.
Halilintar mengeluarkan ponsel yang berdering nyaring dari sakunya dan menatap nama yang tertera di sana. Gempa. Ia menunggu sampai panggilan itu berakhir dengan sendirinya, kemudian menekan tombol power untuk mematikan handphone dan memasukkannya kembali ke dalam saku.
Angin dingin yang berhembus membuat Halilintar sedikit meringis saat merasakan nyeri di telinga kirinya yang lukanya belum sepenuhnya mengering. Ia sudah tak bisa mengandalkan telinganya yang satu itu lagi untuk mendengar setelah menusuknya sendiri dengan brutal menggunakan pisau. Tapi kadang Halilintar masih bisa mendengar suara dengung yang mengganggu itu di dalam telinganya.
Daun-daun di pepohonan di hadapannya melambai tertiup angin sementara Halilintar berdiri mengawasinya tanpa bergeming. Sosok-sosok asing berdiri di balik batang pohon seolah tengah mencoba memanggilnya untuk datang.
Halilintar menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Ia mengeratkan tali ranselnya kemudian melangkah masuk ke dalam hutan tanpa ragu.
Dan Halilintar sama sekali tak menoleh ke belakang lagi.
.
.
.
fin