Catatan untuk yang belum membaca Omegaverse Trilogy Project sebelumnya :

Ludwig di setting cerita ini tidak bersaudara dengan Gilbert Beilschmidt. Karena itu, di sini nama Ludwig menjadi Ludwig Rambert (Rambert menurut beberapa sumber berarti Kuat dan Cerdas di bahasa nama Jerman, jadi ya sudahlah xD #hei)

You only need to know that I guess. Well then, enjoy!

.

.

.

Hetalia © Himaruya Hidekazu

Story © Kira Desuke

.

.

.

Di dunia ini... entah bagaimana, semua berubah begitu cepat.

Namun, perubahan yang paling utama adalah ketika semua manusia berjenis kelamin laki-laki kini dibagi dengan tiga kategori seksual utama.

Alfa, Beta, Omega.

.

.

.

CONINUATION of Omegaverse Trilogy Project

#4

.

.

.

Alfa. Kategori dominan. Sudah menjadi tugasnya mengisi hasrat kategori-kategori di bawahnya ketika sudah masuk waktu yang ditentukan. Memenuhi dan memuaskan hasrat pasangan mereka adalah kewajiban utama mereka. Alfa bisa bersama perempuan dan laki-laki Omega.

Beta. Kategori netral. Mereka sebenarnya bisa menjadi Alfa jika bersama Omega, namun bisa pula menjadi Omega jika bersama Alfa. Tugasnya fleksibel, dari menjadi pasangan hingga menjadi pengawas—dalam berbagai arti. Sama seperti Alfa, Beta masih bisa bersama perempuan meski dia sendiri bisa bersama dengan laki-laki Alfa atau Omega.

Omega. Kategori yang didominasi. Bahasa kasarnya, submission atau slave. Sekasar atau sekuat apapun mereka di kategori ini, mau tak mau akan menunjukkan kelemahan dan ketundukan mereka di depan Alfa atau Beta ketika tiba waktunya. Jika kewajiban Alfa adalah memenuhi hasrat mereka, kewajiban Omega secara naluri adalah tunduk dan takluk pada semua perlakuan Alfa. Berbeda dari dua kategori sebelumnya, Omega tidak bisa dengan perempuan, hasratnya memicu mereka untuk menginginkan laki-laki Alfa atau Beta.

.

.

.

Warnings : Yaoi lemon, (very) hardcore, heavy language, heavy sexual contents, a bit OOC maybe

You've already warned

.

.

.

Pada dasarnya, para laki-laki belum tahu apa kategori seksual mereka di awal. Mereka baru mengetahuinya setelah memasuki umur pubertas, yaitu tujuh belas tahun. Pada umur itulah, mereka akan memiliki tanda kecil di belakang leher mereka.

Simbol Greek α untuk Alfa, β untuk Beta, Ω untuk Omega. Walau begitu, umumya Alfa dan Beta tidak akan menyadari perubahan pada tubuh mereka, kecuali dengan melihat simbol di tubuh mereka sendiri.

Alfa memang sama dengan Beta, tapi juga berbeda. Beta tidak mempunyai kuasa penuh atas Omega seperti Alfa. Karena itu, Omega cenderung masih bisa melawan Beta namun tidak bisa melawan Alfa sama sekali. Selain itu, perbedaan lainnya... Beta tidak bisa mencium bau khas yang dikeluarkan Omega ketika memasuki masa birahinya.

.

.

.

Genres : Romance/Fantasy/Supernatural/Human AU

Main Pair : GerIta (Ludwig x Feliciano)

.

.

.

Saat memasuki umur pubertas, tidak ada perubahan tubuh yang signifikan pada Alfa dan Beta selain simbol tersebut. Sangat berbeda dengan Omega yang langsung merasakan dampak luar biasa di tubuhnya selain sekedar munculnya tanda simbol.

Pada tahap pertama, Omega mulai bisa mencium bau Alfa dan semi-Alfa. Ini adalah tahap peringatan yang memberi tahu mereka bahwa kemungkinan besar mereka adalah Omega—hal ini mungkin saja terjadi bahkan sebelum mereka memasuki usia pubertas. Setelah memasuki usia tersebut, dimulailah masa dimana setiap sekali sampai beberapa kali dalam setahun mereka merasakan panas dari dalam tubuh mereka, bagian bawah tubuh mereka mengeluarkan cairan yang nantinya akan menimbulkan bau khas yang langsung tertangkap penciuman Alfa terdekat di sekitar mereka. Itu akan terus terjadi biasanya hingga sebulan penuh atau bisa lebih.

Begitu waktu ini tiba, takdir mereka ditentukan.

Apakah mereka hanya akan menjadi 'pemuas seksual' pasangan mereka? Atau...

.

.

.

.

.

RESTRICTED

.

.

.

.

.

"Ve! Jangan sakiti fratello!"

Laki-laki berkebangsaan Italia itu berusaha berontak dengan menarik tubuhnya dari genggaman dua Alfa di samping kanan kirinya. Kedua matanya telah berlinang air mata melihat sang kakak tak jauh di depannya telah ditahan berbaring di atas tanah dengan seorang Alfa yang bertubuh besar. Posisi di gang sepi ini bukanlah keuntungan untuk dua Omega malang yang belum ditandai Alfa manapun.

Lebih tepatnya, hanya salah satu dari mereka yang belum ditandai. Sedangkan salah satunya... menderita penyakit yang dinamakan Bad heat syndrome.

Bad heat syndrome adalah kelainan dimana Omega tidak bisa ditandai. Bau Alfa yang telah menandainya akan hilang begitu saja jika penyakit ini kambuh sehingga mengundang Alfa-Alfa lain yang mengira Omega tersebut belum ditandai. Terlebih lagi, heat Omeganya menjadi tak teratur dan bisa datang kapan saja tanpa terduga dan bahkan obat penahan heat biasa tidak akan mempan. Lalu yang memiliki penyakit itu adalah Lovino Vargas yang kini harus menggertakkan giginya menahan heat yang kembali menyerangnya saat dia sedang berbelanja ke pasar terdekat dari rumahnya dengan sang adik.

Beberapa waktu lalu, keduanya masih berjalan di pinggir kota yang cukup ramai. Sampai tiba-tiba lutut Lovino lemas dan pemuda dengan rambut berwarna cokelat yang lebih tua itu terjatuh di atas trotoar. Bau yang langsung dikenalinya membuat sang adik bernama Feliciano Vargas tersentak dan langsung membantu kakaknya berdiri. Mereka berdua berusaha berlari menjauh dari keramaian secepat-cepatnya.

Namun keberuntungan tidak berada di pihak mereka saat ini. Masih memapah tubuh Lovino yang semakin lemas dengan keringat mengalir di sekujur tubuhnya, mereka berdua harus berhadapan dengan tiga Alfa yang sepertinya habis berlari setelah mencium bau Lovino dari kejauhan, "Tidak... jangan..." bibir Feliciano bergetar pelan dan berusaha mundur dari tiga Alfa yang menggeram padanya. Membuat insting Omega di dalam dirinya berteriak memintanya untuk menurut saja.

Tapi, Feliciano tidak akan menyerah semudah itu. Mengandalkan kakinya yang bisa berlari jauh lebih cepat dari sang kakak, Feliciano langsung menggendong Lovino dan membalikkan tubuhnya cepat. Hanya saja, situasi memaksa Feliciano untuk terus berlari ke arah berlawanan yang membuat kedua saudara itu semakin jauh dari rumah mereka. Hingga akhirnya sampailah mereka di salah satu gang kecil yang ternyata merupakan jalan buntu.

Dead end.

Bau feromon Omega yang dikeluarkan Lovino semakin kuat, dia bahkan mulai meremas bahu sang adik yang kini mengalihkan perhatian padanya. Feliciano meraih tangan Lovino sehingga kelima jari mereka saling mengait, "Bertahanlah, fratello... aku akan—"

"Akan apa? Hm?"

Tersentak, Feliciano langsung mengangkat kepalanya, namun sepasang tangan yang besar menarik bahunya dengan kekuatan yang tidak biasa ke belakang. Sepertinya rasa panik telah membuatnya tidak bisa mencium bau Alfa yang semakin dekat dengan mereka. Apalagi setelah menyadari yang memegang kedua tangannya adalah seorang Alfa pula, baunya yang sangat kuat karena terangsang membuat tenaga Feliciano ikut menghilang.

Jika sudah begini... salahkah jika Feliciano kembali mengutuki kenyataan bahwa dirinya adalah Omega yang lemah dan tak berdaya? Hanya sebagai pemuas nafsu di mata para Alfa?

Air mata mulai mengalir di kedua mata Feliciano, tangannya terjulur ke depan melihat sang kakak yang sudah kehilangan tenaga sepenuhnya, "FRATELLO!" sekali lagi... berusaha berontak sekali lagi, Feliciano berhasil menendang jatuh Alfa di belakangnya, sebelum salah satu Alfa yang lain lagi datang menyusul hingga kini dua Alfa yang telah memegangnya.

Pria brengsek di atas Lovino telah mengelus wajah Vargas sulung tersebut yang telah berkeringat—mati-matian menahan segalanya. Dia bisa mendengar teriakan sang adik yang masih berusaha berontak dan menangis keras, memohon pada siapapun untuk datang dan menolong mereka. Tapi percuma, Lovino tahu itu percuma. Antonio Fernandez Carriedo—pasangan mate-nya yang sebenarnya—sedang pergi bersama orang tuanya untuk beberapa hari sehingga dia tidak mungkin datang. Selain kemungkinan orang baik yang sangat-amat-langka di dunia ini datang menolong mereka, Lovino memilih membuka kepalan tangannya perlahan.

"Yang akan terjadi, terjadilah... brengsek."

Meski dia mengatakan itu, Lovino tak bisa menahan air mata yang mengalir dari ujung kedua matanya yang mengernyit dalam. Kembali memaki kelemahannya sendiri seperti sebelum-sebelumnya.

Feliciano terus histeris, tak peduli jika tenggorokannya akan mengering. Walaupun kadang Lovino terlihat begitu membencinya, tapi Feliciano tetap menyayangi sang kakak. Hanya Lovino dan kakek mereka yang sedang menanti di rumah lha satu-satunya keluarga yang dimilikinya sekarang semenjak orang tua mereka meninggal karena kecelakaan beberapa tahun lalu. Jika ini terjadi, tidak ada jaminan Lovino tidak akan membenci kehidupannya lebih dari ini dan senyum akan hilang selamanya dari wajahnya.

Semuanya hampir saja musnah.

BHUG!—"AAAARRGGGHHH!"

Membuka kedua matanya yang sempat terpejam erat, Feliciano melihat Alfa yang tadi sempat mengurung tubuh kakaknya di bawahnya itu jatuh terguling ke samping. Dia juga melihat sang kakak yang membuka kedua matanya perlahan dengan napas memburu karena masih di dalam heat-nya. Dari baunya, Feliciano bisa mencium aroma khas Alfa dari pria yang baru saja memukul jatuh pria lain yang hampir memperkosa sang kakak.

Tidak. Mereka belum bisa tenang.

Bukan tidak mungkin jika Alfa yang baru datang ini pun berniat untuk menandai tubuh Lovino, 'kan?

Feliciano tidak bisa melihat dengan jelas siapa Alfa itu... yang dia tahu hanyalah rambut pirangnya yang tersisir rapi ke belakang dan jas yang dikenakannya seolah tanpa kusut sedikit pun. Lalu pria dengan tubuh tegap yang cukup kekar itu berdiri di hadapannya, mengeluarkan aura untuk menakuti dua Alfa di belakang tubuh Feliciano—tapi akhirnya berdampak pula dengan membuat Feliciano ikut ketakutan. Entah bagaimana dua pria di belakangnya memilih segera melepaskan Feliciano lalu mereka berlari setelah sebelumnya membawa teman mereka yang bibirnya telah terluka.

Pria berambut pirang itu mendengus melihat kepergian tiga Alfa yang berlari tergopoh-gopoh. Feliciano masih berdiri di depannya dengan tubuh bergetar sebelum sadar dan segera berlari mendekati tubuh kakaknya yang masih lemas.

Bimbang antara harus lari sekarang juga atau berterima kasih lebih dulu, Feliciano akhirnya berhenti begitu tubuh Lovino telah berada di punggungnya. Tapi aneh, padahal pria yang menolong mereka tersebut jelas adalah seorang Alfa, lalu kenapa dia terlihat seperti tidak terangsang dengan bau Lovino yang jelas semakin lama semakin pekat ini?

"Aku baru saja meminum obat penahan bau heat Omega, karena itu aku tidak terpengaruh," ucapan Alfa itu seakan menjawab pertanyaan besar di kepala Feliciano. Laki-laki tersebut berbalik dan kini Feliciano bisa melihat iris biru langitnya sang Alfa dengan kedua pipinya yang mengeluarkan semburat merah tipis, "kenapa kalian berjalan keluar kalau sebentar lagi salah satu dari kalian akan masuk ke masa itu? Apalagi kalian berdua Omega, 'kan?" tanyanya. Sedikit merasa kaku bertanya tentang salah satu hal yang cukup sensitif.

"K-Kakakku sedikit... berbeda," jawab Feliciano ragu. Bagaimanapun juga, penyakit Lovino adalah masalah privasi yang tidak bisa sembarangan dijelaskan pada orang asing. Bahkan Lovino pernah berniat tidak memberi tahu Alfa yang dicintainya soal ini. Karena itu, Feliciano tidak memiliki hak untuk membocorkan rahasia sang kakak.

Feliciano menundukkan kepalanya, kedua tangannya terkepal di bawah kaki Lovino yang digendongnya, "Aku harus pergi, terima kasih!" terkesan kabur, Feliciano langsung berlari cepat. Berusaha tak menoleh ke belakang ketika Alfa misterius itu mencoba memanggilnya. Apalagi dari suara yang terdengar di belakangnya, pria aneh itu mencoba berlari mengejarnya.

Terus dan terus berlari hingga—"Hei tunggu!" Feliciano langsung berhenti kaget begitu melihat pria berambut pirang itu telah berada di depannya. Baru kali ini ada yang bisa mengejarnya saat berlari, wajah Feliciano langsung panik dan mencoba melewatinya, tapi dia masih menghalanginya, "Bahaya jika kalian berjalan sendiri selama salah satu dari kalian di dalam heat, biarkan aku mengantar kalian," ucapnya tegas. Feliciano tidak membalas karena sempat merasa ragu, "kau bisa mempercayaiku. Aku akan menjaga jarak tapi tetap mengawasi kalian. Tapi... jika kau benar-benar memang tidak mau, aku tidak akan memaksa."

"Ja-Jangan besar kepala, Alfa sialan!"

Suara Lovino di samping kepalanya membuat Feliciano tersentak kaget, "F-Fratello!?"

Lovino melirik adiknya, "Ayo kita pergi Feli, jangan mempercayai Alfa asing yang baru menolong sekali saja sudah berlagak!" ucap Lovino di tengah rintihannya. Menatap penuh kebencian tak tersampaikan pada pria besar di hadapannya. Sepertinya dia cukup trauma dengan kejadian sebelumnya—walau sebenarnya memang Lovino adalah tipe yang tidak gampang mempercayai orang asing selain keluarga dan teman terdekatnya sejak kecil.

Mendengar teriakan Lovino membuat pria berambut pirang di hadapan mereka berdiri tak nyaman. Melihat ekspresi yang dipasangnya, membuat Feliciano mendadak ikut merasa bersalah. Dia ingin mengatakan pada kakaknya agar jangan terlalu keras, karena tetap saja Alfa itu telah menolong mereka bahkan menawarkan bantuan agar mereka benar-benar sampai rumah dengan selamat. Tapi, sebelum mengatakan itu, bau yang dikenal kedua bersaudara tersebut datang dan mereka segera menoleh.

"NONNO!"

"Hei, kalian! Kenapa lama sekali pu—" Alfa yang jauh lebih tua di sana mendadak berhenti dan menatap cucunya panik, "Oh, Lovino! Kau tidak apa-apa? Apa yang terjadi?" tanya Roma pada Feliciano sembari mengambil tubuh Lovino dari punggung saudaranya yang lebih muda.

Untuk Alfa dan Omega yang memiliki hubungan darah, efek heat tidak akan terlalu kuat. Karena itu Roma sama sekali tidak terpengaruh dengan bau heat sang cucu, meski dia jelas tahu cucunya itu sedang masuk ke dalam masanya tersebut. Feliciano menatap kakeknya, "Nanti akan kuceritakan di rumah. Lebih baik bawa fratello langsung ke rumah saja, kek." Jawabnya.

Roma mengerti kemudian berjalan lebih dulu. Feliciano sempat merasa heran dengan kakeknya yang terlihat santai melihat cucunya masuk heat sementara di sini ada Alfa selain keluarga mereka yang sedang berdiri kikuk di posisinya. Setidaknya sampai Roma mendadak berhenti dan melihat pria berambut pirang itu sembari tertawa keras.

"Jadi akhirnya kau sudah melihat dua cucuku, Ludwig! Hahahaha! Maaf aku harus cepat kembali ke rumah sekarang!" Roma melirik Feliciano di belakangnya, "Kau bisa berkenalan dulu dengan Feli sembari berjalan kembali ke rumah. Aku duluan! Take your time~" ucap Roma sekali lagi lalu berjalan cepat ke arah rumah keluarga Vargas.

Sepeninggal Roma dan Lovino, situasi di antara kedua Alfa dan Omega itu mendadak menjadi canggung. Feliciano menatap pria yang dipanggil Ludwig itu di hadapannya. Tubuh Ludwig terlihat sangat tegap, kemungkinan besar karena otot-otot besar di balik setelan jas yang dikenakannya. Sangat bertolak belakang dengan tubuhnya yang lebih kurus—meski masih cukup atletis.

Tak bisa begini terus, keduanya pun mulai membuka mulut.

"Kau—" / "Kau—"

Berbicara lalu berhenti bersamaan, Ludwig berdehem pelan, "Kau dulu."

Mendapat izin, Feliciano tersenyum senang. Dia berjalan tiga langkah mendekat pada orang yang baru dikenalnya tersebut, "Ve, aku tidak tahu kau ternyata mengenal kakek Roma!" senyum lebarnya yang terlalu cerah membuat Ludwig itu semakin salah tingkah. Tapi, seakan tidak menyadari hal tersebut, Feliciano terus berbicara dan berjalan semakin dekat, "Terima kasih sekali lagi! Aku belum pernah dekat dengan Alfa lagi selain kakek dan Antonio!" lanjutnya. Melihat Ludwig dari segala sudut yang ditangkapnya.

Ludwig mengerjapkan kedua matanya, "Antonio? Maksudmu... Antonio Fernandez Carriedo?" tanyanya.

"Ah, iya! Kau mengenalnya juga?"

Mendengar pertanyaan itu, Ludwig tersenyum tipis, "Dia salah satu murid kelas tiga Universal Highschool tempatku mengajar."

Syok, Feliciano mundur selangkah, "VE!? Jangan bilang kau seorang guru!" Ludwig tertawa kecil dan mengangguk. Feliciano semakin panik dan menggerakkan kedua tangannya, "Ta-Ta-Tapi bagaimana bisa? Aku juga sekolah di sana tapi—"

"Karena kau masih kelas satu, kebetulan aku hanya mengajar kelas tiga tahun ini. Jadi wajar saja jika kau belum mengenalku," potong Ludwig cepat. Dia tersenyum kemudian berjalan ke arah rumah mereka, Feliciano berjalan di samping mengikutinya, "Sebenarnya aku ke rumah kalian hari ini karena kakekku di Jerman mendengar Roma mengatakan cucu-cucunya masuk ke Universal Highschool. Kakek kita berdua adalah sahabat baik semasa SMA—aku sendiri baru mengetahuinya belakangan ini." Jelas Ludwig dengan nada yang sangat dewasa dan entah kenapa membuat kedua pipi Feliciano memerah.

"Ah, jadi... karena kau akan datang ke rumah, makanya nonno memintaku dan fratello untuk belanja tambahan makanan," gumam Feliciano—lebih ke dirinya sendiri.

"Ya, dan karena kalian tidak pulang juga, Roma memintaku menyusul kalian. Aku baru ingat di tengah perjalanan kalau aku bahkan belum pernah bertemu kalian." Ucap Ludwig sembari menepuk wajahnya. Melihat ini, Feliciano hanya tertawa geli, "Di saat aku lagi kebingungan itulah aku mendengar teriakanmu, untung saja kalian tidak apa-apa."

Nada khawatir yang terdengar dari suara Ludwig membuat Feliciano menghentikan tawanya dan menatap Ludwig. Mendapat tatapan itu, Ludwig mencoba tersenyum selembut mungkin, "Tak kusangka ternyata itu memang kalian berdua. Sepertinya hari ini aku memang lagi beruntung." Ucapnya.

Kata-kata itu membuat Feliciano tertawa kaku dan mengusap belakang kepalanya, "Tidak untuk fratello sebenarnya ehehe." Mendengar ini, Ludwig langsung kehilangan senyumannya dan berniat mengganti kata-katanya. Namun sebelum itu terjadi, Feliciano kembali berkata dengan cepat.

"Tapi... aku bisa bertemu denganmu, Ludwig! Ini pasti hari keberuntunganku juga!"

Kata-kata yang keluar dengan nada polos tak terbantahkan itu membuat Ludwig tak berkutik untuk beberapa detik. Kedua pipinya kembali memerah sebelum iris biru langitnya bergerak melihat ke arah yang lain dengan cepat. Pria berambut pirang itu berdehem pelan lalu tanpa sadar berjalan lebih cepat sampai Feliciano kebingungan dan berlari mengejarnya dengan panik.

Kehangatan mendadak yang mengalir di sekujur tubuh Ludwig ini...

...apa dia pernah merasakannya sebelumnya?

#

.

.

.

#

Awalnya pria yang jelas berstatus Alfa tanpa harus menunjukkan tanda di leher belakangnya tersebut merasa dia akan cukup nyaman berteman dengan Omega yang semangat dan hyperactive seperti Feliciano Vargas.

Tapi ternyata... masih terlalu cepat untuknya berpikir begitu.

"LUUUD! LUUUUDDDWIIIIGG!"

Ludwig Rambert menghentikan langkahnya saat suara cempreng itu menggema di sepanjang koridor sekolah. Para murid, guru, hingga office boy yang kebetulan berada di sana langsung melihat ke arahnya dan arah anak yang memanggil sang guru tersebut. Ludwig menundukkan kepalanya sembari memijat pelipis di antara kedua alisnya. Wajahnya memerah antara malu dan menahan amarah.

"Harus berapa kali kubilang... panggil aku Sir Ludwig di sekolah... Feliciano."

Berhenti di samping Ludwig, Feliciano terkekeh pelan, "Ehehe~ tapi rasanya aneh jika memanggil temanmu dengan terlalu formal, ve?" tanyanya. Wajahnya bersinar cerah—terlalu cerah hingga membuat Ludwig silau dengan ekspresi itu. Kedua tangan Feliciano saling mengait di belakang punggungnya. Jika dilihat dari jauh, rasanya banyak bunga-bunga yang berkembang di sekeliling pemuda berambut cokelat yang selalu terlihat ceria tersebut.

Ludwig menghela napas, "Tapi, tetap saja—"

"Panggil gurumu dengan sebutan sir atau mister, Fe-li-ci-a-no!"

Saat namanya disebut oleh suara lain, Feliciano hanya bergumam bingung sampai seseorang menjewer telinganya dan menariknya dengan kuat. Kedua matanya terpejam erat dan air mata berkumpul di ujung matanya ketika dia berteriak, "UWAA!? SAKIT SAKIT! MAAFKAN AKU MAAFKAN AKU!" teriaknya histeris sebelum pelaku melepas telinganya dengan kesal.

Feliciano mengusap telinganya sembari bermisuh pelan lalu kedua iris matanya melirik seseorang yang telah mendengus sembari melipat kedua tangannya di depan dada. Dengan panik, Feliciano langsung bersembunyi di belakang Ludwig yang juga cukup terkejut melihat kehadiran rekannya, "Arthu—maksudku, selamat siang Mr. Kirkland." Ucap Ludwig yang berusaha tenang—menyembunyikan keterkejutannya. Dia membiarkan Feliciano memeluk lengan kanannya dan masih mengintip Arthur Kirkland dari balik bahunya.

"Kupikir ada ribut-ribut apa di lorong, ternyata kalian berdua." Arthur melihat Ludwig dengan tatapannya yang dalam, "Aku tidak tahu ada hubungan apa di antara kalian berdua, tapi kuharap kau tetap tegas menangani murid yang satu ini. Kau mengerti, bocah?" tegas Arthur sembari mendekat ke Feliciano yang mulai panik dan meremas bahu Ludwig.

"I-Iya, sir..." Feliciano melirik Ludwig seolah bertanya, siapa-namanya-tadi?

"Arthur Kirkland. Dia guru fisika kelas dua." Jawab Ludwig tanpa bergerak dari posisinya. Wajah galak Arthur kembali mengundang teriak kengerian dari Feliciano yang kini berpindah ke lengan kiri Ludwig, bahkan hampir menarik guru malang itu ke belakang, "Tenanglah Feli, wajah Mr. Kirkland memang seperti ini, kau harus terbiasa sebelum masuk kelas dua. Sebenarnya dia guru yang baik—"

Kali ini tatapan mematikan Arthur pindah pada Ludwig yang menelan ludahnya.

"—tapi sedikit galak." Ludwig memegang wajah Feliciano dengan seluruh permukaan tangan kanannya dan mendorongnya, "Hei! Feliciano, ketakutanmu berlebihan. Arthur tidak akan menggigitmu!" gerutu Ludwig dengan kesal akhirnya.

"Ve..."

Arthur menghela napasnya, "Ck. Dasar..." pria keturunan British itu melihat jam yang melingkar di tangannya lalu mengambil map yang sedari tadi dibawa di dalam tas yang menggantung di bahunya, "Aku masih punya waktu sebelum jam pelajaran berikutnya. Kau sedang sial, hari ini aku yang bertugas mengawasi kedisiplinan para murid. Bahkan Ludwig pun tak akan bisa melindungimu sekarang." Arthur membuka map tersebut dan mulai menulis di atas kertas, "Pelanggaran berlari dan berteriak di koridor sekolah, lalu memanggil nama guru tanpa rasa hormat. Feliciano Vargas."

Pertanyaan Arthur keluar bersamaan dengan kedua matanya yang kembali menatap iris coklat di hadapannya. Kaget, Feliciano langsung menundukkan kepalanya dengan panik. Arthur kembali mengernyitkan kedua alisnya, "Apa yang kau lihat?" tanyanya kesal.

"Ve..." Feliciano masih menatap takut-takut pada Arthur yang kini telah menaikkan sebelah alisnya, "...alismu terlalu tebal. Apa itu benar-benar asli?" tanyanya pelan... tapi cukup terdengar oleh Ludwig yang syok sementara pandangan Arthur menggelap.

KRAK—suara retak bulpen di tangan Arthur Kirkland itu bukan pertanda yang baik.

"Aku berubah pikiran, Mr. Ludwig. Aku akan membunuhnya."

"FELI! KAU INI—" Ludwig dengan cepat menarik Feliciano ke belakang tubuhnya dan berusaha menenangkan Arthur yang telah terbakar api amarah, "Tenang tenang, Mr. Kirkland. Anak ini memang suka salah fokus dan terkadang bodoh tapi dia tidak bermaksud buruk!" ucap Alfa tersebut sembari membuka kedua tangannya di antara dia dan Arthur.

Hanya sekilas, tapi mereka semua bisa mendengar suara Arthur yang menggeram, "Minggir, Lud—"

"Oh, hei! Apa yang sedang kau lakukan di sini?" tubuh Feliciano kembali menegang ketika ada suara yang menyapanya dari belakang. Mengingat kejadian saat Arthur yang langsung menjewernya, membuat Feliciano reflek berbalik cepat dan memegang kedua telinganya. Bau Alfa yang khas—namun rasanya pernah dia cium suatu tempat—membuat Feliciano menurunkan kedua telinganya saat Alfa misterius itu menelan kunyahan burger di mulutnya, "Kau adik Lovino, 'kan? Wow, kalian benar-benar mirip ya! Kalau saja kau tidak lebih muda setahun, pasti semua orang akan menganggap kalian kembar." Ujarnya diakhiri tawa yang entah kenapa terdengar menyebalkan.

"Alfred, kau—sedang apa kau di sini!?" teriakan Arthur membuat tubuh Feliciano kembali menegang. Terlebih ketika Arthur berjalan dan berdiri tepat di depan Alfred F. Jones yang hanya melihatnya dengan santai, "Ini koridor menuju kelas tiga! Dan kemana kau saat pelajaranku tadi!?" teriaknya kesal. Tapi—

—Feliciano tidak akan mengabaikan warna merah di pipi itu.

Selagi dua manusia itu saling melemparkan kata-kata mengejek mereka pada satu sama lain. Feliciano melirik Ludwig yang sedang menggelengkan kepalanya seakan sudah terbiasa melihat pemandangan di depan mereka. Pertanyaan besar di kepala Feliciano perlahan tapi pasti terjawab ketika dia melihat Arthur dan Alfred bergantian. Tanpa bisa ditahan olehnya, Feliciano berkata, "Ah, kok... aneh."

Mendengar ini, Alfred langsung menoleh pada Feliciano—mengabaikan teriakan Arthur padanya, "Aneh? Apanya?" tersenyum menyeringai, Alfred menepuk dada bidangnya sendiri, "Kau bisa menanyakanku tentang apa saja! Sebagai senior yang baik, aku akan membantumu tanpa pamrih! Tidak seperti pak tua ini hahahahahahaha!"

Empat sudut siku-siku muncul di dahi Arthur, "SIAPA YANG KAU SEBUT PAK TUA!?"

Melihat Alfred yang sepertinya santai dan mudah diajak berbicara, tubuh Feliciano pun mulai sedikit lebih rileks. Dia tertawa pelan lalu kedua tangannya mengepal sebelum berkata dengan antusias, "Apa kalian berdua mating?"

JDER

Ketiga manusia yang lebih tua dari Feliciano Vargas yang polos segera terpaku di posisi mereka masing-masing.

"Aku sebenarnya sempat bingung mencium bau Mr. Kirkland, baunya seperti Alfa tapi... seperti ada bau lain yang menyelip. Bau Omega. Awalnya kupikir itu bau Omega-nya Mr. Kirkland. Habis Mr. Kirkland tidak terlihat seperti Omega sama sekali."

Ludwig menahan napas dan melirik Arthur yang masih syok. Warna merah sudah memenuhi wajahnya.

"Tapi senior Alfred datang dan bau Alfa yang ada di tubuh Mr. Kirkland ternyata ada juga di senior Alfred, bahkan lebih dalam. Karena itu aku yakin Alfred yang Alfa, lalu bagaimana bisa Mr. Kirkland memiliki bau senior Alfred?"

Adik kelas yang sangat pure. Alfred hanya bisa tersenyum panik merasakan aura membunuh di belakang tubuhnya.

"Memangnya guru dan murid itu... boleh—"

"Wo-wo-wooo berhenti sampai situ, junior!" Alfred langsung maju dan menutup mulut Feliciano dengan tangannya. Dari posisi ini, Feliciano dan Alfred bisa melihat asap keluar dari kepala Arthur yang sedang berusaha ditenangkan oleh Ludwig sebelum meledak seperti bom. Alfred berbisik pelan di telinga Omega yang mulutnya sedang ditutup tersebut, "Kau benar, aku dan Artie memiliki hubungan yang... err, spesial. Seperti katamu, ini hubungan yang cukup tabu jadi bisakah kau tidak mengatakannya keras-keras seperti tadi?" tanya Alfred.

Meski Alfred terlihat santai dan tidak peduli jika mereka ketahuan atau tidak, tetap saja Alfa itu secara reflek telah mengeluarkan aura yang membuat tubuh Feliciano sebagai Omega itu menurut dan menganggukkan kepalanya. Melihat ini, Alfred tersenyum menyeringai dan melepaskan tangannya dari mulut Feliciano. Pria beriris biru langit seperti Ludwig tersebut melihat ke arah Arthur yang memijat pelipisnya sendiri, "Sepertinya Artie lupa memakai obatnya hari ini sampai kau bisa menciumnya dengan jelas. Padahal umurmu saja belum tujuh belas tahun, 'kan? Haah, dia benar-benar ceroboh."

Feliciano tertawa kaku, "Kakek bilang mungkin juga aku akan berbeda dari Omega kebanyakan seperti kak Lovi. Ngomong-ngomong kau Alfred... Alfa yang sekamar dengan fratello?" tanyanya. Alfred mengangguk, "Pantas kau bisa langsung mengenalku. Oh ya, jika kau bertanya apa yang membuatku berbeda, mungkin karena penciumanku yang lebih tajam dari Omega lain?" lanjutnya.

"Wah, aku tidak tahu apa itu bisa menjadi kelebihan atau kekuranganmu," respon Alfred membuat senyum di wajah Feliciano tergantikan dengan ekspresi bingung. Alfred tertawa pelan, "kau akan memahami maksudku jika kau sudah masuk ke masa heat-mu. Jangan terlalu dipikirkan."

Tidak tahu harus menjawab apa selain mengangguk, Feliciano pun melakukannya. Alfred tersenyum, "Tapi yah... sepertinya aku harus ke Ivan lain waktu jika Artie mau ke sana sekarang. Bahaya kalau yang lain bisa tahu aku dan Artie berhubungan, bau kami akan semakin pekat jika kami terus bersama." Gumam Alfred sementara kedua matanya melihat lurus ke arah tempat kelas tiga dibangun.

"Ivan?"

Alfred kembali melihat Feliciano, "Tujuanku melewati koridor ini." Pemuda dengan antena di poninya tersebut terkekeh pelan sebelum berhenti, "Oh, aku jadi ingat! Mr. Rambert!"

Mendengar nama keluarganya dipanggil, Ludwig menoleh dan menatap Alfa selain dirinya tersebut. Reflek menjawab dengan aksen Jermannya yang khas, "Ja?"

"Sebenarnya tadi Lovino bilang padaku, jika aku keluar dan bertemu denganmu yang berjalan bersama Feliciano lagi, maka aku harus menyampaikan pesannya," Alfred berdehem pelan lalu menarik napas panjang sebelum berteriak, "FUCK YOU, POTATO BASTARD! GO AWAY FROM MY LITTLE BROTHER! TOUCH MY BROTHER ONCE THEN I'LL PUNCH YOU ON THE FACE HUNDRED TIMES, YOU SON OF A BITCH!" selesai berteriak, Alfred berdehem lagi dengan muka tanpa dosanya, "Selesai. Sudah ya, aku duluan. Bye!"

Diam di tempat, ketiga orang yang ada di sana terpaku beberapa saat sebelum tersadar melihat Alfred yang sudah jauh di depan mereka, "ALFRED! That git!" sebelum Arthur sempat mengejar, guru itu berbalik dan menatap Feliciano, "Aku akan melepaskanmu dari hukuman kali ini, namamu juga akan kuhapuskan dari catatan pelanggaran. Sebagai gantinya..." iris hijau forest itu melirik ke arah lain dengan cepat saat kedua pipinya memerah, "...jangan sebarkan informasi ini pada siapapun, mengerti? Cukup kau, Ludwig, Lovino, Antonio, dan Ivan saja yang tahu soal ini." Ucapnya sebelum berbalik dan berlari cepat mengejar langkah Alfred.

Ditinggal pasangan itu, membuat Ludwig dan Feliciano kembali berdua saja. Kalau diingat-ingat, mereka berdua memang sedang di koridor menuju kelas tiga. Di ujung koridor akan ada ruang-ruang kelas tiga, lalu ruang guru yang mengajar di kelas-kelas tersebut. Jika tidak ada Alfred dan Arthur tadi, mungkin keduanya telah berada di ruangan Ludwig sekarang seperti sebelum-sebelumnya. Tidak banyak yang tahu soal ini, selain orang-orang yang memang sudah terbiasa dengan sikap Feliciano yang clingy terutama pada guru yang terkenal berwajah kaku tersebut.

Lagipula, tidak ada bau mencurigakan yang menguar dari tubuh keduanya. Jadi... tidak masalah. Toh Feliciano juga belum masuk umur yang rawan mendapat heat tiba-tiba dan Ludwig adalah guru teladan yang terkenal cukup keras meski tidak segalak Arthur. Mereka di ruangan Ludwig pun paling hanya saling bercerita hingga makan , tetap saja sepertinya kakak kandung Feliciano masih terlalu gampang khawatir dan protective pada adiknya, mengesampingkan perkataannya yang selalu mengatakan dia benci memiliki adik kandung yang serba bisa seperti Feliciano Vargas.

Tapi... mengingat kata-kata Alfred...

"Seperti katamu, ini hubungan yang cukup tabu jadi bisakah kau tidak mengatakannya keras-keras seperti tadi?"

Tabu... Feliciano Vargas tidak pernah berpikir ada hal yang tabu untuk menjadi pasangan yang saling mencintai.

"Feli..." mendapat panggilan mendadak membuat Feliciano menoleh dan melihat Ludwig yang menggaruk pipinya, "...aku harus mengajar sekarang, kau kembali sendiri ke asramamu tidak masalah, 'kan?" tanyanya.

Feliciano hanya tersenyum riang seperti biasa dan ber-pose layaknya memberi hormat pada komandan, "Siap, sir!"

Tersenyum, Ludwig pun mengelus kepala Feliciano sesaat sebelum pergi lebih dulu. Feliciano masih berdiri di tempatnya lalu menatap punggung Ludwig yang semakin menjauh. Omega berambut cokelat terang itu tak lama kemudian menundukkan kepalanya. Entah kenapa dia berpikir—hal yang jarang dilakukannya sebagai tipe orang yang langsung bertindak tanpa pertimbangan. Lagipula kenapa bingung?

Dia dan Ludwig... meskipun status keduanya adalah Omega dan Alfa...

...mereka hanya berteman, 'kan?

#

.

.

.

.

.

#

Hari demi hari berlalu. Banyak hal yang terjadi hingga sebulan telah berlalu sejak mereka bertemu Alfred dan Arthur di koridor perbatasan antara kelas tiga dan dua.

Meski masih banyak yang membuat Feliciano penasaran sebagai anak bawang yang baru saja masuk ke wilayah penentuan status seksualnya, Feliciano memilih untuk membiarkan semuanya berjalan mengikuti angin. Waktunya untuk membuka seluruh misteri di dalam hidupnya pasti akan segera datang.

Hanya saja, tidak semuanya di dunia ini selalu berjalan sesuai rencana.

Keberadaan Feliciano di dalam ruangan Ludwig seperti ini bukanlah yang pertama kalinya. Omega periang itu memang hampir selalu datang ke ruangan sang Alfa dan selalu berakhir pula dengan Ludwig yang mendorongnya keluar dengan ekspresi jengkel di wajahnya.

Ludwig Rambert harusnya adalah seorang guru tegas dan berwibawa yang patut menjadi sosok teladan untuk para guru dan murid di sekolah tempatnya bekerja. Sampai umur dua puluh lima tahun, dia adalah seorang Alfa yang kuat dan sangat berhati-hati dalam memilih pasangannya. Semua Omega yang pernah menjalin hubungan dengannya belum pernah disentuh lebih olehnya, Ludwig hanya memberi jaket atau sejenisnya yang memiliki baunya lalu diberikan pada mereka saat mengalami heat. Sebisa mungkin Ludwig menghindari kemungkinan terburuk di saat keduanya belum siap.

Berkat keseriusannya yang mungkin terlalu berlebihan itulah, para pasangannya tak ada yang bertahan lama dengannya. Dengan alasan Ludwig tidak peduli dengan mereka, satu persatu mereka meninggalkan Alfa yang malang itu. Ludwig akhirnya berpikir bahwa dia memang belum siap dan memilih menjalankan waktunya untuk istirahat dari memiliki pasangan terlebih dahulu selama beberapa tahun terakhir.

Dia adalah seorang guru.

Guru teladan lebih tepatnya.

Yang mempunyai kewajiban untuk melindungi para muridnya. Terutama murid teladan seperti Feliciano Vargas.

Lalu... kenapa... kenapa semuanya jadi begini!?

"Sir... Sir Ludwig..."

Menatap horror pemandangan di hadapannya dan berusaha melawan kabut nafsu yang ingin menutupi akal sehatnya, tindakan pertama yang muncul di kepala seorang Alfa yang bertanggung jawab itu adalah menutup pintu ruangan serapat-rapatnya agar bau heat yang menyengat itu tidak keluar. Entah apa yang akan terjadi jika ada Alfa lain yang mencium bau ini—terlebih Alfa yang belum bisa mengatur insting mereka dengan baik. Tapi, itu berarti sama saja dengan Ludwig membuat ujung pisau menghunus ke arah jantungnya.

"Feli..." Ludwig bermaksud menenangkan muridnya tersebut, tapi entah bagaimana yang keluar justru geraman. Entah karena suaranya atau bukan, yang jelas Feliciano yang sedari tadi meringkuk di sofa yang terdapat di samping mejanya itu sempat berjengit.

Dengan dua mata yang berkaca-kaca dan tubuh masih bergetar menahan heat yang mendadak datang lebih cepat—bahkan terlalu cepat, Feliciano mencoba mengangkat kepalanya dan menatap sang guru di depan pintu satu-satunya jalan keluar dari ruangan ini.

"Apa yang... terjadi padaku?" Feliciano menangis atas tekanan yang masih belum sepenuhnya dimengerti olehnya. Dia sudah mendapat perkiraan apa yang sedang terjadi padanya sekarang, tapi... Feliciano masih enggan mempercayainya, "Lud? Lud? Bisa... jelaskan padaku?" tanyanya dengan suara yang bergetar.

Keadaan ini membuatnya sangat bingung, bagaimana rasa panas yang terus menguar dari dalam tubuhnya, cairan-cairan aneh yang membasahi lubangnya di bawah sana, dan tubuhnya yang terus bergetar enggan berhenti. Seakan sangat menginginkan sesuatu.

Tidak... dia tidak mungkin... mengalami itu, 'kan?

Umurnya saja bahkan belum menginjak tujuh belas tahun!

Ludwig menelan ludahnya, "Kau mengalami heat." Jawab Ludwig singkat, padat, dan jelas. Dilihat dari kondisi Feliciano, Ludwig mulai yakin ini adalah heat pertamanya. Wajah Ludwig sudah sangat memerah, "Aku harus pergi, Feli. Ini bahaya—"

"Tidak! Jangan pergi!" Feliciano langsung berteriak dengan cepat. Air mengalir deras dari kedua matanya. Sebagai Omega yang baru saja memasuki pubertasnya, feromon dengan mudah menguasai pikiran dan tubuhnya. Hanya ada satu pikiran di kepala Feliciano sekarang, "Jangan jauh-jauh... aku—"

Napasnya terdengar semakin berat. Kedua tangannya meremas-remas pegangan sofa di bawah kepalanya. Feliciano tidak tahu sampai kapan bisa menahan kedua kakinya untuk tetap rapat. Jika dia membuka kedua kakinya itu dan menunjukkan akses yang terbuka lebar, itu berarti dia telah memberi izin pada sang Alfa untuk segera menandainya sekarang juga.

Bukan berarti Feliciano tidak ingin menjadi milik Ludwig, sang guru kesayangan yang selalu menjadi panutannya sejak dia mengenalnya—oh, betapa justru dia sangat menginginkannya—tapi yang Feliciano takutkan adalah apa yang akan terjadi setelahnya.

Bagaimana jika Ludwig akan membencinya setelah ini? Bagaimana jika Ludwig akan jijik padanya? Bagaimana jika... jika Ludwig akan membuangnya suatu hari nanti? Oh, harusnya Feliciano menuruti perkataan kakaknya saja tadi untuk tidak datang ke tempat 'Potato Bastard' sekarang karena kali ini Lovino merasakan firasat buruk.

Hanya saja... logika telah kalah sepenuhnya.

Ketika Omega yang malang itu akhirnya membuka kedua kakinya.

"—aku membutuhkanmu... Lud."

Saat ini, mungkin salah satu perkataan Alfred waktu itu, "Kau akan memahami maksudku jika kau sudah masuk ke masa heat-mu. Jangan terlalu dipikirkan." Telah terjawab.

Penciuman Feliciano yang lebih tajam dari penciuman Omega pada umumnya telah membuat bau Ludwig sebagai satu-satunya Alfa di dalam ruangan menjadi pekat—sangat pekat. Seakan-akan Ludwig berada di depannya hingga ujung hidung mereka saling menyentuh, padahal kenyataannya masih ada jarak kurang lebih tiga meter di antara mereka. Feliciano tidak sanggup membayangkan seandainya Ludwig benar-benar menghilangkan jarak di antara mereka sekarang.

Yang jelas, berkat penciuman inilah Feliciano tak sanggup berpikir logis lagi. Tubuhnya terus berteriak agar Ludwig menandainya sekarang juga. Etika teladan yang selama ini dimilikinya telah terkubur dalam-dalam. Ludwig masih mencengkeram pintu masuk ruangannya. Dia tinggal mendorongnya lalu dia akan selamat dari semua ini. Tapi, bau yang membuat penglihatannya semakin mengabur dan gerakan Feliciano yang telah memberi izin sepenuhnya itu membuat Ludwig menggertakkan giginya.

Dan jangan lupakan naluri alaminya sebagai Alfa yang telah ditahan bertahun-tahun.

Ah...

...persetan.

Dalam sekali gerakan, Ludwig mengunci pintu ruangannya lalu berjalan mendekati Feliciano. Bau wangi langsung mengunci seluruh indera perasanya. Di kepala Ludwig kini hanya ada Feliciano, Feliciano, dan Feliciano. Pemuda berambut cokelat di atas sofa itu semakin menundukkan wajahnya, aura Alfa yang menekan dari Ludwig menuntut tubuhnya untuk semakin submisif mau tak mau. Sesuai permintaan terdalam yang tak perlu diucapkan, Feliciano semakin membuka kedua kakinya, membiarkan Ludwig masuk di antara kedua kakinya.

Selama ini... Ludwig tak pernah berada di jarak sedekat ini dengan Omega yang sedang heat. Biasanya masih ada pembatas di antara mereka dan itu cukup membuat Ludwig mengeras di bawah sana. Selain itu, Alfa yang penuh persiapan seperti Ludwig biasanya sudah meminum obat penahan bau heat. Tapi, karena dia belum memiliki pasangan Omega lagi setelah sekian lamanya, dia pun mulai mengurangi konsumsi obat-obatan yang mengandung bahan kimia tersebut dan tak membawanya ke sekolah. Dia hanya meminumnya dalam situasi tertentu seperti dulu saat dia datang ke rumah Roma yang sudah memberi tahu terlebih dahulu bahwa dia memiliki dua cucu yang berstatus Omega.

Roma—oh...

"Tidak!" Ludwig menampar dirinya sendiri dan berusaha sadar di tengah deru napasnya yang tidak teratur. Bayangan Roma yang juga merupakan sahabat kakeknya di Jerman membuat Ludwig dapat berpikir jernih. Bagaimanapun dia tidak ingin merusak hubungan baik yang sudah susah-susah dipertahankan generasi sebelum dia dan Feliciano tersebut. Namun, begitu akhirnya dia sudah tersadar dari kabut yang menutupi kedua matanya, Ludwig justru mendapati posisinya yang sudah sangat berbahaya.

Feliciano mencium bibirnya dan mulai menggesekkan badanya pada Ludwig. Bau Alfa telah meracuni pikirannya untuk berbuat lebih berani dari yang biasa dilakukannya. Ludwig menelan ludahnya dan berusaha menghindari wajahnya dari ciuman Omega yang berumur lebih muda darinya tersebut. Walau tak begitu berhasil karena kini Feliciano telah mencium pipinya dan telinganya, menekannya hingga ke ujung tanduk.

"Feli... hentikan... sekarang juga," bisik Ludwig di tengah-tengah geramannya. Kedua iris biru langitnya melirik mata Feliciano yang tertutup kabut nafsu. Uap panas keluar dari mulutnya yang terbuka. Tangannya memegang baju yang menutupi dada bidang Ludwig, menariknya hingga kusut.

Kepala Feliciano ditahan oleh tangan Ludwig agar tidak mengenai wajah Alfa tersebut. Tapi, Feliciano tidak berhenti begitu saja. Dia melepaskan diri dari pria tersebut lalu turun dan mencium kemeja guru yang telah terdesak tersebut. Feliciano menggesek-gesekkan wajahnya sementara di bawah sana dia menggesekkan kedua bagian vital mereka yang masih tertutup celana masing-masing.

Sebagai Alfa yang masih mampu berpikir jernih di situasi ini, Ludwig tahu bukan Feliciano yang patut dipersalahkan. Tapi, insting alaminya sebagai Omega. Menarik napas lalu mengeluarkannya, Ludwig mendorong Feliciano ke atas lantai lalu mulai mencium bibirnya hingga memasukkan lidahnya ke dalam mulut Feliciano. Desahan Feliciano tertahan dan kedua tangannya mulai menarik-narik kain di bahu Ludwig. Kedua kakinya berada di sisi kanan kiri Ludwig mulai menendang-nendang udara, namun sesekali mencoba mengaitkan diri di belakang pinggang Ludwig agar Alfa itu semakin mendekatinya.

Ketika hawa nafsu menjadi pengatur tubuhmu bertindak... semuanya menjadi buram.

Ludwig mengernyitkan kedua alisnya sebelum dia melirik ke atas meja tak jauh dari posisi mereka sekarang. Hpnya tergeletak di pinggir, bisa diambil jika dia mau langsung menjulurkan tangannya dari posisinya sekarang. Dan dia akan melakukannya, "Ha... ah... Lud... Lud..." bisikan Feliciano menjadi jauh lebih sensual dari sebelumnya. Kedua tangan dan kakinya sangat menempel pada Ludwig hingga Alfa tersebut tak bisa bergerak banyak.

"Feli—"

"Luddy."

Panggilan yang entah kenapa membuat lidah Ludwig membeku. Kedua iris biru langit Ludwig membulat. Menatap Feliciano yang kemudian perlahan tapi pasti memburam dan tergantikan dengan sosok yang... masih samar-samar di kepalanya. Ludwig tidak bisa memastikan siapa itu, yang bisa dia mengerti hanyalah perasaan rindu dan lega yang memenuhi hatinya hingga terasa hangat.

Siapa... kenapa...

Pria berambut pirang tersebut menurunkan tangannya yang hendak mengambil Hp untuk memanggil bantuan. Kedua mata Ludwig ikut menggelap. Entah bagaimana, tangannya kini justru membuka kancing-kancing atas kemejanya. Dia mulai merespon gesekan Feliciano dan menggeseknya balik hingga Feliciano mendesah keras. Tak perlu khawatir ada yang akan mendengar, seluruh ruangan pribadi di Universal Highschool dibuat kedap suara yang sebenarnya bisa menguntungkan namun juga merugikan.

Ludwig mulai mencium leher jenjang Feliciano, menghisap kemudian menggigitnya. Memberikan tanda yang tidak akan pudar dengan mudah begitu saja. Feliciano terus mendesah dan mulai memberantakkan rambut rapi Ludwig hingga poninya kembali jatuh ke depan. Tangan Ludwig yang lain mulai menyelip ke balik celana Feliciano dan meremas bongkahan pantatnya. Feliciano berteriak dan mengangkat bagian bawah tubuhnya, memberi akses leluasa pada calon Alfanya tersebut.

Setelah puas meremas, Ludwig mulai memasukkan jari tengahnya ke dalam lubang Feliciano yang telah licin karena mengeluarkan banyak cairan heat-nya. Feliciano mulai gelisah ketika Ludwig melakukan itu, namun di saat bersamaan dia ikut membantu gerakan jari Ludwig dengan menggerakkan pinggulnya. Satu jari, dua jari, hingga tiga jari. Ludwig mulai menciumi dada bidang pemuda berambut cokelat tersebut dan mengemut nipple di sana.

"LUDDY! LUDDY!" teriakan Feliciano memenuhi ruangan membuat Ludwig semakin menulikan dirinya dari apapun kecuali desahan calon Omeganya tersebut. Tinggal selangkah lagi... Ludwig bangkit dari posisinya dan bersiap membuka celananya—

BRAAAKK

Pikiran yang telah tertutup kabut nafsu langsung pecah begitu saja dan Ludwig langsung menoleh untuk melihat Lovino Vargas yang telah mendobrak pintunya. Lovino yang terengah-engah menandakan bahwa dia mendobrak pintu yang telah dikunci itu dengan seluruh tenaganya. Kedua mata Lovino semakin memicing tajam sebelum dia berlari mendorong Ludwig hingga jatuh ke atas lantai.

"KAU—! SUDAH KUDUGA KAU MEMANG MENGINCAR TUBUH ADIKKU!" teriak Lovino marah. Dia langsung berjongkok dan memeluk tubuh adiknya sembari mendesis ke Ludwig yang masih terpaku di tempatnya. Di belakang Lovino, ternyata sudah ada Antonio yang langsung menutup hidungnya. Ludwig ingat bahwa salah satu muridnya tersebut adalah Alfa sehingga tentu saja itu reaksi yang wajar.

"Mr. Ludwig?" Antonio bertanya dengan ekspresi terkejut. Dia melihat Lovino masih memeluk Feliciano yang menggeliyat di pelukan kakaknya. Kedua matanya berair dikarenakan kebutuhannya yang berteriak untuk segera diisi. Setelah itu, Antonio melihat Ludwig yang sudah dalam kondisi sangat berantakan.

Selama tiga tahun sekolah di sini, Antonio hampir tak pernah melihat Ludwig Rambert yang merupakan guru teladan itu sekacau ini sebelumnya. Melihat tatapan Antonio kemudian Lovino bergantian membuat Ludwig memasang ekspresi syok yang lebih ditujukan pada dirinya sendiri. Ludwig menundukkan kepalanya kemudian meremas rambutnya sendiri hingga jauh lebih berantakan dari sebelumnya.

"Apa yang... kulakukan?" bisik Ludwig berkali-kali seperti kaset yang rusak. Meski begitu, Lovino tetap tak mengubah pandangan jijiknya pada pria keturunan Jerman yang entah kenapa sudah dibencinya sejak pertemuan pertama mereka. Rasanya seperti ada dorongan kuat untuk membenci seorang Ludwig, terutama jika Alfa itu sedang bersama adiknya.

Lovino tahu ini yang dinamakan benci buta—tapi dia tidak peduli.

Menggendong tubuh Feliciano di atas kedua tangannya, Lovino mengabaikan erangan-erangan Feliciano yang menolak untuk dijauhkan dari Ludwig. Dia akan berasumsi sikap Feliciano ini semata karena dia masih dibutakan dengan heat-nya. Saat Lovino membalikkan badan, dia bisa melihat Antonio yang masih syok di posisinya memperhatikan Ludwig. Begitu sadar Lovino memperhatikannya, Antonio kembali menatap Lovino yang hanya dibalas dengan gerakan isyarat yang menyuruh Antonio untuk pergi dari sini.

Antonio masih menatap Ludwig dengan berbagai perasaan berkecamuk di dalam hatinya. Saking seriusnya, heat Feliciano jadi tidak mempengaruhinya—meski dari awal sebenarnya tidak akan terlalu berpengaruh mengingat Antonio sudah menjadi mate Lovino. Masih enggan keluar, akhirnya Antonio hanya memberi jalan pada Lovino yang hanya mendengus dan berjalan melewatinya.

"Kupikir kau keterlaluan, Lovi," gumam Antonio tiba-tiba, membuat langkah Lovino sempat terhenti sesaat. Kedua alis Antonio tertarik kemudian menatap Lovino dengan sedih, "Mr. Ludwig bukan orang yang seperti itu. Seorang Alfa tidak akan semudah itu jatuh ke dalam heat Omega jika dia tidak memiliki perasaan yang kuat—"

"Kecuali untuk Alfa yang memang hanya mencari Omega untuk memuaskan kelaminnya." Potong Lovino dengan sinis. Antonio terkesiap mendengar itu. Dia berniat membantah ketika suara yang lain menginterupsi.

"Aku dengar ada ribut-ribut di si—Oh mon dieu! Feli!" Beta berkebangsaan France itu langsung berlari dan melihat Feliciano yang telah meremas baju kakaknya sendiri, "Kenapa... Kenapa Feli sudah masuk heat? Dia bahkan belum masuk umurnya!" sahut Francis Bonnefoy dengan panik.

Lovino mendecih, "Mana kutahu!" sekali lagi melirik Ludwig di belakangnya dengan kesal, Lovino menambahkan, "Kita harus cepat pergi dari sini sebelum ada yang berniat memperkosa Feliciano lagi."

Tubuh Ludwig berjengit. Memperkosa? Oh... ya... itu namanya. Pria berambut pirang itu meremas lengannya sendiri sekarang.

"Lovino! Kau—"

"Jika kau terus membela Potato Bastard itu, maka memojoklah bersama dia dan membusuk di sana! Aku tak peduli!" teriak Lovino pada Alfanya itu. Antonio menggigit bibir bawahnya tapi tak melawan lebih jauh. Francis berniat membelanya namun dengan cepat Antonio mengangkat tangannya dan meminta dia mengikuti Lovino yang sudah lebih dulu keluar.

Melihat itu, Francis hanya menghela napas dan ikut keluar dari ruangan. Antonio telah memberi Beta itu tanda untuk menjaga dua teman mereka sejak kecil tersebut. Sebisa mungkin jangan sampai mengundang para guru dan murid lain datang ke sini lalu membuat situasi semakin kacau. Setelah semuanya pergi, Antonio menghela napas kemudian berjalan mendekati gurunya yang masih terlihat depresi.

"Mr. Ludwig, tolong jangan sepenuhnya menyalahkan dirimu. Kami semua mengerti. Lovino memang seperti itu, nanti jika emosi dia sudah lebih reda, aku akan menjelaskan kepadanya lagi," ucap Antonio berhati-hati. Alfa yang lebih muda itu perlahan menyentuh bahu Ludwig, "Ini kecelakaan, tidak ada yang salah. Jangan masukkan kata-kata Lovino ke hati, na?" tanyanya.

Lama tidak menjawab, namun akhirnya Ludwig mengangkat kepalanya dan tertawa kecil, "Tak kusangka hari dimana seorang murid mengguruiku akan datang," ucap Ludwig di tengah senyum sedihnya. Antonio ikut tertawa kecil lalu melepaskan pegangannya ketika Ludwig berdiri.

Guru itu mulai merapikan pakaiannya sementara mereka berdua masih berdiri kaku di posisi masing-masing. Pria keturunan Spaniard itu tersenyum kikuk, "Sebaiknya aku menyusul Lovi—"

"Hei, Antonio..."

"Si?" respon Antonio secara reflek. Melihat Ludwig yang menerawang seperti memikirkan sesuatu. Hampir saja Antonio bertanya lagi ketika Ludwig melanjutkan.

"Kau teman sejak kecil... Feliciano, 'kan?" Antonio hanya mengangguk, "Apa... Apa menurutmu Feliciano pernah bertemu denganku sebelumnya?" tanya Ludwig lagi. Kali ini sampai iris biru langitnya menatap iris hijau Antonio.

"...Hah?"

#

.

.

.

#

"Begitulah, nonno. Kau percaya padaku, 'kan!?" Lovino vargas terus berbicara sembari berjalan bolak-balik arah di depan kakeknya yang masih diam mendengarkannya dengan duduk di sofa. Roma melipat kedua tangannya di depan dada, kedua kakinya juga terlipat dengan yang kanan berada di atas yang kiri, kedua matanya terpejam seolah konsentrasi mendengarkan penuturan salah satu cucunya tersebut, "Kita tidak bisa mempercayai orang Jerman sialan itu! Kau harus memintanya untuk menjauhi Feliciano sekarang juga!"

Roma menghela napas, "Perhatikan bahasamu, Lovino," ucapnya dengan tenang. Lovino hanya mendengus keras sebelum duduk dengan kasar di depan Roma. Kepala keluarga Vargas itu menyandarkan punggungnya, "tapi aku tidak menyangka Feli akan mendapat heat-nya secepat ini. Karena kalian anak dari gabungan Beta dan Omega, kemungkinan prematur heat memang ada, tapi—"

"NONNO! Bukan itu yang seharusnya kau khawatirkan sekarang!" Lovino memicingkan kedua matanya, "Feli hampir saja diperkosa oleh seorang Alfa dan yang kau pikirkan justru waktu heat-nya!?" teriak Lovino.

Mendengus menahan tawa, Roma membalas, "Untuk seseorang yang selalu menjauh ketika dibutuhkan adiknya, kau bisa peduli juga ternyata," wajah Lovino memerah dan hampir berteriak lagi ketika Roma memotongnya, "Lovino, bukannya aku tidak marah, tapi aku hanya mencoba berkepala dingin di sini." Menatap cucu tertuanya, Roma memicingkan kedua matanya, "Terlalu egois jika kau hanya menyalahkan Ludwig begitu saja."

"Tch, semua Alfa sama saja—"

"Lovino!" Roma meninggikan nada suaranya, hal yang membuat tubuh Lovino sebagai Omega reflek menegang kemudian instingnya mengatakan untuk menurut. Mengernyitkan kedua alisnya, Lovino menggigit bibir bawahnya dan membuang mukanya. Ekspresi yang tersakiti itu membuat Roma tersadar dan kembali menenangkan dirinya, "Aku menyayangi kalian berdua, aku pasti khawatir jika sesuatu yang buruk terjadi pada kalian. Tapi, bukan berarti aku bisa terus membela kalian secara berat sebelah dari orang-orang di luar sana, kemungkinan itu selalu ada." Jelas Roma dengan sabar.

Lovino mulai melirik kakeknya tersebut.

"Kalian berdua adalah Omega, tapi bukan berarti kalian yang akan selalu jadi korban. Mengerti maksudku?"

Tidak menjawab, Lovino kembali melihat ke arah lain. Tapi, akhirnya tak lama kemudian pemuda berambut cokelat seperti kakeknya itu mengangguk. Melihat ini, Roma tersenyum lega. Dia berdiri dari sofa kemudian berjalan mendekati Lovino dan mengelus kepalanya. Aura Alfa yang menguar dari tubuh Roma memberi kenyamanan tersendiri pada Lovino sehingga dia dapat merilekskan tubuhnya dan memeluk pinggang kakeknya tersebut. Roma masih tetap tersenyum sembari menyisir rambut cucu tertuanya itu.

Setelah merasa puas, Roma menarik kedua tangannya ke atas dan meregangkan tubuhnya, "Nah, sekarang apa yang Feliciano butuhkan—"

TING TONG

Suara bel dari pintu depan mereka membuat Lovino melepaskan pelukannya dari sang kakek. Sementara Roma hanya menoleh ke arah pintu depan, "Hm? Siapa yang bertamu jam segini?" tanyanya entah pada siapa sebelum melihat ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas malam hari sekarang.

Mendadak, Lovino memicingkan kedua matanya dan berdiri dari posisinya. Kedua matanya masih melihat ke arah pintu depan seperti kakeknya, "Alfa..." bisik Lovino sebelum berjalan lebih dulu dari Roma dan memasang ekspresi waspada ke ruangan depan.

Awalnya Roma hanya menaikkan sebelah alisnya bingung. Sebagai Alfa yang memang pada umumnya tidak bisa mencium bau jenis lain—kecuali Omega yang sedang heat atau Alfa lain yang merupakan jenis khusus—Roma berpikir paling yang datang hanyalah Antonio seperti biasa. Namun, perilaku Lovino yang tidak biasa membuat Roma pun ikut waspada secara reflek. Sesampai di pintu depan, Roma yang berinisiatif membuka pintu lebih dulu.

Dan Lovino nyaris mendesis melihat siapa tamu mereka malam ini.

"Oh, Ludwig?" Roma membuka pintunya lebih lebar. Tanpa diminta, Lovino langsung bersembunyi di belakang tubuh Roma dan mengintip di balik bahu kakeknya tersebut. Roma tersenyum, "Ada apa? Aku baru saja mendengar kabar yang tidak mengenakkan tentangmu dan langsung menerima kehadiranmu di depanku, rasanya aku membutuhkan penjelasan yang memuaskan." Ucap Roma dengan nada yang cukup dalam dan menuntut meski berusaha tersembunyi di balik nadanya yang ceria.

Ludwig sangat tahu tatapan mata Roma tidak tersenyum padanya. Memberanikan dirinya di depan Alfa yang jauh lebih tua darinya tersebut, Ludwig mengepal kedua tangannya di samping tubuhnya lalu membungkukkan dirinya sembilan puluh derajat. "Maafkan... aku." Ucapnya.

"Berdiri dengan tegap dan tatap aku saat menjelaskan," balas Roma sembari melipat kedua tangannya di depan dada. Tapi sebelum itu, dia melirik Lovino di belakangnya, "kau masuk ke dalam, Lovi." Perintahnya. Kali ini tanpa senyum di wajah tampannya. Lovino menatap Roma tak yakin namun akhirnya dia tetap menurut. Laki-laki berambut cokelat dengan curl di sebelah kanannya itu masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. Membiarkan dua Alfa tersebut di luar.

Ludwig menarik napas sebelum berdiri tegap seperti yang diminta Roma. Melihat wajah sahabat kakeknya itu tidak tersenyum cerah seperti biasanya membuat Ludwig menelan ludah, tapi tetap mempertahankan wajah stoic-nya. Kedua mata Roma berkilat menunjukkan amarah dan aura Alfa yang sedang melindungi teritorinya itu akhirnya sampai ke indera penciuman Ludwig yang harus menahan diri untuk tidak mundur. Roma tetap diam, membiarkan Ludwig berbicara lebih dulu tanpa berniat mencelanya sedikit pun.

"Aku tidak tahu jika Lovino sudah menjelaskannya padamu atau belum, tapi... Feliciano memang selalu datang ke ruanganku hampir setiap hari. Aku tidak memintanya, dia datang sendiri dari sekedar untuk membicarakan banyak hal hingga membawakanku makanan entah dari mana. Lalu, siang tadi... benar-benar di luar perkiraan kami berdua," Ludwig menahan napasnya, "aku menutup pintu ruangan karena berpikir itu pilihan terbaik agar Feliciano aman tapi... bodohnya aku tidak keluar dan dan... oke, aku gegabah tapi aku berpikir aku adalah guru dan aku harus melindunginya dan—"

"Ludwig." Ucapan Roma seakan es batu dingin yang membuat tubuh Ludwig membeku di tempat. Kedua mata beriris biru miliknya menatap panik iris hijau Roma yang menatapnya serius, "Tenanglah atau aku tidak akan mengerti apa yang kau katakan." Melihat ekspresi tegang Ludwig yang masih belum berubah, Roma menghela napasnya, "Oh ayolah, aku tidak akan mengatakan apapun pada Germania. Aku berusaha mengerti dirimu karena kita sesama Alfa, tapi jika kau terus panik seperti ini, kau akan terlihat semakin bersalah di mataku." Lanjut Roma langsung.

Mendengar ini, Ludwig akhirnya mati-matian menelan ludahnya lalu menenangkan dirinya lagi. Dia memejamkan kedua matanya kemudian menarik napas sedalam mungkin hingga mengeluarkannya. Tiga detik sampai akhirnya Ludwig membuka kedua matanya. Alfa muda itu mulai terlihat sedikit lebih tenang dari sebelumnya. Melihat ini, Roma tersenyum lagi. Pria tua itu memberi isyarat pada Ludwig untuk kembali melanjutkan.

"Kuakui aku salah karena telah kalah dari instingku dan hampir menandai Feliciano tanpa seizinnya." Setelah ini, Ludwig mulai bercerita dengan detil setiap reka kejadian yang mampu diingatnya tadi siang. Roma mendengarkan dengan seksama tanpa merubah ekspresi dan posisinya sedikit pun. Wajah Ludwig masih tak lepas dari perasaan bersalah dan berkali-kali mencoba menghindari tatapan Roma meski gagal.

Menggigit bibir bawahnya, Ludwig berbisik pelan, "Kurang lebih... seperti itu. Maafkan aku. Sungguh. Mu-Mungkin memalukan, tapi ini pertama kalinya bagiku mencium bau heat Omega dan aku tak menyangka efeknya sekuat ini pada naluriku sebagai Alfa. Maafkan aku!" teriak Ludwig dan kembali membungkukkan tubuhnya sembilan puluh derajat dengan cepat di depan Roma.

Setelah penjelasan Ludwig berakhir, ekspresi Roma semakin tenang. Melihat punggung Ludwig di depannya, Roma berbicara, "Baiklah, aku akan mencoba percaya padamu." Ludwig langsung menegakkan tubuhnya dan terkejut menatap Roma yang tersenyum penuh arti padanya, "Tapi, kuberi tahu fakta menarik untukmu, virgin~" meskipun bergidik mendengar penuturan Roma, Ludwig tetap mendengarkan dengan gelisah saat Roma mulai berjalan mendekatinya kemudian berbisik di telinganya.

"Sebenarnya saat Omega mengalami heat, dampaknya tidak akan sekuat itu jika memang Alfa yang berada di dekatnya tidak memiliki perasaan khusus pada sang Omega."

Syok, wajah Ludwig memerah dan langsung menoleh pada Roma.

"Kecuali untuk Alfa bodoh yang ingin memanfaatkan situasi fufu. Tapi, Alfa bodoh semacam itu tidak akan datang tengah malam begini menghadap orang tua Omeganya untuk meminta maaf padanya," ucap Roma sembari menahan tawa. Wajah Ludwig sudah semerah tomat sekarang. Asap keluar dari atas kepalanya ketika mulutnya bergerak membuka tutup seperti robot.

"Ti-Tidak. Bukan... Bukan—ma-maksudku, itu tidak—bukan! Itu... itu—"

"Hmmm?" Roma tersenyum menggoda sebelum tertawa dan menyentuh pipi Ludwig yang sudah kepanasan dengan ujung jari telunjuknya, "Hahaha lucu sekali! Kau tahu, Germania dan aku dulu sempat berniat menjalin hubungan serius sebelum orang tua Germania menjodohkannya dengan nenekmu yang sekarang. Kalau kau dan Feli bersatu, aku dan dia akan menjadi saudara sebentar lagi... wow, aku tak sabar ingin melihat ekspresinya hahahaha!" Roma tertawa keras di akhir penjelasannya.

Ludwig mengibaskan kedua tangannya, "Tu-Tunggu! Aku tidak bilang apa yang kau katakan benar! Feliciano itu selalu seenaknya sendiri karena itu aku terbiasa memperhatikannya dan itu jadi membuatku tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Dia sudah seperti adikku sendiri karena itu—"

"Ooh, poor Feli~ cintanya bertepuk sebelah tangan! Ooh, apa yang harus kukatakan pada cucuku yang malang dan sangat pure ini? Sang Alfa mengabaikannya?" kedua ujung mata Ludwig berdenyut. Tanpa diberi kesempatan, Roma membalikkan tubuhnya dan melambaikan tangannya, "Baiklah, aku sendiri tidak akan memaksa. Toh, yang memiliki perasaan adalah kalian sendiri. Aku bukan siapa-siapa yang berhak ikut campur hahaha~ addio!"

"Ah, Mr. Roma—"

"Hm, bagaimana ini? Malang sekali Feli~ dia harus sendirian di heat pertamanya..." di depan pintu, Roma memukul telapak tangannya dengan kepalan tangan yang lain, "...ah, aku tahu! Sepertinya aku harus minta tolong pada Antonio, dia Alfa muda lain yang sudah lama kukenal. Ah tapi, Lovino mungkin tidak akan mengizinkannya. Bagaimana jika Francis? Toh sebagai Beta, dia lebih bisa diandalkan. Baiklah, aku akan meneleponnya besok—"

"MR. ROMA!"

Teriakan Ludwig disertai geraman posesif sang Alfa membuat Roma menyeringai. Namun karena dia belum berbalik, Ludwig tak bisa melihatnya. Pria berambut pirang yang disisir rapi itu terengah, mengatur napasnya.

"Ya... Ludwig?" tanya Roma dengan nada yang ambigu.

Ludwig memicingkan kedua matanya, "Tolong... jangan... jangan melibatkan pihak lain. Maksudku, meskipun di dalam heat Omega cenderung menerima siapapun yang bisa menemaninya, tetap saja anda harus memikirkan perasaannya nanti setelah dia sadar—setidaknya itu yang kubaca dari buku," jelasnya perlahan.

Roma menoleh sedikit dari posisinya, "Jadi, maksudmu apa? Ada orang lain yang diinginkan Feliciano sekarang?" pertanyaan itu membuat Ludwig terpaku lagi, "Hm, yang diinginkan Feliciano hanya kau, tapi kau sudah menolak. Selain kau, mungkin Alfa yang bisa ditoleransi olehnya adalah aku, tapi tidak mungkin aku menyentuh tubuh cucuku sendiri, 'kan?" tanya Roma balik.

"Pokoknya jangan berikan dia pada orang lain!" balas Ludwig cepat. Tersadar dengan nadanya yang mungkin tidak sopan, Ludwig kembali mundur dan berusaha mengoreksi kata-katanya, "Aku—Aku tahu ini egois, tapi di sisi lain aku juga belum... siap—maksudku... ini terlalu tiba-tiba!" ucapnya panik. Pipi hingga telinganya sudah sangat memerah, ekspresi yang sangat jarang muncul di wajah Ludwig Rambert yang selalu terlihat kaku itu.

Melihat ini, Roma hanya memutar kedua bola matanya. Dasar virgin.

"Lalu sekarang, bagaimana?"

Pertanyaan Roma kembali menarik Ludwig ke alam sadar. Pria berumur dua puluh lima tahun itu menggigit bibir bawahnya sebelum menggeleng pelan. Dia membuka jas rapi yang dikenakannya perlahan. Setelah jas itu terbuka, Roma bisa melihat tubuh kekar yang tercetak jelas di balik kemeja putih yang masih dipakai Ludwig. Dalam hati rasanya Roma ingin memuji cucu kesayangannya itu bahwa dia memiliki selera yang bagus.

Yah, tapi... jika Germania—kakek Ludwig—ada di sini sekarang, dia pasti akan berkata dengan wajah dinginnya, "Bahkan takdir tak bisa mengalahkan perasaan alami mereka."

Mengingat kejadian yang selalu bisa membuat Roma dan Germania kehilangan senyum masing-masing dari wajah mereka.

Namun, lamunan Roma tak bertahan lama ketika Ludwig menyerahkan jasnya yang telah memiliki bau pekatnya. Roma menatap jas yang masih di tangan pemiliknya tersebut, "Be-Berikan ini pada Feliciano..." Ludwig tak pernah merasa seperti ini sebelumnya, tak bisa menatap keluarga pasangannya langsung pada matanya. Sebagai orang yang perfeksionis, Ludwig selalu berusaha menunjukkan dirinya yang terbaik di mata orang lain. Tapi, Ludwig yakin seratus persen bahwa dia sekarang pasti terlihat sangat bodoh di mata Roma.

Oh, damn you, hormone.

Detak jantungnya sangat keras dan tidak menentu, rasanya Roma pasti bisa mendengarnya. Ludwig hanya bisa berharap kalau Alfa yang jauh lebih tua darinya itu tidak mendengarnya. Roma mengambil jaket dari tangan Ludwig lalu tersenyum ketika Ludwig kembali mencoba menatapnya.

"Feliciano akan selalu menunggumu."

.

.

.

To be Continued

.

.

.

Kata-kata mutiara (?) ditiadakan dulu, karena ternyata lebih panjang dari yang diperkirakan jadi terpaksa harus dibagi 2 chapter, karena itu quote-nya bakal ditaro di ending chapter 2 ;w; Tenang, Insha Allah kalau lancar, dalam waktu dekat bisa langsung update karena ini langsung ditulis wwww.

Sebenarnya bagian GerIta ini gak ada rencana dibuat, karena itu mereka jarang dimunculin di 3 cerita sebelumnya. Tapi berkat exchange fic dengan temanku, akhirnya dibuatlah lanjutan Trilogy Omegaverse inih :"D Dan gara-gara gak pernah muncul interaksinya sama sekali di trilogy sebelumnya, akhirnya di sini aku harus jabarin hubungan mereka biar lebih jelas dan hubungan-hubungan mereka dengan 3 pairing di omegaverse sebelumnya. So, maaf kalau alurnya jadi kerasa lebih lambat huehue, terus kayaknya interaksi GerIta juga masih kurang. Aku usahain bakal ditambah di next chapter. Lagipula masih ada satu pair lagi yang belum ketahuan hubungannya dengan GerIta di sini iykwim 8D

Selagi menunggu, mungkin mau coba baca Trilogy Omegaverse Project sebelumnya? (OwO)

#1 REVERSE (USUK)

#2 REALIZE (RuPru)

#3 REPLAY (Spamano)

Lalu sekarang #4 RESTRICTED (GerIta) x"D Ada kemungkinan sebelum chapter 2 update, aku bakal publish oneshot RuPru Mpreg rate T+ lel. Rencananya itu fic cuma mau jadi drabble selinganuntuk ngikutin challenge meme, gak tahunya tetep panjang juga, I'm so done orz. Maaf kalau update bakal lama, udah mulai masuk bulan UTS sih hiks :")

Ok, see you next chapter! Maaf jika ada kekurangan yang terlewatkan. Review please? Thanks before! :3