Apa kau tahu,

Sesuatu yang lebih manis dari gula ?

Itu adalah dirimu, Tetsuya

The Lost

Kuroko no Basuke

Disclaimer: Kuroko no Basuke Belongs Tadoshi Fujimaki

Pair : Akashi Seijuurou x Kuroko Tetsuya

Rate : M (for Save)

WARNING : OOC, Typo dimana-mana, alur/tema acak-acakan(butuh perbaikan), Slash, untuk kamu haters bl saya harap jangan sekali-kali buka ini fic. Hanya untuk usia +18, yang belum cukup umur jangan nekat kecuali nakal kayak saya :v

Genre : AU, Romance, Drama, Hurt

Original Story by

Ichigo Naruse

Ini merupakan cerita fiksi biasa, apabila terdapat

Kesamaan Tokoh maupun Cerita itu semua murni kebetulan semata

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Bagaimana pendapat anda tentang kondisi pasien di Rumah Sakit ini ?".

"Apa anda akan mendonasikan sebagian besar keuntungan anda bulan ini untuk membantu para pasien dirumah sakit ini ?".

"Kami ingin tahu mengapa seorang bangsawan Akashi mau mengunjungi rumah sakit jiwa di tengah kesibukannya yang sangat padat !".

"Tolong beri kami sedikit penjelasan !".

"Akashi-sama !".

"Apa benar jika Akashi Royal Group mendirikan rumah sakit jiwa ini hanya untuk sekedar menarik minat perusahaan lain untuk bekerja sama ?"

"Kami dengar anda telah mendapatkan keuntungan yang berlipat karna telah mendirikan rumah sakit ini, apa itu benar ? Tolong beri kami sedikit jawaban !"

Suara-suara ricuh yang keluar dari mulut wartawan tak henti-hentinya dilontarkan kepada sang anak dari bangawan terkemuka di Asia. Ya, siapa lagi kalau bukan Akashi Seijuurou. Eksekutif Muda yang saat ini sedang naik daun berkat kepiawaiannya dalam menjalankan bisnis perusahaanya.

Pria yang sekarang memasuki usia 21 tahun ini mampu mengendalikan bahkan mendirikan empat cabang perusahaan sekaligus dalam kurun waktu kurang lebih enam bukan ini, hal yang bahkan sulit dilakukan direktur perusahaan profesional sekalipun.

'Tidak ada hal khusus, aku hanya memang ingin membangun rumah sakit atas dasar manusiawi. Bagaimanapun juga aku tidak bisa membiarkan orang yang sedang sakit menderita diluar sana." Begitu tutur singkat yang keluar dari bibir sang Tuan Muda Akashi yang sebentar lagi akan mewarisi bisnis besar keluarga Akashi itu.

"Lalu bagaimana dengan berita bahwa Akashi Royal Group akan mendonasikan sebagian besar penghasilannya bukan ini untuk rumah sakit ini ? Apa itu benar ? Apa itu disebabkan karna perusahaan luar negeri yang meminta ?".

"Tidak, itu tidak ada hubungannya".

Tuan muda Akashi itu lalu pergi meninggalkan sekumpulan wartawan yang tak henti-hentinya melontarkan pertanyaan yang jika dijawab akan semakin bertambah itu dengan beberapa asisten dan pengawal yang sudah dapat memberesi kericuhan tadi.

"Aku bisa pergi sendiri, kalian urusi saja pekerjaan kalian".

"Baik Akashi-sama". Balas asisten dan pengawal pribadi Seijuurou.

.

.

.

.

"Setiap pasien akan mendapatkan perawatan dan fasilias sesuai dengan kebutuhannya. Bahkan ada beberapa pasien yang mendapat ruangan khusus sebagai bagian dari pengobatannya".

"Ruangan khusus ?"

"Ya, tidak semua. Karna hanya pasien dengan tingkat tertentu saja yang akan mendapatkan tempat khusus itu."

"Tingkat tertentu ? Pasien seperti apa itu ?"

"Kami menemukan pasien dengan penyakit yang sulit disembuhkan. Memang tidak banyak, tapi pasien ini lebih dari cukup untuk membuat para perawat kewalahan."

"Ada berapa pasien dengan tingkat khusus seperti itu ?"

"Satu pasien dengan trauma akan suara manusia. Ia akan tak terkendali jika mendengar suara manusia. Pasien satu lagi penyakitnya tidak diketahui, selama kami menangani pasien ini kami tidak mendapat reaksi berbahaya dalam bentuk apapun. Hanya saja pesan dari panti asuhan yang menitipkannya berkata kalau pasien ini harus diletakkan di ruangan khusus yang tidak dapat dikunjungi sembarang orang. Padahal ia tidak pernah memberontak bahkan pada saat sendiri." Ujar panjang lebar sang dokter yang notabene sebagai pemilik rumah sakit sekaligus sahabat Akashi Seijuurou itu.

"Aku baru mendengar hal yang seperti itu. Apa ada kelainan lain selain psikis ?" Balas Akashi sambil berjalan di koridor rumah sakit dengan sang dokter.

"Aku belum melakukan pemeriksaan lebih lanjut tentang pasien itu. Lagi-lagi pihak perusahaan memerintahkan untuk tidak melakukan hal yang tidak perlu pada pasien itu. Kami hanya bisa mengamati. Kecuali jika pasien ini telah diadopsi oleh orang lain, mungkin dapat dlakukan pemeriksaan lebih lanjut."

"Apa ia sudah berkeluarga ?" Balas Akashi sedikit heran.

"Tidak, ia masih muda. Pemuda ini berkisaran berusia 17 tahun. Tubuh kecil dan fisik yang lemah membuat ia tampak tidak tumbuh normal."

"Apa itu salah satu penyebab trauma psikisnya ?"

"Aku pikir tidak."

"Kau berkata tidak sembarang orang dapat mengunjunginya. Jika sekarang aku ingin bertemu dengannya sekarang apa kau akan mengizinkan ?" Akashi sedikit mendengus.

"Tentu saja, kau pemegang alih tempat ini."

Tak lama kemudian datang seorang pemuda berpakaian serba putih dan memakai masker menghampiri dokter.

"Dokter, pasien ruang 027 dilantai empat mendadak histeris dan menghancurakan beberapa barang. Kami kesulitan untuk memberikan obat penenang karna ia telah melukai beberapa perawat lainnya."

"Beri ia tisu bius dan pastikan dosisnya tepat. Tangani selagi kalian bisa, mintalah bantuan perawat lain yang sedang tidak bertugas. Aku akan segera kesana."

"Baik dokter." Perawat itu pergi setelah mendapat perinta dari pemuda berseragam serba putih yang ia panggil dokter tersebut.

"Sepertinya kau sedang sibuk, Shintarou." Akashi berkata setelah melihat Midorima yang sepertinya harus turun tangan dalam menghadapi pasien itu.

"Aku pikir perawat-perawat itu masih dapat menanganinya." Ujar Midorima tak enak hati.

"Kau bisa pergi."

"Apa kau yakin ? Aku akan mengunjunginya nanti."

"Hn. Pergilah setelah kau antar aku ke ruangan pasien itu."Ujar Akashi sengaja. Midorima berkata tidak ada yang boleh mengunjungi pasien itu selain ia dan perawat. Secara tidak langsung itu menyinggung Akashi yang notabene sebagai pemilik rumah sakit ini.

"Baiklah kalau itu maumu." Balas Midorima singkat tak ingin memperpanjang masalah dan langsung mengantar Akashi keruangan pasien itu.

"Kau adalah pengunjung pertama yang aku izinkan untuk bertemu pasien itu. Sebelumnya belum ada pengunjung yang datang kecuali aku dan para perawat. Ada hal yang aku tidak ketahui sehingganya pihak panti asuhan yang menitipkan pasien itu melarang sembarangan orang untuk mengunjunginya." Lanjut Midorima dan berharap Akashi mengerti maksud perkataanya dan tidak menjadi salah paham.

"Aku mengerti."

Butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk menuju ke ruangan pasien yang ada dilantai lima tersebut. Sesampainya disana, Midorima menyarankan Akashi untuk memakai pakaian khusus yang mirip seperti pakaian saat operasi berlangsung. Awalnya Akashi heran karna yang akan ia kunjungi hanya pasien dengan penyakit jiwa yang tidak awam, bukan seorang pengidap virus berbahaya.

Entah makhluk apa yang telah merasuki Tuan Muda Akashi tersebut sehingga dirinya yang biasanya tidak tertarik dengan hal-hal yang tidak penting tersebut meminta diantar keruangan pasien rumah sakit jiwa yang bahkan tidak ia ketahui rupanya.

"Apa perlu aku temani ?"

"Tidak perlu, beritahu saja apa yang harus aku lakukan."

"Kau hanya perlu bersikap sesuai dengan keadaanya. Aku yakin kau akan mengerti saat melihatnya nanti". Jawab Midorma sembari membetulkan letak kacamatanya.

"Baiklah." Midorima pergi meninggalkan Akashi diruangan pasien tersebut.

Sementara itu Akashi tidak menyadari bahwa sahabat kecilnya itu sedang mengatakan sesuatu dengan pelan sambil melenggangkan kaki indahnya kekoridor rumah sakit. Sangat pelan, sehingga ucapan itu lebih tepat jika disebut dengan gumaman.

Suara pintu berlapis kaca buram yang bergeser dari tempatnya menyapa pemuda beriris Osean itu, membangunkannya dari tidur yang lelap. Sedikit terkejut tatkala melihat ada orang asing yang datang. Tidak seperti biasanya yang masuk dari pintu kaca itu hanya perawat dan sang dokter, kali ini yang masuk adalah pemuda tampan beriris hetekrokom yang terlihat asing bagi sang pasien itu.

Sekali lagi, entah setan apa yang telah merasuki Putra semata wayang Akashi itu. Sehingganya untuk pertama kalinya matanya tidak dapat beralih dari iris jernih sebiru lautan yang memandang heran kearahnya. Wajah datarnya tidak dapat menghapus rasa penasaran pemuda yang berada didepanya, sekilas pemanangan yang tersaji didepan mata Akashi tampak tak asing, membuat mata merah-kuning-nya tak henti-hentinya memandang takjub.

Indah.

Satu kata yang dapat menggambarkan keadaan yang tersaji indah didepan mata Akashi tersebut. Iris sejernih dan sebiru lautan, kulit seputih salju dan semulus bayi, surai biru dan tubuh mungil memanjakan pemandangan pemuda yang tengah terdiam didaun pintu tersebut. Wajah polos nan lugu serta tatapan kosong itu tak henti-hentinya menampakkan raut wajah lucu yang akan membuat geli.

"..."

Tidak ada yang memulai percakapan. Akashi bingung apa yang harus dilakukannya pada pemuda yang sedang duduk ditepi ranjang itu.

Tepat sesaat setelah pemuda manis itu memandangi Akashi, pandangan matanya menajam. Seolah-olah sedang berusaha mengenali seseorang yang perlahan berjalan menghampirinya. Dahi yang mengerut, alis yang saling bertautan menghiasi wajah polos dan lugunya. Akashi yang menyadari itu langsung menhentikan langkahnya, ia yakin ia tak melakukan sesuatu yang salah. Apa yang telah dikatakan Midorima masih diingatnya. 'apa anak ini trauma akan orang asing ?' batin Akashi.

"To-tolong, ja-jan-ngan .. . ..." Pemuda baby blue itu terbata-bata mengucapkan perkataannya, seperti sedang diancam.

"Hei, tenanglah. Aku tidak bermaksud melukaimu." Balas Akashi setenang mungkin.

"Ku-kumo-hh-hon ja-ngan... " pemuda itu berinngsut ke dekat tepi ranjang, sebisa mungkin menghindari Akashi yang sebenarnya sudah sejak tadi berdiam diri.

"Tenanglah, aku tidak akan melukaimu."

"Ooisan, niikun, kumo-hon le-pas-kan aku ..." Keringat dingin terlihat bercucuran diwajah pemuda ini, terlihat wajah takut dan kepanikan yang sangat luar biasa. Tubuh mungilnya yang berusaha menjauh perlahan mendekati tepi ranjang dan hampir terjatuh jika tidak Akashi tarik ia kepelukannya.

"H-hei ! Kau akan terjatuh !" Akashi refleks menarik dan mendekatkan pemuda itu kedirinya.

"Aa-aaa-aa" Wajah pemuda itu memucat, mulutnya menganga.

"AAAAAAAAAAAAAA ! LEPASKAN AKU ! AAARRRGGHHHH !" Pemuda itu benar-benar menjerit sejadi-jadinya tepat saat Akashi menarik kepelukannya.

"Tenanglah ! Aku tidak melukaimu." Akashi tak habis pikir, inikah yang Midorima sebut tidak pernah menunjukkan reaksi pemberontakan dalam bentuk apapun ? Kalau iya, tolong ingatkan untuk melemparkan sesuatu yang tajam kearah wajahnya itu.

"TIDAAAAKK ! JANGAN APA APAKAN AKU ! AAAAAAARRRGGGGHHHH !"

"Apa yang sedang terjadi ?" Midorima masuk setelah mendengar teriakan dari dalam sana. Ia melihat betul bagaimana pasien yang biasanya selalu tenang itu meronta-ronta pada sahabat merahnya itu. Akashi berusaha menenangkan pemuda itu dengan mengunci pergerakanya sebelum para perawat membiusnya dengan obat penenang.

.

.

.

.

.

Hening. Tak ada yang memulai pemicaraan. Tak ingin memperburuk suasana, Midorima berusaha membuka obrolan

"Aku yakin sebelumnya ia tak pernah seperti itu."

"Apa kau menuduhku." Sarkas Akashi.

"Tidak, jangan salah paham. Aku benar-benar tak tahu harus bagaimana. Semua ini bisa dijelaskan jika dilakukan pemeriksaan lebih lanjut."

"Kenapa tidak kau lakukan ?"

"Aku tidak bisa."

"..."

"Apa yang kau tahu tentang pemuda itu ?"

Midorima diam sejenak, ternilat samar ia menghela napas.

"Pemuda itu bernama Kuroko Tetsuya. Tidak ada hal khusus tentang dirinya, ia hanya pemuda berusia 17 tahun yang suram. Asal usul dirinya bahkan keluarganya tidak diketahui."

"Sudah berapa lama ia ada disini ?" selidik Akashi.

"Selang satu bulan setelah rumah sakit ini didirikan" jawab Midorima berusaha tenang sambil membetulkan letak kacamatanya.

Akashi berpikir, ada yang tidak beres dengan semua ini. Apa yang telah terjadi hari ini seperti sebuah pecahan puzzle yang tidak beraturan. Masih ada banyak bagian yang hilang. Entah bagaimana bisa Akashi tidak bisa berhenti memikirkan pemuda manis yang sedang terbaring didalam sana. Ia seperti tidak asing dengan tatapan kosong pemuda itu.

Akashi ingin mengatakan sesuatu jika ponsel mewahnya bergetar tanda ada panggilan masuk.

"Apa kau ingin pergi ?" Melihat Akashi yang sudah selesai mengangkat telponnya.

"Hn, aku ingat ada rapat di kyoto. Aku harus berangkat sekarang juga, rapat dimulai setengah jam lagi." Menginngat berbagai fasilitas fantastis yang tersedia untuk pewaris kekayaan keluarga Akashi itu hal yang diluar logika menjadi mungkin. Perjalanan dari Tokyo menuju Kyoto yang jika ditempuh dengan jalur biasa membutuhkan waktu kurang lebih dua sampai tiga jam menjadi hanya beberapa menit dengann jet pribadi miliknya.

"Baiklah, akan aku kabari jika ada perkembangan tentang pasien itu. Hubungi aku jika kau membutuhkan sesuatu."

"Hn." Akashi melenggangkan kakinya keluar rumah sakit.

Ia tahu. Ia tahu betul ini akan terjadi. Bagaimanapun juga ini adalah hal yang tidak bisa ia hindari. Bingung, sangat bingung ia harus berada dipihak mana. Ini seperti buah si malakama. Disatu sisi ia ingin membahagiakannya, bagaimanapun juga dia adalah orang yang ia cintai. Tetapi disisi lain ia tidak bisa membiarkan ini terjadi, semua sudah salah sejak awal, dan jikalaupun memang prediksinya benar, Akashi akan kembali mencari Kuroko walaupun ia tak ingat masa lalu. Ini adalah haknya, ia tak bisa merampas kebahagiaan sahabat kecilnya. Demi apapun. Jika diizinkan, ia ingin kembali ke masa lalu dan menghabisi orang itu. Ialah pangkal dari semua kekacauan ini.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Kami sebagai bagian dari managemen konstruksi berencana membuat bangunan hotel ini bergaya seperti bangunan Eropa klasik."

"Ini adalah setengah dari rancangan yang telah kami susun, silahkan." Sambung lelaki berjas hitam yang membawa setumpuk ketas dan memberikannya pada sang meneger perusahaan.

"Ada berapa arsitektur dalam proyek ini?" tanggap pria yang disebut-sebut sebagai menegemen perusahaan itu tanpa melihat setumpuk kertas yang diserahkan kepadanya.

"Total terdapat 12 arsitektur profesional yang sebagian besar berasal dari London."

"Baiklah, teruskan pembangunan seperti yang telah kita bahas pada rapat sebelumya." Meneger perusahaan yang sedari tadi berdiri itu duduk dan melepas kacamatanya, kemudian matanya terfokus pada lelaki yang berada di samping kirinya. Lelaki itu memasang wajah datar nan tegas memandang para karyawan dan pegawai perusahaannya yang duduk melingkar dimeja rapat elit.

"Tidak ada yang berubah, semua tetap berjalan sesuai dengan rencana yang telah kita bahas sebelumnya. Akan ada banyak tamu penting yang datang besok untuk melihat proses pembangunan hotel. Percepat pembangunan dengan menambah pekerja dan arsitektur. Jangan mengambil arsitektur dari luar jepang, ambillah dari daerah nagoya dan kanto. Rapat akan kita lanjutkan delapan hari lagi. Itu saja."

Semua anggota rapat berjalan meninggalkan ruangan rapat dan menuju ruangan mereka masing-masing, tanpa terkecuali sang presdir dan meneger-nya. Mereka berjalan menuju ruangan mereka yang berada dilantai paling atas. Meneger perusahaan bertubuh ramping dan berwajah lembut ini tersenyum saat melihat Tuan Muda sekaligus Presdirnya itu berjalan mendahuluinya.

"Saya tidak tahu kalau anda tahu banyak tentang dunia arsitektur, presdir."

"Arsitek yang merancang bangunan rumahku adalah arsitek yang berasal dari Kanto. Dijepang terdapat banyak arsitek berbakat namun tidak begitu terkenal."

"Saya bahkan tidak tahu akan hal itu." Jawabnya sambil berusaha menyamai langkahnya dengan Tuan Muda Akashi itu.

"..."

"Mibuchi."

"Ya, tuanku ?"

"Ubah tempat dan jadwal rapat besok mejadi lusa, masih ada hal yang perlu aku urusi." Akashi menghentikan langkahnya sambil melihat arloji mewah yang setia bertengger di pergelangan tangan mulus itu.

"Baik tuanku, apa ada hal lain yang dapat aku lakukan ?"

"Tidak, lanjutkan pekerjaanmu."

"Baik, tolong hati-hati dijalan tuan." Seketika ia tahu bahwa tuan mudanya itu pasti akan pergi lagi keluar kota seperti biasanya. Ya, Mibuchi sudap paham betul sikap dan kebiasaan tuan muda kesayangannya itu. Ia sudah bersama dengannya selama setangah dari usianya. Tidak sebagai meneger karna dunia perbisnisan Akashi dimulai tak lama setelah ia lulus sekolah menengah, ia bahkan sudah ada sebagai pelayan pribadi anak semata wayang keluarga Akashi itu.

Dreeettt dreeettt dreett

Ponsel Akashi bergetar tanda ada pesan masuk. Ia melihat kelayar ponsel canggihnya dan tersenyum lembut.

From : Okaa-sama

To : Anakku

Anakku, ibu sedang ada di tokyo.

Ibu merindukannmu.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Apa semuanya berjalan dengan lancar, Seijuurou ?"

"Ya, tidak ada masalah."

"Bagaimana dengan kuliahmu ?" Tukas pria paruh baya yang sedang menyantap makan malam ala Eropa Klasik di meja makan mewah kediaman Akaashi. Suaranya yang tegas mengisyaratkan bahwa ia selalu memegang kendali, baik itu keluarga maupun perusahaan

"Seperti biasa, tidak ada masalah."

"Apa yang terjadi dengan perusahaan ? Apa kau dapat menanganinya ?"

"Untuk saat ini aku sedang mengurusi pembangunan hotel, pembangunan difokuskan untuk daerah-daerah yang cukup berpengaruh dijepang."

"Apa rencanamu selanjutnya ?"

"Untuk kedepannya aku ingin membuka pertambangan minyak, gas dan batu bara. Aku sudah membeli beberapa lahan. Mungkin untuk kedepannya aku akan mencoba banyak jenis pertambangan. Ini sangat bagus untuk investasi mendatang." Ujar Akashi sambil menyantap makan malamnnya.

"Aku dengar kau membuka rumah sakit jiwa, apa tujuannmu ?"

"Untuk investasi, beberapa donatur lebih dominan pada rumah sakit yang menampung banyak pasien tidak mampu. Sebagian besar donatur merupakan client yang sangat berpangaruh terhadap proyek yang sedang aku jalankan."

"Bagus, teruskan rencanamu itu. Kuliah dan perusahaan adalah hal yang penting, teruskan tanpa membuat salah satu dari keduanya goyah. Jika itu bisa kau tangani kau dapat melakukan segalanya."

Hanya itulah yang selalu terjadi jika sang anak dan ayah bertemu di kediaman mewah Akashi. Suara dentingan yang terjadi akibat sendok dan garpu beradu tampar memenuhi ruangan yang sangat mewah tersebut, seolah-olah sedang terjadi perang dapur. Benar-benar dingin, keluarga tersebut tidak pernah membicarakan hal yang biasanya dibahas pada keluarga pada umumnya. Sang ayah hanya akan menanyakan bagaimana Akashi dapat mengendalikan hal-hal yang ia titipkan padanya. Hal itu yang membuat hubungan antara anak dan ayah menjadi renggang, semua yang terjadi hanya sekedar formalitas semata. Hanya sang ibu lah yang dapat mengisi kekosongan dihatinya. Sosok ibu yang selalu berusaha memberikan kasih sayang yang tak ia dapatkan dari ayahnya..

"Sei, apa kamu makan dengan teratur ?"

"Tentu Okaa-sama, aku selalu berusaha menjaga kesehatan sebaik mungkin." Pandangannya melembut, berbeda pada saat mata Hetekrokom-nya memandang tajam kearah ayahnya.

"Syukurlah, aku tidak bisa tenang. Memang seharusnya aku tidak ikut saja, pergi jauh meninggalkan anakku sendirian benar-benar menyiksa." Wanita cantik bersurai semerah darah ini menunjukkan raut wajah cemas tatkala putra semata wayangnya terlihat lelah.

"Jangan khawatir Okaa-sama, aku masih bisa menjaga diri." Balas Akashi paham kecemasan ibunda tercinta.

"Selesaikan makanmu dan mandilah, akan aku siapkan air hangat dan coklat panas untukmu."

"Terima kasih, Okaa-sama."

Sinar rembulan masih setia mengisi ruangan gelap tidak bernyawa itu, dapat dilihat seorang pemuda tengah melepas penat berbaring di ranjang berukuran king size. Entah kemana perginya pakaian formal yang barusan ia kenakan saat menemui ayahnya, hanya piyama sutra tipis yang menyelimuti tubuh mulusnya.

Wajah dinginnya menunjukan air wajah kasar, teringat ia akan makhluk biru yang ia temui pagi tadi. Matanya, seakan-akan menunjukan potongan-potongan puzzle yang harus ia susun. Betapa ia ingin melihat kedalam lagi, lebih dalam agar dapat menemui berbagai hal yang harus ia ketahui. Sempat terlintas sedikit ingatan samar yang makin meyakinkan bahwa ia memang mengenal pemuda itu. Samar, sangat samar namun tak asing, membuatya dilema. Ini seperti De Ja Vu, semakin larut dalam ingatan ambigu membuat kelopak metanya enggan diajak berkawan. Perlahan menjauh dari sang rembulan yang masih ingin bertegur sapa dengannya. Berjalan menuju dunia mimpi yang membawanya ke dalam kenangan tabu.

"Berjanjilah untuk selalu bersamaku."

"Aku tidak akan pernah meninggalkanmu apapun yang terjadi, Akashi-kun."

Sementara itu disuatu kota jauh disana, tampak seoarang pemuda lengkap dengan pakaian formal dan kacamatanya sedang bercakap dengan gadis diseberang sana. Ponsel slim metalik menemani perbincangan mereka.

"Aku tahu itu, tapi bagaimanapun juga dia lah yang telah mendirikan rumah sakit ini. Sedikit banyak ia akan tahu dan aku tidak bisa menyembunyikan apapun darinya."

"Tapi setidaknya kau bisa memberitahuku kan?"

"Tidak akan sempat, kau tahu ka-"

"Kalau begitu sembunyikan dia, bagaimanapun juga akulah orang yang telah menemukannya."

"..."

"Aku tidak ingin kehilangan malaikatku untuk yang kedua kalinya. Tidak akan ada lagi mimpi buruk untuknya, aku sudah terlalu banyak mengorbankan banyak hal. "

"Aku tahu. Tapi kupikir Akashi lah yang berhak atas semua ini sebab-"

"Cukup ! Aku tidak ingin mendengar itu lagi ! Yang perlu kau lakukan hanya menjauhinya, itu saja. Ini masih dalam perjanjian bukan ? Aku tidak menerima penolakan dalam bentuk apapun."

"..."

"Kau mencintaiku, kan ?"

"Ya."

"Kalau begitu lakukan, Midorima."

~To Be Continue~


A / N

Hallo, ketemu lagi sama saya ^^/

Gimana ? kangen ? ohh saya juga kangen banget sama kalian *dihajarmassa*

Kaget ? ohh pasti kalian kaget liat, maaf saya tidak bisa menyembunyikan fakta bahwa saya fujo-_ ini semua semenjak saya tau ff dan beginilah jadinya *gakadayangtanya* *dikacangain* oke saya tau saya keterlaluan, post fic baru tapi ifc lama saya terlantarkan :v

Bukannya saya bermaksud buat menelantarkan fic saya yang kemarin, tapi jujur ini fic lama dan saya sudah lama membuat fic ini tapi ga saya publish dan kependem di pc. Pas mau ngerjain tugas ternyata saya punya fic yang beginian :v

Saya ga teu harus bilang apa, yang pasti maaf kalau ada yang ga suka dengan tindakan saya ini. Dan makasih buat yang udah mau baca ^^

Oh ya, sekedar pemberitahuan. Mungkin untuk kelanjutan fic saya kayaknya agak lama. Soalnya saya super sibuk dengan urusan kuliah dan kerja. Belum lagi saya yang rencananya bakal cari apartemen karna kuliah saya yang jaauuh dari rumah-_ pokoknya saya super sibuk jadi harap kemaklumannya.

Tapi saya janji bakal lanjutin dan nyicil biar cepet selesai, gimanapun juga bapernya kalian itu tanggung jawab saya :v

Segitu aja, makasih muach muach

Mind to RnR ?

Sign, Fellycia Azzahra