Disclaimer: Naruto, Sasuke, Itachi dll are Kishimoto-san's own characters. I really don't take any profit from every fanfiction that I've made.

Genre: Romance, ? XD

Rate: general T, everybody can read this xD

Warn!: gender-bender, FemaleNaruto!, OOC, typo(maybe), alur gajelas, ide mainstream, kesalahan lain yang tidak di sadari author ^^)v

[ Note: supaya feelnya lebih dapet, temen-temen baca sambil dengerin lagunya Virgoun yang judulnya SURAT CINTA UNTUK STARLA, ya. Kalau belum punya, download dulu gih XD ]

- My Favorite Goodbye -

By.

Mika Kim

Don't like, Please don't reading!

Enjoy

.

.

.

.

Aku melirik gelisah pintu kayu sebuah rumah bergaya minimalis sederhana. Apa wanita memang selalu memerlukan waktu yang lama untuk bersiap jika ingin bertemu dengan orang tua kekasihnya? Bukankah itu berlebihan? Lagipula ini hanya makan malam, ya meskipun untuk mengenalkan Naruto juga kepada Ayah, Ibu dan Aniki, sih.

"Umm, Sasuke-kun?"

Aku menoleh, saat mendengar suara khas seorang wanita dewasa. Seorang wanita berambut merah terang sedang berdiri sambil menatapku dengan senyumannya.

"Bibi?" Tegurku. Namun detik berikutnya mataku terpaku kepada sosok jelita yang berdiri malu-malu di balik punggung wanita berambut merah. Balutan dress selutut berwarna hitam berlengan panjang membuat kulit coklatnya terlihat lebih terang. Rambut pirangnya yang begitu indah ia biarkan tergerai. Cantik sekali.

"Sasuke-kun?" Aku terlalu terpesona dengan sosok Naruto hingga tidak sadar wanita berambut merah yang merupakan Ibu dari wanita yang paling ku cintai itu mengibaskan tangannya di depan wajahku. Aku berdehem, sungguh ini memalukan. Tertangkap basah sedang memelototi anak gadis oleh ibunya sendiri.

"Maaf bibi." Ujarku sambil menggaruk tengkuk yang tidak gatal, ku lihat wanita itu terkekeh. Mataku melirik si pirang "Kau siap?" Ia hanya mengangguk membuat helaian ponynya bergerak lucu.

Kami pun berjalan menuju pintu keluar. Di depan pintu, kedua wanita itu saling memeluk.

"Hati-hati, Naru-chan." Ujar si bibi sambil merapikan rambut anaknya yang sedikit berantakan karena tertiup angin. Naruto, si pirang kesayanganku itu hanya mengangguk.

"Sampaikan ke Ayah, aku tidak makan malam di rumah hari ini" ujarnya sambil mencium pipi sang ibu. Sang ibu hanya mengangguk. Interaksi anak dan ibu ini terasa begitu hangat. Itu membuat dadaku merasakan kenyamanan.

"Kau harus membawa Naru-chan pulang tepat waktu ya, Sasuke-kun"

Heh..

Nada posesif seorang ibu jelas terdengar. Aku hanya tersenyum tipis seraya mengangguk. Ia menyunggingkan senyuman teduh khas seorang ibunya. Sepertinya dia sudah mulai mempercayaiku.

Aku dan Naruto pun masuk kedalam mobil dan segera menuju kediamanku. Sebelumnya, aku sudah memberitahu ibu tentang wanita yang ada disampingku ini. Dan karena ibu sudah sangat ingin bertemu dengan Naruto sebagai emm.. Kekasih anaknya, ia pun mengatur acara makan malam dan mengundang Naruto. Ibu bukannya tidak mengenal Naruto, ingat wanita ini adalah salah satu orang yang bekerja di panti asuhan tempat ibuku menjadi donatur tetap, jadi sedikit banyak ia sudah mengenal tentang Naruto.

Saat ku beritahu undangan itu kepada wanita ini, dia sedikit terkejut dan mengatakan bahwa ini terlalu mendadak. Namun pada akhirnya, ia setuju.

"Sayang, kau terlalu tegang" ku raih tangannya yang terasa dingin, ku genggam dengan erat. Ia menolehkan kepalanya, tersenyum simpul ke arahku dan membalas genggaman tanganku.

"Aku gugup, Sasuke. Meskipun ini bukan pertama kalinya aku bertemu dengan Mikoto-san, tapi rasanya sedikit berbeda. Apalagi, pasti akan ada ayahmu juga 'kan." Ia mencicit pelan. Aku hanya tersenyum geli.

"Tenang saja, ayahku tidak menggigit wanita pirang yang cantik sepertimu, sayang" godaku, alhasil ia memukul bahuku pelan dan jangan lupakan rona merah yang sudah menghiasi pipinya. Lucu sekali, ia mempoutkan bibirnya. Seandainya aku tidak sedang menyetir, aku pasti sudah menciumnya.

Setelah sekitar tigapuluh menit berkendara dan mendengar rungutan-rungutan manja si pirang kesayanganku, akhirnya kami tiba di kediaman uchiha, kediamanku. Aku menggenggam tangannya erat, seakan memberitahunya bahwa tidak ada yang perlu ia khawatirkan.

Kami melangkah menuju pintu utama. Dan tanpa menunggu waktu lama, seorang pelayan sudah membuka pintu untuk kami. Aku masuk sambil menggandeng Naruto. Ku lihat ibuku datang dari arah dapur, menghampiri kami dengan tangan yang terbentang lebar. Wajahnya terlihat senang, lalu ku lirik Naruto. Aku mendengus geli saat ku lihat wajahnya yang tampak gelisah.

"Naru-chaaaan" ibuku langsung menghambur pelukannya ke Naruto. Nampaknya ia sedikit terkejut atas perlakuan ibu kepadanya, ia melirikku. Sudah ku bilang kan, tidak ada yang perlu ia khawatirkan, ku beritahu itu kepadanya lewat tatapan mata.

"Selamat sore, Mikoto-san"

geh!

Sapaan formal macam apa itu? Ibuku terlihat tidak suka. Ia lalu mencubit kedua pipi Naruto dengan gemas, membuat si pirang meringis.

"Panggil aku Ibu, jangan Mikoto-san"

Ppfft..

Apa-apaan wajah terkejutnya itu. Tidak salahkan jika ibuku menyuruh memanggilnya dengan sebutan Ibu, dia kan calon mertuanya. Aku hanya berusaha menahan tawaku agar tidak terlihat terlalu ooc di depan ibu ketika wanita pirangku ini tertawa canggung.

Makan malam ini terasa sangat berbeda. Kehadiran Naruto benar-benar membuat suasana rumah ini menjadi lebih hangat. Aku bahkan mengakui bahwa kemampuan beradaptasi Naruto sangat patut di acungi jempol. Padahal awalnya ia sangat malu dan canggung, lama kelamaan ia menjadi bagian dari keluarga super flat kami. Bahkan ayah yang selalu diam saja kini terlihat lebih banyak tersenyum karena tingkah konyol ibu dan Naruto yang sangat berisik di meja makan.

"Ekhem" aku berdehem, berharap kedua wanita itu berhenti berulah. Anikiku, Itachi tersenyum geli. Well, sudah ku duga ia pasti iri ketika ia tahu bahwa kekasihku jauh lebih cantik dari si rubah liarnya. Kedua wanita itu berbalik sebentar untuk melihatku, kemudian saling berbisik. Entahlah, aku tidak begitu peduli apa yang mereka bisik-bisikan. Yang jelas, malam ini adalah makan malam terbaik yang pernah ada.

"Ah, kenyang" si pirang berseru. Ibuku terlihat tersenyum. Ayah dan kakak ku sudah kembali ke ruang kerja masing-masing. Hanya aku yang masih ingin bersantai. Aku duduk menatap Ibu dan calon menantunya yang sedang membantu pelayan membersihkan meja. Karena bosan, aku berjalan ke halaman belakang. Mungkin menunggu kekasihku selesai berurusan dengan ibu di bawah sinar rembulan bukan ide yang buruk 'kan? Aku mendudukan diri di ayunan tempat ibu biasanya bersantai. Ah, damainya.

Aku terlalu terpaku dengan bulan yang terlihat sedikit lebih besar malam ini, hingga aku tidak sadar sudah ada mahluk pirang yang duduk di sampingku. Aku menoleh, senyumlah yang pertama kali ku lihat. Ia sedang tersenyum sambil mendongak menatap bulan. Rambutnya terlihat berkilau bergerak karena tertiup angin.

"Bulannya indah ya, Sasuke" ia bergumam, masih setiap menatap bulan. Mataku sampai tidak bisa berpaling dari sosoknya.

"Kau jauh lebih indah, sayang" aku tidak bermaksud menggodanya, karena memang kenyataan bahwa ia jauh lebih indah dari bulan. Dia adalah matahari yang memiliki cahaya yang lebih cerah dari bulan. Ia menatapku dengan senyum malu-malunya, membuatku gemas hingga ku cubit hidung mancungnya.

"Kau pandai sekali menggombal, Sasuke" ia tertawa pelan. Kedua tangannya ia gesekan untuk menciptakan rasa hangat. Ku buka jaketku dan ku sampirkan di bahunya. Ia menoleh, menatapku dengan mata biru cantiknya.

Cup!

Aku mengecup bibirnya. Dia tampak terkejut, namun kemudian tersipu.

"Aku hanya menggombal gadis pirang yang memiliki mata biru yang indah, aku tidak sembarang menggoda wanita" aku yakin serentetan kalimat ini mungkin adalah kalimat terpanjang yang pernah ku ucapkan. That's a new record. Ia menyandarkan kepalanya di bahuku, berusaha menyembunyikan semburat merah di pipinya. Ku kecup puncak kepalanya dan kembali dalam diam menatap bulan bersama.

xxxxxxxx

Ku tatap layar ponselku dengan tatap sedikit kesal. Beberapa kali aku mengecek email berharap ada email baru yang masuk, namun nihil. Kontak masuk ku hanya berisi email dari rekan bisnis ku.

"Hah!" Dengusku. Apa yang sedang si pirang itu lakukan? Sudah dua hari ini ia tidak memberi kabar padaku. Aku tahu, aku sibuk hingga tidak sempat menelfonnya. Namun apa salahnya mengirim email padaku, kan aku bisa membaca selepas bekerja. Bukannya aku tidak mencoba untuk menghubungi ponselnya, sudah. Tapi tidak ada jawaban. Sepertinya aku harus ke panti asuhan untuk menemuinya, persetan jika aku di olok-olok oleh para rekan kerja Naruto, aku sudah sangat merindukannya. Ya, lepas ini aku akan kesana.

Aku turun dari mobilku. Sesuai janji, aku datang ke panti asuhan. Ku langkahkan kaki masuk ke dalam. Beberapa mata menatap ke arahku. Apa sih lihat-lihat? Kalian pikir aku ini apa? Dengusku tidak suka.

Dari ujung koridor aku bisa melihat seorang wanita yang ku yakini seumuran dengan Naruto, seorang wanita yang memiliki rambut seperti permen karet, maksudku warnanya.

"Permisi!" Sapaku singkat. Ia menoleh, sepertinya sedikit terkejut melihatku.

"Uchiha-san?"

Iya, ini aku. Gumamku dalam hati.

"Naruto ada?" Tanyaku to the point. Wanita itu terlihat meringis. Aku mengernyit, ada apa sih? Kenapa wajahnya terlihat seperti sedang kebingungan.

"Haruno-san?" Tegurku karena ia tak kunjung menjawab. Ia mendongak menatapku.

"Ano, Uchiha-san. Naru sudah dua hari ini tidak datang, aku mendapat kabar dari Bibi Kushina kalau Naru sedang di rawat di rumah sakit."

Hah?

Di rawat?

Aku langsung meninggalkan panti asuhan itu, mengabaikan panggilan-panggilan si rambut permen karet. Yang ada di pikiranku saat ini adalah Naruto. Dengan beribu pertanyaan tentu saja. Bisa-bisanya hal sepenting ini tidak aku ketahui sama sekali.

"Damn!" Ringisku sambil memukul setir mobil.

Aku berjalan terburu-buru memasuki rumah sakit terbesar yang ada di konoha. Aku menuju tempat resepsionist dan bertanya tentang pasien bernama Namikaze Naruto. Tanpa membutuhkan waktu lama, resepsionist itu pun memberitahukan bahwa Namikaze Naruto di rawat di kamar VIP Jasmine no 112. Tidak membuang waktu aku langsung berjalan menuju kamar itu.

Aku menarik napas saat berada di depan pintu kamar VIP itu. Entah kenapa membayangkan wanita yang ku cintai sedang berbaring lemah membuat dadaku terasa sedikit sesak. Aku menyingkirkan jauh-jauh imajinasi buruk ku. Ku raih knop pintu dan membukanya pelan. Pintu itu terbuka, aku bisa mendengar suara gelak tawa dari dalam kamar itu. Aku melangkah masuk, dan orang yang pertama menyadari kehadiranku tentu saja adalah Naruto.

Aku diam terpaku di tempat, menatap si wanita pirang yang sudah mengubah duniaku terduduk di atas tempat tidur dengan infus yang menancap di tangannya. Wajahnya terlihat sangat pucat, dan rambut pirangnya terlihat kusam. Aku melangkah mendekatinya, ia tersenyum. Masih terlihat cantik, senyuman itu adalah senyum yang sangat ku rindukan. Dalam kamar itu, ia tidak seorang diri. Ada bibi Kushina dan seorang lelaki paruh baya yang sekilas terlihat seperti Naruto dalam wujud laki-laki. Ah, mungkinkah ini ayahnya? Tapi bukan itu yang ingin ku pertanyakan sekarang, tapi bagaimana bisa Narutoku berada di sini.

"Naruto.." Aku mencicit pelan. Bibi Kushina dan lelaki pirang itu sepakat untuk keluar. Mungkin ingin memberiku kesempatan untuk berdua dengan putri mereka. Ku melirik saat kedua orang itu menghilang di balik pintu, lalu kembali menatap si pirang, menuntut penjelasan.

"Sasuke.." Panggilnya dengan suara serak. Senyumnya masih setia menghiasi wajah cantiknya yang terlihat pucat. Aku ingin marah, tapi bukankah terlalu kejam jika aku melampiaskan kekesalanku sekarang kepadanya dalam kondisi seperti ini?

"Kenapa kau tidak memberi tahuku kau masuk rumah sakit?" Tanyaku langsung setelah duduk di samping tempat tidurnya. Ia hanya terkekeh hingga matanya menyipit. Geh, kenapa ia tidak menjawab. Tangannya malah terangkat dan mengelus lembut pipiku. Ugh, aku jadi luluh.

"Maaf, ponselku tertinggal di rumah" jawabnya terdengar menyesal. Baiklah, lupakan tentang hal itu. Aku menatapnya dengan tatapan menyelidik. Ku genggam tangannya yang ada di pipiku. Tangannya terasa dingin.

"Apa yang terjadi? Kenapa kau bisa di rawat di rumah sakit?" Aku bertanya, jujur saja aku sangat penasaran. Dan aku sama sekali tidak ingin mendengar kabar buruk seperti ia menderita penyakit kronis seperti di drama-drama yang sering di tonton ibuku. Semoga saja tidak.

"Aku hanya kelelahan, hehe" ia menyengir polos. Aku memicingkan mata, kurang yakin dengan jawabannya.

"Benarkah? Jangan berbohong padaku!" Ujarku mutlak. Dan apa itu? Ia baru saja mendelik. Pipiku lalu di cubit dengan cukup keras, membuatku mengernyit karena merasa perih.

"Iya, cerewet! Aku kelelahan, akhir-akhir ini pekerjaanku di panti sangat banyak dan aku sering telat makan"

What?

Ini benar-benar tidak bisa di tolerir. Aku kan sudah berulang kali mengatakan bahwa ia tidak boleh telat makan. Setiap saat aku mengingatkannya akan hal itu, aku merasa di khianati. Kembali tangannya mengusap pipiku pelan.

"Maaf. Tapi sungguh, aku tidak apa-apa. Jangan khawatir" ujarnya lembut. Kuraih tangannya lalu ku kecup lama. Mana mungkin aku tidak khawatir, perintah macam apa itu.

"Bagaimana bisa aku tidak khawatir kalau orang yang sangat aku cintai sedang sakit, hm?" Tangannya masih ku kecup. Rona merah muncul di pipi pucatnya.

"Hehe, terima kasih, Sasuke"

"Iya, sayang"

xxxxxxxx

Angin berhembus cukup kencang hari ini. Ku tatap punggung kecil yang terlihat rapuh sedang membelakangiku. Rambut pirangnya yang terlihat lembut bergerak-gerak tertiup angin bersinar di bawah cahaya matahari sore. Ku langkahkan kakiku untuk mendekatinya. Bunyi derap langkah kakiku membuat kepalanya menoleh. Wajahnya yang pucat terlihat datar untuk beberapa detik hingga tergantikan oleh senyuman cantiknya.

"Sasuke.." Suaranya yang lemah lembut menyapa indera pendengaranku. Aku mendudukan diri di sampingnya setelah mencium puncak kepala pirangnya. Senyuman masih setia menghiasi bibirnya yang kering. Ia menatapku dengan bola mata birunya yang terlihat sayu.

"Sedang apa disini?" Tanyaku sambil merapikan ponynya yang berantakan karena tertiup angin. Jujur saja, aku tadinya sempat khawatir karna tidak mendapati matahariku di kamar rawatnya. Untung saja aku bertemu dengan bibi Kushina dan memberitahuku bahwa kekasihku ini sedang berada di atap. Sedikit kesal, mengapa ia harus duduk berdiam diri disini. Aku hanya khawatir, cuaca menjelang musim hujan cukup ekstrim. Bagaimana kalau dia sampai masuk angin?

"Aku sedang bosan, jadi aku kesini" jawabnya dengan nada merajuk. Sepertinya ia sedang berusaha terlihat manja agar aku tidak menceramahinya, dasar wanita pirang cantik yang licik. Aku mendengus sambil membuka jaketku dan ku sampirkan di bahunya. Aku tetap tidak ingin angin sore menusuk kulitnya. Ia hanya diam sambil tersenyum kearahku. Mungkin merasa puas karena aku sudah kalah.

Hari semakin sore. Awan mendung menutupi sang matahari di ufuk barat. Aku melirik si pemilik rambut pirang yang menyandarkan kepalanya di bahuku. Ia sedang menutup mata, napasnya juga terdengar teratur. Apa ia sedang tertidur? Ku sibak pony yang menutupi sebagian wajahnya hingga ia menggeliat, mungkin karena tanganku terasa dingin menyentuh kulit wajahnya. Wajahnya terlihat begitu tenang dan damai. Semakin cantik. Aku masih menatapnya saat ia membuka mata. Kelopaknya mengerjap beberapa kali hingga ia memindahkan kepalanya dari bahuku. Ia menguap sampai air matanya tergenang di sudut mata. Ia melirikku.

"Sudah bangun?" Ia hanya mengangguk. Aku lalu meraih kedua tangannya dan ku genggam erat. Ku tatap lurus kedua matanya. Mungkin wajahku saat ini terlihat begitu serius baginya, terbukti ia terlihat mengernyit bingung hingga dahinya berkerut.

"Sayang.. Ada yang ingin ku katakan.." Aku merasa sedikit gugup, hanya sedikit oke? Ingat, aku ini Uchiha Sasuke. Di dunia ini tidak ada yang bisa membuatku takut atau khawatir, ya kecuali wanita di depanku ini tentu saja. Jemarinya mengerat di jemariku, mungkin tidak sabar untuk menantikan apa yang sebenarnya ingin ku katakan.

"Aku ingin menikahimu. Secepatnya." Ucapku tegas. Aku tidak pernah menyangka melamar seseorang akan semengerikan ini. Jantungku sampai berdetak dua kali lebih cepat. Apalagi saat ini, ia hanya menampilkan mimik wajah yang.. Terkejut? Bukan wajah bahagia atau wajah terharu seperti yang biasa ku tonton di channel tv dari negara Indonesia yang khusus menayankan cara-cara seseorang melamar pasangannya.

"Naruto?" Terlalu lama diam membuatku memanggil namanya. Kenapa ia diam saja? Apa ia tidak ingin menikah denganku? Bukankah ia juga mencintaiku? Tidak.. Aku tidak bisa membayangkan jika ia bilang TIDAK. Tolonglah kami-sama, tolong jangan biarkan kata itu keluar dari mulutnya.

Mata birunya kemudian menatapku tanpa berkedip, hingga bulir bening melintasi pipinya. Aku sedikit terkejut hingga sebuah senyuman terkembang di bibirnya. Ia lalu memelukku. Menumpahkan seluruh tangisannya di dadaku. Ku yakin saat ini bagian depan baju kaosku sudah basah. Ku belai lembut kepala pirangnya. Ia masih belum menjawab, tapi sepertinya dia tidak akan menolak.

"Tentu, Sasuke.. Aku juga ingin menikah denganmu"

Ah..

Akhirnya, jawaban yang ku tunggu-tunggu pun keluar juga dari mulutnya. Rasanya seperti ada ribuan kupu-kupu di perutku, dadaku terasa hangat. Perasaan indah ini, lebih hebat daripada saat ia mengatakan ingin jadi pacarku. Ku lepaskan pelukanku. Ku tangkup kedua pipinya dengan tangan. Air matanya ku usap dengan jempol. Ku kecup dahinya lama, membiarkan aroma jeruk dari rambutnya memanjakan indera penciumanku.

"Aku mencintaimu, calon Nyonya Uchiha.." Bisikku setelah melepas kecupanku di dahinya. Hanya senyum malu-malu yang ia tampakkan hingga akhirnya ia kembali menenggelamkan wajahnya yang merona di dadaku. Lucu sekali.

xxxxxxxxx

Hari ini terasa begitu melelahkan. Meskipun sebenarnya bukan aku yang sibuk mempersiapkan pernikahanku, bahkan baju pengantin Naruto, ibu yang sibuk mengurusnya. Tapi tetap saja aku juga lelah. Lelah karena harus menunggu sebulan untuk besok. Ya, besok adalah hari bersejarah di dalam hidupku. Hari dimana aku akan benar-benar memiliki wanita itu seutuhnya, hari dimana aku akan mengubah namanya menjadi Uchiha Naruto. Astaga, aku sampai tersenyum sendiri karena memikirkannya. Beberapa hari yang lalu saat aku makan siang dengan wanita itu, aku masih ingat wajahnya merona ketika aku sengaja menggodanya dengan cara memanggilnya nyonya Uchiha.

Ppfft.. Astaga, wajahnya benar-benar lucu saat sedang malu. Membuatku ingin menelannya bulat-bulat. Memikirkannya membuatku jadi rindu. Apa tidak apa-apa jika aku menelfonnya? Tidak tidak, mungkin saat ini ia sudah tidur. Aku tidak ingin menganggunya dengan menelfon di jam seperti ini. Bisa-bisa aku malah lupa waktu dan mengobrol sampai pagi, karena tidak pernah bosan mendengar suaranya. Lagipula, mulai besok, aku tidak perlu lagi menelfon karena setiap hari aku akan melihat wajahnya, melihat senyumanya dan mendengar suaranya. Ya tuhan, aku benar-benar sudah tidak sabar.

Ku raih ponselku yang terletak di nakas. Ku buka file 'My princess' di ponselku dan tersenyum melihat deretan foto seorang wanita berambut pirang dengan berbagai ekspresi. Aku tersenyum melihat foto itu satu persatu. Foto saat ia sedang tersenyum lebar, foto saat ia sedang cemberut dan foto saat ia sedang kesal. Aku bahkan sampai menahan tawa ketika mengingat bagaimana caraku bisa mendapatkan foto-foto ini. Ia adalah orang yang lemot, jadi selalu saja tidak sadar ketika aku mengambil gambarnya diam-diam.

Seperti saat mengambil fotonya yang sedang tertidur lelap, saat itu ia kelelahan karena membantu menyiapkan makanan untuk teman-teman arisan Ibuku. Dia sampai tertidur di sofa ruang keluarga. Oh, dan saat itu juga aku berhasil mencuri satu ciuman dari bibirnya. Aku hanya tersenyum mengingat betapa aku mencintai wanita yang sebentar lagi akan menjadi istriku ini. Aku terus menatap satu persatu foto itu hingga ku rasakan mataku mulai berat. Well, sepertinya aku sudah mengantuk. Ku putuskan untuk tidur, semoga aku bermimpi indah, bermimpi tentang matahariku.

"Oyasumi, sayang. Sampai jumpa besok" aku bergumam, berharap suaraku tersampaikan ke wanita yang ku cintai itu. Akhirnya ku biarkan rasa lelah untuk membawaku ke dalam buaian mimpi-mimpi yang indah.

Ku tatap pantulan diriku di cermin besar dalam kamarku. Kini tubuh tegapku di balut setelan tuxedo putih dengan dasi kupu-kupu berwarna merah. Helaian pony rambut ravenku yang biasanya ku biarkan menutupi dahiku kini disisir rapi kebelakang, terlihat klimis tapi tetap saja aku terlihat tampan.

Knock! Knock!

Ku dengar pintu kamarku di ketuk. Tanpa menunggu ijinku, pintu itu terbuka hingga menampilkan seorang lelaki yang memiliki perawakan yang sama denganku, bedanya dia sudah keriputan. Dia adalah Itachi, kakakku. Ia masuk dan menatapku dengan matanya yang serupa dengan mataku, mata hitam khas yang di miliki oleh keluarga uchiha.

"Kau sudah besar yah, Otouto. Kau bahkan mendahuluiku untuk menikah." Ia mencetus lebay. Memangnya aku ini akan kecil terus? Aku hanya mendengus mendengar celetukannya yang sok dramatis. Lagi pula siapa suruh dia belum menikahi rubah betinanya itu. Aku menatapnya melalui cermin, ia terlihat tersenyum. Tangannya kemudian menepuk pundakku.

"Kalau kau sudah siap, kita bisa berangkat sekarang. Ayah dan Ibu sudah menunggu!" Aku mengangguk. Ia berjalan terlebih dahulu, aku menatap punggung besarnya.

"Aniki!" Panggil ku pelan. Tangannya terhenti di knop pintu, ia menoleh kepadaku.

"Terima kasih.." Hanya ada senyum lembut khas seorang kakak yang ia tampilkan sebelum menghilang di balik pintu. Aku menghela napas, tidak ku sangka aku mengucapkan kata itu kepadanya. Ku tatap diriku sekali lagi di cermin. Aku masih tampan? baiklah, ini saatnya. Akupun menyusul Itachi.

Mataku tak lepas dari sosok wanita cantik yang tengah bergelayut di lengan seorang lelaki pirang sambil berjalan ke arahku. Ia terlihat sangat cantik dengan balutan gaun pengantin warna putih tanpa lengan. Di bagian bawah gaunnya terdapat renda berwarna merah, terlihat sangat kontras dengan gaunnya yang berwarna putih, sekarang aku jadi mengerti kenapa ibu sangat bersikeras menyuruhku memakai dasi berwarna merah. Rambut pirangnya disanggul indah, membuatnya terlihat lebih dewasa dari biasanya. Di puncak kepalanya juga ada mahkota berlian yang membuatnya benar-benar terlihat seorang putri. Tidak, bukan putri tapi seorang ratu. Iya, dia adalah ratuku.

Kakinya yang terbalut sepatu berhak tinggi warna silver mulai menaiki altar tempatku berdiri. Lelaki yang menemaninya tadi mengecup dahinya hingga turun dari altar, melepas putrinya untukku. Aku tidak tahu seorang ayah akan sesedih itu ketika putrinya akan menikah sampai ia meneteskan air mata. Ku lirik wanita yang ada di hadapanku, dia juga terlihat sedih. Kenapa? Bukankah ini adalah hari bahagia kami? Lagipula, menikah bukan berarti aku akan melarangnya menemui keluarganya kan? Mana mungkin itu ku lakukan?

"Sayang.." Panggilku pelan membuatnya mendongakkan wajah. Ku usap air mata yang mengalir di pipinya dengan pelan agar make up nya tidak rusak. Ku sunggingkan senyumanku, hingga ia ikut tersenyum.

"Kau siap?" Tanyaku kepadanya. Ia menarik napas lalu menghembuskannya pelan dan menjawab. "Aku siap, Sasuke"

Akhirnya janji sehidup sematipun di ucapkan. Ku sematkan cincin emas putih yang di hiasi berlian di jari manisnya, dan diapun melakukan hal yang sama. Setelah itu, ku cium bibirnya lama hingga sorakan dan tepuk tangan terdengar bergemuruh di dalam gedung tempatku melangsungkan pernikahan. Akhirnya, dia resmi menjadi istriku. Namikaze Naruto kini benar-benar berubah menjadi Uchiha Naruto. Aku terlalu bahagia hingga aku terus tersenyum seharian ini saat menyambut tamu yang datang memberikan ucapan selamat atas pernikahanku.

"Ah! Lelahnya!" Keluhku sambil menghempaskan diri di atas tempat tidur kamar hotel berbintang lima yang sudah di booking oleh orang tuaku untuk kami berdua. Hari ini benar-benar melelahkan, aku sampai tidak bisa memperkirakan jumlah tamu yang datang. Kakiku sampai pegal-pegal karena terlalu lama berdiri. Dan berterima kasihlah kepada duo pirang cilik dari panti asuhan, Inojin dan Shion yang datang berusaha merebut Naruto dariku, hingga terjadi keributan kecil. Dasar, bocah-bocah tengik itu sepertinya tidak ikhlas aku menikahi Naruto.

Ku melirik kearah pintu yang di buka oleh seseorang. Ah, ternyata dia Istriku. Ku dudukkan diri di atas tempat tidur saat ia masuk dengan sedikit canggung. Kenapa sih? Apa dia malu karena mulai sekarang kami akan tidur diatas ranjang yang sama? Bukankah itu wajar. Aku ini kan sudah sah menjadi suaminya. Aku hanya tersenyum dalam hati.

Ku curi-curi pandang saat ia berdiri di depan cermin. Alisku terangkat melihat jemarinya sedang berusaha meraih resleting gaunnya. Aku masih diam, senang rasanya melihat ia bertingkah lucu seperti ini. Ia kemudian menoleh kearahku. Menatapku dengan pipi yang merona dan mata yang berkaca-kaca. "S-sasuke, jangan diam saja. Bantu aku" ujarnya malu-malu, Ugh! Demi tuhaaaan, mahluk imut apa ini?

Akupun akhirnya turun dari tempat tidur dan berjalan kearahnya. Ia membelakangiku, kami saling menatap melalui cermin, hingga ia mengalihkan pandangannya. Mataku kemudian menelusuri tengkuk dan lehernya yang tidak tertutupi. Sangat halus, membuatku ingin mengecupnya. Tanpa sadarku ku dekatkan diriku dan mulai menciumi tengkuknya hingga berpindah ke bahu. Ia menggeliat, bisa kulihat melalui cermin wajahnya sangat merona. Tanganku terulur untuk menarik resleting gaunya turun hingga punggung coklatnya kini terekspos tanpa penghalang, sangat indah. Ku peluk tubuhnya dari belakang, menenggelamkan wajahku di bahunya. Aroma Eau De parfum khas perancis memanjakan indera penciumanku.

"Ganti bajumu sayang, lalu istirahatlah. Kau pasti lelah." Bisikku sambil mengecup bahunya. Ia mengangguk lalu berbalik kepadaku. Tanganya memegangi bagian dada gaunnya agar tidak terjatuh. Mata birunya menatapku dengan sangat teduh, menarikku jauh kedalam samudera birunya.

Cup!

Ia mencuri satu ciuman dari bibirku lalu pergi ke dalam kamar mandi. Aku tersenyum. Akupun mengganti baju dan memilih berbaring di tempat tidur. Beberapa menit kemudian ia keluar dengan piyamanya. Aku menariknya hingga jatuh dan berbaring di atasku. Ku peluk kepalanya yang ada di dadaku. Ia kesulitan bernapas hingga aku melepaskannya.

"Sasuke! Aku tidak bisa bernapas tau!" Ia merungut kesal. Aku tersenyum lalu menggigit hidung macungnya. Ku turunkan ia dari atas tubuh ku dan ku peluk erat. Ia pun membalasnya, ah tubuhnya lebih enak di peluk dari pada guling. Sepertinya aku akan tidur lebih nyenyak malam ini.

"Oyasumi, Sayang" bisikku pelan sambil menutup mata. "Oyasumi, Sasuke" balasnya. Kami berdua pun tertidur dalam kehangatan.

Pagi harinya aku bangun dari tidurku. Ah, badanku terasa sakit, mungkin efek kelelahan. Ku lirik tempat tidur yang kosong di sebelahku. Kemana dia? Jangan bilang pernikahanku kemarin hanya mimip? Tidak.. Ini kamar hotel tempatku tidur bersama Naruto semalam. Akupun bangun, berniat untuk mencarinya.

"Naruto?" Panggilku sambil berjalan menuju kamar mandi. Saat aku membuka kamar mandi, mataku melebar. Saat ini Naruto terbaring di lantai kamar mandi yang dingin dengan darah yang keluar dari hidungnya. Aku segera menghampirinya, berjongkok meraih tubuhnya ke pelukanku. "Sayang! Bangunglah, ku mohon!" Aku menguncang pelan tubuhnya. Namun nihil, matanya masih tertutup. Ku bersihkan sisa darah di hidung dan pipinya dengan telapak tanganku. Ya Tuhan, apa yang terjadi dengan istriku. Dengan rasa panik, aku menggendong tubuhnya menuju lobi untuk membawanya ke rumah sakit. Aku bahkan mengabaikan tatapan aneh orang-orang yang ku lalui. Yang ku pedulikan saat ini adalah membawa istriku ke rumah sakit.

"Sayang, ku mohon bertahanlah" aku terus merapal doa untuknya.

xxxxxxxxx

Mataku tak lepas dari sosok istriku yang kini terbaring lemah di atas tempat tidur kamar rumah sakit konoha. Matanya tertutup dengan selang oksigen menempel di hidungnya dan infus yang menancap di tangannya. Sampai saat ini aku masih belum bisa mempercayai apa yang dokter katakan beberapa waktu lalu. Ku rasakan pundakku di tepuk pelan. Aku menoleh dan mendapati Ibu mertuaku yang menatapku dengan mata sembab. Iya, dia menangis saat aku mengabarinya tentang Naruto.

"Maaf, Sasuke-kun.. Kami tidak memberitahumu tentang hal ini sebelumnya. Itu karena Naru-chan yang melarang kami" ujarnya dengan suara tercekat. Aku mengusap tangan lembutnya. Aku tersenyum tipis, berusaha untuk terlihat kuat di hadapan mertuaku. Jujur saja, mengenai Leukimia yang di derita Naruto, benar-benar sukses membuatku syok. Aku sampai meringsut jatuh di ruang dokter saat mendengar hal ini. Bukan hanya aku, ayah dan ibuku juga sama. Mereka tidak menyangka Naruto yang terlihat sehat dan ceria ternyata selama ini menanggung sakit yang luar biasa. Dan aku mengutuk diriku yang tidak tahu apa-apa, suami macam apa aku ini? Aku bahkan tidak tahu tentang riwayat penyakit istriku. Dan kini ia tertidur tanpa tahu kapan ia akan bangun. Aku menggenggam erat jemarinya yang terasa dingin sambil terus mengecup punggung tangannya.

Ah!

Apa ini? Air mataku sampai meleleh. Dadaku terasa sesak luar biasa. Aku menunduk dalam, menyembunyikan wajahku di balik pony, dan terisak pelan.

Aku terkejut dengan mata membola ketika sebuah tangan dingin menyentuh pipiku. Buru-buru ku dongakkan wajahku. Akhirnya, kedua kelopak mata yang menutupi dua batu safir favoritku terbuka meskipun masih sayu. Tangan yang ada di pipiku adalah tangannya. Dengan lemah, tangannya bergerak menghapus air mataku.

"Jangan menangis, nanti kamu tidak keren lagi, Sasuke!" Ujarnya lemah. Ku genggam erat tangannya dan ku cium beberapa kali. Aku tersenyum meskipun kini hatiku terasa di robek melihat wajahnya yang semakin pucat. Senyumannya tidak secerah biasanya. Aku menatapnya sambil menempelkan tangannya di pipiku.

"Kenapa kau tidak memberitahuku tentang hal ini, sayang?" Tanyaku dengan suara parau. Aku tidak tahu kenapa suaraku jadi seperti ini, mungkin karena dadaku terlalu sakit. Ia berkedip lemah hingga air matanya jatuh dari sudut matanya. "Maafkan aku" cicitnya pelan. Aku menggeleng. Ku cium kembali tangannya, berusaha membagi cinta dan rasa sayangku. Tidak ada yang perlu di maafkan, aku yang salah karena terlalu bodoh membiarkannya sakit seperti itu. "Kau akan sembuh sayang, percayalah padaku" ku lihat ia hanya tersenyum lemah. Benarkah ia akan sembuh? Aku hanya berharap Tuhan memberikan keajaiban, semoga saja.

Aku menatap lantai keramik rumah sakit seakan lantai itu adalah satu-satunya pemandangan yang tersaji. Sudah hampir seminggu istriku di rawat di rumah sakit ini, dan aku merawatnya dengan baik. Bahkan kakakku melarangku untuk memikirkan pekerjaan dan menyuruhku fokus menjaga Naruto. Sekarang ini aku sibuk memikirkan kata dokter yang menangani Naruto.

"Uchiha-san, leukimia yang di derita istri anda sudah mencapai tahap terminal atau tahap akhir sebuah kanker. Dengan kata lain, kankernya sudah berada di stadium 4. Itulah yang menyebabkan demam dan pendarahan yang di alami oleh istri anda lebih sering terjadi"

Kenapa?

Kenapa Dokter berkata seperti itu? Apa ia sedang berusaha membuat sebuah drama? Mana mungkin istriku sudah separah itu. Buktinya kondisi Naruto saat ini jauh lebih baik dari beberapa waktu yang lalu. Bohong! Dokter itu pasti bohong.

Aku terus menjambak rambut ravenku frustasi. Aku sampai tidak sadar ibuku sudah duduk di sampingku, menatapku dengan tatapan iba. Aku menoleh dan menatap wajahnya yang terlihat cemas. Aku memeluknya. Menumpahkan seluruh rasa sakit yang ku rasakan di bagian dadaku. Mungkin ini adalah pertama kalinya aku memeluk ibuku lama karena merasa lelah. Tangan lembutnya mengusap kepala ku hingga ku rasakan aku tertidur di pelukannya.

Punggung kecil dengan rambut pirang yang menutupinya adalah objek pertama yang ku lihat saat aku memasuki kamar rawat istriku. Ia sedang duduk menghadap ke jendela, ia tampak termenung. Aku sempat terdiam di ambang pintu memperhatikan tubuhnya yang semakin kurus. Seingatku, dulu ia tidak sekurus ini. Aku berusaha menahan sesak di dadaku dan melangkah masuk.

"Sayang?" Panggilku pelan membuat kepalanya menoleh. Aku berjalan mendekatinya. Aku membantunya berdiri untuk kembali ke tempat tidur karena tidak ingin ia terlalu lama duduk membiarkan angin menusuk-nusuk kulitnya. Ku selimuti tubuhnya hingga sebatas bahu lalu mengusap rambutnya pelan.

"Sasuke.." Panggilnya dengan suara lemah. Aku bergumam pelan sebagai sahutan. Ia meraih tanganku dan menempelkannya di pipi. Kulit dinginnya terasa menusuk kulit tanganku. "Kau hangat, Sasuke.. Aku suka kulitmu" ujarnya dengan mata tertutup, seperti begitu menikmati hangatnya kulitku. Aku menarik kursi dan duduk di sisi tempat tidurnya. Membiarkan ia memeluk tanganku, akan ku temani dia sampai tertidur. "Aku mencintaimu, sayang" bisikku sambil mengecup dahinya ketika napasnya sudah terdengar teratur.

Mataku memperhatikan wajahnya yang terlihat pucat, bibirnya yang biasa terlihat basah kini kering. Rambut pirang cantiknya juga mulai merontok, bahkan terdapat banyak helaian rambutnya di bantal tempat ia menempelkan kepalanya. Ku belai pipinya. Ia menggeliat, masih memeluk tanganku. Kenapa wajahnya terasa lain, aku benar-benar tidak pernah menyangka akan melihat istriku serapuh ini. Tuhan, kau menguji istriku, dan menguji hatiku. Entah aku bisa melaluinya atau tidak. Aku terus diam merenungi takdir istriku dengan terus memperhatikan wajah cantiknya hingga aku juga ikut tertidur.

Suasana di mobil terasa begitu sepi. Aku melirik wanita yang duduk di sampingku. Dia sedang tertidur, wajahnya tampak lelah. Hari ini ia membuatku memohon kepada dokter untuk membawanya keluar dari rumah sakit. Ia merengek padaku bahwa ia sedang bosan dan ingin melihat matahari terbenam di pantai. Aku tidak tahu kenapa dia begitu ingin keluar dari rumah sakit. Meskipun ku akui, sepuluh hari di rumah sakit pasti benar-benar membuat seseorang jenuh. Akhirnya dokter pun mengizinkan karena istriku juga sudah menampilkan wajah memelasnya. Sebenarnya ibuku marah mengetahui hal ini, tapi karena aku mengatakan ini keinginan Naruto yang tidak bisa ku tolak, akhirnya kemarahannya mereda tapi dengan syarat aku harus menjaga menantu kesayangannya.

Kami pun sampai dipantai. Aku sengaja tidak memarkir mobil di tempat berpasir, agar kursi roda yang ku bawa untuk Naruto bisa berfungsi. Aku menyentuh tangan istriku yang masih tertidur. Ia menggeliat dan mengerjap-ngerjapkan mata.

"Kita sudah sampai?" Tanyanya dengan suara sedikit serak. Aku mengangguk mengiyakan. Aku lalu turun dari mobil dan mengeluarkan kursi roda dari dalam bagasi kemudian membuka pintu untuknya. Sekarang istriku bahkan tidak bisa berdiri tanpa bantuanku. Ia sekarang terlalu lemah. Aku mendudukannya dikursi roda dan mendorong kursi itu ke tempat yang menurutku pas untuk melihat matahari terbenam.

Aku duduk di bangku, tepat di sisi istriku. Aku sengaja memakaikan jaket tebal dan syal di lehernya agar angin sore tidak membuatnya kedinginan. Tidak lupa topi rajutan berwarna jingga juga menutupi rambut pirangnya yang sudah mulai menipis.

Matanya tampak sangat bahagia, senyumnya tidak pernah luntur sejak kami mendudukan diri di tempat ini. Ia meraih tanganku, menggenggamnya erat. Aku menoleh, ia masih menatap ke ufuk barat. Aku membalas genggamannya.

"Sasuke.." Suaranya yang lemah membuatku menoleh. "Ada apa, sayang?" Tanyaku dengan lembut. Ia lalu menunjuk seorang pemuda yang sedang memangku sebuah gitar di hadapan seorang gadis. Aku menaikan alis bingung. "Aku juga ingin, suke.." Ucapnya dengan nada manja. Aku hampir tidak bisa berkata apa-apa. Aku sudah mengerti maksud istriku. Dia ingin aku melakukan hal seperti yang dilakukan remaja itu.

"Selama kita pacaran, sampai kita menikah aku belum pernah mendengarmu menyanyi. Sekarang aku ingin, Sasuke. Ku mohon" ia menatapku dengan mata birunya yang begitu memohon. Aku menghela napas pelan lalu beranjak mendekati remaja itu. Syukurlah ia mau meminjamkan gitarnya. Aku kembali, istriku sudah tersenyum bahagia melihatku membawa gitar. Aku bukan musician, tapi di saat jaman SMA ku dulu, aku memiliki band. Meski bukan aku yang jadi vocalis. Jadi aku cukup bisa bermain musik.

Aku sudah memangku gitar akustik berwarna coklat ini sambil menatap wajah istriku. Matanya tak terlepas dariku. Aku mulai memetik senar gitar itu dengan rentetatan-rentetan kunci nada yang terdengar harmoni. Wajahnya terlihat bahagia, aku pun mulai menyanyikan sebuah lagu yang sangat menggambarkan perasaanku saat ini kepadanya.

Ku tuliskan kenangan tentang, caraku menemukan dirimu..

Tentang apa yang membuatku mudah berikan hatiku padamu..

Takkan habis sejuta lagu untuk menceritakan cantikmu..

Kan teramat panjang puisi tuk menyuratkan cinta ini..

Lagu ini membuatku mengingat semua kenangan yang telah ku buat dengan istriku. Saat pertama kali bertemu dengannya, saat pertama berkencan dengannya, saat melamarnya dan saat menikahinya. Semua kenangan itu berputar-putar dalam memoriku bagaikan film romantis. Ia diam, terus menatapku dengan senyuman yang tak pernah luntur di wajahnya.

Telah habis sudah cinta ini, tak lagi tersisa untuk dunia. Karena tlah ku habiskan sisa cintaku hanya untukmu..

Lirik yang mewakili seluruh rasa cintaku padanya ku nyanyikan hingga membuatnya menutup mulut dengan tangan, berusaha menahan haru. Dadaku menjadi terasa sesak. Namun aku masih melanjutkan lagu yang sedang ku nyanyikan untuknya.

Aku pernah berfikir tentang hidupku tanpa ada dirimu. Dapatkah lebih indah dari yang ku jalani sampai kini?

Aku selalu bermimpi tentang indah hari tua bersamamu. Tetap cantik rambut panjangmu, meskipun nanti tak hitam lagi..

Aku tidak sadar meneteskan air mataku di hadapannya. Aku tidak tahu, kenapa aku bisa merasakan sakit ini seperti sesuatu yang benar-benar menusuk bagian dadaku. Tanganku sampai bergetar saat memetik senar gitar. Aku menunduk, tidak sanggup untuk menatapnya.

Bila habis sudah waktu ini, tak lagi berpijak pada dunia. Telah aku habiskan sisa hidupku hanya untukmu..

Dan tlah habis sudah cinta ini, tak lagi tersisa untuk dunia. Karna tlah ku habiskan sisa cintaku hanya untukmu..

Aku berhenti. Aku menumpahkan seluruh air mataku dengan menunduk. Persetan sekarang jika aku sangat tidak uchiha karena menangis di hadapan seorang wanita. Tapi demi apapun, aku tidak bisa menahan sesak di dadaku saat ia juga mulai meneteskan air matanya. Lalu aku merasakan tangan dingin menyentuh pipiku, memaksaku agar mendongak. Ia mengusap air mataku dengan lembut, membuat hatiku semakin teriris.

Untukmu..

Hidup dan matiku..

Bila musim berganti, Sampai waktu terhenti

Walau dunia membenci, Ku kan tetap disini.

Mataku semakin memanas saat mendengar bait terakhir lagu itu dilanjutkan oleh istriku dengan suara parau dan pelan. Aku memindahkan gitar yang ku pangku dan langsung memeluknya erat. Kulit wajahnya yang dingin terasa menyengat pipiku. Tangannya yang lemah melingkar di punggungku. Saat ini aku berdoa kepada Tuhan agar tidak mengambilnya dariku. Sungguh, aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpa dirinya.

"Sasuke.." Ia berbisik pelan di samping telingaku. "Aku lelah, aku ingin tidur.." Ujarnya dengan suara yang hampir tidak terdengar. Ku eratkan pelukanku, tidak peduli dengan kulitnya yang semakin dingin. Aku tidak ingin melepaskan pelukan ini.

"Sayang, ku mohon jangan tidur, sebentar lagi matahari akan terbenam, bukankah itu yang kau tunggu?" Aku berusaha untuk tidak terisak, air mataku kembali tumpah saat ku rasakan dekapannya melonggar.

"Sasuke.. Aku bersyukur memilikimu. Kau tahu? Aku sangat mencintaimu. Kau adalah suamiku yang paling hebat, paling tampan, paling mesum, dan paling berharga.." Aku bisa mendengar kekehannya. Jangan, ku mohon jangan bicara seolah-olah kau sedang memberiku kata-kata terakhir, aku berteriak dalam hati. Ku dekap tubuhnya lebih erat, aku tidak tahu sudah seperti apa rasa sakit yang mendera dadaku sampai aku kesulitan bernapas.

"Sasuke.. Jangan menangis. Aku tidak ingin suamiku yang keren jadi cengeng.."

Tidak! Aku tidak peduli jika saat ini aku tidak keren. Bagaimana mungkin aku tidak menangis, bodoh!

"Berjanjilah, Sasuke. Apapun yang terjadi, kau akan bahagia. Aku mencintaimu. Hanya aku yang pergi, cintaku akan tetap disini, didalam hatimu. Ku mohon, berjanjilah." Aku terdiam beberapa saat hingga akhirnya aku mengangguk pelan. Aku mendengar desahan lega darinya.

"Aku sangat lelah, aku ingin tidur sekarang. I love you, my husband.." Bisiknya pelan, aku mengatupkan bibir untuk menahan isakanku. Aku sudah tidak lagi merasakan dekapan tangannya. Aku bahkan tidak tau bagaimana mengatur napasku. Kulitnya semakin dingin, kepalanya bertengger lemah tanpa tenaga di bahuku.

"Sayang.." Aku memanggilnya pelan berharap ia bangun dan menoleh padaku dengan senyumannya. Namun senyap, tidak ada jawaban, tidak ada sahutan, ia bahkan tidak menggerakkan kepalanya sama sekali.

"Naruto, ayolah.. Jangan membuatku khawatir, bangunlah! Lihat, matahari sudah terbenam, sangat indah. Sayang..kau dengar aku?" Masih tidak ada jawaban. Akhirnya aku menyadari, wanita yang sangat ku cintai ini sudah tertidur untuk selamanya. Tubuhku terasa lemas. Bahkan aku sudah tidak punya kekuatan walau hanya untuk mendekapnya.

Maaf karna aku tidak bisa menepati janjiku, aku menangis. Aku menumpahkan seluruh air mataku. Aku berharap angin membawa rasa sakit ini pergi jauh, agar aku bisa merelakan kepergianmu. Mulai hari ini, semua yang ku lihat menggelap bagai tertutup kabut hitam. Duniaku sudah tidak secerah dulu. Matahariku telah meredup, bahkan menghilang.

xxxxxxxx

Ku tatap gundukan tanah yang kini bertabur aneka jenis bunga. Nama Uchiha Naruto tertulis dengan cantik di batu nisan keramik berwarna hitam. Beberapa orang yang mengantar istriku ke peristirahatannya yang terakhir sudah pergi meninggalkan pemakaman, kini hanya tinggal aku, ayah, ibu, aniki, mertuaku, dan beberapa rekan kerja Naruto di panti. Aku meringsut jatuh terduduk di samping makam istriku. Aku menunduk, lagi-lagi aku menangis. Aku benar-benar tidak bisa lagi menjadi suami yang keren untuk Naruto. Aku tidak bisa menepati janjiku. Lalu aku merasakan pundakku di tepuk oleh tangan kecil, hingga aku menoleh dan mendapati anak kecil berambut pirang pucat bersama seorang anak kecil lainnya juga memiliki rambut yang sama. Si pirang Inojin dan Si ballerina cilik, Shion. Mereka berdua menatap ke arahku. Tangan kecil Inojin terulur untuk mengusap air mataku. Aku terperangah.

"Paman.. Jangan menangis, Naru-chan tidak akan suka melihat paman menangis" cetus anak kecil yang sudah di anggap anak sendiri oleh istriku, Inojin. Tatapannya terlihat dewasa, padahal usiannya baru enam tahun. Aku mengusap kepalanya. Inojin dan Shion lalu duduk di kedua sisiku, aku berada di tengah. Kami bertiga terduduk menatap makam seorang wanita hebat.

"Naru-chan bilang, jika Tuhan memanggil seseorang dengan cepat, itu artinya Tuhan menyayangi orang itu" celetuk anak kecil pirang itu di sampingku. Shion melirik menatap Inojin dengan tatapan 'apa itu benar?' Sedangkan aku hanya diam saja.

"Orang yang baik akan cepat ke surga"

Ah, aku malah teringat kata-kata Naruto ketika sedang menenangkan Inojin saat di panti asuhan saat itu. Benarkah? Apa saat ini istriku sudah di surga dengan bahagia? Ku harap begitu.

"Berjanjilah, Sasuke. Apapun yang terjadi, kau akan bahagia. Aku mencintaimu. Hanya aku yang pergi, cintaku akan tetap disini, didalam hatimu. Ku mohon, berjanjilah."

Ucapannya terngiang lagi dalam benakku. Aku menatap lagi batu nisan istriku, lalu menutup mata dan membuang napas pelan.

"Selamat tinggal, matahariku.."

Aku akhirnya mampu mengucapkan kata itu. Akupun beranjak di ikuti oleh Shion dan Inojin. Kedua bocah itu meraih tangan ku dan menggenggamnya. Aku menoleh, menatap kedua bocah pirang itu secara bergantian, hingga aku tersenyum tipis.

"Ayo, kita pulang!" Ajakku diikuti anggukan dari kedua bocah itu. Kami pun meninggalkan makan Naruto. Aku membiarkan yang lainnya berjalan lebih dulu, aku masih menggandeng Inojin dan Shion saat berbalik untuk melihat makam itu sekali lagi. Entah aku sedang berhalusinasi, aku melihat Istriku yang sedang memakai gaun putih dengan rambut pirang yang tampak berkilau, tersenyum padaku. Ia melambai sambil bergumam 'aku mencintaimu'. Aku tersenyum, lalu kembali berjalan.

"Aku juga mencintaimu, sayang. Selamat tinggal"

.

.

.

.

FIN T.T

Nah Nah! Kan, ujung-ujung angst T.T

Aku yang nulis, kenapa aku yang baperrrrr T.T

Naru-chan, Saskeh, aaaaaap TT

Ini adalah chapter dengan word terpanjang yang pernah ku buat, LOL XD jumlah wordnya sampai 6K+ wkwk

Gimana manteman? Kurang menguras emosi kah? Kalian sedih tidak bacanya? /plak/ Tapi aku baper looohh! Ada gak yah, laki kayak sasuke di dunia nyata, pesen satu dong /ehhh xD

Oia, aku mau buat sekuel fict ini? Ada yang setuju kah? Angkat kakiiiii /lah?

Kalau banyak yang mau, aku buat. Tapi kalo gada, ya tetep ku buat hoho.

Karena menulis itu sudah jadi darahku /eleh/ jadi ya kalo ga ada yang baca, biasanya aku simpen di draft file, di baca-baca kalo gada kerjaan /curhat XD

Btw, aku mau klarifikasi dulu mengenai pertanyaan salah satu reader xD

"Kenapa gak pake Naruko aja? Meskipun udah tau Fem!Naru, tetep aja kalau baca, bayanginya laki-laki"

Reviewnya kurang lebih begitu kan yah? Hehe

Jawaban:

Sebenarnya ini tergantung selerah ya, say. Aku udah jadi salah satu author/reader penyuka SFN sejak tahun 2012 :" aku suka sekali dengan pair itu.

Kenapa gak pake Naruko? Jawabannya karena Naruko itu bukan Naruto /yaiyalah/ XD

Aku ga terlalu dapet feelnya kalo Naruko, tapi meskipun gitu, aku lagi memikirkan project ff baru yang pake Naruko, sempet feelnya dapet /ehh xD

Ya intinya gini, seleraku cenderung ke gender-swap memang, aku lebih suka Fem!Naru yah, aku nulis ff juga untuk kesenangan sendiri hoho, jadi maaf kalo rada ga dapet feelnya bagi kamu, tapi bagi aku aku udah dapet /lah? xD

Btw, thanks udah baca dan Review ^^

Yodah, akhir kata.. Makasih semuanyaaaaa~

Sampai jumpa di fict Mici yang laeen~ jaaa /cipokatu-atu/ xD

Mkim