The Story of a Father

.

.

"a little bit of Heaven just sent down to earth,

but then.. been taken back to their Home"

.

~ HunHan ~


Luhan sangat suka berada disini. Berdiri di belakang kasir, memperhatikan para calon ayah dan ibu dengan senyum cerah diwajah mereka sambil berkeliling memilih pernak-pernik lucu dengan warna-warna cantik.

Ia bisa membayangkan antusiasme dari pasangan-pasangan yang tampak tak sabaran bertemu malaikat kecil mereka. Itu terlihat jelas dari bagaimana mereka bertengkar kecil demi memilih warna yang pas atau bentuk yang lucu dari barang-barang yang akan dipakai si bayi kecil nanti jika sudah lahir.

Kadang Luhan merasa iri, membuatnya membayangkan untuk secepatnya menikah agar bisa merasakan debaran-debaran bahagia ketika menjadi calon ayah. Tapi Ia tahu, melodi kehidupan tak selalu seindah nyanyian lullaby dari kotak musik khusus bayi yang menjadi salah satu best seller di toko pernak-pernik bayi ini. Banyak hal yang masih harus dilalui sebelum Ia memulai mimpi tentang pernikahan.

Tring!

Bunyi lonceng kecil di pintu masuk toko membuyarkan lamunannya. Ia menoleh dan seketika tersenyum melihat seseorang yang baru masuk, berjalan ke arah kasir. Pelanggan setianya.

"Kau melamun lagi" sapa orang itu dan Luhan hanya tertawa kecil sambil membalas lambaian tangannya.

"Aku tidak.." sanggahnya pelan dan pria itu hanya menggelengkan kepalanya tapi tetap tersenyum mengingat kebiasaan Luhan ketika tiap kali Ia mampir kesini, pelayan kasir bermata indah itu pasti sedang melamun sambil memperhatikan pelanggan-pelangannya.

"Makanya segeralah menikah Lu, jadi kau bisa merasakan sendiri bahagianya menjadi calon ayah." Kata si pelanggan yang kini bersandar ke meja kasir.

"Ya.. ya.. akan kupertimbangkan saranmu. Sekarang katakan tuan, apa yang akan kau ambil kali ini?" tanya Luhan mengalihkan pembicaraan. Itu bukan pertama kali pelanggan setianya ini menyarankannya untuk menikah, dan Luhan cukup bosan mendengarnya.

Lagi-lagi, pria itu hanya menggeleng sambil tersenyum. Ia lalu beralih fokus pada tujuannya datang kemari.

"Hmm.. kali ini, yang terakhir."

"Huh?"

"Hanya tersisa satu barang yang belum ku ambil. Jadi ini yang terakhir Lu." katanya menjelaskan.

"Aah.." Luhan tersadar, Ia seperti mengingat sesuatu untuk beberapa saat lalu kemudian beranjak menuju sebuah lemari penyimpanan di dekat meja kasir dan mengeluarkan sebuah bungkusan dari sana.

"Ah ya, benar! Hanya tersisa ini. Waah tak terasa ya?… coba periksa lagi, benar itu kan barangnya?" tanyanya sambil memberikan bungkusan itu pada pria di dedapannya.

Bungkusan dalam paper bag berwarna coklat itu dikeluarkan perlahan. Tiga pasang baju lucu berwarna biru muda, putih dan pink dengan motif kartun bambi dalam berbagai ekspresi. Yang kecil adalah pakaian untuk bayi lengkap dengan kaus kaki, sarung tangannya dan topi lucu sedangkan yang lainnya adalah tiga buah baju baby doll untuk wanita dewasa dengan warna dan motif yang sama persis dengan milik si bayi.

Pria jangkung itu memeriksanya sambil menahan gemas, Ia sudah bisa membayangkan akan selucu apa jika nanti si bayi dan ibunya memakai baju couple itu. Luhan yang mengamatinya hanya tersenyum maklum.

"Kemarikan, biar kurapikan. Jika kau terus menatapnya seperti itu, aku akan menjualnya pada orang lain" Kata Luhan, menginterupsi senyum bahagia pria itu.

"Jika kau memang berniat menjualnya, kenapa bukan dari dulu? Ini bahkan sudah tersimpan dilemarimu selama hampir empat bulan." Sanggah si pelanggan dan kembali memberikan pakaian-pakaian itu pada Luhan

"Tapi aku tahu, kau tidak akan melakukannya" sambungnya lagi, seraya mengeluarkan sebuah amplop dari ranselnya

"Harganya? Apa masih sama?" tanyanya.

"Kau berharap aku masih mau memberikan diskon saat sudah berbaik hati menyimpannya begitu lama hanya untukmu?" tanya Luhan balik dengan nada kesal yang dibuat-buat, dan pria itu reflek tertawa.

"Hahaha.. aku tidak minta diskon. Kau mau menyimpannya saja, aku sudah sangat berterimakasih." Jawabnya, lalu mengeluarkan beberapa won dari amplopnya sesuai harga yang harus dibayar dan memberikannya pada Luhan. Luhan meliriknya sesaat lalu merapikan belanjaan pria itu dan menyelesaikan transaksi belanjanya.

"Ini." Kata Luhan seraya menyerahkan bungkusan yang sudah rapih itu pada pemilik resminya sekarang,

"Kau.. masih akan datang lagi kan?" tanya Luhan kemudian.

"Huh?"

"Ehm.. itu.. ada yang ingin kuberikan pada si bayi saat dia lahir nanti. Anggap saja sebagai ucapan selamat datang dariku. Aku belum tahu kapan dia lahir, jadi belum sempat mempersiapkannya sekarang." Jelas Luhan sambil mengetuk-ngetukan jarinya pada meja kasir, berharap dapat respon bagus. Pria itu tersenyum mendengarnya,

"Seminggu lagi. Jika sesuai perkiraan dokter, Ia akan lahir seminggu lagi." Jawabnya. Ada hening sesaat sebelum si pelanggan menatap Luhan sungguh-sunguh sambil meraih dan menggenggam tangan Luhan,

"Terima kasih Luhan.. Sudah membantuku selama ini" katanya tulus.

Luhan yang kaget hanya bisa menatapnya dan tak lama tersenyum manis seraya menepuk pelan lengan pria itu

"Justru aku sangat senang bisa membantumu" balasnya. Mereka terdiam sesaat hingga akhirnya si pelanggan memutuskan untuk pergi. Setelah berpamitan, Ia meraih kantung belanjaannya dan berbalik hendak keluar sebelum dengan cepat berputar ke arah Luhan lagi, mencondongkan tubuhnya sedikit mendekati Luhan dan berbisik di telinganya,

"Ngomong-ngomong.. kurasa kau harus mulai sering-sering keluar dari tempat ini, Lu. Terlalu lama terkurung di dalam sini membuat tubuhmu beraroma bayi dan bahkan wajahmu benar-benar terlihat seperti bayi di usia yang sudah tidak muda lagi ini" katanya cepat lalu segera berjalan kearah pintu sambil menahan tawanya.

"YAK! Oh Sehun!"

Tawa pria itu benar-benar pecah setelah mendengar teriakan jengkel Luhan. Ia sangat suka menggoda Luhan. Ia tahu Luhan tidak suka jika fisiknya disamakan dengan anak kecil, karena menurutnya Ia lelaki dewasa yang tampan meskipun pekerjaannya di toko ini membuat imagenya sedikit melankolis.

Jengkel yang dirasakan Luhan menguap perlahan, seiring langkah Sehun yang menjauh meninggalkan tokonya. Lewat jendela kaca Ia masih bisa menatap punggung bergetar sosok yang masih tertawa itu. Ia tahu Sehun sedang sangat bahagia saat ini dan rasa itu seolah menular padanya. Melihat pria itu bahagia, entah mengapa membuat hatinya juga ikut menghangat.

Ia ingat pertama kali bertemu dengan Sehun di suatu sore empat bulan yang lalu. Saat itu toko sedang sepi, sampai seorang pria datang. Pria itu terlihat kebingungan dan hanya celingukan di depan pintu masuk. Luhan hanya menatapnya heran dan berniat bertanya sebelum pria itu yang lebih dulu mendekatinya.

Sehun bertanya tentang beberapa peralatan bayi, mulai dari pakaian hingga mainan yang bagus. Luhan yang memang sudah terbiasa dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu lantas menjelaskan dan menanyakan seperti apa selera yang Sehun inginkan. Sehun nampak kebingungan karena jujur saja ini yang pertama kali untuknya. Untuk beberapa saat Luhan hanya menemaninya melihat-lihat, sebelum Sehun pamit dan berjanji akan datang lagi esok harinya.

Kira-kira di waktu yang sama ketika Sehun muncul lagi besoknya. Bukan hanya sekedar bertanya-tanya seperti kemarin. Namun dengan sebuah rencana yang membuat Luhan harus berpikir beberapa kali untuk menyetujuinya.

"Akan ku cicil tiap bulannya. Jadi bisakah kau simpan barang-barang ini untukku?"

Permintaan tolong Sehun pada Luhan yang notabene adalah seseorang yang baru dikenalnya. Kala itu, Sehun tanpa canggung memperkenalkan diri sebagai seorang pegawai freelance yang bekerja serabutan demi membiayai hidupnya dan juga sang kekasih yang sedang mengandung lima bulan.

Kondisi fisik kekasihnya yang lemah membuat wanita itu lebih sering menghabiskan waktu di rumah. Sehingga kehidupan mereka bergantung pada Sehun. Sayangnya penghasilan yang Ia dapatkan tidak selalu cukup, ditambah lagi dengan kehadiran si calon buah hati. Sehun berpikir bahwa Ia tidak akan sanggup untuk memenuhi kebutuhannya sekaligus pada saat anak itu lahir nanti, jadi Ia berinisiatif membeli secara bertahap apa yang menjadi kebutuhan si bayi.

Ia memilih beberapa barang dengan kualitas yang cukup baik untuk 'dibeli'. Barang-barang itu harus disimpan lebih dulu sebelum di bayar satu-persatu nantinya. Karena mengingat stok yang bisa habis kapan saja dan produksi barang yang sama belum tentu berkelanjutan, membuat Sehun membuang habis gengsinya dan menemui pemilik toko untuk menceritakan kondisi dan rencananya sambil berharap agar bisa diajak kerja sama.

Luhan yang bertugas sebagai kasir, sekaligus orang kepercayaan pemilik toko seolah datang sebagai malaikat penolong yang mau mengerti keadaannya. Luhan tidak tahu mengapa, hanya saja Ia merasa salut dengan kegigihan Sehun. Pria itu masih muda, tapi sudah memikul tanggung jawab berat namun tak pernah terlihat putus asa.

Dengan ucapan terimakasih berkali-kali dari Sehun, 'perjanjian' itu terjalin begitu saja. Luhan menyimpan barang-barang yang sudah dipilih Sehun agar tidak dibeli pelanggan lainnya. Sehun akan datang hampir setiap minggunya membawakan sedikit bekal sederhana yang di buat kekasihnya untuk dibagikan pada Luhan, hitung-hitung sebagai 'sogokan' agar setidaknya Luhan tidak lupa tentang 'perjanjian' mereka.

Meskipun awalnya menjadi sedikit risih bagi Luhan, namun lama-lama Ia terbiasa dengan Sehun dan kedatangannya. Mereka akan berbincang sesaat sambil berbagi kimbab, roti isi, atau makanan sederhana lainnya.

Jika toko sedang tak ramai, mereka akan menghabiskan sepanjang sore hanya untuk menikmati masing-masing segelas kopi kesukaan Luhan ditemani snack ringan dan cerita-cerita dari Sehun tentang anaknya yang bahkan masih belum dilihatnya. Topik tentang calon 'jagoan kecil'-sebutan Sehun untuk calon bayinya yang diketahui berjenis kelamin laki-laki-adalah yang paling digemari Sehun. Luhan bisa merasakan betapa bahagianya Sehun dari antusiasnya bercerita tentang darah dagingnya itu. Membuat Luhan berpikir untuk kelak nanti, Ia juga harus bisa memiliki 'jagoan kecil'.

Sehun selalu pamit setelah memastikan 'barang-barangnya' masih disimpan dengan baik, dan meninggalkan rentetan kalimat terima kasih yang kadang membuat kuping Luhan gatal ketika mendengarnya, karena terus diucapkan secara berulang.

Setiap bulannya dihari yang sama dengan hari penerimaan gajinya, Sehun akan datang membayar satu-persatu barang-barang itu dan membawanya pulang dengan wajah berseri-seri. Apalagi ketika Ia berhasil membayar barang terakhir yang diinginkannya sesuai rencana, yaitu tepat ketika kandungan kekasihnya telah berumur sembilan bulan. Yang artinya sebentar lagi Ia akan resmi menjadi seorang ayah.

Ia pulang dengan bahagia memenuhi langkahnya, tanpa pernah tahu bahwa semua barang yang di inginkan sebenarnya telah lunas dibayar oleh Luhan terlebih dahulu. Luhan sudah berniat membantu, dan itu satu-satunya cara yang dapat terpikirkan olehnya. Toh, Ia hanya bekerja untuk membiayai hidupnya sendiri tidak seperti Sehun yang semakin hari-semakin terlihat kelelahan kerena pekerjaannya, meskipun bahagia selalu terpancar dari mata dan senyumnya.

Luhan hanya bisa berharap, semoga kelak nanti Ia akan bisa seperti Sehun yang mampu berjuang keras untuk keluarganya. Dan semoga saja Sehun, anak dan kekasihnya akan bahagia selamanya.

.

.

Sore itu Luhan yang baru saja kembali dari sebuah mall di tengah kota, berjalan menuju tokonya dengan langkah ceria sambil memeluk erat sebuah boneka bambi berukuran besar berwarna coklat yang telah dibungkus sangat cantik. Boneka itu akan diberikan sebagai hadiah untuk 'jagoan' Sehun.

Waktu itu Sehun bilang anaknya akan lahir seminggu lagi, jadi kemungkinan kemarin atau hari ini si 'jagoan kecil' sudah lahir. Luhan tidak sabar ingin memberikan boneka rusa ini padanya dan berharap diizinkan untuk menengok langsung calon 'penerus' Oh Sehun itu. Boneka Bambi dipilih karena selain merepresentasikan Luhan sendiri, juga karena sepertinya kekasih Sehun sangat menyukai karaktek itu. Terlihat dari hampir semua barang yang Sehun pilih bermotif bambi.

Langkahnya ringan menuju toko tempatnya bekerja sambil tersenyum ceria. Kemudian sebuah sedan hitam yang berhenti tepat didepan toko itu membuatnya ikut terhenti sesaat. Seorang pria turun dari mobil, membuka bagasi dan mengeluarkan sebuah kardus berukuran sedang lalu masuk ke dalam toko.

'Apa ada yang mau menukar barang?' tanyanya dalam hati, mengingat hal itu biasanya terjadi. Barang-barang yang sudah di beli untuk bayi perempuan akan ditukar menjadi barang-barang untuk bayi laki-laki atau sebaliknya. Cukup aneh, namun sesuatu seperti itu sering terjadi di toko ini dan akan banyak sekali cerita lucu yang didengarnya dari mereka yang menukar barang-barang itu. Ia jadi tertawa sendiri ketika mengingatnya.

Luhan yang merasa penasaran segera melangkah cepat dan ikut masuk menyusul pria itu.

"Luhan, ada yang mencarimu" kata salah satu pelayan toko saat Ia masuk kedalam.

"Apa... kau yang bernama Luhan?"

Luhan menatap heran pria yang tadi dilihatnya membawa kardus diluar. Kardus itu diletakan didekat meja kasir dan pria itu mengulurkan tangan, memperkenalkan diri. Luhan menyambutnya, masih dengan kerutan didahinya.

.

.

Lima belas menit? Setengah jam? Entahlah Luhan tak bisa mengingatnya lagi, yang Ia tahu sekarang hanyalah dirinya yang terus berlari sambil sesekali mencocokkan atau bertanya pada siapa saja yang ditemuinya di jalan tentang kemana Ia harus pergi menuju alamat yang dituliskan pada selembar kertas kecil.

Seseorang menunjukan jalannya, dan Luhan segera berlari lagi menyusuri lorong-lorong sempit di sebuah kawasan perumahan sederhana di pinggiran kota.

Luhan berlari tanpa peduli gesekan sepatu pada kaki yang membuat kulitnya lecet. Luhan terus berlari tanpa peduli rongga dadanya yang protes butuh lebih banyak aliran udara. Luhan tak peduli apapun selain bertemu pria itu, saat ini. Ia harus bertemu Sehun sekarang juga.

.

Aku Kai, teman satu kampus Sehun dulu.

Sehun.. Ia memintaku mengembalikan ini padamu. Isinya barang-barang yang selama ini dibelinya dari toko ini. Barang-barang ini belum sempat digunakan, bahkan masih tersimpan rapih pada bungkusnya. Ia sangat berterima kasih padamu Luhan, karena sudah sangat baik padanya. Mau mengerti kondisinya. Tapi maaf sepertinya bantuanmu jadi sia-sia karena barang-barang ini terpaksa dikembalikan lagi.

Sehun bilang, terserah kau mau menjual atau membuangnya-pun tak masalah. Ia sudah tak bisa menyimpannya lagi, dan juga maaf karena tak bisa mengembalikannya langsung padamu.

Sehun…. Ia terpaksa berhenti dari kuliahnya dan memilih bekerja kasar demi menyambung hidupnya juga kekasih dan calon anaknya. Yang kulihat, bukannya putus asa seperti beberapa calon ayah muda lainnya, Ia malah terlihat terlalu bersemangat dan sangat bahagia menerima calon bayi yang ditolak keluarganya bahkan keluarga kekasihnya. Sayangnya, semua pengorbanan dan kesungguhannya seolah belum cukup. Karena ketika seminggu yang lalu saat Ia pulang dari bekerja, dengan antusias akan bertemu 'jagoan kecilnya' sebentar lagi… Ia justru menemukan kekasihnya tergeletak di lantai dapur yang dingin dengan banyak darah yang bahkan sudah mengering. Ia… meskipun langsung membawa kekasihnya ke rumah sakit, tapi dokter bilang itu sudah terlalu terlambat... 'mereka'… bahkan sudah 'pergi' beberapa jam sebelum Sehun menemukannya. Mereka sudah 'diambil' darinya.

.

Luhan mengusap kasar air mata yang entah sejak kapan membasahi pipinya. Kakinya berhenti tepat didepan sebuan flat sederhana, ketika hari sudah gelap. Ia melangkah perlahan, mengetuk pelan pintu yang tertutup itu. Lama, tapi hanya sunyi yang menjawabnya. Ia mencoba memastikan dengan mendorong pelan daun pintu… tidak dikunci.

Lampu didalam rumah tidak dinyalakan, menyisakan kegelapan yang membuatnya merinding. Sunyi mengisi pendengarannya dan tak ditemukannya seorang-pun disana. Lalu sebuah ruangan dengan pintu yang sedikit terbuka menarik perhatiannya.

Ia melangkah perlahan, mengintip dari balik pintu itu kedalam ruangan temaram yang hanya diterangi cahaya bulan dari luar jendela yang tidak ditutup. Seseorang yang terisak disudut kamar dengan kepala tertunduk dan kedua tangan memeluk lutut, membuatnya segera belari dan langsung memeluk pria itu.

Pelukannya terasa dingin dengan isakan pelan yang menjadi melodi kesedihan.

Luhan bisa membayangkan perasaan Sehun sekarang ini. Tapi Ia tak pernah benar-benar tahu seperti apa rasanya kehilangan orang-orang tersayang terlebih dalam waktu bersamaan.

Membayangkan si bayi kecil yang sangat dinanti-nantikan Sehun, harus pergi bahkan sebelum bertemu dengan sang ayah. Lalu sang kekasih yang tanpa pamit ikut mengantar anaknya, meninggalkan Sehun sendirian bersama semua pengorbanannya yang sia-sia. Rasanya sungguh tak adil dan begitu menyakitkan. Tapi Luhan bahkan tak punya hak untuk bersuara, jadi yang bisa Ia lakukan sekarang hanyalah memeluk pria ini seerat mungkin, setidaknya agar Sehun tahu bahwa masih ada seseorang disisinya.

Mereka adalah orang asing, namun Luhan tidak pernah menyangka bahwa melihat Sehun yang bahagia akan berefek besar pada degupan-degupan didadanya yang seperti musik pengiring tarian. Dan ketika melihat Sehun seperti ini, maka jantungnya serasa diremukkan. Luhan tidak tahu perasaan macam apa yang dirasakannya saat ini.

Yang Ia tahu, sesaat setelah mendengar cerita itu.. Ia segera berlari dan terus berlari seperti orang gila. Berharap masih bisa meraih Sehun, pria yang kini hancur dalam pelukannya.


END

Epilog* :

[I] Luhan

[II] Sehun

.

.

.

(*tergantung sikon)